Seorang ibu muda yang tengah mengandung 8 bulan itu mengaduh kesakitan. Entah apa yang terjadi, sepertinya ada sesuatu yang tidak beres di sini.
Mau tidak mau, akhirnya ibu Rose dilarikan di rumah sakit oleh suaminya. Leonardo Nhoel namanya. Seorang pengusaha yang cukup sukses dan mapan.
Di sana, kabar yang mengejutkan membuat Leonardo terpukul. Istrinya keracunan kehamilan, hingga mau tidak mau, bayi yang masih di dalam perut itu harus dikeluarkan secepatnya.
Saat itu, setelah mendapatkan persetujuan dari keluarga. Seorang dokter dan beberapa staff karyawan membawa ibu Rose ke ruang operasi. Ya, bayi itu akan dilahirkan secara sesar.
Selang beberapa waktu kemudian, bayi mungil cantik nan menggemaskan itu akhirnya terlahir di dunia. Tentu Leonardo sangat senang akan hal ini. Hanya saja, kebahagian terkadang membawa sebuah luka.
Dan luka itu adalah, istrinya meninggal setelah melahirkan sang anak. Berita bahagia sekaligus luka untuk Leonardo. Air mata itu bercucuran bersamaan dengan tangisan bayi perempuannya.
Pusara itu belum juga mengering. Termasuk duka di dalam hatinya. Leonardo membayangkan, bagaimana nasib bayinya kelak tanpa seorang ibu.
"Aku tak menyangka, jika kau akan pergi secepat ini. Andai aku bisa, aku akan menyusul mu Sayang. Tapi aku tidak bisa, di sini ada anak kita. Dia begitu cantik seperti dirimu, Rose."
***
Bayi mungil itu diberi nama Anabella Poetry Nhoel. Nhoel adalah marga dari keluarga sang Ayah, yang tak lain adalah Leonardo Nhoel.
Bayi itu hidup berkecukupan tanpa kekurangan apapun. Setiap harinya, ia dirawat oleh pengasuhnya. Dia Bu Rahma, masih muda dan sangat perhatian kepada Anabella.
Hidup tanpa seorang ibu, membuat Anabella sering menangis. Leonardo begitu kesulitan, tapi dia selalu berusaha dengan keras, agar kebutuhan Anabella tak akan kekurangan satupun. Ya, meskipun tak dipungkiri, Anabella hanya kekurangan kasih sayang dari ibunya.
4 tahun lamanya kejadian itu. Tapi Leonardo masih belum bisa move on dari mendiang istrinya. Hari-harinya hanya disibukkan dengan kegiatan putrinya. Anabella sangat menggemaskan. Ia selalu manja pada Ayahnya.
"Ayah, Anabella ingin ibu. Apa Anabella bisa ketemu dengan ibu?" tanya anak kecil 4 tahun itu.
Ini adalah pertanyaan yang entah ke berapa. Setelah Anabella lancar berbicara, ia sering menanyakan tentang ibunya.
Terkadang, hati Leonardo bagai tersayat. Tapi dia harus tegar dan mampu untuk menjelaskan semuanya.
"Ibu ada di sana Sayang," balas Leonardo sambil menunjukkan tangannya ke arah langit.
"Kenapa ibu di sana? Kenapa tidak di sini saja?" tanya Anabella dengan polos. Tak tahukah Anabella, jika ayahnya saat ini menahan tangis.
Leonardo menengadahkan kepalanya ke atas. Bermaksud untuk mencegah, agar air matanya tak menetes. Sesaat ia bernafas, lalu memandang ke arah putri semata wayangnya.
"Ibu sudah tenang di sana Sayang. Ibu sudah menghadap Tuhan. Dan ibu, dia selalu ada di sini (meletakkan jemarinya di dada Anabella). Dia ada di dalam hati kita Sayang," jawab Leonardo dengan sedikit kesulitan. Sudah saatnya ia menjelaskan sedikit demi sedikit untuk Anabella. Agar suatu saat, Anabella tidak marah padanya.
"Aku ingin Ayah selalu bersama Anabella. Jangan tinggalkan Anabella, Ayah."
Meskipun sudah berjanji, namun rasanya begitu sulit. Ini demi putrinya, jadi Leonardo putuskan untuk mengajak jalan-jalan sang putri. Menuju ke taman bermain misalnya. Sekaligus untuk menghilangkan sedikit rasa sedihnya tadi.
Siang itu, mereka bertiga, Anabella, Leonardo dan Bu Rahma, menikmati indahnya taman bermain di pusat kota. Di sana segala permainan anak lengkap adanya. Di tambah ada sebuah kolam renang yang membuat Anabella berteriak riuh saat badan mungilnya memasuki area air yang berwarna biru itu.
Tak perduli akan panas, Anabella terus berteriak-teriak memanggil ayahnya. Mungkin saking senangnya. Tapi, memang begitulah Anabella. Saat dia diijinkan bermain di air, semuanya hanya kebahagiaan yang ia dapatkan.
***
Kesenangan Anabella kemarin, masih bersisa sampai sekarang. Sampai-sampai, Leonardo tak diijinkan untuk berangkat bekerja.
"Ayah jangan pergi!" pinta gadis kecil 4 tahun itu.
"Kenapa Sayang, ayah ada rapat hari ini. Anabella sama bi Rahma saja. Oke."
Leonardo mencoba membujuk Anabella. Tak biasanya Anabella menyuruhnya tetap tinggal di rumah. Biasanya hanya sekali bujukan, Anabella akan mengangguk setuju. Mengiyakan ayahnya untuk bekerja. Tapi hari ini?
"Tidak mau Ayah. Anabella hanya mau Ayah di sini. Jangan tinggalin Anabella, Ayah."
"Tidak Sayang, ayah hanya bekerja. Setelah itu, kita bermain lagi. Gimana?"
Anak itu menggeleng. "Enggak mau, Anabella mau Ayah. Ayah jangan pergi," balas Anabella. Tangannya bergelayut manja di kaki sang ayah.
Leonardo menatap jam di pergelangan tangannya. Waktunya sudah begitu mepet. Dengan terpaksa, ia memanggil Bu Rahma. Memintanya untuk membujuk Anabella.
"Bi, tolong jaga Anabella dengan baik ya. Saya sedang ada urusan yang mendadak," ucap Leonardo pada Bu Rahma.
"Iya Pak. Bapak jangan khawatir, Nona Anabella akan baik-baik saja."
Leonardo mengangguk. Kemudian, tatapannya beralih pada sang putri. "Ayah sayang sama Anabella. Anabella harus jaga diri baik-baik ya, jadilah anak yang berbakti dan sukses di masa depan." Setelah berucap seperti itu. Leonardo membubuhkan kecupan berkali-kali di kening, pipi dan hidung sang putri. Hari ini tak seperti biasanya. Entahlah. Hanya ada yang mengganjal di hatinya.
Anabella yang tak tahu apapun, hanya terkekeh geli saat diserang oleh berkali-kali kecupan dari sang ayah. Tetap kalimat yang ia lontarkan, "Ayah jangan pergi, jangan tinggalin Anabella Ayah."
Sepertinya, Leonardo berusaha menulikan telinganya. Sebelum ia masuk ke dalam mobilnya, Leonardo menolehkan kepalanya kepada anaknya itu. Air mata anaknya menyayat ulu hatinya. Hari ini benar-benar tak biasa bagi Leonardo. Anabella jarang seperti ini. Biasanya ia hanya menangis sesaat. Setelah dibujuk, pasti akan berhenti menangis.
"Sudah, sama Bibi saja. Ayah tak akan lama," bujuknya lagi sebelum benar-benar pergi.
"Ayah... ayah... jangan pergi Ayah..." Anabella meronta-ronta dari dalam gendongan Bu Rahma. Ingin sekali ia mengejar ayahnya. Tapi tak mampu. Ayahnya sudah tak terlihat lagi bersama kendaraan beroda 4 itu.
***
Namanya anak kecil, setelah acara mengambeknya beberapa puluhan menit yang lalu. Kini wajah ceria kembali menghiasi wajahnya.
Hingga sebuah kabar mengejutkan menimpanya. Sekali lagi, Anabella anak kecil yang berusia 4 tahun. Jadi dia masih belum mengerti tentang apa-apa, selain hanya ayahnya.
Bu Rahma yang mendengar kabar tersebut, syok seketika. Leonardo sang majikannya kecelakaan dalam berkendara. Diduga semua itu terjadi karena ada mobil yang memotong jalan dari depannya. Hingga Leonardo mencoba menghindari kejadian tersebut. Namun yang ada, nyawa taruhannya. Kini, Leonardo tinggal nama.
Setelah semua urusan selesai. Jasad sang ayah boleh dibawa pulang. Anak kecil itu berlari kesana-kemari. Sedikit bingung akan keramaian orang yang ada di rumahnya. Semua yang dia lihat hanya wajah kesedihan. Namun Anabella tidak tahu apa penyebab kesedihan itu.
Hingga jasad ayahnya kini sudah terbaring lemah di lantai. Anak kecil itu, spontan langsung mendekat. Melihat wajah biru dan memar di sana. Membuat otak Anabella bekerja keras untuk melayangkan suatu pertanyaan.
"Ayah kenapa? Apa ayahku sakit?"
Semua orang yang di sana hanya berani menonton saja. Bu Rahma yang dari tadi tak mampu menahan air matanya. Ia terus-menerus mengeluarkan air mata. Dia bingung akan nasib Nona kecilnya ini.
"Bibi, kenapa ayah diam saja? Apa ayah tidur?" tanyanya lagi, kali ini ia ingin kepastian dari pengasuhnya.
Bu Rahma hanya menggelengkan kepalanya. Ia tak sanggup berkata-kata.
Namanya anak kecil. Dengan inisiatifnya ia menggoyang-goyangkan kaki ayahnya itu.
"Ayah, bangun Ayah! Anabella ingin main bareng Ayah. Ayah, kenapa ayah gak bangun-bangun? Ayo bangun Yah, kita main kejar-kejaran lagi. Tau gak Yah, tadi Anabella main boneka Barbie sama bibi. Ayo bangun Yah! "
Hati siapa yang tak pilu. Anak kecil itu membangunkan jasad yang mustahil bisa bangun.
"Ayah, kenapa ayah diam saja? Apa Anabella nakal? Kalau Anabella nakal, Anabella siap dihukum ayah? Ayah...
Bibi, kenapa ayah hanya diam saja? Tolong bangunkan ayah Bi," mohon Anabella pada Bu Rahma.
Bu Rahma tak bisa menahan lagi. "Ayah akan tenang di sana Non. Ayah akan bertemu ibu."
Anak kecil itu sangatlah terkejut. Jika ayah menemui ibu. Apa tandanya Anabella tak akan berjumpa lagi? Hingga kembali ia lontarkan pertanyaan pada sang Bibi.
"Jika ayah menyusul ibu, apa berarti ayah hanya tinggal di sini?" tanyanya sambil menunjukkan tangannya di dada. Seperti apa yang dilakukan Leonardo kemarin kepadanya.
Bibi itu mengangguk. Pun anak sekecil itu akhirnya tahu. "Ayah, jangan tinggalin Anabella Ayah. Ayah, Anabella gak mau ayah di sini (menunjuk lagi dadanya). Anabella mau ayah menemani Anabella."
"Ayah, kenapa ayah tidur terus? Apa ayah gak bosen?" tanyanya untuk terakhir kalinya sebelum Bu Rahma mengajaknya pergi.
Anak kecil itu tetap tidak menangis. Namanya juga anak kecil, jadi dia belum mengerti akan dunia ini dengan jelas.
"Bibi, Anabella mau dibawa kemana? Anabella ingin tidur bareng ayah?"
Bu Rahma benar-benar tak sanggup berkata apa-apa lagi. Sampai Anabella heran dibuatnya. "Bibi kenapa menangis terus? Ayah hanya tidur Bi. Nanti ayah bangun dan main bersama kita lagi."
Anabella menyuruh bu Rahma jongkok. Tangan mungilnya menghapus dengan telaten air mata yang terus berjatuhan dari mata Bu Rahma. Bu Rahma memejamkan matanya. Lagi-lagi, air mata itu tetap menetes.
"Jangan nangis Bi, Anabella dan ayah akan menemani Bibi main lagi," ucapnya dengan ceria.
Semua yang melihat kejadian itu hanya bisa bersedih. Meratapi nasib Anabella nantinya. Anak sekecil itu belum tahu tentang apapun.
Hingga sepasang netra menatapnya dengan iba. Ada rasa ingin menolong anak kecil yang bernama Anabella Poetry Nhoel. Anak dari sahabatnya.
Bersambung...
Anabella masih setia di samping bibi pengasuhnya. Hingga tak lama kemudian, jenazah sang ayah sudah siap dimakamkan.
Anak kecil itu tak mengeluarkan air matanya lagi. Dia hanya bingung dan mengikuti langkah semua orang.
Dia Anabella, punya riwayat penyakit jantung sejak kecil. Dia tak boleh mendengar berita yang mengejutkan. Penyakit itu turunan dari sang ibu yang telah meninggal.
Anabella didekati oleh pamannya. Dia saudara dari ayahnya. Rencananya, Anabella akan di asuh sementara. Karena bagaimanapun juga, paman Anabella sudah beristri dan mempunyai seorang anak. Tak mungkin Anabella akan berlama-lama, ia takut sang istri akan marah. Sepertinya, paman Anabella salah satu dari suami-suami takut istri.
Buktinya sekarang, sebelum menghampiri Anabella. Pamannya minta ijin dulu pada sang istri. "Aku akan berbicara dengan Anabel (panggilan dari Anabella)," ijinnya pada sang istri.
Istrinya mencebikkan bibirnya. "Ngapain? Mau bawa dia ke rumah gitu?" tanyanya dengan nada sewot. Padahal ini hari berduka, kenapa bisa-bisanya adik ipar dari almarhum bersikap seperti itu. Setidaknya bersikap yang baiklah, ini di depan umum. Sekali-kali, tapi jangan ada kepura-puraan. Dengan tulus sama keponakan dari suami. Tapi nyatanya bibi Lauren tidak bisa bersikap seramah itu. Aslinya lebih ketus lagi kalau didekati lebih jauh.
"Untuk sementara Sayang, aku janji," rayu Rehan pada sang istri.
Lauren hanya bersedekap, kemudian berjalan meninggalkan suaminya. Masa bodoh.
Jadi dalam perjalan ke makam, Anabella di dampingi oleh sang paman. Dia bergelayut manja, sambil menceritakan masa-masa indahnya bersama ayahnya.
"Paman tau gak? Kemarin aku jalan-jalan bareng ayah. Tapi sekarang, kenapa ayah tidur dan gak bangun-bangun? Anabella sedih paman," curhat anak kecil itu.
Pamannya terenyuh, dia sangat kasihan dengan keponakannya ini. Dia akan mengadopsi Anabella apapun yang terjadi.
***
Mereka semua telah selesai memakamkan jenazah Leonardo Nhoel. Anabella yang belum mengerti apa-apa, jelas meraung-raung menangisinya.
"Kalian semua jahat, kenapa ayah Anabella ditimbun tanah? Paman, kenapa ayah ditimbun?"
Tadinya Anabella disuruh menunggu di dalam mobil saja. Namanya juga anak kecil yang jiwa ingin tahunya sangat besar. Jadi bibi Rahma dengan terpaksa mengijinkannya. Lagian menurut bi Rahma, ini adalah perpisahan yang terakhir antara anak dan ayah. Tak ada salahnya kan jika anaknya melihat itu?
Ternyata Bu Rahma salah besar. Gara-gara dia, Anabella jadi sesedih ini. Bahkan jantungnya mulai tak stabil lagi.
Seseorang yang hadir di sana, tak tega melihatnya. Hanya dia yang tahu betul tentang riwayat penyakit Anabella.
***
Flashback
Setelah menjalani pemeriksaan rutin. Anabella dan ayahnya keluar dari ruangan periksa. Tak sengaja saat berjalan di koridor, Leonardo bertemu dengan teman lamanya.
Lalu Leonardo segera menyapa teman lamanya itu. Teman lama yang sebenarnya sangat dekat. Mereka terpisah karena ada urusan masing-masing. Leonardo yang memutuskan bersekolah di luar kota, sedang sang teman, dia menetap dan tinggal di kota ini. Dan dengar-dengar, dia menikah muda.
"Arkan!" panggil Leonardo sambil berjalan mendekat bersama sang putri.
"Leonardo! Hei apa kabar?" tanya orang tersebut yang tak lain adalah Arkan. Teman lama ayah dari Anabella.
"Aku baik-baik saja. Yeah, seperti apa yang ku lihat."
"Dia siapa?" tanya Arkan sambil menunjuk ke arah anak kecil yang berusia 4 tahun itu.
"Dia putriku. Perkenalkan, namanya Anabella Nhoel."
Arkan berjongkok, menatap anak kecil yang begitu cantik, imut, lucu nan menggemaskan di matanya.
"Hai gadis cantik," sapa Arkan sambil duduk berjongkok di depan Anabella.
Anabella hanya balas tersenyum khas anak-anak. Namanya juga anak kecil, kadang bisa langsung menyahut, kadang pula juga enggan seperti sekarang.
Merasa tak ada jawaban, akhirnya Arkan mencubit gemas pipi Anabella. Sungguh dia menginginkan seorang anak. Sudah hampir 8 tahun lamanya ia menikah, namun sampai sekarang, ia dan istri belum juga diberikan momongan. Ya, Arkan ini menikah muda di usia 19 tahun. Ia menikah dengan pacar semasa SMP nya dulu. Hubungan yang begitu harmonis, jadi membuatnya ia bertahan bersama sang istri meskipun belum ada anak di antara mereka.
"Oya, kok kamu ke sini? Siapa yang sakit?" tanya Arkan kemudian.
"Putriku, dia punya riwayat penyakit jantung. Turunan dari ibunya," balas Leonardo lirih.
Arkan sempat tertegun. Kasihan sekali nasib anak kecil ini. Anak yang sangat cantik, pemalu dan periang jika Arkan nilai. Tapi mendapat cobaan yang begitu berat.
"Dan kamu sendiri?" tanya Leonardo penasaran.
"Aku hanya mau mengambil berkas yang ketinggalan," balas Arkan.
Leonardo langsung menduga dengan tepat. "Kamu dokter."
"Maybe," balas Arkan sambil terkekeh.
Hingga kedua pria orang dewasa itu terus membicarakan penyakit yang diderita oleh si kecil Anabella.
Flashback off
***
Arkan ingin mendekat ke arah Anabella, tapi tak enak dengan Rehan. Jadi, dia hanya menatapnya saja dari kejauhan.
Arkan ikut melawat, karena Leonardo sempat ditangani di rumah sakit, yang dimana ia bekerja di sana. Jadi sebagai sahabat atau teman lamanya, ia pastikan hadir untuk mengucapkan salam perpisahan buat sang sahabat.
Tapi melihat Anabella yang menahan sesak itu, Arkan benar-benar tak tega. Tapi dia bukan siapa-siapa di sini. Ia hanya penonton. Lagipula, si Anabella juga tak ingat dengannya.
Suasana di pemakaman menjadi mencengkam. Rehan langsung memarahi bi Rahma sekaligus memecatnya. Lauren tersenyum licik, biarkan saja seperti itu. Merepotkan saja jika ada bi Rahma yang selalu hadir di samping Anabella. Tentu ia akan kehilangan uang untuk membayar gajinya.
Rehan dan Lauren tak tahu mengenai penyakit yang diidap oleh Anabella. Jadi dia hanya santai dan menggendong Anabella yang sudah megap-megap hampir kehabisan oksigen.
Kali ini, Arkan tak tega melihatnya. Kenal tidak kenal, ia dekati Anabella yang berada dalam gendongan Rehan.
"Permisi, sepertinya anak ini sedang tidak baik-baik saja Pak. Boleh saya periksa? Kebetulan saya dokter," ucap Arkan dengan hormat.
Rehan yang merasa iba dengan Anabella, akhirnya mengangguk mengiyakan. Di sinilah, Arkan gunakan sebaik mungkin untuk mengobati Anabella. Ia membawa Anabella masuk ke dalam mobil. Kebetulan sekali Arkan menyiapkan obat-obatan yang lengkap. Jadi, diberikannya oksigen untuk Anabella.
Selang beberapa waktu kemudian. Nafas Anabella berangsur membaik. Jiwanya terpukul gara-gara kejadian tadi. Anak sekecil ini harusnya tak boleh ikut.
"Kamu yang sabar ya Anabella, semoga kau selalu bahagia."
***
Setelah dua hari kejadian di makam. Kini kesehatan Anabella sudah 80% membaik. Melihat Anabella yang sudah sehat-sehat saja, sang bibi dengan teganya menyuruh Anabella menyapu.
"Heh, sapu rumah ini dengan bersih!" perintahnya sambil menyodorkan sebuah sapu.
Anak kecil itu hanya menatap takut. Bibinya ini hanya baik saat di depan pamannya saja. Setelahnya, jangan tanyakan lagi.
Bersambung.
Jangan lupa, tinggalkan like dan komen ya. Dukungan kalian, adalah semangat ku untuk menulis. Terimakasih.
Anabella menerima sapu yang bibi Lauren berikan padanya. Anak itu mulai menjalankan tugasnya. Menyapu ruang tamu. Jangan anggap kalau Anabella menyapu sendirian. Tidak. Anabella tidak sendiri. Melainkan ada sang bibi yang berkacak pinggang. Menatap tajam kegiatan Anabella. Memastikan itu sudah bersih atau tidak.
Sungguh, Anabella saat ini sangat takut. Dia hanya bisa menitikkan air matanya. Ia merindukan ayahnya. Ayah yang selalu memanjakannya. Mengajarinya berdoa dan selalu melakukan kebaikan kepada siapa saja.
Anabella tak pernah dalam kesulitan. Dia hanya sulit saat penyakitnya kambuh secara mendadak. Dada Anabella kembang kempis. Air matanya berjatuhan di pipinya. "Ayah," gumamnya lirih. Sungguh, Anabella ingin bertemu dengan ayahnya. Lalu bermanja dalam pelukan sang ayah. Tapi apa boleh dikata, dia hanya seorang anak kecil. Pikirannya terkadang belum sinkron. Beda hari ini, beda pula besok. Tapi hanya satu yang sinkron, ayahnya. Karena ayahnya sudah melekat di dalam hatinya.
Melihat Anabella yang menangis. Bukannya iba atau kasihan, si bibi malah memarahinya.
"Dasar kau Anabel! Nyapu yang bener? Jangan hanya nangis mulu bisanya. Ini masih kotor, terus itu, di sana juga!"
Cerewet sekali si Lauren. Apa dia tak punya hati? Anabella masih terlalu kecil untuk memahami itu semua. Persis juga dengan anaknya. Bukankah mereka hampir seumuran? Lebih tua anak Lauren malah. Beda setengah tahun dengan Anabella. Tapi apa pernah Lauren menyuruh anaknya menyapu? Apa pernah ia memarahi anaknya seperti ia memarahi Anabella saat ini? Jawabannya tidak pernah. Karena bagi Lauren, anaknya adalah sebuah emas. Yang harus dipuja-puja oleh semua orang. Jadi, ia tak bisa membuka hatinya buat anak lain. Termasuk keponakan dari suaminya sendiri.
Anabella menuruti perintah bibinya dengan air mata yang terus berlinang. Bibirnya tak berhenti menyebutkan panggilan ayah di sana. "Ayah, Anabella mau ayah," bisik-nya lirih.
Anabella terus menyapu sampai bersih. Kalau tidak bersih, maka dia harus mengulangnya dari awal. Badan mungil itu jelas semakin tersiksa. Harusnya di usianya ini, ia sedang asyik bermain. Tapi takdir berkehendak lain. Dan anak sekecil itu, sungguh ia belum bisa berpikir layaknya orang dewasa.
***
Hari sudah semakin siang. Tapi pekerjaan Anabella tiada hentinya. Kalau terus begini, Anabella seperti calon asisten rumah tangga yang sedang di tes. Kenapa begitu? Karena dari tadi pagi tugasnya belum selesai-selesai.
Seperti halnya menyapu tadi, terus mengepel lantai, dan sekarang, anak kecil itu disuruh mencuci pakaian dengan tangan. Tidak boleh menggunakan mesin cuci. Padahal, Rehan sang paman adalah orang kaya. Dia punya asisten rumah tangga juga. Tapi sayang, asistennya dipecat secara sepihak oleh Lauren. Sepertinya, Lauren sedang manfaatkan situasi.
Saat ini, Anabella menangis dalam diam. Dia kelaparan, perutnya keroncongan. Anak kecil itu menghentikan aktivitasnya barang sejenak. Ia mencuci tangannya dengan bersih. Lalu kaki mungilnya berjalan dengan riang menuju ke arah dapur. Berharap di sana ada makanan yang bisa mengganjal perutnya.
Lalu, Anabella membuka tudung saji. Di atas meja itu tidak ada apa-apa. Sungguh mengecewakan. Tapi dia anak yang pintar, kepalanya segera menoleh ke arah kulkas. Anabella yakin, di dalam sana pasti ada sesuatu yang bisa ia makan. Buah misalnya. Dan harapan Anabella benar, ada banyak buah di dalam kulkas size sedang dua pintu. Anabella sangat bahagia. Ia segera mengambil sebiji buah apel.
Sementara itu, Lauren dan anaknya Isabella, tengah asyik menikmati makan siangnya. Lauren sengaja memesan makanan secara online. Biar Anabella tahu rasa bagaimana rasanya hidup menumpang. Intinya, Lauren ingin membuat Anabella tak betah tinggal di rumahnya dan angkat kaki dari sana.
Sebenarnya, Lauren sudah memesan makanan sebanyak 4 porsi. Anabella ada jatahnya. Tapi tidak sekarang ia memberikannya. Tunggu waktu yang tepat menurutnya.
Selesai makan siang. Lauren mengecup kening sang anak sebelum pergi menuju ke dapur. Dan betapa terkejutnya Lauren saat mendapati Anabella tengah duduk santai sambil menggigiti buah apel di tangannya.
"Dasar pencuri! Dasar maling kecil! Beraninya kau ambil buah favorit ku!" Tanpa ada rasa belas kasihan, Lauren melempar bungkus makanan bekas yang ia makan tadi tepat di wajah Anabella.
Seketika itu juga, jantung Anabella mulai bekerja tak normal. Anabella terlalu terkejut dengan sikap anarkis sang bibi. Anabella hampir kehabisan nafas. Saking takutnya, Anabella segera mengambil air putih.
Syukurlah, ada sedikit rasa lega di sana. Jantungnya masih bisa diajak kompromi, meskipun debarannya tetap tak stabil. Anabella kembali menangis saat bibinya kembali mendekat ke arahnya.
"Sekali lagi bibi lihat kamu mengambil buah atau makanan tanpa sepengetahuan dari bibi. Awas aja, tak ada ampun buatmu!"
Lauren melotot ke arah Anabella. Anabella belum terlalu paham dengan sikap kasar sang bibi. Maka mulut kecil itu mengeluarkan kata tanya, "Bibi, apa Anabella nakal? Kenapa Anabella dihukum?"
Sungguh anak yang polos. Anabella tidak tahu kalau dirinya sedang direkrut menjadi asisten rumah tangga di rumah pamannya, adik kandung dari Leonardo Nhoel, ayah Anabella.
"Kau memang nakal Anabel, kau pantas dihukum. Selesaikan tugasmu, atau ku adukan ke paman mu. Biar kamu dibuang ke laut."
Anabella kembali menangis. "Aku mau ayah, aku mau ayah," rengek Anabella sambil bergelayut di kaki sang bibi.
Lauren yang sedang bersedekap, hanya bisa menggerakkan kakinya. Menyuruh Anabella tak menyentuh kakinya lagi.
Drama di siang itu berhenti tatkala Rehan Nhoel pulang ke rumah. Orang pertama yang ia cari adalah Anabella. Sejak tadi, pikirannya sangat tak nyaman.
"Dimana Anabella?" tanyanya pada sang istri.
Lauren semakin tak suka saja. Mereka punya Isabel, kenapa harus Anabel yang dicari Rehan?
"Kau ini Yah, lebih mentingin anak orang lain ketimbang anakmu sendiri!" protes Lauren dengan ketus.
Rehan tahu, hal ini pasti terjadi. "Bukan begitu Sayang, Anabella kan ponakan ku. Jadi wajar dong aku nanyain dia."
"Tapi Yah, pokoknya ibu tak suka."
"Suka atau tidak suka, yang jelas dia tetap keponakan ku. Dia yatim piatu tak punya ayah ibu. Beda sama Isabel, dia ada kamu, ada aku juga. Tolong dimengerti!"
Akhirnya si Rehan tegas juga terhadap istrinya. Lauren jadi merasa takut, dia harus hati-hati kalau ingin menyiksa Anabella.
Sebenarnya Lauren sudah antisipasi, maka dari itulah, ia menyuruh Anabella istirahat di kamarnya. Menyuruh Anabella mengganti pakaiannya dengan yang baru.
Anabella hanya mengangguk saja. Ia takut dihukum. Namanya anak kecil, pastilah tidak bisa kalau disuruh diam terus. Maka ia berucap banyak kata.
"Anabel mau cantik Bi."
"Anabel suka baju ini."
"Apa paman akan senang Bi?"
"Apa Anabel tidak dihukum lagi? Anabel tidak nakal kan Bi? Anabel mau di sayang Bi?"
Itu adalah kejadian 5 menit yang lalu sebelum Rehan pulang. Drama kebusukan dan kebaikan dari Lauren akan di mulai.
Rehan segera berjalan ke arah kamar khusus Anabella. Setelah dibuka, terlihat Anabella yang meringkuk di tengah kasur tidurnya.
"Anabel, paman pulang."
Anabella terlonjak senang. Segera ia berlari dan menghampiri sang paman.
"Paman? Anabella lapar." Hanya itu balasan sambutan dari pamannya.
Rehan sempat mengernyit. Tapi dia mencoba memahami, itu hanya ucapan anak kecil. Tidak mungkin Lauren sejahat itu pada ponakannya. Apa mungkin Lauren tega membiarkan Anabella kelaparan? Rehan rasa itu tidak mungkin.
"Uh, ponakan paman yang cantik ini. Harum lagi. Ternyata sedang lapar ya?" Rehan meraih Anabella ke gendongannya. Mencium pipi Anabella dengan gemas.
Rehan tidak sadar, kalau tangan Anabella ada sedikit ruam kecil akibat menggosok baju dengan tangan mungilnya.
Sesampainya di ruang makan. Rehan segera membuka tudung saji itu. Ada dua buah kotak nasi siap santap.
Melihat adegan itu. Lauren dengan kepura-puraan nya langsung mendekat. "Itu ayam bakar buat Ayah. Sengaja Ibu belikan itu. Ayah kan suka itu."
"Terimakasih Sayang, kau memang pengertian."
Lauren tersenyum penuh arti. Lalu dia menyodorkan sekotak nasi untuk Anabella. "Dan ini buat Anabella, ayam tepung empuk tanpa tulang. Dimakan ya Anabel?"
Anabella hanya mengangguk riang. Ia bahkan lupa kalau beberapa menit yang lalu dirinya disiksa. Bahkan, hampir saja penyakitnya kambuh lagi.
Bersambung.
Jangan lupa, selalu tinggalkan like dan komen kalian. Dukungan kalian, adalah semangat buat saya. Terimakasih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!