NovelToon NovelToon

Sistem Kekayaan Dunia

Bab 01. Hari yang Sial

Pagi yang cerah dengan awan bergelombang begitu tebal bagai kapas.

Pagi ini, orang-orang pergi bekerja, beraktivitas sesuai apa yang mereka tuju nantinya. Ada yang kesal, ada yang senang, berbagai macam sikap ditunjukkan oleh mereka.

Pagi ini juga, seorang pemuda yang memakai seragam sekolah hendak berjalan keluar rumah demi mengendarai motor.

“Bu! Rio pergi dulu, mau terlambat nih!” seru pemuda itu yang bernama Rio Dewantara.

Rio, pemuda tinggi tegap dengan rambut hitam acak-acakan, mata yang segelap malam, wajah tampan dengan alis tipis, mata yang tak begitu besar, mulut yang tipis menyulam senyum pesona.

Seragamnya yang berwarna putih dengan blazer hitam, celana hitam, memakai dasi panjang. Begitu rapi, sikap dari anak teladan yang memang harus dicontoh oleh banyak pemuda di luar sana.

Dari dalam rumah, sepasang suami istri yang tampak serasi memakai seragam laboratorium mengiringi keberangkatan Rio menuju sekolah.

“Hati-hati bawa motornya, batas kecepatan 50 Km/h!” seru pria yang bernama Deny Dewantara.

“Iya, Ayah!” jawab Rio kemudian menaiki motornya.

Motor matic keluaran beberapa tahun lama digebernya dengan kencang demi memanasi mesin agar bisa lebih baik performanya nanti.

Memundurkan motor, Rio berputar dan segera menekan klakson, setelahnya melajukan motor di tengah jalanan kompleks yang mulai ramai dengan kegiatan masyarakat.

Rio melaju hingga tembus ke jalan raya, meninggalkan kompleks perumahannya. Angin sepoi-sepoi menghantam wajahnya, karena helm miliknya tak memiliki kaca pelindung.

“Waah … Sudah jam 06.50, bentar lagi ditutup gerbang!” gumam Rio sembari melihat jam tangannya.

Rio menambah kecepatan hingga menyentuh angka 50 Km/h, bahkan melewatinya dengan cepat. Membuat Rio meliuk-liuk di antara kendaraan bermesin lainnya yang mulai memadati jalanan.

Sementara itu, di rumah keluarga Rio, kedua orangtuanya sedang bersiap menuju laboratorium swasta demi melanjutkan eksperimen yang mereka ciptakan.

“Bunda, Ayah kamar kecil sebentar!”

“Aiish! Kebiasaan deh! Buang air besar mulu!”

Meninggalkan sepasang suami yang berdebat tak henti-hentinya, Rio yang saat ini tak lama lagi sampai di sekolahnya harus merasa aneh dengan jalanan yang semakin lengang.

“Hari Senin, masa’ sepi gini?” Rio bermonolog.

Memiliki pikiran yang seharusnya mengganggu, Rio memilih untuk semakin melajukan motornya demi memperkecil jarak dengan sekolahnya juga semakin cepat.

Hingga sekitar 3 menit dari melajukan motornya yang menyentuh angka 70 Km/h, akhirnya Rio sampai tepat pukul 06.59.

Pintu pagar yang siap-siap ditutup langsung diterobos oleh Rio, sang satpam hanya menggelengkan kepalanya dengan kecewa.

“Ayolah, Rio! Kau selalu saja mepet sekali waktunya!” pekik si satpam bernama Udin, sembari bertolak pinggang.

Sementara itu, Rio yang ditegur hanya bisa menghentikan motornya dan mengangguk paham akan tegurannya tersebut.

“Maaf, Pak Udin!”

Rio pun melajukan motornya dengan pelan menuju parkiran yang sudah padat dengan kendaraan roda dua atau bahkan roda empat.

Memarkirkannya dengan aman, Rio segera berlari menuju kelasnya yang berada di gedung kedua dari kiri parkiran, tepat di lantai dua kelas XII-A.

Sampai di kelas, Rio menghantam daun pintu hingga terjatuh.

“Argh!”

Seisi kelas hanya bisa diam sembari menahan tawa, itu karena guru killer sedang duduk di kursinya, Pak Guru Doni.

“Ma–Maaf, Pak!” ucap Rio yang setelah berdiri, kemudian menunduk sejenak.

“Alah! Kebiasaan! Hampir saja namamu terlewat! Baru sampai Putra, bentar lagi Rio, kalau tidak alpa kamu!” seru Pak Doni.

Rio dengan tulus meminta maaf, sungguh sial hari ini. Meski biasa agak terlambat, tetapi tak terlambat hingga seperti ini.

Duduk di kursinya yang paling belakang di dekat jendela, teman atau bahkan sahabatnya, Rian, menarik seragam Rio untuk berbisik.

“Katanya janji udah nggak mau terlambat,” celetuk Rian, tubuhnya tinggi tegap, seperti Rio, hanya saja sedikit lebih berisi.

“Hehe~” Rio menggaruk kepalanya dengan canggung, tersenyum kikuk.

Sementara itu, Rio melirik ke kanan yang mana, pacarnya, atau bahkan sudah masuk kata kekasihnya hanya terkekeh geli melihat Rio.

“Ugh … Bahkan Liora saja gitu,” gumam Rio.

Meninggalkan kejadian yang baru saja terjadi, pelajaran dari Pak Doni dimulai, seisi kelas dengan cermat mengamati apa yang dijelaskan oleh Pak Doni tanpa satu pun yang tertinggal.

Pelajaran dari Pak Doni telah usai setelah dua jam tanpa henti, benar-benar melelahkan, tetapi di satu sisi menambah ilmu yang semakin banyak dan menguntungkan mereka.

“Rian! Ada rencana kagak?” tanya Rio ketika Pak Doni keluar.

Rian yang ditanyai hanya menengok sejenak, memberi tanggapan menjulurkan lidah yang membuat Rio terpancing emosi.

“Aiish! Ditanya malah melet!” celetuk Rio kemudian melempar gulungan kertas ke kepala Rian. “Headshot!”

“Woy! aku masih kerjain tugas dari Pak Doni!”

“Nih, lihat aku punya, salin aja!” balas Rio sembari menyodorkan bukunya.

Akhirnya, Rian menerimanya dan keduanya langsung pergi menuju atap gedung yang mana di sana adalah tempat paling nyaman untuk mencari angin ataupun ketenangan.

“Ey, yo! Rendy!” sapa Rio sembari merangkul sahabatnya yang satunya lagi, Rendy saat ini menyandarkan tubuhnya pada pembatas pagar.

“Hm ….” Rendy hanya berdehem, seperti ada yang dipikirkan.

Tiga Serangkai, atau Triple-R, tiga sahabat yang selalu bersama dari TK hingga SMA, bersama dan menerima segala macam tantangan serta ujian, menyelesaikannya dengan bergotong royong.

Sahabat yang sudah tak dapat dipisahkan, adalah istilah yang tepat kepada Tiga Serangkai Gen-Z, atau generasi milenium.

Hari sekolah berakhir, Rio yang mengendarai motor dengan santai pun sampai di rumahnya. Sesaat memasuki rumah, pintunya tak terkunci bahkan lampu yang dari pagi hari tak dinyalakan.

Rio berteriak, “Halo? Ayah, Ibu?”

Tak ada jawaban, hal ini menambah kecurigaannya. Apalagi dengan mobil orangtuanya yang masih berada di halaman.

Rio pun langsung menaiki tangga menuju lantai dua yang mana kamar orangtuanya ada di sana, demi mengecek apakah ada keberadaannya.

Ketika Rio membuka pintu kamar, dia terbelalak tak percaya, orangtuanya sedang tergantung dengan tali yang melilit kencang leher.

“I–Ibu? A–Ayah …?”

Rio langsung datang menyergah dan segera mengangkat kedua orangtuanya satu persatu.

Melepas ikatan di lehernya dengan mengguntingnya yang diambilnya dengan tergesa-gesa, napasnya yang memburu menjadikan keadaan semakin panik.

Membaringkan orangtuanya di lantai, Rio menggoyangkan tubuh keduanya yang sudah kaku dan menandakan pucat seperti sudah tak bernyawa.

“ARRRGHH!!”

Teriakannya menggelegar, air mata tanpa henti terus mengalir deras yang membuat suasana semakin kelam.

“Sial, sial, sial! Kenapa?!! Hah?! Kenapa kalian berdua bunuh diri?!” teriaknya dengan cepat.

“Ah! Bukan! Tak mungkin kalian semudah itu bunuh diri!!!”

Rio pingsan karena tak tahan dengan keadaan. Dirinya benar-benar tersungkur tak berdaya di samping mayat kedua orangtuanya.

***

Dua hari kemudian, sejak Rio terbangun dan segera melakukan semua hal yang dia bisa, kedua orangtuanya telah disemayamkan secara damai.

Rio menjadi teringat, matanya menatap kosong ke depan, sudah tiga hari ini juga dirinya tak sekolah.

“Apakah aku mengikuti mereka saja?” ucap Rio dengan datar. “Aku sudah tak tahu harus berbuat apa!” teriaknya lanjut.

Napasnya memburu, perasaannya pun digelapkan sebuah kabut hingga dia benar-benar ingin segera mengakhiri hidupnya.

‘Mati jatuh dari ketinggian adalah yang pas, tak merasakan sakit dan langsung tewas begitu saja’ pikir Rio.

Berjalan mengambil kunci motor, Rio berniat pergi menuju gedung pencakar langit yang berada di wilayah kompleks miliknya.

Setelah melajukan motor, Rio sampai dan langsung segera memasuki gedung dan menuju tangganya.

Sesampainya Rio di atas, dia mengedarkan sejauh mata memandang, hamparan perumahan yang padat akan penduduk.

“Ayah, ibu … Rio datang!”

[Sistem Kekayaan Dunia menemukan pemuda malang nasibnya.]

[Hari Yang Sial bagi pemuda ini akan menjadi titik balik sang pemuda.]

Hendak melompat, Rio mendengar suara yang aneh, monoton, terlalu datar. Dia mengurungkan niatnya dan mencoba mencari asal suara.

Bab 02. Sistem Kekayaan Dunia

Matahari yang semakin tenggelam di balik gedung, sementara itu, di sebuah gedung pencakar langit 30 lantai, seorang pemuda jatuh terlentang dengan napas memburu.

Pikirannya berantakan, tetapi satu hal yang bisa dipahaminya adalah suara wanita yang monoton pada benaknya.

Mengedarkan pandangannya sembari mengatur napasnya, tak ditemukan satu pun sosok yang berbicara padanya menurutnya ini adalah halusinasi berlebihan.

Lagi pula dia telah mengalami pengalaman paling sial dan menyedihkan dalam hidupnya. Kedua orangtuanya tak bernyawa di hadapannya.

“Haaa … Kenapa aku begitu sial?” Rio bermonolog. “Apakah aku memilih mati itu keputusan yang tepat?”

Tak ada yang tahu, pikiran macam apa lagi yang dia akan lakukan. Semua ilusinya berfantasi, mencoba mencari bagaimana mati dengan cepat.

[Menurut sistem #0512, Tuan Rumah harus segera bangkit dan jangan jatuh lagi!]

Rio kembali terkejut, tetapi hal yang paling membuatnya mengerjap beberapa kali dan mengusap matanya adalah sebuah layar hologram berwarna biru transparan yang terpampang di depannya.

Layar hologram yang terkesan futuristik dengan beberapa fitur yang terlihat nyaman dipandang. Sementara itu, layar ini berisi sebuah lingkaran yang terus berputar.

Di tengah lingkaran itu ada persentase yang menunjukkan 78% dan terus naik seiring waktu.

“Apa ini?” tanya Rio pada dirinya sendiri.

Rio mencoba menyentuhnya, tetapi tembus dan ada kesan seperti menyentuh air yang begitu tenang.

“Umm … Sudah seratus, terus apa?”

Lingkaran yang berputar berhenti, angka persentase juga hilang dengan sendirinya, menyisakan latar biru yang kosong.

Sekitar beberapa detik kemudian, latar biru itu mulai bermunculan satu persatu tulisan.

[Selamat, Tuan Rumah telah terhubung oleh sistem #0512!]

[Hadiah log in! Mendapatkan pengetahuan tentang sistem!]

Rio tiba-tiba saja merasakan sebuah visual yang tiba-tiba masuk ke otaknya dan membuatnya merasakan sakit kepala yang sangat menyakitkan.

“ARRGRHHH!”

Rio menggeliat, tetapi tak lama kemudian terdiam sembari mata yang menatap bingung. Itu karena puluhan ingatan tentang sistem masuk hingga merusak beberapa ingatan kecilnya.

“Sistem? Sejenis perangkat atau eksistensi yang mampu memberi apa pun setelah menyelesaikan misi?”

Rio terus mengembara di seluruh ingatannya. Begitu pula tubuhnya yang perlahan berdiri sembari menuju anak tangga untuk turun ke bawah.

Sambil menuruni tangga, Rio tetap berkutat dengan apa yang ada di hadapannya, hingga sesekali dia nyaris terjatuh.

“Sistem? Hmm … Figur antarmuka pengguna?”

[Antarmuka Pengguna]

[Nama : Rio Dewantara (18)]

[Kekuatan : 18 (Lemah)]

[Kelincahan : 21 (Normal)]

[Kecepatan : 21 (Normal)]

[Kecerdasan : 41 (Di atas rata-rata manusia normal)]

[Keberuntungan : 4 (Sangat Rendah)]

[Uang : Rp 10.000,00 (Saku) – Rp 562.000,00 (Bank)]

[Aset : Motor Matic Hondo A01]

[Fitur : {Shop}, {Inventaris}, {Skill}]

Fitur antarmuka yang mengejutkan Rio, mencoba mengamati semuanya yang telah tersedia. Ikon dari antarmuka pengguna ini banyak kesan futuristik nan modern.

Terasa aneh, tetapi Rio mencoba memahaminya dengan lebih dalam hingga tak terasa dia sudah sampai di lobi gedung.

Rio pun langsung menuju ke parkiran tempat dia memarkirkan motor tadinya.

Menaiki motor, Rio menyalakan motor dan menarik gas langsung menuju rumahnya tanpa berpikir lagi untuk mengakhiri hidupnya.

Dirinya mencoba menenangkan diri selagi mengendarai motor, itu agar dirinya bisa fokus ke depan dan tak menabrak apa yang ada di depannya. Meliukkan motor di antara lorong kompleks, Rio yang mulai tenang bisa fokus mengendarai motor.

Di depan rumahnya, ada seorang polisi yang mengurus pemakaman kedua orangtuanya dua hari lalu. Rio menghampirinya dan menanyai apa maksud sang polisi menghampirinya.

“Maaf, ini dengan Rio Dewantara?”

“Iya, saya sendiri, ada apa, ya?”

“Kami sudah menutup kasus kedua orangtua anda, kami menyimpulkan bahwa mereka hanya melakukan percobaan bunuh diri.”

“Apa? Hanya percobaan bunuh diri? Hanya?!” pekik Rio sambil menyergah polisi tersebut. “Ah! Sial! Pergi Bapak dari rumah saya!” seru Rio langsung memerintah polisi tersebut.

Polisi itu memaklumi dan pergi tanpa memasukkan perkataan kasar itu ke hatinya.

Rio tak akan percaya, sesuatu yang janggal benar-benar membuat dirinya penasaran, bisa-bisanya kedua orangtuanya disebut hanya melakukan percobaan bunuh diri.

Di dalam kamar, dua hari setelah pengurusan kedua orangtuanya dan telah dikuburkan, Rio mencoba menganalisis apa semua yang telah berubah pada dirinya sejauh ini.

Sebuah eksistensi mengatakan dirinya sebuah sistem canggih yang dapat memberikan misi berhadiah jutaan hingga miliaran dolar dalam sekali misi.

Terkadang hadiahnya kurs rupiah, tetapi akan lebih sering kurs dolar yang memang benar-benar banyak jika dikonversi ke rupiah.

“Hmm … Fitur skill itu apa?”

Rio yang penasaran meng-klik sebuah tombol {Skill} pada sisi kanan layar hologram.

Layar hologram itu pecah dan seketika membentuk dua layar di sisi kiri dan kanan. Fitur {Skill} terpecah menjadi dua, yaitu skill aktif dan juga skill pasif.

Skill pasif Rio ada satu, yaitu kecerdasan di atas rata-ratanya, benar-benar skill yang hanya satu dimiliki olehnya.

Skill aktif tak ada, kemungkinan isi skill aktif ini menurut Rio adalah skill yang akan didapatkannya dari sistem.

“Ai, apa kau itu makhluk hidup?”

Sistem yang diberi nama Ai oleh Rio, langsung merespons dengan menghilangkan layar hologramnya, sempat terdiam sejenak yang membuat Rio bingung.

“Apa bisa aku jelaskan ke teman-temanku?”

[Hanya bisa tiga orang. Jika Tuan memberitahu secara sengaja kepada lebih dari tiga, maka sistem akan menghilang dan Tuan tewas!]

“Uhh … Berarti hanya bisa sama Rian dan Rendy, terus sama Liora kayaknya. Hmm … Mereka harus tahu sih,” gumam Rio.

Dengan perubahannya yang mulai beradaptasi akan keberadaan sistem yang katanya bernama Sistem Kekayaan Dunia, Rio mencoba pasrah akan keadaannya.

“Haaa … Rasanya aneh tidak bersama mereka,” gumam Rio.

Dia berdiri, menuju dapur, dirinya mengenang ketika ibunya memasakkan makanan yang lezat untuk dirinya dan ayahnya. Canda tawa di dapur benar-benar hangat.

“Ibu … Rasanya dapur ini tidak akan sehangat itu lagi, ya?” ucap Rio sembari mengambil segelas air hangat.

Rio juga menatap ruang keluarga yang tersambung dengan dapur ini, di sana bayangan kenangannya perlahan muncul, ayahnya yang duduk nonton televisi dengan siaran tinju.

Sedangkan Rio yang merebut remot televisi demi mencari siaran lain, aktivitas itu sering dilakukan, meski begitu canda tawa juga terpatri dari wajah mereka.

“Haaa … Siaran tinju, ya? Rasanya aku tidak akan pernah lagi saling merebut remot televisi itu.”

Rio menjadi mengenang masa-masa itu, bulir air mata mulai berjatuhan melewati pipinya.

“Haaa … Sepertinya hidupku akan benar-benar berubah mulai sekarang,” gumam Rio.

Meletakkan gelasnya, dia yang memakai celana panjang dan hoodie bertudung segera keluar rumah. Mencoba mencari udara segar.

Menatap mobil di halaman, Rio melangkahkan kakinya ke arah mobil. Mengelus mobil itu dengan lembut sembari mengingat pagi itu.

“Sistem Kekayaan Dunia, bantu aku untuk berubah di dunia ini!”

[Sistem Kekayaan Dunia yang bernama Ai akan tetap setia kepada Tuan. Memberikan Kekayaan secara instan setelah menyelesaikan misi adalah prinsip Ai, Tuan!]

Rio keluar rumah menggunakan motor maticnya, melajukannya di kompleks demi menghirup udara segar yang menenangkan dari segala beban beratnya.

Bab 03. Misi Pertama

Suatu pagi yang kelabu, bagai hati seorang pemuda yang terus mengitari jalanan kompleks demi menenangkan diri dari pikiran yang memberatkan tubuhnya.

Sekitar tiga puluh menit tanpa henti, Rio menghentikan motornya di taman kompleks, memilih menenangkan diri sembari melihat pepohonan yang bergoyang tertiup angin.

Duduk di bangku taman, Rio merentangkan kedua tangannya sembari bersandar ke sandaran bangku, kepalanya mendongak ke atas, melihat burung yang sedang membuat sarangnya di dahan pohon.

“Moga kalian aman, ya, burung-burung kecil!”

Menghembuskan napas yang panjang, Rio hanya bisa berperilaku seakan memiliki banyaknya beban di pundak. Perubahan itu sulit diterima olehnya.

“Rio! Ternyata kau di sini!” Sebuah suara keras membuat Rio merespons.

Rio menengok ke kanan, dari sana Rian dan Rendy sedang berjalan memakai pakaian olahraga, keduanya kemungkinan akan berolahraga di taman.

“Kau belum masuk sekolah hari ini?” tanya Rian.

“Begitulah, aku masih malas, terlalu berat menerimanya,” jelas Rio.

Rian pun langsung memasang tempat duduk di samping Rio, sementara itu Rendy tetap berdiri di depan keduanya.

“Gini, Rio! Aku punya saran, coba tenang dan lupakan sejenak agar bebannya bisa perlahan hilang!” ungkap Rian.

“Nggak bisa, Rian! Nggak bisa, aku benar-benar berat! Lagi pula anak mana yang tak sedih orangtuanya tewas gantung diri gitu!” pekik Rio.

“Kau tahu! Aku rasa ada yang janggal! Orangtuaku itu peneliti di laboratorium, mungkin saja karena penelitiannya yang berbahaya, mereka diperintahkan bunuh diri!” lanjut Rio sambil berdiri.

Posisinya tampak frustrasi, mengacak-acak rambutnya. Kondisi ini membuat Rian dan Rendy hanya bisa terdiam sembari menunduk lesu. Sahabat keduanya telah benar-benar sulit untuk menerima kondisi ini.

“Anu … Tapi aku ada sesuatu yang harus dikatakan! Panggil Liora, ke rumahku kita!”

Rio dengan cepat mengambil smartphone nya dari sakunya, menelepon Liora dan segera memerintahkannya untuk ke rumah.

“Bagus! Ayo cepat!” Rio menjadi tergesa-gesa.

Dalam perjalanan menggunakan motornya diikuti Rian dan Rendy yang berboncengan, Rio tiba-tiba di hadapannya muncul layar hologram yang mengejutkan dirinya hingga mengerem mendadak.

“Woy, Rio! Hati-hati, jangan mengerem mendadak!” pekik Rian.

“Alah! Diam saja kau! Akan aku jelaskan kejadian rem mendadak ini ke rumah!”

Sekitar lima menit kemudian, Rio dan dua sahabatnya ini telah sampai. Rumah yang baru ditinggal sehari seperti berubah untuk auranya, terasa berat.

“Masuk! Ke kamarku langsung!” titah Rio, sembari memarkirkan motornya.

Rian dan Rendy masuk, mereka secara refleks mengusap tengkuk.

“Apa? Merinding? Sudah, biarkan saja, mereka jagain itu!” ucap Rio mencoba untuk tak peduli dengan perasaan tersebut.

Ketiganya masuk ke kamar Rio yang berada di bawah tangga menuju lantai dua. Rio mengambil kursi dan menyuruh sahabatnya duduk.

“Tungguin Liora, capek jelasin lagi ke dia,” jelas Rio.

Menunggu sekitar tiga puluh menit, Liora yang ditunggu-tunggu akhirnya datang.

“Masuk, Ra! Langsung ke kamar, ada Rian sama Rendy ini!”

Berkumpul di kamar Rio, semuanya menatap tegang ke arah Rio yang duduk di pinggiran kasur.

“Jelasin maksudmu, Rio!” seru Rian tak sabar.

“Gini, kalian percaya hal yang terasa mustahil?”

“Mustahil? Maksudmu gimana?” tanya Rendy, dan langsung berdiri.

“Yaaa … Semacam kekuatan gitu?” ucap Rio dengan memalingkan wajahnya. “Kalian pernah baca novel di platform biru itu? Ada judul novel tentang sistem-sistem gitu!”

Rian dan Rendy langsung berpandangan. Raut wajah mereka ada kesan aneh, antara terkejut atau bahkan canggung dengan keadaan ini.

Sementara itu, Liora hanya memiringkan kepalanya, tentu bingung apa maksud tiga bersahabat ini. Liora adalah gadis yang tidak terlalu suka membaca novel aneh, begitulah dia.

“Jangan-jangan …” ucap Rian.

“Benar, sistem yang bernama Sistem Kekayaan Dunia tiba-tiba muncul saat aku mau bunuh diri karena begitu depresi saat melihat orangtuaku tewas tergantung!”

Rio menjelaskan semuanya, sistem ini juga secara jelas menunjukkan wujudnya kepada ketiganya.

Sementara itu, misi pertama telah diluncurkan. Hal ini yang membuat Rio terkejut saat perjalanan menuju ke rumah.

[Misi Perdana diluncurkan!]

[Tuan diminta membuat suatu produk demi menunjang bagaimana performa Tuan, dan menjadi tolak ukur dalam sistem memberikan misi ke depannya!]

[Semakin berambisi, semakin banyak berubah misinya nanti!]

[Hadiah akan diungkap jika Tuan telah menyelesaikan pembuatan produk yang dapat diterima oleh masyarakat khususnya teman sekolah Tuan!]

“Wah! Itu, ya! Yang buat kau mengerem mendadak tadi!” seru Rian.

Mereka berempat berpikir cara penyelesaian misi ini, lagi pula keempatnya masih awam tentang sistem, jadi setidaknya bekerja sama demi mencapai kesuksesan besar.

“Keripik,” celetuk Rendy. “Ah! Iya, gimana kalau keripik pisang! Itu ‘kan lagi hangat-hangatnya di teman sekolah! Kantin saja kehabisan stok keripik pisang!” lanjut Rendy sambil duduk secara cepat.

Pikiran tiga orang lainnya pun terbuka, lantas ide yang dicetuskan oleh Rendy langsung segera dibuat dan dirangkai.

Pertama, dari jenis keripik pisang yang bagaimana diproduksi, kemudian yang paling utama adalah rasa yang disuguhkan.

Setelahnya, desain bentuk keripik pisang, entah itu bulat atau segitiga atau bahkan persegi. Semuanya diperhitungkan agar menarik minat pembeli.

Selesai berbicara tentang makanannya, keempatnya berbicara tentang kemasan yang akan dibentuk bagaimana.

Untuk sementara membeli dari toko, kemudian diberikan logo yang Rio buat segera menggunakan laptop miliknya.

Desain logo, karena akan memperbesar tiga serangkai, maka Triple-R dengan beberapa produk makanan hingga barang melayang di sekitar logo futuristik disematkan.

“Liora, ini nggak ada tentang kau, nggak apa?” tanya Rio.

“Hm … Tak apa,” jawab Liora sembari memalingkan wajah.

“Bahaya! Kode merah! Wanita yang badmood!” seru Rian.

Lantas Rio langsung mengedit logonya dengan gambar dua dimensi dari Liora, dibuat kesan seperti animasi kartun yang memegang tulisan Triple-R.

Setelah masalah logo selesai, sekarang ada pencarian bahan.

Dua hari penuh keempatnya bekerja sama dalam mencari bahan yang akan digunakan dalam produksi keripik pisang rumahan mereka.

Dalam dua hari penuh itu, koordinasi dari mereka perlu dipikirkan, jangan sampai ada yang terlewat atau bahkan kelebihan karena akan rugi.

Uang sebesar Rp 200.000,00 ludes demi mencari segala bahan untuk kepentingan produk.

Hari ketiga, keempatnya langsung segera memproduksi keripik pisang dengan memotong tipis-tipis pisang dan dibentuk segitiga, persegi dan juga bentuk hati demi menarik minat pembeli.

Dilumuri dengan sedikit gula dan garam, dimarinasi beberapa menit, keripik itu digoreng hingga kecokelatan.

Dalam jumlah besar, cairan karamel yang telah disediakan segera dilumurkan kepada keripik pisang tersebut.

Tunggu dingin, proses pengemasan dilakukan, setiap bungkus seberat 150 gram, hingga terkumpul sebanyak 20 bungkus yang akan dihargai Rp 10.000,00.

“Wah sebanyak ini, ya! Yok! Ke sekolah, dah jam 06.29!” seru Rendy.

Proses itu dari pukul 04.00, benar-benar sulit keempatnya demi mengumpulkan kesuksesan tersebut.

“Gas! Sekolah!” pekik Rian sambil membawa bungkusan plastik yang berisi lima kemasan keripik pisang.

“Masing-masing megang lima, tawarkan ke siapa pun!” jelas Rio.

“Aku tawarin ke geng para wanita, hehe~ siapa tahu suka!” ungkap Liora.

[Misi 80% selesai. Tersisa persentase untuk penjualan!]

“Ayah, ibu, Rio akan mencoba menyisihkan kesedihan tentang kalian, ini lebih penting untuk menunjang kehidupanku selanjutnya!” gumam Rio dengan tekad yang perlahan terbentuk untuk menyisihkan masalah kesedihan tentang kedua orangtuanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!