"Dengan ini, aku mengikatmu dalam cinta. Semoga semua lancar sampai hari bahagia kita tiba," Danis menyematkan sebuah cincin berukir namanya di jari manis kekasihnya. Amara. Ia menatap penuh cinta pada kekasihnya itu.
Gadis itu tersenyum malu-malu, ia sungguh merasa bahagia luar biasa. Ini adalah hari pertunangan dengan sang kekasih yang sudah empat tahun ini menemaninya.
Amara jatuh cinta pada Danis sejak mereka pertama kali bertemu di kampus. Tak menyangka jika Danis pun ternyata merasakan hal yang sama. Tanpa banyak halangan yang berarti, keduanya pun sepakat untuk menjalin kasih.
Danis adalah cinta pertama dan juga terakhir bagi Amara. Empat tahun berlalu, cintanya pada Danis tak pernah berkurang sama sekali. Malah sebaliknya, cinta Amara semakin kuat hingga ia mau menerima pinangan dari lelaki itu.
Padahal Danis harus segera pergi ke luar negeri karena ia mendapatkan tawaran kerja di sana. Sedangkan Amara baru saja diterima di program pasca sarjana yang selalu diimpikannya.
Cinta Danis pada Amara, sama besarnya. Ia sangat memuja kekasihnya itu. Danis bekerja keras untuk mendapatkan karir yang baik karena tak ingin menyengsarakan hidup Amara nanti. Dengan kecerdasan dan kerja kerasnya, Danis mendapatkan pekerjaan di Boston Amerika serikat.
Gaji dan jenjang karir yang ditawarkan tidak main-main, hingga lelaki itu sangat bersyukur saat mendapatkannya. Tapi tentunya kontrak kerjanya pun sangatlah tak mudah. Danis harus bersedia menetap di perusahaan tersebut selama 5 tahun lamanya tanpa diizinkan untuk pulang.
Amara sangat pengertian, ia tahu apa yang Danis dapatkan adalah sesuatu yang laki-laki itu cita-citakan sejak lama. Hingga gadis itu mengizinkannya pergi, dengan perjanjian ia akan menyusulnya ke Amerika setelah kuliah S2- nya selesai.
Danis adalah seorang yatim piatu dari yang tumbuh di panti asuhan. Beruntung bagi Danis karena ia seorang yang sangat cerdas hingga ia bisa bersekolah dengan beasiswa penuh. Bahkan Danis bisa menjadi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa di universitas tempatnya kuliah dulu bersama Amara. Dan untuk menghidupi dirinya, Danis bekerja keras. Melakukan banyak pekerjaan yang halal, tak heran jika keahlian yang dimilikinya sangat banyak.
Satu-satunya yang ia miliki di dunia ini hanya Amara. Untuk memantaskan dirinya bersanding dengan gadis itu, susah payah Danis mencari kesempatan kerja yang bisa membawanya ke dalam kesuksesan. Dan ketika Danis mendapatkannya, ia langsung mengikat Amara dengan cara bertunangan dengannya.
Amara menatap cincin yang melingkar di jari manisnya lekat-lekat. Sungguh ia tak menyangka jika dirinya kini bertunangan dengan sang kekasih. "Kamu bahagia ?" Tanya Danis.
Amara mengangguk pelan sambil tersenyum manis. "Sangat...," Jawabnya malu-malu.
Kedua orangtua Amara tersenyum bahagia juga haru. Bahkan sang mama menitikkan air matanya. Ia merasa bahagia anak gadisnya bertunangan dengan lelaki sebaik Danis. Empat tahun berhubungan, Danis bisa menjaga anak gadisnya dengan baik.
"Ayo sekarang kita makan dulu," ajak Mama Amara pada keduanya dan juga para tamu yang hadir di sana. Ada keluarga dekat dan juga beberapa tamu yang datang dari pihak Danis. Mereka adalah teman kuliah dan teman kerja Danis yang dulu.
"Makan seadanya saja ya," kata Mama Amara lagi. Ia memang tak menyiapkan makanan mewah. Maklum Amara pun dari keluarga yang sederhana. Seperti halnya Danis, Amara bisa sekolah hingga jenjang S2 pun karena beasiswa.
***
"Apalagi yang belum di kemas ?" Tanya Amara sembari memasukkan beberapa potong pakaian Danis ke dalam koper. Lelaki itu akan pergi besok pagi dan Amara membantunya berkemas.
"Sepertinya sudah semua," jawab Danis sembari mengusap-usap dagunya. Berpikir apa saja yang harus di bawanya. Saat ini keduanya tengah berada di dalam kamar kost Danis. Setelah acara pertunangan tadi, Amara ikut serta dengan kekasihnya itu untuk membantu Danis bersiap-siap.
"Pasport, visa, dokumen asuransi, dan lainnya sudah ?" Tanya Amara lagi.
"Hmm.. sudah aku masukkan ke dalam tas ransel," jawab Danis sembari menunjukkan sebuah ransel yang ia letakkan di sebelah ranjang.
"Nanti jangan lupa untuk sarapan sebelum kamu pergi bekerja. Minum vitamin, karena mungkin perbedaan iklim dan cuaca akan membuat daya tahan tubuhmu menurun. Hubungi aku jika sempat," ucap Amara dengan bibirnya yang gemetar. Sungguh ia merasa berat untuk berpisah dengan kekasihnya itu.
Danis pun berjongkok, ia samakan tubuhnya dengan Amara yang terduduk di atas lantai. Lalu ia menarik tubuh gadisnya ke dalam pelukan.
"Belum apa-apa aku sudah merindukanmu," Amara berkata lirih dan pundaknya naik turun, menandakan ia tengah menangis hebat.
"Aku pun berat meninggalkanmu, Ara. Tapi ini demi masa depan kita berdua. Dua tahun tidak akan terasa. Kamu belajar yang benar, agar bisa lulus tepat pada waktunya. Di Boston nanti, aku akan mencarikan kamu sebuah pekerjaan yang baik," Danis memeluk erat tubuh kekasihnya itu dan memberikan kata-kata penyemangat. Padahal ia sendiri pun tengah merasakan pergolakan batin yang menyiksa. Berjauhan dengan Amara adalah hal yang sangat berat untuknya.
"Begitu aku lulus, aku akan langsung menyusulmu," ucap Amara lagi.
Danis memgurai pelukannya. Ia amati wajah Amara yang sembab dan hidung memerah karena menangis. Meskipun begitu, Amara terlihat menggemaskan di mata Danis. "Hu'um aku akan menunggumu. Kita akan langsung menikah begitu kamu datang," ucap lelaki itu seraya membenamkan bibirnya di atas bibir Amara dan mengulumnya penuh perasaan.
Amara pejamkan matanya, menikmati ciuman itu dan membalasnya dengan cara yang sama. Danis semakin eratkan pelukannya dan memperdalam ciuman itu.
Amara meremas kaos Danis untuk berpegangan, ciuman itu terasa kian menuntut dan melenakan. Begitu pun Danis yang dengan tak sabaran menggiring Amara ke atas ranjang dan membaringkannya pelan.
"Aku sangat mencintaimu, Ara," gumam Danis di antara ciumannya.
"Akupun Danis, aku mencintaimu," balas Amara saat ciuman mereka terurai beberapa saat.
Naluri Danis sebagai pria dewasa membuat lelaki itu menginginkan Amara seutuhnya. Tak hanya cinta gadis itu saja, tapi ia juga menginginkan lebih dari itu.
Danis merangkak naik dan menindih tubuh Amara. Ia membenamkan kembali bibirnya di atas bibir Amara dan mengulumnya rasa-rasa (penuh perasaan). Nafas kedua memburu terengah-engah. Amara mengerang saat tangan Danis mulai bergerilya di tubuhnya.
"Aku mencintaimu, Ara," ucap Danis berulang kali, memanjakan indra pendengaran Amara. Gadis itu merasa melayang tinggi di awan karena kata-kata cinta dari mulut kekasihnya.
Ciuman Danis merambat turun, menyusuri leher jenjang kekasihnya. Kepala Amara terasa pening dan dadanya berdebar kencang tak karuan karena ini adalah pertama kalinya ia dan Danis melakukan kontak fisik yang begitu intimnya.
Memang ini bukanlah ciuman pertama mereka. Biasanya Amara dan Danis hanya berciuman bibir singkat saja sebagai tanda sayang. Tapi kini berbeda karena suasana hati mereka yang sedang kacau tak karuan akan rencana kepergian Danis.
Amara memejamkan matanya, menikmati ciuman mesra yang Danis berikan di lehernya. Namun, sedetik kemudian matanya membola saat ia rasakan tangan Danis mulai membuka kancing kemeja yang dikenakannya. "Jangan...," Ucap Amara spontan. Dan ia pun menahan laju tangan kekasihnya itu.
Danis pun tersentak, ia kembali ke alam sadarnya. Dengan perlahan ia pun menarik tubuhnya, tak lagi menindih Amara seperti tadi. "Maaf..," ucap Danis pelan. Ia sungguh merasa malu karena hampir saja melakukan hal yang tak bermoral pada gadis yang sangat dicintainya itu.
"Maafkan aku, Ara..," ucapnya lagi penuh penyesalan. "Seharusnya aku menjagamu, bukan merusakmu,"
Amara pun bangkit seraya membenahi pakaiannya yang kusut. "Ti- tidak semua salahmu, Danis. A- aku pun bersalah karena ikut terhanyut," ucap Amara sembari tundukkan kepalanya malu.
"Kita harus menahannya selama dua tahun. Aku akan menunggumu di sana," ucap Danis seraya menarik dagu Amara agar dapat menatap matanya.
"Dan selama itu aku akan setia padamu," balas Amara dengan yakinnya.
Danis tersenyum dan menarik tubuh Amara dalam pelukannya. "Aku pun akan setia padamu, Ara. Hanya kamu satu-satunya gadis yang aku cintai," ucapnya pelan.
"Sepertinya berbahaya jika kita terus berada di sini. Bagaimana kalau cari makan di luar ?" Ajak Amara.
Danis tertawa mendengarnya, tapi ia setuju dengan ajakan kekasihnya itu. "ayo.. tapi tunggu sebentar, aku harus menenangkan 'adikku' dulu," Danis tertunduk malu saat mengatakannya.
Apa yang Danis ucapkan sontak membua Amara berdiri untuk menjauhinya.
"Kamu jadi mengambil pekerjaan itu, Ara ?" Tanya Danis untuk mengalihkan perhatian gadisnya itu.
"Pekerjaan yang mana ?" Tanya Amara.
"Pekerjaan sebagai pelayan catering bersama sepupumu itu,"
"Ah ya ! Aku jadi mengambilnya. Lumayan besar bayarannya padahal waktu bekerjanya hanya sebentar saja," jawab Amara antusias. Ia tak tahu jika pekerjaan itu akan membuat jalan hidupnya berubah.
bersambung..
Amara memeluk erat tubuh Danis. Ia lingkarkan kedua tangannya di pinggang lelaki itu, dan Danis pun melakukan hal yang sama. Sesekali Danis mencium puncak kepala Amara dengan lembut.
Saat ini keduanya tengah berada di bandara internasional Soekarno Hatta. Hanya dalam hitungan menit, Danis akan pergi meninggalkan kekasih hatinya.
Amara sentuhkan sebelah pipinya ke dada lelaki itu. Mendengarkan debaran jantung Danis. 'deg.. deg.. deg..' detaknya beraturan. Gadis itu menikmati saat-saat terakhir dengan kekasihnya.
"Aku akan sangat-sangat merindukan mu," ucap Amara lirih. Bibirnya bergetar saat mengatakan hal itu. Perasaannya campur aduk. Antara sedih karena akan berpisah, juga senang karena Danis mendapatkan pekerjaan impiannya.
"Aku pun akan sangat merindukanmu," balas Danis. Lalu ia uraikan pelukannya dan menatap wajah Amara lekat-lekat.;"Aku tunggu kamu di sana. Jangan nakal ya selama aku pergi. Setia lah padaku, Ara...," Lanjut Danis dengan pandangan matanya yang lembut penuh cinta.
Amara mengangguk-anggukkan kepalanya. Air bening pun menganak sungai di pipinya. Padahal Amara sudah berjanji tak akan menangisi kepergian kekasihnya, karena kepergian Danis itu adalah untuk masa depan mereka. Amara seharusnya tersenyum bahagia mengantarnya.
Tapi ternyata hati Amara tak sekuat itu. Ia tetap saja merasa sedih luar biasa karena akan berpisah dengan lelaki yang kini menjadi tunangannya.
Dan anehnya lagi, hati Amara terasa sangat berat untuk melepaskannya. Ingin rasanya Amara berkata pada Danis agar tinggal saja dan mencari kerja di Indonesia dengannya. Tapi, Amara tak bisa lakukan itu semua. Ia tahu bagaimana Danis berjuang dengan sangat berat untuk mendapatkan pekerjaan itu.
"Aku akan setia padamu, Danis. Cintaku hanya untukmu dan ku harap kamu pun begitu,"
"Kamu tahu Ara, hanya kamulah duniaku. Tak mungkin aku berpaling darimu. Aku mencintaimu dengan seluruh hatiku," balas Danis. Dan ia sungguh-sungguh saat mengatakannya. Hanya Amara dunianya dan tak sekalipun Danis tergoda oleh gadis lain, walaupun tak satu atau dua yang berusaha untuk menggodanya.
"Perhatian.. Para penumpang menuju Boston..,"
"Sudah waktunya..," ucap Danis saat ia mendengar pengumuman dari pihak maskapai penerbangan yang akan membawanya pergi ke benua lain.
Amara mengatur nafasnya. Mendadak saja Amara rasakan sesak di dadanya karena waktu Danis untuk pergi sudah tiba. "Huhuhuhu..," Amara menangis tersedu-sedu di pelukan kekasihnya.
"Aku akan menghubungimu setiap hari. Baik-baik selama aku pergi. Dan setia lah padaku," pinta Danis lagu penuh mohon pada tunangannya itu.
Amara hanya bisa menganggukkan kepalanya pelan. Ia tak mampu untuk berbicara karena suaranya tercekat di tenggorokan.
"Aku akan menghubungimu lagi begitu tiba di sana, atau ketika aku transit. Terus aktifkan ponselmu agar aku bisa mendengar kabarmu,"
Lagi-lagi Amara hanya bisa mengangguk pelan.
"Aku mencintaimu, Ara. Sangat cinta kamu.... Sampai ketemu dua tahun lagi, dan saat itu terjadi aku akan menjadi suamimu," ucap Danis seraya menarik tubuh Amara dalam pelukannya. Ia memberikan banyak ciuman di puncak kepala tunangannya itu.
"Panggilan bagi para penumpang pesawat XY tujuan Boston...,"
Terdengar kembali panggilan untuk para penumpang dan Danis adalah salah satunya.
Danis uraikan pelukannya walaupun sebenarnya ia sangat enggan. Lalu ia tundukkan kepalanya dan meraih bibir Amara dengan bibirnya. Danis mencium bibir Amara dengan lembut dan penuh perasaan. Tak peduli jika banyak orang melihatnya.
Mata Danis menatap dalam saat ciuman itu berakhir. "Aku pergi," ucap Danis lagi. Dengan berat hati ia lepaskan tubuh Amara dari pelukannya. Lalu Danis menenteng koper yang akan di bawanya.
Ia berjalan menjauhi Amara yang terdiam terpaku di tempatnya berdiri. Gadis itu masih saja menjatuhkan air bening dari kedua matanya.
Danis tolehkan kepalanya ke belakang. Melihat pada Amara untuk yang terakhir kalinya, sebelum ia masuk ke ruangan yang dikhususkan untuk para penumpang saja.
"Aku mencintaimu," gumam Danis dari kejauhan.
Amara tersenyum diantara isakkan tangisnya. "Aku juga sangat cinta kamu," balas Amara, membuat Danis tersenyum. Lalu ia pun melangkahkan kakinya maju. Kali ini benar-benar meninggalkan Amara pergi.
Tubuh Amara limbung. Kedua pipinya masih saja basah padahal Amara sudah mengusap pipinya dengan punggung tangan berulang kali.
Tak tahan lagi, Amara pun mencari tempat duduk untuk menahan tubuhnya yang rasanya tak bertenaga itu. Ia masih saja menangis padahal Danis sudah tak ada dalam jangkauan matanya.
"Dua tahun lagi kita akan bertemu," gumam Amara pelan. Dirinya dan Danis sudah merencanakan segalanya dengan sempurna. Amara akan menyusul Danis ke Boston dan menikah di pusat kajian Islam di sana. Ijab qobul itu akan dilaksanakan melalui teleconference dengan sang ayah karena untuk pergi ke Boston memerlukan biaya yang tak murah. Serta syarat seseorang bisa berkunjung kesana juga sangat ketat.
Cukup lama Amara duduk di bangku itu sendirian. Setelah dirinya merasa cukup tenang, Amara pun berdiri dan pergi dari tempat itu mengenakan taksi.
Sepanjang perjalanan, Amara membuang pandangannya ke luar jendela. Pikirannya masih melayang pada kekasihnya yang baru saja pergi. Hatinya terasa ngilu dan jiwanya begitu hampa. Amara pun kembali mengusap pipinya yang basah dengan punggung tangan.
***
Sementara itu di sebuah rumah mewah yang terletak di pusat kota Jakarta, seorang pemuda berusia 27 tahun tidur dengan menelungkupkan tubuhnya padahal hari sudah sangat siang.
"Iya, Pah.. nanti Mamah liat Gio di kamarnya," ucap seorang wanita paruh baya pada ponselnya. Saat ini ia tengah berbicara dengan sang suami yang sepertinya sedang sangat marah karena anak lelakinya tak muncul di kantor tempatnya bekerja.
"Mau sampai kapan Gio seperti itu? Mana bisa dia menggantikan aku jika dikhianati wanita saja, dia sudah hancur, tak bisa melakukan apapun !" Semprot sang suami di ujung telepon. Bahkan ia menutup panggilannya dengan kasar sebelum sang istri menjawab pernyataannya.
"Haahhh..," wanita itu menarik nafas dalam. Lalu berjalan menaiki titian tangga menuju kamar anak tunggalnya berada.
Dia adalah Giovanni Abraham, penerus keluarga yang sangat diharapkan. Gio adalah seorang pemuda yang baik hati. Tak bermain wanita apalagi minum minuman keras. Tapi semuanya berubah saat ia memergoki tunangannya tidur dengan sahabatnya sendiri. Padahal waktu pernikahan mereka hanya tinggal menghitung hari.
Gio benar-benar merasa dikhianati oleh dua orang yang ia sayang juga percaya secara bersamaan. Bertahun-tahun Gio menjaga kekasihnya itu agar tak rusak, karena gadis itu sangat berharga untuknya. Tapi nyatanya gadis itu merusak dirinya sendiri.
Bagaikan langit runtuh menimpa dirinya, hidup Gio pun menjadi hancur berantakan. Ia bagai mayat hidup. Jiwanya hampa, hanya raganya saja yang bergerak.
Untuk melampiaskan kesedihannya Gio mulai menenggelamkan diri dalam minuman yang memabukkan. Ia akan pulang larut sekali dalam keadaan tak sadar. Sungguh memprihatinkan bagi siapa saja yang melihatnya.
"Gio...," Ucap ibunya sambil membuka pintu. Ia menatap sendu pada anaknya itu. Lalu berjalan menuju tempat anaknya terbaring
"Ya Tuhan Gio... Sampai kapan kamu mau seperti ini, Nak ?" Tanya nya pilu. Ia pun menyisir rambut anak lelakinya itu dengan jemarinya.
"Salsa..," lirih Gio terdengar pilu, sembari merubah posisi tubuhnya menjadi meringkuk seperti janin. Tanpa sadar, Gio menggumamkan nama gadis yang telah menyakitinya itu.
"Lepaskan dia, Gio," bisik sang ibu tepat di telinga anaknya itu. Ia tahu jika apa yang sedang Gio lalui adalah hal yang tak mudah.
Tiba-tiba perhatian sang ibu teralihkan saat salah satu asisten rumah tangganya datang dan mengetuk pintu.
"Ya ?"
"Nyonya, ada tamu dari pihak catering," ucapnya takut-takut.
"Ah ya, tunggu sebentar ! Aku akan segera turun," ucapnya pelan.
Wanita itu pun bangkit dan berjalan menuju pintu. Pikirannya sangat kalut sekali. Dalam waktu dekat, dirumahnya akan diadakan acara syukuran karena sang suami diangkat menjadi menteri. Dan dalam waktu dekat juga sang anak harus bisa menggantikan posisi sang ayah di perusahaan. Sedangkan keadaan Gio masih hancur berantakan.
"Ya Tuhan...," Desahnya frustasi.
to be continued
"Riing.. riing.. riing..," terdengar suara ponsel yang berdering dan juga bergetar di waktu yang bersamaan. Amara berusaha menggapai benda pipih yang tergeletak di atas meja kecil, tepat di sebelah ranjang itu dengan tangannya. Matanya masih terpejam, karena ia belum terbangun dari tidurnya secara sempurna.
"Ha- halo," ucapnya dengan suara serak khas bangun tidur. Rambut panjangnya yang acak-acakan, menutupi sebagian wajahnya hingga ia harus menyingkirkannya dengan tangan.
"Ara, Sayang ? Masih tidur ya ?" Tanya seorang lelaki di ujung telepon. Dia adalah Danis yang sudah dua hari ini berada di Boston Amerika.
Mata Amara yang terpejam ngantuk, kini terbuka sempurna. Bibirnya yang tipis melengkungkan senyuman bahagia. "Aku udah bangun sekarang," jawab Amara sambil tertawa bahagia padahal Danis tak bisa melihatnya.
"Maafkan aku karena baru sempat menghubungi kamu, ini hari pertama aku bekerja. Jadi.. aku masih menyesuaikan diri. Pengen banget video call tapi aku lagi di dalam toile," kata Danis dan terdengarlah suara penyiram air.
"Tak apa-apa. Mendengar suaramu saja aku udah seneng bangeeettt," sahut Amara manja.
"Kamu berangkat jam berapa ?" Tanya Danis.
"Jam setengah delapan, setelah itu aku akan langsung pergi bekerja sebagai pelayan catering," jawab Amara.
"Tapi...,"
"Tapi kenapa, Sayang ?" Tanya Danis lagi. Lelaki itu sepertinya sedang sibuk mencuci tangan karena terdengar keran air yang dibuka.
"Rasanya males banget ambil kerjaan ini, secara kamu tahu kalau aku gak suka ketemu banyak orang," jawab Amara dengan nada suaranya yang terdengar malas.
"Kerjanya hanya menunggui stand makanan kan ? Untuk upah lima ratus ribu rupiah selama beberapa jam, aku rasa itu lumayan besar dan kamu tak usah berbicara dengan mereka,"
"Hu'um, aku juga tergiur karena upahnya. Bisa aku belikan buku untuk kuliah," sahut Amara menyetujui.
"Lagian sama sepupu kamu juga kan ?"
"Hu'um... Sama Dea,"
"Seragamnya seperti apa ?" Tanya Danis lagi.
"Kemeja putih dan rok hitam,"
"Rok ? Kamu yakin mau pakai rok ?" Tanya Danis sambil tertawa. Ia sangat tahu jika kekasihnya itu sangat tak menyukai rok. Amara lebih suka mengenakan celana, karena menurutnya lebih nyaman dan leluasa dalam melakukan apapun.
"Iya terpaksa ! Tapi entahlah... Aku malas...," Desah Amara.
Danis tertawa mendengarnya. "Baiklah sayang, aku gak bisa lama-lama. Aku harus kembali ke meja kerjaku. Masih pukul tiga lima belas sore di sini. Aku masih belum bisa pulang," jelas Danis.
"Dan di sini pukul tiga lebih lima belas pagi," sahut Amara smabil tertawa.
"Ya Tuhan... Aku masih saja lupa jika kita mempunyai 12 jam perbedaan waktu ! Maafkan aku karena membangunkanmu sepagi ini," sesal Danis.
"Its ok... Kamu bisa hubungi aku kapan aja. Untuk kamu, aku rela kok harus bangun tengah malam atau dini hari juga tak masalah," sahut Amara dengan lembutnya. Mati-matian ia menahan rindunya yang membuncah itu.
"Baiklah... Aku hubungi lagi nanti, setelah kamu pulang kerja,"
"Nanti aku kabarin lagi ya, jadi atau tidaknya mengambil pekerjaan ini," sahut Amara.
"Ok Sayang," Danis pun memutuskan panggilan telepon itu dan kembali bekerja.
Sedangkan Amara, ia sandarkan tubuhnya di kepala ranjang dan menatapi kemeja putih yang digantung di pintu lemari. Di dalamnya ada sebuah rok hitam pendek yang akan digunakannya untuk bekerja sebagai petugas catering bersama sepupunya, Dea.
Tapi, sedari malam Amara merasa ragu untuk melakukannya. Ia merasa malas walaupun sebenarnya pekerjanya tak berat dan upahnya pun lumayan. "Inget Ra, yang kamu mau itu banyak ! Jadi jangan malas !!" Ucapnya pada diri sendiri. Kini ia yakin untuk mengambil pekerjaan itu.
***
"Amara ! Sudah pukul tujuh ! Dea sudah menelepon dua kali," terdengar ketukan diiringi suara sang ibu dari balik pintu. Amara pun mengerjapkan matanya, kembali terbangun dari tidurnya.
"Ya, Ma !" Sahutnya panik
"Aku lagi siap-siap dulu !" Lanjut Amara sembari bangkit dari atas ranjang dan dengan paniknya menyambar handuk yang ada di rak. Ia pun segera melesat ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Setelah menerima panggilan telepon dari Danis, Amara terus terjaga hingga waktu subuh pun datang dan ia segera melaksanakan ibadahnya. Banyak berpikir tentang pekerjaan catering ini, membuat Amara kembali tertidur dan akhirnya bangun kesiangan.
"Ah siaall," gumam amara sembari menggosok-gosok wajahnya dengan sabun muka. Berharap agar rasa kantuknya hilang. Setelah itu, Amara pun membersihkan diri dengan secepat kilat. Lalu bersiap dengan mengenakan pakaian kuliahnya dan melipat baju seragam hitam putihnya untuk dimasukkan ke dalam tas. Setelah pulang kuliah Amara akan langsung pergi ke tempat yang dituju karena jaraknya cukup jauh hingga, ia tak akan sempat untuk pulang dulu.
."Aaaww," pekik Amara saat jemarinya terjepit resleting roknya itu tanpa disengaja hingga menimbulkan luka berdarah.
"Duuuhh," keluh Amara sembari menyesap lukanya itu dengan bibirnya. Tak hanya itu saja, amara juga menjatuhkan botol parfumnya yang berwarna merah dan lagi-lagi tanpa disengaja. Hingga pecahlah botol itu, tapi beruntungnya Amara karena parfum itu sudah habis isinya.
"Amara ? Kamu tak apa-apa ?" Tanya ibunya dari balik pintu. Ia bertanya seperti itu karena mendengar suara barang pecah belah yang terjatuh.
"Aku gak apa-apa, Ma. Tapi botol parfum ku jatuh dan pecah," sahut Amara dari dalam kamar.
"Ya sudah, biar nanti Mama yang bersihkan. Kamu sebaiknya cepat turun karena Dea sudah menunggu," kata sang ibu, bertepatan dengan Amara yang membuka pintu kamarnya.
"Terimakasih.. Mama yang terbaik !!" Ucap Amara seraya memberikan kecupan di kedua pipi ibunya itu sebagai rayuan.
"Makanya, seudah subuh itu jangan tidur lagi ! Jadi tak terburu-buru seperti ini kan?" omel sang ibu.
"Iya.. Amara yang salah.. maaf ya.. Amara pergi dulu,"
"Ara... " Sahut sang ibu pelan, menahan lengan anak gadisnya itu untuk tidak pergi, hingga Amara pun hentikan langkahnya.
"Ya ?" Tanya Amara karena ibunya itu hanya terdiam menatapnya.
"Hati-hati," jawab sang ibu sembari tersenyum samar. Amara tahu jika ibunya itu tengah merasakan khawatir padanya.
"Iya, aku akan berhati-hati. Mama jangan khawatir," sahut Amara sambil tersenyum. Mengisyaratkan pada ibunya jika ia akan baik-baik saja.
Amara segera berjalan menuruni tangga, menemui sepupunya, Dea. "Lu gimana sih Ra ? Aku teleponin, tapi gak diangkat!" Keluh gadis yang seusia dengan Amara itu. Ia adalah adik sepupu dari pihak ibunya. Hubungan mereka memang sangat dekat, layaknya kakak dan adik.
"Ah ya sorry ! Tadi aku ketiduran," jawab Amara sembari nyengir kuda.
"Kamu ambil pekerjaan ini gak ? Si Ibu yang punya cateringnya nanyain lagi. Kalau emang gak mau, mereka akan mencari penggantimu secepatnya," jelas Dea.
Belum juga menjawab, adik Amara yang masih duduk di bangku SMA datang menghampirinya. "Mbak, nanti sore bantuin aku bikin tugas bahasa Inggris ya," ucapnya.
Mendengar itu membuat Amara dan Dea saling beradu pandang. "Terserah kamu," ucap Dea. Ia berkata seperti itu karena Amara menatapnya dengan pandangan mata yang seolah-olah ia meminta pendapatnya.
"Hmm... Kalau besok gimana ? Malam ini Mbak harus kerja dulu sama Mbak Dea," jawab Amara.
Si adik mencebikkan bibirnya kesal karena penolakan kakaknya itu. Tapi sedetik kemudian ia tersenyum karena Amara menjanjikannya sejumlah uang sebagai imbalan karena mau bersabar.
"Oke ! Besok ya !" Jawab sang adik dengan wajah sumringah. Lalu ia pun pergi ke sekolah. Sedangkan Amara pergi bersama Dea ke kampus yang sama, karena adik sepupunya itu pun menuntut ilmu di kampus tersebut. Hanya saja mereka memilih jurusan yang berbeda.
Selama di perjalanan, Amara berpikir ada saja hal yang sepertinya menghalangi ia untuk mengambil pekerjaan sebagai pelayan itu. Padahal pekerjaannya pun di rumah biasa, bukan di tempat-tempat yang beresiko tinggi seperti kelab malam misalnya. "Ya Tuhan... Semoga semua baik-baik saja," ucap Amara dalam hatinya. Dan ia sudah memutuskan untuk mengambil pekerjaan itu karena Amara memang membutuhkan uangnya.
bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!