Kota J, Garena Bar
Dumm dumm dumm ... dumm dumm dumm ...
Hentakkan musik yang menggema dengan begitu kerasnya di club malam itu, semakin menciptakan keriuhan suasana club.
Pengunjungnya pun tak hentinya bergoyang, meliukkan tubuh mengikuti alunan musik hip hop mix yang di mainkan dari tangan dingin seorang DJ cantik nan seksi dari atas panggung.
Sesekali ia mengangkat tangannya, bergoyang dan menebar senyum manisnya.
Dengan lincahnya jari jemarinya terus berpindah memainkan tombol turntablenya dari satu tombol ke tombol yang lain demi menciptakan irama musik yang lebih menarik.
Qirani Swastika, itulah nama gadis berparas cantik, seksi dengan tubuh tinggi semampai bak seorang model.
Qiran, DJ sekaligus primadona Garena Bar yang selalu membuat para lelaki tersihir dengan sejuta pesona kecantikannya.
Dan jangan lupakan ketika ia membuat para kliennya susah move on dari permainan liarnya ketika berada di atas ranjang.
Namun jangan salah, walaupun ia menerima klien, Qiran tak sembarangan menerima klien. Hanya klien tertentu yang berasal dari kalangan elit.
Dirinya yang sudah terlanjur terjerumus di dunia hitam itu, seolah tak memperdulikan tentang semua maksiat dan dosa yang ia lakukan setiap hari.
Yang ada di benak pikirannya adalah bersenang-senang, menikmati hidupnya dan menghasilkan uang yang banyak tanpa ada yang ia pikirkan.
Sudah kepalang basah menjadi wanita tuna asusila dan profesi sebagai DJ, Qiran malah menikmati kedua perannya itu sekaligus.
Namun siapa yang menyangka, di balik perannya sebagai pelaku tuna asusila, Qiran remaja memiliki masa kelam yang sangat miris. Ia dulunya adalah korban pelecehan seksual dari adik ibu tirinya.
Kesucian Qiran remaja direnggut paksa tanpa belas kasihan. Walaupun sudah melaporkan perbuatan keji paman tirinya itu, namun ibu tirinya malah menuduh jika Qiran lah yang sudah merayu dan menggoda sang adik.
Selain itu, Qiran remaja adalah korban kekerasan fisik dan verbal yang sering di lakukan oleh ibu tirinya.
Kenangan kelam itu membuatnya menjadi liar dan mencari jati dirinya yang sebenarnya. Hingga ia memutuskan kabur dan memilih bekerja di Garena Bar sebagai pelayan.
Karena terlanjur ternoda dan menyimpan dendam karena perlakuan bejat itu, ia malah memanfaatkan kesempurnaan fisiknya dengan nyambi sebagai pelaku tuna asusila.
Ia melampiaskan semua perbuatan bejat yang pernah ia alami itu pada pria yang menginginkan jasanya.
Setelah itu, ia akan menguras dompet mereka dan mengancam akan menyebarkan video asusila mereka.
Licik ...
Seperti itulah klien-nya menganggapnya. Namun mereka harus menurut, jika tidak maka tamatlah citra mereka sebagai orang berpengaruh di Kota J.
Malam semakin larut. Merasa sudah lelah karena sejak tadi mengoperasikan turntablenya , akhirnya Qiran mengangkat tangan lalu menunjuk salah satu teman seprofesinya untuk menggantikan dirinya.
"Bro, gantian," pintanya lalu melepas headphone microphone yang terpasang di telinganya.
"Okay," sahut Leon lalu meraih headphone gadis cantik itu.
Setelah itu, Qiran memilih turun dari atas panggung menuju meja bartender. Ia menghembus nafasnya lalu menyugar rambut panjangnya.
Dengan santainya ia duduk di kursi bartender sambil menyesap rokoknya. Sedangkan sang bartender langsung memberinya segelas minuman seperti biasa.
Friday night, pantasan saja malam ini sesak banget. Honestly ... malam ini aku kok capek banget.
"Sam, thanks for the drink," ucap Qiran lalu meneguk minuman itu dengan sekali teguk.
Setelah itu, ia berpamitan lalu meninggalkan club dan memilih pulang lebih awal. Tak biasanya ia pulang lebih awal. Padahal biasanya ia masih betah berada di club' malam itu bahkan menginap di kamar khusus dirinya.
Sesaat setelah berada di depan pintu bar, ia berpapasan dengan Edmund sang owner bar.
"Baby, sudah mau pulang?" Ed melirik arloji di pergelangan tangannya. "Ayolah, ini masih awal."
"Maaf, Ed, tapi aku lelah. Pokoknya khusus malam ini aku ingin rebahan saja," akunya.
"Mau aku temani?" bisik Ed dengan nada sensual.
Qiran mengulas senyum seraya mengelus rahangnya kemudian menggelengkan kepalanya.
"Lain kali saja," tolaknya.
"Hmm, okay."
Setelah itu, Qiran kembali melanjutkan langkahnya menuju mobilnya. Sebelum melanjutkan perjalanan, ia kembali menyesap rokoknya.
Memperhatikan logo bar tempatnya bekerja selama puluhan tahun. Sejak ia masih duduk di bangku SMA hingga lulus kuliah.
Setelah itu, ia belajar secara otodidak dari DJ bar sebelumnya hingga akhirnya ia malah menekuni profesi itu sampai sekarang.
"Garena Bar, thanks," ucapnya lirih lalu membuang puntung rokoknya kemudian menutup pintu mobil. Melajukan kendaraannya menuju apartemen.
.
.
.
.
"Haaah ... nyamannya," desahnya sesaat setelah menghempaskan tubuhnya di atas ranjang empuknya.
Menatap langit-langit kamar lalu perlahan memejamkan matanya hingga akhirnya ia tertidur.
.
.
.
"Qiran ... Qirani?"
Merasa seseorang memanggil namanya, Qiran perlahan mengerjap lalu menggosok kedua matanya.
"Apa kamu yang bernama Qirani Swastika?" tanya pria itu yang sedang berdiri di hadapannya dengan pakaian yang serba hitam.
Bahkan wajahnya juga hitam dan tatapannya menghunus tajam menatapnya tanpa berkedip.
Qiran mengangguk. "Siapa kamu!!!" pekik Qiran lalu menoleh ke kiri dan ke kanan.
"Nggak perlu tahu siapa aku," jawabnya tanpa ekspresi dan wajah datar. Suaranya bahkan membuat Qirani ketakutan. "Ayo ikut denganku," desaknya lalu memegang pergelangan tangannya.
"Nggak!!! Lepaskan aku!! Aku nggak mau ikut denganmu!!! pekik Qiran lagi lalu meronta minta dilepaskan.
Tak lama berselang, muncul pria yang sama persis lalu ikut memegang pergelangan tangannya.
"Siapa kalian?!!! Mau di bawa ke mana aku?!!!"
Namun kedua pria itu tak memperdulikan teriakkan dan pertanyaannya melainkan terus menyeretnya.
Qiran semakin merasa ketakutan ketika kedua pria itu membawanya berjalan yang bahkan ia tak tahu ada di mana tempat itu.
Kiri kanan gelap tanpa pencahayaan hingga membuatnya sesak karena seolah berada di dunia lain.
"Kalian mau membawaku ke mana!!! Tolooong!!! Tolooong!!!" teriaknya lagi sambil terus meronta ketakutan.
"Ke suatu tempat dan ingin memperlihatkan jika itu adalah tempat yang pantas untuk wanita pelaku dosa dan pelaku maksiat sepertimu," jawab salah satu pria itu dengan suara menggema.
"Nggak!!! Aku nggak mau!!! Tolong kembalikan aku!!!"
Namun kedua pria berwajah datar itu hanya menatapnya sekilas dan terus berjalan menyeretnya.
Lama ketiganya berjalan dan akhirnya membuat Qiran merasa lelah dan mulai merasa lemas. Karena sejak tadi mereka berjalan, belum juga sampai di tempat tujuan.
Ia merasa aneh melihat kedua pria berwajah datar, hitam dan tampak menyeramkan itu. Keduanya seolah tak ada lelahnya. Bahkan terus memaksanya berjalan meski ia sudah merasa lelah, lemas, merintih kesakitan karena kakinya sakit seolah akan patah.
"Tolong biarkan aku istirahat sebentar." Qiran memohon dengan suara lirih.
Bersamaan dengan selesainya ia berucap, suatu cahaya mulai terlihat dari kejauhan yang tadinya seperti suatu titik namun semakin lama semakin membesar dan terasa begitu panas.
"Kalian mau apakan aku!!!" Ia kembali meronta sambil berteriak ketakutan.
"Kami ingin membuangmu di tempat itu, tempat yang pantas bagi wanita pelaku maksiat sepertimu. Bahkan lupa segalanya, terlena dengan kesenangan duniawi." Pria itu menatapnya tajam.
"Sekarang tinggallah di tempat yang pantas untukmu itu," kata pria satunya lagi lalu memberi isyarat pada temannya untuk melemparnya ke dalam api yang mulai berubah menjadi lautan api.
"Nggak!!! Nggak!!! Aku mohon jangan!!! Aku belum mau mati!!! Tolong!!! Tolong!!! Tolooooooongg!!! Aaaakkkkhhhh panaaaassss!!!!"
"Qiran ... Qiran ... Qiran ..." Seseorang menepuk-nepuk pipinya lalu mengguncang tubuhnya yang sejak tadi terdengar meracau.
"Qir ...."
"Aaaaakkkhh!!! Panaassss!!!"
"Qiran!!!" Sambil melayangkan satu tamparan yang cukup keras di pipi.
Tamparan itu sontak membuatnya tersadar lalu menatap sejenak orang itu, yang tak lain adalah sahabatnya. Ia lalu celingak-celinguk kemudian meraba dirinya.
"Hanya mimpi?" gumamnya lalu memegang dada lalu pergelangan tangannya yang masih terasa sakit.
Bahkan detak jantungnya berdetak sangat kencang.
"Mimpi macam apa itu tadi?"
...----------------...
Assalamu'alaikum reader terkasih ...
Jangan lupa dukung novel ini ya dengan memberi rate, vote, like dan komen. Terima kasih. Salam hangat penuh cinta dari kota KALTARA. 🙏🥰
NOTE: Bagi yang gak suka cerita dan alurnya, tolong skip aja jangan kasih bintang Satu. Itu sama saja dengan SMS (Senang melihat orang susah, susah melihat orang senang) Terima kasih 🙏🙏🙏
"Ada apa denganmu? Semalaman kamu terus meracau meminta tolong," tanya sahabatnya.
Qiran hanya tertunduk dengan nafas yang masih ngos-ngosan. Sedetik kemudian ia mengarahkan pandangannya ke arah pintu kaca yang terhubung ke teras balkon kamarnya.
"What?!! Sudah jam berapa ini?" Ia lalu menatap sahabatnya yang masih berdiri di depannya.
"Sudah jam satu sore," balas Ai lalu terkekeh. "Tumben kamu pulang semalam? Biasanya di Friday night kamu pasti menginap di bar?"
Qiran tak menjawab melainkan memilih ke kamar mandi.
"Aneh?!" Ai berguman sambil geleng-geleng kepala.
Sambil mengguyur tubuhnya dengan air dingin di bawah shower, Qiran kembali mengingat mimpi aneh itu.
Seketika tubuhnya langsung meremang saat mengingat lautan api yang ada di dalam mimpinya.
Satu jam berlalu ...
"Ai, aku ke cafe dulu," pamitnya.
"Bareng aja, soalnya aku sekalian ingin mengecek bahan-bahan yang kurang di dapur."
"Ya sudah, ayo," ajak Qiran.
Sesaat setelah berada di dalam mobil, sesekali Airy meliriknya. Sedangkan Qiran tampak santai dan mulai mengendarai kendaraannya itu menuju cafe miliknya.
Di sepanjang perjalanan tak ada percakapan di antara keduanya. Yang terdengar hanyalah suara musik R&B favoritnya. Tak biasanya Qiran seperti itu. Entah mengapa Airy sedikit merasa aneh dengan sahabatnya.
"Ini anak kesambet apa ya? Tumben bibir tipisnya itu nggak ngoceh? Rasanya aneh banget jika dia seperti ini," batinnya.
"Qir."
"Hmm, ada apa?"
"Ada masalah apa? Kok sejak tadi kamu bungkam? Apa semalam ...."
Ai menaik turunkan alisnya dengan senyum penuh arti.
Tahu jika otak sahabatnya itu memikirkan hal mesum, ia langsung mencubit lengannya lalu terkekeh.
"Why? Mau ikut coba? Threesome? Biar sedikit beda. Bwhahahahahaha."
"Dasar otak mesum. Ih menjijikan," kesal Ai.
"Lagian kamu mancing, ya sudahlah sekalian menawari," timpalnya sambil tertawa lucu.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih sejam lamanya, akhirnya keduanya tiba juga di cafe itu.
Seperti biasanya, Qiran selalu menyapa karyawannya dengan senyum ramah dan sesekali melempar candaan.
Jika di lihat sekilas, hubungan antara owner dan karyawan di cafe itu layaknya teman baik. Qiran tak pernah menganggap jika dirinya adalah bos tapi menganggap dirinya adalah salah satu karyawan cafe.
Justru ia menganggap sahabatnya lah owner cafe itu. Sifatnya yang ramah dan tidak sombong membuat para karyawannya begitu mengagumi dirinya.
Tak jarang pula jika ada waktu luang, Qiran mengajak mereka berlibur sambil melakukan kegiatan yang bermanfaat.
Seperti bersosialisasi dan berbagi, bagi orang-orang yang tak mampu. Ia sangat peduli dengan salah satu yayasan yang menampung kebanyakan wanita yang mengalami trauma akibat kekerasan seksual dan KDRT.
Karena pernah menjadi korban dan pernah berada di posisi itu, Qiran menjadi salah satu donatur tetap bagi Yayasan itu.
Separuh dari gajinya sebagai DJ, ia sumbangkan untuk Yayasan itu. Sedangkan uang hasil dari esek-esek ia gunakan untuk kepentingan pribadinya. Karena ia tahu jika uang itu bukanlah uang yang pantas untuk disumbangkan.
.
.
.
Kini gadis itu terlihat sedang berdiri di dekat jendela ruang kerjanya sambil menyesap rokoknya.
Lamunannya kembali melayang memikirkan mimpi anehnya semalam. Ia menatap tangannya.
"Kok, pergelangan tanganku masih terasa sakit ya? God ... mimpi itu terasa nyata. Tatapan kedua pria menyeramkan itu, seolah ingin membunuhku saja," gumamnya lalu kembali menyesap rokoknya.
Tak lama berselang ia tersentak kaget saat seseorang dengan tiba-tiba memeluknya dari belakang, mengecup punggungnya lalu menjalar ke leher jenjangnya.
"Suasana club' nggak asik tanpa dirimu," bisik pria itu yang tak lain adalah Edmund.
"Really?"
"Hmm."
Qiran membalikkan badannya lalu mengisyaratkan supaya Ed melepasnya. Ia pun menghampiri meja lalu mematikan api rokoknya di asbak.
"Then ... ada apa kamu kemari?"
Ed menggedikkan bahunya sambil menatapnya tanpa ekspresi alias datar.
Qiran memutar bola matanya seolah malas meladeni pria yang saat ini sedang berdiri tepat di hadapannya.
Ed menghela nafas lalu melingkarkan kedua tangannya ke pinggang ramping gadis itu. Mendekatkan bibirnya lalu mengecupnya.
Qiran langsung terkekeh. Harus ia akui, walaupun wajahnya selalu datar dan terkesan dingin namun pria itu selalu saja membuatnya melunak.
Tak banyak bicara namun langsung menunjukkan perhatiannya tanpa kata-kata manis atau gombalan semata.
Jelas seperti itu, karena Ed merupakan seorang mafia berkedok CEO. Kebal hukum dan semua yang bersangkutan dengan kriminal bukanlah hal yang tabu baginya.
Dibalik wataknya yang dingin dan kaku dengan tatapan mata yang tajam mengintimidasi, Qiran satu-satunya wanita yang sudah mencuri perhatiannya. Walaupun tahu jika gadis itu menerima klien, ia seolah tetap tak peduli.
Ia tetap masih mengharapkan jika Qiran mau menjadi istrinya. Namun sebaliknya, Qiran tak pernah mau berkomitmen dengan siapapun.
Karena baginya jika berkomitmen, itu sama saja akan membatasi ruang geraknya. Ia memilih tetap single dan bebas melakukan apapun yang ia inginkan, tanpa ada yang mengatur-ngatur hidupnya.
"Apa kamu ingin makan siang di sini?"
Qiran mengulas senyum seraya menangkup rahangnya.
"Ya, memakan dirimu saja," bisiknya.
Qiran langsung terkekeh merasa gemas. Pria dingin itu seolah menggodanya.
"Hmm ... di mana? Di atas meja ini?" Ia mengelus meja kerjanya lalu mengedipkan mata. "Atau mau di sofa?" Ia mengarahkan telunjuknya ke arah sofa yang ada di sudut ruangannya. "Atau di sini saja dengan posisi duduk?" pungkasnya lalu menggigit bibir bawahnya menggoda pria dingin itu.
"Apa kamu serius?" Ia menyeringai seolah tertantang.
Walaupun sikapnya dingin, namun siapa yang menyangka jika Ed seorang se*ks addicted. Tak jarang wanita yang tidur dengannya merasa kewalahan melayani bira*hinya di atas ranjang.
"Hmm."
Namun tantangan dari gadis itu selalu sukses membuatnya menjadi kaku. Apalagi ia tahu jika Qiran merupakan pelaku tuna asusila kelas kakap.
Hampir semua klien yang pernah tidur dengannya dibuat sulit move on karena ketagihan. Namun sayangnya, Qiran hanya melayani satu kali dan tidak akan melayani klien untuk kedua kalinya.
"Why?" Qiran beranjak dari kursi kerjanya lalu mengungkung pria itu yang sedang bersandar di meja kerjanya.
Jari lentiknya mulai bermain halus menggerayangi tubuh liat itu dengan mata yang saling bertatapan.
Namun segera Ed tahan jemari gadis itu lalu mengecup telapak tangannya. Nafasnya yang kini sedikit memburu memaksanya mendekap erat tubuh Qiran.
"What the fu*ck!!! Kenapa aku seolah mati kutu saat berhadapan dengan gadis ini?" umpatnya dalam hati.
Dalam dekapan pria itu, Qiran tersenyum lalu memejamkan mata semakin mengeratkan lingkaran tangannya ke pinggang.
Tok ... tok ... tok ...
Suara ketukan pintu seketika memaksa Qiran melepaskan kedua tangannya dari pinggang pria itu.
Tak lama berselang, Ai menyapa keduanya dengan seulas senyum sekaligus mencuri pandang pada Ed.
"Gila ... tatapannya itu lho, seolah menembus jantung. Tajam banget," batin Ai.
"Qir, aku pinjam mobilmu sebentar ya. Soalnya aku mau belanja."
"Ya udah, pake aja," sahut Qiran sekaligus memberikan uang belanja pada sahabatnya itu.
Ai mendekatinya lalu mendekatkan wajahnya kemudian berbisik, "Apa kalian habis ... ah ... oh ... ah?"
"Mau mencoba?" balas Qiran lalu terbahak.
Jawaban sang sahabat sontak membuat matanya membola. "Dasar Qiran edan," kesalnya lalu meninggalkan sahabatnya itu yang masih terbahak.
...----------------...
Sepeninggal Ai, Qiran kembali menatap Ed yang sejak tadi terus memandanginya.
"Qirani Swastika, kamu membuatku seolah kehilangan akal," batin Ed.
Drtttt ... drtttt ... drtttt ...
Seketika tatapannya teralihkan dari gadis cantik itu lalu merogoh kantong celananya.
"Jack?! Ah, sh*it!!! Aku hampir lupa jika ada meeting dengan klien," umpatnya lalu mematikan ponselnya. "Baby, aku pamit."
"Nggak makan dulu?" tawar Qiran lalu terkekeh.
"Lain kali aja," jawabnya datar lalu mendaratkan satu kecupan di bibir kemudian berlalu meninggalkannya begitu saja.
Qiran hanya geleng-geleng kepala menatap punggung tegap pria itu yang kini sudah menghilang di balik pintu.
"Dingin, kaku, tatapannya selalu mengintimidasi. Haaahh, Qirani ... sepertinya kamu sudah nggak waras berhubungan dengan pria itu. Jika wanita lain, mereka pasti nggak akan kuat menatap matanya," gumam Qiran dengan hela nafas.
Karena merasa bosan, Qiran memilih turun ke lantai satu lalu ke meja barista. Gadis berparas cantik itu meraih salah satu celemek lalu memakainya.
"Biar aku bantu," ujarnya dengan seulas senyum.
"Mbak Qiran? Kebetulan ... maaf Mbak, bisa tolong antarkan kopi ini ke meja nomor sepuluh nggak?" pinta Lala salah satu karyawannya.
"Tentu aja boleh," sahutnya.
Setelah itu, ia pun membawa nampan menuju meja nomor 10. Dengan senyum ramah ia menyapa sang pemesan kopi.
"Maaf ... ini kopi pesanannya. Silakan dinikmati selagi hangat," tawarnya lalu menyuguhkan dua gelas kopi itu di atas meja.
"Makasih," ucap kedua pria itu bergantian.
"Sama-sama."
Setelah itu, ia kembali ke meja barista lalu lanjut membantu karyawannya.
Tik ... tik ... tik ...
Salah satu pria itu menjentikkan jari tepat di depan wajah temannya.
"Astaghfirullah, Kal ... lihatnya biasa saja. Jaga pandangan mata," tegurnya.
Mendapat teguran dari temannya itu, Haikal langsung cengengesan lalu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Edaaann tuh cewek, aku seperti nggak punya harga diri aja sebagai cowok," celetuknya.
Qays hanya menggeleng-gelengkan kepalanya lalu mengarahkan pandangannya ke arah dinding kaca cafe.
"Qays ... lihat nggak? Cantik sih, tapi tattoan mana bajunya kek kekurangan bahan lagi," lanjut Haikal lalu menyeruput kopinya.
Qays kembali terkekeh mendengar ucapan sang teman tanpa mengalihkan pandangannya.
"Abaikan saja, mungkin itu bentuk caranya dia mengekspresikan perasaannya," sahut Qays. "Kenapa? Kamu pengen coba?"
"Ayolah ... jangan kaku begitu. Jika sikapmu seperti itu terus, mana ada cewek yang mau dekat-dekat denganmu. Ingat umur dan segera cari jodoh, Qays."
"Nggak masalah, jodoh itu ditangan Tuhan. Tugas kita bukan untuk mencari jodoh, tapi mempersiapkan diri untuk menerimanya. Ketika kita sudah siap, jodoh itu pasti akan datang dari jalan yang nggak pernah terpikirkan oleh kita," ujar Qays dengan santainya.
Setelah itu, ia meneguk kopinya lalu melirik jam di pergelangan tangannya.
"Astaghfirullah ... sudah hampir jam tiga sore?"
Tiga puluh menit berlalu ...
Setelah menghabiskan kopi, keduanya memilih meninggalkan cafe itu setelah membayar bilnya.
Sesaat setelah duduk di kursi kemudi, Haikal melirik Qays lalu terkekeh.
"Qays ... nggak nyangka banget, tuh cewek penampilan aja seperti itu, tapi ternyata ramah dan sopan banget," puji Haikal.
"Haikal, kita nggak bisa menilai seseorang itu dari penampilan aja. Layaknya sebuah buku, mungkin covernya nggak menarik namun siapa yang akan menyangka, jika isi dari buku itu bisa memberikan kita suatu pelajaran berharga," pungkas Qays lalu menepuk bahu temannya.
Haikal mengangguk. "Benar juga ya."
Setelah itu, ia mulai melajukan kendaraannya meninggalkan cafe itu.
.
.
.
.
Di tempat yang berbeda tepatnya di salah satu markas milik Ed, tampak dua kubu sejak tadi sedang bernegosiasi.
"Apa Anda yakin jika barang itu aman dan akan sampai di tempat tujuan tanpa kendala?
"Tenang saja, saya jamin barangnya akan sampai dengan aman tanpa kendala. Jangan khawatir, orang-orang saya sangat profesional dan selalu bisa di andalkan dalam hal ini," kata Ed.
"Baiklah, saya pegang kata-kata Anda, Tuan Edmund. Jika sampai gagal, Anda pasti sudah tahu konsekuensinya."
Ed tersenyum sinis mendengar ucapan kliennya sambil memutar-mutar cincin yang melingkar di jari kelingkingnya.
"Cih! Memangnya siapa kalian!! Hanya kelompok kecil seperti kutu bagiku. Berani-beraninya mengancam," gerutunya dalam hati dengan rahang mengetat.
Tatapannya tajam mengintimidasinya, seketika membuat klien yang sedang duduk di hadapannya seolah menciut.
Ia menatap sang asisten seraya memiringkan kepalanya sebagai isyarat. Dengan sigap Jack langsung membawa sebuah mini koper lalu memperlihatkan barang haram tersebut.
"Tuan Danielo, ini barangnya. Malam ini kami yang akan langsung mengantarnya ke markas Anda," tegas Jack.
"Baik." Tuan Danielo langsung meminta asistennya meletakkan sebuah tas di atas meja lalu memperlihatkan uang itu pada Ed.
Lagi-lagi ia hanya memberi isyarat pada Jack untuk memeriksa keaslian uang tersebut.
Jika sudah berurusan dengan uang, Ed sangat teliti. Ia tak akan membiarkan rekan bisnisnya meninggalkan tempat selagi belum memeriksa keaslian uang itu.
Jika uang itu palsu maka mereka harus menerima konsekuensinya tanpa ampun. Tak perlu mengotori tangannya karena anak buahnya sudah tahu apa yang harus mereka lakukan.
"Tuan, uangnya asli."
"Good. Anda boleh tinggalkan tempat ini Tuan Danielo." Ia berdiri lalu menjabat tangan kliennya itu dengan sedikit keras hingga membuat pria itu meringis.
Setelah itu, Tuan Danielo meninggalkan markas bersama anak buahnya.
Beberapa menit kemudian ...
Ia memberi isyarat pada anak buahnya supaya segera mengerjakan tugas mereka. Setelah itu, ia meminta Jack mengantarnya pulang.
"Jack, pastikan barang itu akan sampai ke markas Tuan Danielo malam ini juga," tegasnya sesaat setelah duduk di kursi penumpang.
"Baik, Tuan."
Setelah itu tak ada lagi pembicaraan dari keduanya melainkan hanya suara mesin mobil yang menderu.
Kurang lebih satu jam mengendara, akhirnya mobil itu berhenti tepat di sebuah gedung apartemen tepatnya penthouse milik Ed.
"Kembalilah ke markas, pastikan semuanya aman terkendali. Jangan lupa hubungi aku jika tugasmu sudah beres."
"Baik, Tuan.
Setelah itu Ed meninggalkanya lalu menuju lift. Ia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya lalu menghela nafas.
"Sebaiknya aku meminta Qiran membawakan makanan saja," gumamnya dalam hati sambil mengetik pesan lalu mengirimnya.
Sementara Qiran yang baru saja masuk ke ruang kerjanya langsung meraih ponselnya di atas meja.
Ia mengerutu kesal saat membaca pesan yang dikirim oleh Ed.
✉️ : Baby, aku ingin kamu membawakan aku makanan ke penthouse, no protes.
"Huh, ini bahkan sudah jam lima sore. Masa' sejak tadi dia belum makan, menyebalkan!"
Mau tak mau ia kembali ke lantai satu lalu meminta chefnya membuat makanan yang biasa pria itu pesan.
Dua puluh menit kemudian ...
"Qir, ini makanan pesanan si SUGAR DADDY," ledeknya lalu meletakkan paper bag makanan di atas meja.
Mendengar Ai menjuluki Ed sebagai Sugar Daddy, seketika membuatnya terkekeh lalu menggodanya.
"Belum tahu aja kamu, Ai. Sugar Daddy itu lebih hot lebih menantang daripada yang seumuran."
Ai langsung mencebikkan bibir dengan mata menyipit mendengar kalimat sahabatnya barusan.
"Dasar mesum," kesalnya lalu mendorong gadis itu keluar hingga sampai di depan pintu cafe. "Sana pergi! Daddymu pasti sudah menunggumu," usirnya.
Sambil tertawa, Qiran langsung menuju ke arah mobilnya di parkir. Tak henti-henti ia terbahak karena sahabatnya.
"Haaah ... Ai ... Ai ... lucu banget sih," ucapnya sesaat setelah duduk di kursi kemudi.
Ia menyandarkan punggungnya sejenak lalu menatap lurus kedepan.
"Ai, cukup hanya aku aja yang bergelut dengan dunia hitam itu. Aku nggak ingin kamu terjerumus. Sebisa mungkin aku akan melindungimu dan menghindarkanmu dari dunia yang penuh dengan maksiat itu. Kamu gadis yang baik. Semoga jodohmu juga dengan pria yang baik-baik," pungkasnya dengan suara lirih.
Setelah itu ia pun mulai melajukan kendaraannya meninggalkan halaman parkir menuju penthouse.
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!