"Huekkk! Huekkk!!!"
Suara seseorang yang tengah memuntahkankan seluruh isi perutnya begitu menggema memenuhi kamar mandi. Seorang gadis terkulai lemas, duduk diatas kloset setelah muntah ke dalam washtaple.
"Astaga, perutku sakit sekali," keluhnya memegang perut yang masih terasa bergejolak. Sekali lagi, gadis itu kembali berdiri dan memuntahakan isi perutnya tersebut.
Ternyata suara itu terdengar hingga dapur. Seorang wanita yang tengah menyiapkan sarapan, bergegas untuk melihat putrinya dikamar atas.
"Ya ampun, Zea. Kamu kenapa?" tanya wanita itu segera menghampiri dan memapah sang gadis yang sudah lemah untuk duduk di kloset.
"Gak tau, Mi. Perutku tiba-tiba mual, kepalaku juga sakit," keluh Zea, gadis yang sudah berwajah pucat itu.
"Sepertinya kamu masuk angin, deh. Mami 'kan sudah sering ingatkan, jangan suka begadang malam. Jadinya, gini 'kan?" omel Vani, sang Mami. Wanita itu dengan telaten memijit tengkuk serta bahu putrinya.
Dirasa sudah cukup dengan gejolak diperutnya, Zea meminta sang Mami untuk membantunya kembali ke kamar. Dengan hati-hati Vani memapah sang putri menuju ranjang.
"Kamu istirahat dulu, Mami buatin teh jahe, ya! Biar mualnya hilang," titah Vani menaikan selimut menutupi tubuh sang gadis. Setelah sebelumnya memberi gadis itu minum.
Zea yang sudah lemas hanya mengangguk pasrah dan membiarkan sang Mami berlalu dari kamar. Sejenak ia berpikir, ada apa dengan tubuhnya? Bukankah ia tidak begadang, seperti apa yang dituduhkan sang Mami? Pikirnya.
Kemudian, setelah beberapa saat. Ia pun tersentak dan bangkit dari posisinya. Tiba-tiba degup jantung berdetak tak beraturan, darah seakan berdesir lebih cepat mengaliri setiap nadi yang menegang. Gadis itu meraih sebuah kalender kecil yang terpajang diatas nakas. Lantas, ia melihat tanggal dimana seharusnya tamu merah yang biasa hadir tiap bulan, ternyata sudah terlewati.
Deg!
Alzea Sarvanes, atau lebih akrab disapa Zea itu, seketika mematung. "Gak mungkin!" cicitnya menggelengkan kepala.
Tidak ingin menduga-duga dan terlalu khawatir, gadis itu segera bangkit meski dengan lutut yang bergetar. Tanpa memedulikan penampilannya, segera ia mengambil sweater dan berlari keluar kamar.
"Kamu mau kemana, Ze?" tanya Vani heran saat keduanya bertemu didepan tangga.
"Aku keluar sebentar, Mi!" balas Zea berlalu begitu saja.
"Tapi ... Ini tehnya-" Vani memperlihatkan cangkir ditangannya. Namun, gadis itu sudah keluar dari rumah. "Ya ampun, tuh anak. Padahal mukanya masih pucat," gumamnya khawatir.
"Ada apa, Ay?" tanya seorang pria yang baru saja keluar dari kamar.
Vani mendekat ke arah pria yang sudah berpakaian rapi itu. "Nggak, Pi. Itu Zea tadi pagi muntah-muntah, kayaknya masuk angin. Aku udah bikinin teh jahe, eh dia malah pergi," jelasnya menceritakan kejadian tadi.
Aska, sang Papi mengangguk mengerti. Sikapnya yang selalu manis tidak ingin sang istri kecewa. Segera ia meraih cangkir dari wanita tercintanya itu. Lalu, menyecap sedikit minuman yang menghangatkan tenggorokan tersebut.
"Emm, ini sangat manis dan hangat. Seperti dirimu," ucap Aska disertai senyum manis.
Vani yang sempat terkejut, seketika terkekeh mendengar ucapan suaminya itu. "Cih! Gombal," ledeknya.
"Ya ampun, seriusan Ay! Ini manis sekali. Apalagi kalo ditambah senyum kamu. Aka yakin, madu pun kalah manis," goda pria yang masih tampam diusianya itu.
"Apaan sih, ih!" protes Vani dengan wajah yang sudah memerah. "Udah ah, entar di denger anak-anak malu. Udah tua juga," lanjutnya berlenggang menuju dapur.
"Seriusan, Ay!" Aska masih bersikukuh dan mengekori sang istri ke dapur.
Sementara dari arah tangga, seorang pria muda yang tidak sengaja mendengarkan pembicaraan tersebut, menautkan alisnya bingung. "Zea muntah-muntah? Kenapa?" tanyanya bermonolog sendiri. Segera ia turun untuk menanyakan lebih detail pasal saudaranya itu pada sang Mami.
**
Zea sudah sampai disebuah apotek dengan mengendarai motor matic yang terparkir di depan. Berulang kali gadis itu menarik dan membuang napas untuk melangkahkan kaki menuju bangunan bercat putih itu. Takut? Tentu saja. Namun, hal yang mengganjal dihati membuat ia lebih takut.
Tak membutuhkan waktu lama, ia sudah berhasil mendapatkan apa yang diinginkan. Segera ia kembali kerumah, untuk memastikan sesuatu. Melihat seluruh anggota keluarga yang sepertinya sudah berkumpul di meja makan, ia memilih untuk bergegas ke kamarnya sebelum ada yang mengetahui.
Cetrek!
Zea mengunci pintu kamar rapat-rapat, agar tidak ada yang tau tentang kegiatannya. Gegas gadis itu memasuki kamar mandi, membawa barang yang ia beli dari apotek.
Zea memejamkan mata menghitung hingga lima detik dalam hati. Berharap apa yang ia takutkan tidak akan pernah terjadi. Namun, hal yang ditakutkan itu justru benar-benar terjadi.
Deg!
Seketika tubuh ramping Zea lunglai, dengan kedua bola mata memanas. Tangan dan bibirnya bergetar hebat, saat ia mengangkat benda stik lebih dekat ke hadapannya. Dua garis yang menandakan satu nyawa sudah tumbuh dalam rahim. Dua garis yang akan mengubah dunia gadis itu dalam sekejap mata.
"A-ku, a-ku hamil,"
Tangis Zea pecah, ia membekap mulut untuk meredam suaranya. Takut, sakit, marah, dirasakan gadis cantik itu. Ia hanya mampu memegang dada yang seolah tertimpa ribuan batu yang menghimpit, hingga menyulitkan gadis itu untuk bernafas. Udara serasa sulit untuk di raup, membuat dadanya kian sesak.
"Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?" isaknya.
Ingin sekali ia berteriak, namun itu tidak akan mengubah keadaan. Justru, ia akan membuat keadaan kian rumit. Seketika bayangan satu bulan yang lalu pun, terlintas di kepala. Satu malam yang membuat ia kehilangan hal paling berharga. Malam dimana untuk pertama kali seseorang menjamah tubuhnya. Seorang pria yang sama sekali tidak pernah ia harapkan.
Namun yang terjadi, Zea justru dengan senang hati menerima setiap perlakuan pria itu. Alkohol yang mempengaruhi membuat ia tanpa sadar dan dengan suka rela menyerahkan diri pada sang pria.
Flash back on~
"Aku akan bertanggung jawab," ucap seorang pria yang terduduk ditepi ranjang dengan bertelanjang dada. Hanya boxer yang menutupi area pribadinya.
"Tidak perlu!" balas seorang gadis yang terduduk memeluk lututnya. Penampilan gadis itu sungguh berantakan dengan selimut yang menutupi tubuh polosnya hingga dada.
"Zea ...."
"Lupakan ini Darren. Anggap saja tidak pernah terjadi apapun antara Kita," sela Zea dengan mengalihkan pandangan ke arah lain.
Terdengar helaan napas berat dari bibir pria itu. Sungguh semua diluar kendalinya, namun bukan berarti ia tidak bisa bertanggung jawab atas apa yang sudah ia lakukan. Hingga kalimat Zea berikutnya, membuat pria itu kesal.
"Ini hanya sebuah kecelakaan. Jadi, kamu gak harus terbebani," lanjut Zea.
"Baiklah! Aku akan anggap ini sebuah kecelakaan. Dan setelah hari ini, gak akan ada hari lagi antara aku dan kamu!" final Darren yang terlanjur kesal. Segera pria itu berlalu menuju kamar mandi.
Zea menunduk menyembunyikan bulir air mata yang merembas dari kedua ujung mata. Rasa sesal dan berdosa menyelimuti hatinya.
"Mami, Papi maafin aku!"
Flash back off~
******
Hola-hola, kisah dari keturunan abang duda, launching yaa🤗 kita slow up. Barengan sama Key, oke! Yuk kasih jejak pertama kalian😘 ini karya mak othor ikutin lomba, smoga bisa naik beranda. Mohon dukungannya yaa🙏 buat visual nyusul di bab berikutnya, oke! Happy reading🤗🤗
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pada pintu sukses menghentikan tangis Zea. Ia terdiam sejenak mendengar siapa yang memanggilnya.
"Ze! Kamu lagi ngapain? Udah siap belum?" teriak seseorang dari luar kamar.
Zea yang tidak asing dengan suara tersebut, segera mengahapus air mata. Menarik dan menghembuskan napas untuk menetralkan dirinya. Sekali lagi, suara yang tak lain adalah suara sang Kakak kembali melengking dari luar.
Tidak ingin membuat orang lain panik, ia segera keluar dari kamar mandi dan mendekati pintu. "Kayaknya aku kurang enak badan, Kak. Sebaiknya Kakak berangkat aja duluan!" teriak Zea dengan suara serak.
"Kamu beneran sakit? Suara kamu sampai serak gitu?" tanya Alzein sang Kakak, begitu khawatir.
"Aku gak apa-apa, Kak. Aku cuma butuh istirahat," balas Zea, sekuat mungkin menahan isak tangisnya.
"Kalau gitu, buka dulu pintunya! Kakak mau lihat keadaan kamu," pintanya lagi.
Zea berusaha mengontrol diri untuk tidak terdengar menangis. "Gak usah, Kak. Aku mau tidur. Kakak berangkat aja!" titahnya.
"Baiklah, Kakak berangkat! Kamu minum obat, terus istirahat, ya!" final Alzein yang tidak dapat memaksa.
Namun, pria itu bukan berangkat. Ia justru terdiam dengan pikiran tak menentu, entah kenapa perasaannya tidak seperti yang dikatakan sang adik. Ikatan batin yang terhubung antara saudara kembar, memanglah tidak dapat diragukan. Berulang kali jika ia merasakan sesuatu yang buruk terhadap Zea, maka ia akan merasakannya. Begitupun sebaliknya, jika Alzein dalam bahaya maka Zea juga merasakan. Dan sekarang?
"Kakak harap kamu memang baik-baik aja, Ze!" gumam Alzein berharap dalam hati.
Waktu yang sudah mendekati jam kelasnya, memaksa pria itu untuk segera bergegas pergi ke kampus. Ia akan melihat keadaan sang adik, saat pulang nanti.
Sementara Zea terduduk dibalik pintu menahan isak tangis yang tidak ingin diketahui siapapun. Untuk kedua kali, gadis berusia dua puluh dua tahun itu membohongi saudara kembaranya mengenai masalah yang sama. Selama ini tidak ada satu pun masalah yang ia tutup-tutupi dari sang Kakak. Hingga sampai sekarang, sungguh ia teramat bersalah tidak dapat berbagi cerita akan masalah itu dengannya.
"Maafin aku, Kak. Maafin aku ...." lirihnya.
Lama gadis itu terduduk merenungi takdir yang tiba-tiba menyudutkan dirinya. Entah pada siapa ia harus mengadu dan berbagi kesedihan? Hingga, ia teringat siapa yang harus ia beritahu.
"Darren!"
Segera ia mengambil benda pipih yang tergeletak diatas nakas. Mencari akun media sosial pria itu untuk menghubunginya. Berhubung ia tidak memiliki nomor kontak Darren, alhasil ia hanya bisa chat dari akun media sosial saja.
"Smoga dia mau menemuiku!" ucap Zea berharap dan segera berlalu untuk membersihkan diri.
**
Sementara itu di dalam kelas, seorang pria tidak berkonsen sama sekali. Entah kenapa mimpi ia menimang seorang bayi mungil terus memenuhi otaknya. Hingga ia memutuskan untuk membuka sebuah artikel untuk penjelasan mimpinya tersebut. Namun, tiba-tiba saja sebuah notif chat masuk dari halaman ig nya.
"Zea? Tumben?" tanyanya heran. Terlalu penasaran, segera ia membuka chat tersebut.
[Temui aku di cafe X! Ada yang ingin aku bicarakan.]
Satu chat itu membuat sang pria berpikir keras untuk pertama kalinya setelah kejadian itu, sang gadis menghubunginya. Ada apa? Pikirnya.
[Baiklah! Aku selesai kelas jam 11.]
Tidak ingin banyak tanya dan penasaran, ia lebih baik menemui gadis itu. 'Aku gak bisa menebak apa yang membuatmu ingin menemuiku. Tapi karena satu hal yang gak aku ketahui ini, membuatku ingin menemuimu,' batinnya.
Darren Tristyan. Pria tampan berkharismatik, namun terlihat begitu cuek. Hingga banyak gadis yang enggan mendekat karena sering kali diabaikan. Sikapnya yang tidak peduli akan keadaan sekitar, membuat ia tidak memiliki banyak teman.
**
Waktu yang telah dijanjikan pun tiba. Zea datang terlebih dahulu ke kafe tersebut. Setelah menunggu beberapa menit, Darren juga sampai dikafe itu.
"Sudah lama?" tanya Darren mendudukan diri dihadapan gadis itu.
"Gak juga," balas Zea melirik jam dipergelangan tangan.
"Ada apa?" tanya Darren to the point. Seperti itulah pria itu yang tidak suka berbasa-basi dan banyak bicara.
Zea yang paham dan sama tidak ingin banyak basa-basi, segera mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Lalu, menyodorkan kotak persegi kehadapan pria itu. Darren menautkan alis heran, tatapannya mengandung berbagai pertanyaan pada sang gadis. Zea hanya menggerakan dagu agar pria itu melihatnya.
Darren yang penasaran membuka kotak tersebut. Ia semakin menautkan alis melihat sebuah stik yang tidak ia ketahui itu apa. "Ini?" tanyanya heran.
"Aku hamil!"
Deg!
Darren membolakan mata mendengar pernyataan gadis itu. "A-apa?" tanyanya tak percaya. "K-kau yakin?"
"Apa aku terlihat bercanda?" tanya balik Zea dengan mata berkaca-kaca.
Darren tidak mampu berucap, ia hanya memejamkan mata seraya memijit pelipis yang tiba-tiba terasa berdenyut. Apa itu ada hubungannya dengan mimpi ia semalam?
"Nikahi aku!" celetuk Zea.
Sontak Darren membuka mata dan menatap sang gadis. "Nikah?" tanyanya tak percaya.
Zea mengangguk mantap mengiyakan. Gak ada cara lain, selain meminta pertanggung jawaban pria itu. Darren tersenyum sinis, ia masih ingat betul gadis itu menolak mentah-mentah, ketika ia hendak bertanggung jawab. Namun, sekarang? Tentu hal itu begitu menyinggung perasaannya.
"Bukankah kau sendiri yang memintaku untuk melupakan malam itu?" sindir pria itu.
"Aku memang mengucapkan hal itu. Tapi, kenyataannya benihmu tumbuh dirahimku," balas Zea.
"Dan apa kau yakin itu benihku? Bukan benih pria lain?"
"Darren!" bentak Zea tak terima.
"Sebelum melakukan tes DNA, gak ada kata nikah," final Darren. Pria itu berlenggang hendak pergi, hingga tiba-tiba bogeman mentah mendarat dari seseorang hingga ia tersungkur.
Bugh!
"Brengs*k! Bajingan!" umpat seseorang dengan amarah meluap.
"Kakak!" pekik Zea, menutup mulutnya.
Sontak hal itu membuat mereka menjadi bahan perhatian orang-orang. Alzein menarik kerah baju pria itu hingga ia bangkit.
"Berani sekali, kau menyentuh adikku, hah?" tanyannya penuh penekanan.
"Kepar*t!" umpatnya lagi dengan bertubi-tubi kepalan tangan mendarat di pipi Darren. Pria itu hanya pasrah menerima setiap pukulan dari Alzein.
Zea yang tersadar segera mendekat dan mencoba melerai kedua pria itu. "Udah, Kak. Berhenti!" isaknya, saat sadar sang Kakak yang kalap tentu tau dan mendengar semua yang ia bicarakan dengan Darren.
"Kakak ...." lirihnya mencekal lengan Alzein. Kemudian, Alzein pun melepaskan Darren yang sudah tak berdaya.
"Kenapa Ze, kenapa? Kenapa kamu sembunyiin semua ini?" tanya Alzein dengan bulir air mata yang ikut luruh. Membayangkan sang adik memendam semua itu seorang diri, membuat hati pria itu hancur.
Tanpa menjawab, Zea segera memeluk tubuh kekar sang Kakak. Seketika rasa bersalah kembali menyeruak. "Maaf! Maafin aku ...." lirihnya menyesali.
Alzein mendekap erat tubuh sang adik. Rasa bersalah dirasakan pula pria tampan itu. Merasa sudah gagal melindungi adiknya itu, merasa tidak berguna menjadi seorang Kakak. Keduanya pun menangis menumpahkan rasa sesal dan sakit dalam hati mereka.
Alzein yang sudah sedikit membaik melepaskan dekapannya. Lalu, beralih mendekat pada Darren yang masih duduk meringis diatas lantai. Alzein menekukkan lutut dilantai, dengan tatapan tajam mengarah pada pria itu.
"Segera nikahi Zea! Jika tidak, akan kupastikan. Dalam satu malam, seluruh keluargamu akan hancur, sehancur-hancurnya!"
\*\*\*\*\*\*
Beberapa menit sebelumnya ....
Alzein yang hendak pulang mengambil tugas yang tertinggal di rumah, mendapati Zea yang turun dari taxi online di depan sebuah kafe. Pria itu mengerenyit heran. Merasa penasaran, ia pun menepikan mobilnya.
"Zea ngapain disini? Bukannya dia sakit?" tanyanya bermonolog sendiri.
Alzein terus memperhatikan gerak gerik saudari kembarnya yang memasuki kafe seorang diri. "Apa dia punya janji dengan seseorang, siapa?" pikirnya.
Lama pria itu berpikir, antara mengikuti sang adik atau pulang mengambil apa yang ia butuhkan. Merasa khawatir akan keadaan sang adik, ia pun memutuskan untuk melihat apa yang gadis itu lakukan terlebih dahulu.
Namun pria itu menghentikan langkah, saat mendengar obrolan sang adik dengan pria yang ia kenal sesaat memasuki ruangan luas itu. Rahang Alzein mengeras dengan bola mata menyala, saat pria yang bersama sang adik seolah merendahkan harga diri adiknya. Hingga terjadilah adu tonjok antara dua pria tersebut.
**
Sontak pernyataan Alzein yang terdengar tidak main-main membuat Darren mematung. Siapa yang tidak kenal siapa Alzein? Ahli IT yang begitu dicari. Hanya dengan sekejap saja, ia dapat meretas sistem sebuah perusahaan. Hal itu tentu mampu menakuti seorang Darren. Meski Alzein terkenal baik, namun tidak menutup kemungkinan ia akan berbuat keji saat merasa tersakiti.
"Pikirkan baik-baik! Aku menunggu kedatangan keluragamu, malam ini juga!" peringat Alzein menunjuk bahu Darren.
Kemudian, pria itu kembali berdiri. Ia merangkul bahu sang adik dan berlenggeng membawanya pergi dari tempat itu.
Darren mendesah pelan, ia berdiri dibantu salah satu pelayan disana. 'Apa benar itu benihku? Calon anakku?' batinnya bertanya.
Pria itu segera keluar dari kafe tersebut dengan pikiran kacau. Sungguh mengesalkan, jika ia harus berurusan dengan gadis yang menurutnya sombong itu. Menikah? Memegang sebuah komitmen? Apa ia siap?
**
Sementara itu didalam mobil, tidak ada pembiacaraan sama sekali diantara dua bersaudara itu. Keduanya masih sibuk dengan pemikiran mereka sendiri. Hingga suara Alzein memecah keheningan.
"Kapan?" tanyanya singkat, namun tentu dimengerti oleh Zea.
"Malam reuni," cicit Zea menunduk.
Alzein menepikan mobil mereka terlebih dahulu ditepi jalan. Lalu, melihat sang adik untuk mendengar cerita detailnya. Ia meraih kedua pundak Zea untuk bersitatap dengannya.
"Katakan! Apa kamu dipaksa?" tanya Alzein serius. Tentu ia akan mengambil tindakan lain jika itu sebuah pemerk*saan.
Zea menggelengkan kepala dengan mata yang masih menunduk. Alzein menghela napas dalam. "Apa kalian pacaran?" tanyanya lagi.
Kembali Zea menggelengkan kepala. Hal yang membuat Alzein mengerutkan dahinya heran. "Lalu?"
"Itu ... Ketidaksengajaan. Malam itu, kami sama-sama terpengaruhi alkohol dan terjebak dalam satu kamar," balas Zea. Walau ragu, ia mencoba untuk menjelaskan.
Alzein kembali meraup napas dalam-dalam. Ingin sekali ia marah, namun rasanya percuma. "Dan dia gak mau tanggung jawab?" tanyanya memastikan apa yang ia dengar tadi.
Zea menggelengkan kepala. "Aku yang meminta dia untuk melupakan kejadian itu. Tapi, hari ini aku memintanya," jelasnya.
"Maafin aku, Kak. Seharusnya dari awal aku jujur sama Kakak. Aku gak mengira semua akan menjadi seperti ini," lanjutnya.
Alzein meraih pipi sang adik, hingga gadis itu mengangkat wajah dan menatapnya. "Gak ada yang perlu disesali semua sudah terjadi. Yang kalian lakukan memang salah, tapi ingatlah nyawa yang kini tumbuh dirahimmu adalah anugerah yang Tuhan beri. Jaga dia, cintai dan sayangi ponakan Kakak ini!" nasehat Alzein yang diakhiri kekehan. Tangannya bergerak meraba perut rata sang adik.
Zea tersenyum haru, menganggukan kepala sebagai jawaban. Kemudian, Zea kembali memeluk tubuh pria itu dengan tak henti mengucapkan terima kasih. Alzein sendiri berjanji dan akan memastikan Darren bertanggung jawab akan janin yang dikandung Zea kini.
**
Darren berjalan melewati seorang wanita, yang tengah membaca majalah diruang tamu begitu saja. Tidak ada salam, tidak ada sapaan, membuat wanita cantik tersebut keheranan.
"Der, kamu udah pulang? Tumben?" tanya Riska, Mama Darren.
Sontak saja Darren menghentikan langkahnya. Ia berpikir sejenak, apakah ini waktu yang tepat untuk bicara pada sang Mama? Sementara ia teringat kembali akan ucapan Alzein untuk meminta keluarganya berkunjung malam ini.
Ia hendak melupakan kejadian tersebut, memilih cuek dengan peringatan Alzein padanya, dan hendak berlalu ke kamar. Namun, kalimat Zea yang menyatakan itu adalah benihnya, membuat ia mengurungkan niat. Ia berbalik, menghampiri sang mama dan mendudukan diri di sofa di samping wanita itu.
Tentu hal itu membuat Riska semakin keheranan. Melihat gelagat Darren yang terlihat serius membuat ibu dua anak itu bingung.
"Ma ...." Darren menghentikan sejenak ucapannya, terlihat ragu untuk melanjutkan.
Riska yang semula sibuk dengan majalah, segera menyimpan benda tersebut. Ia menegakkan diri dan mulai berfokus akan apa yang hendak dikatakan putra pertamanya.
"Ada apa?" tanyanya. Kemudian atensinya tertuju pada sudut bibir Darren yang membiru. "Ya ampun, bibir kamu kenapa? Kamu berantem?" cecarnya mencoba meraba kulit lebam itu, namun ditepis oleh Darren.
Pria itu menggelengkan kepala sebagai jawaban. Nasihat pun terus dilontarkan wanita cantik itu pada putra kesayangannya. Sementara Darren tidak mengiraukan ucapan sang Mama dan justru melamun pada apa yang hendak ia ucapkan. Hingga tangan sang mama yang menyentuh punggung tangannya membuat ia tersadar.
"Ada apa, Darren? Apa ada masalah? Coba kamu ceritakan sama, Mama!" desak Riska.
"Sepertinya aku akan bicara, setelah Papa pulang. Karena ini hal penting," jelas Darren.
"Penting?" tanya Riska yang tiba-tiba merasa berdebar. "Emang a-" Belum sempat wanita cantik itu bertanya, Darren sudah berlenggang pergi meninggalkan posisi.
"Der! Darren!" panggilnya. Namun tidak dihiraukan putranya itu.
"Kenapa sih tuh anak? Sebenarnya ada apa?" gumam Riska penasaran. Ia pun mengirim chat pada suaminya agar bisa segera pulang.
Sementara Darren berlalu menuju kamar. Ia membantingkan tubuh ke atas ranjang, dengan posisi telentang menatap langit-langit. Bayangan pria itu kembali pada tragedi malam panasnya bersama Zea. Tak dipungkiri Darren mamang menikmati permainannya bersama sang gaadis. Namun, untuk menikahinya? Apa itu mungkin? Sementara ia tidak memiliki perasaan apapun terhadap gadis itu.
"Tapi ... Aku yakin ucapan Al, tidaklah main-main. Jika sesuatu terjadi pada keluargaku, semua akan menjadi salahku," gumamnya. Pria itu masih membolak balikkan pikiran akan apa keputusan yang akan ia ambil.
Hingga ia pun meraih ponsel dari saku celana untuk menghubungi Zea. Pria itu melihat media sosial sang gadis yang ternyata sedang aktif. Lalu, segera meminta nomor gadis itu untuk dapat menghubunginya.
Tidak membutuhkan waktu lama, Zea mengirim nomornya. Darren pun segera menghubungi nomor tersebut.
"Hem, iya?" sapa Zea dari sebrang telepon.
Sejenak Darren mengatur napasnya terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan.
"Aku akan menikahimu. Ayo kita buat kesepakatan!"
\*\*\*\*\*\*
Nih mak othor bawa visual pasangan cuek buat kalian😁
Darren -Zea❤
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!