NovelToon NovelToon

CANCER [ROCK CLIMBING]

PROLOG & Chapter 1

"Fufy! Sudah siap?"

Fufy menganggukkan kepalanya semangat. Ia menguatkan pegangannya pada kernmantle rope. Seakan sudah tidak sabar untuk memanjat papan panjat tebing, sedari tadi Fufy tersenyum manis kepada semua orang.

"Gue yakin, kalo Fufy bakalan menang lagi," ucap sahabat Fufy yang bernama Saraswati.

"Pastinya, seperti biasa." Ranbi dan Saraswati tersenyum miring menatap papan panjat tebing.

Fufy menghela napas ketika merasakan telapak tangannya dingin. Kemudian Fufy memasukkan tangannya ke kantung magnesium. Fufy menggesekkan kedua tangannya guna menghilangkan rasa gugupnya.

"Speed World Record tingkat kabupaten memang sedikit mudah. Tetapi, kamu harus ingat, bahwa sainganmu adalah orang hebat." Fufy menelan salivanya ketika mendengar kalimat pak Indra.

Fufy menoleh menatap lawannya,

"Kamu bakalan menang kalo centil."

"Siap, mulai!"

Jantung Fufy berdetak kencang. Fufy meyakinkan dirinya sendiri, lalu segera memanjat papan panjat tebing dengan cepat. Tujuannya hanya satu. Yaitu mencapai atas dan menepuk top atas yang telah juri pasang untuk finish/top.

Suasana semakin mencekam ketika dua peserta yang sedang beradu kecepatan di papan panjat. Namun, beberapa detik kemudian, semua juri berteriak histeris.

Fufy jatuh dari ketinggian 13 meter.

...-TentangFufy-...

CHAPTER 1: DIA DI PENYEMANGAT

Fufy menekan punggungnya sambil berteriak kesakitan. Talinya terputus membuat Fufy langsung terjun ke bawah. Semua peserta, Juri, termasuk penonton menghampirinya. Fufy mendongakkan kepalanya merasakan sakit luar biasa.

"Harusnya kamu cek semua keamanan di sini!" Marah sang Pelatih.

Salah satu Juri mengubungi Ambulans karena takut jika ada luka fatal. Acara perlombaan di berhentikan sementara, sebab salah satu peserta terkena bencana.

Fufy ditangani cepat oleh petugas di sana. Tidak terkecuali dia, lelaki yang selalu berada di sisinya. Dia membantu Fufy melepas baju yang bertulisan FPTI (Federasi Panjat Tebing Indonesia). Tidak ada luka di sana. Hanya ada warna merah, yang lelaki itu bisa menebak bahwa Fufy merasakan nyeri.

Di kondisi seperti ini, Fufy masih sempat-sempatnya membalas pesan dari sang Pacar. Playgirl satu ini adalah gadis tersantai yang pernah lelaki itu temui.

Setelah di cek, sudah dipastikan Fufy bisa mengikuti kembali perlombaan ini. Tetapi pilihannya ada di Fufy. Karena akan lebih berbahaya jika Fufy mengikuti acara ini.

"Udah tanda-tanda bahaya," celetuk lelaki itu.

Fufy mengangkat bahunya acuh, "Segala cara mereka lakukan demi memenangkan pertandingan ini."

"Jangan heran." Fufy menegakkan tubuhnya, lalu berkata, "zodiak sagitarius itu selalu diberi ujian. Dia tidak boleh menyerah, hanya karena satu masalah. Lagian, ini perlombaan tingkat Kabupaten, belum tingkat Internasional. Masa nyerah gitu aja."

Lelaki itu kemudian tertawa. Sudah tau gadis di sebelahnya ini pantang menyerah, namun masih saja dirinya memberitahu. Ya, setidaknya dia sudah berusaha membuka topik pembicaraan.

"Iya, intinya jangan curigai siapa aja. Orangnya mungkin sekarang lagi ngetawain kamu," kata lelaki itu.

Fufy meneguk air mineralnya sampai habis. Fufy terkekeh pelan. "Aku tidak takut. Aku tidak takut seperti cancer." Lelaki itu mengulum senyumnya. Fufy menyindirnya.

Lelaki itu menipiskan bibirnya, "Kalau tidak ingin terkena bahaya, biarkan saja. Kamu bisa mengikuti di bulan berikutnya."

Fufy berdiri menghentakkan kakinya keras. "Tidak! Fufy akan buktikan!"

"Aku sudah mendapat peringkat pertama. Pastikan kamu juga menyusulku," ungkap lelaki itu menjelaskan.

Fufy mengangguk mantap dengan semangat besar, "Jangan bawa serius. Kecelakaan tadi, anggap saja kesalahan tidak sengaja. Ada atau tidaknya orang jahat di sini, kamu harus tetap semangat. Jangan jadikan mereka lawan, tapi jadikanlah dia penyemangatmu."

Lelaki itu menunjuk salah satu pelatihnya. "Dia. Aku lihat dia dan Mada memasang kamera di beberapa pojok. Mungkin itu tindakan terlambat. Tapi, menurutku itu adalah kerja bagus. Setidaknya mereka bisa memastikan, bahwa tidak akan ada lagi kecurangan di sini," tutur lelaki itu.

Fufy tersentuh mendengarnya. "Terima kasih Penyemangat," ungkapnya dengan senyuman.

Tubuh lelaki itu berdesir. Sebisa mungkin dia menyembunyikan rasa salah tingkahnya. Dia begitu lucu, hingga Fufy pun merasa gemas dengan lelaki Penyemangatnya ini.

"Nanti aku beliin kamu jepit kupu-kupu yang banyak." Begitulah kata lelaki itu jika sedang merasa senang.

Mata Fufy berbinar-binar. "Semangat Puppy, demi jepit kupu-kupu!" ujarnya.

"Terima kasih, Penyemangat Puppy!"

Fufy mengambil kembali ponselnya, membuat senyuman yang tercetak pada bibir lelaki itu memudar. Fufy menghubungi pacarnya. Lalu Fufy menghubungi lelaki yang menjadi pacarnya itu. Menit berlalu begitu cepat, hingga lelaki si Penyemangat itu merasakan sakit pada hatinya.

"Berita bagus! Aku akan dibeliin chalg bag sama Andre!" pekik Fufy senang.

Pacar bermodal. Si Penyemangat itu tertawa kecil. "Ketemuan lagi, dong? Nanti aku anterin."

"Iya siap, jam 5 ya!" Si Penyemangat mengangguk patuh.

Fufy menatap papan panjat tebing dari jauh. "Sebelum itu, Andre minta Puppy sebagai pemenang. Tidak apa-apa. Kecelakaan pertama sedikit membuat malu, tetapi membuat gairah Puppy bertambah." Fufy menggosok-gosok hidungnya, "demi Andre, Puppy rela menang!"

"Harus, demi Andre." Suaranya memelan. Si Penyemangat membantu Fufy memasang alat pengaman pada pinggang Fufy.

Sebelum naik ke atas, Fufy melirik lawannya. Perempuan yang seingat Fufy menjadi teman makan malamnya. Fufy bukannya lupa, tetapi dia memang tidak mengetahui nama lawannya itu. Perempuan berambut pendek itu menunduk seperti tengah melakukan sesuatu.

"Nama kamu siapa?" tanya Fufy kepada lawannya.

Perempuan itu menoleh menatap Fufy. Dia tersenyum paksa. "Mantra," sahutnya menjawab.

"Jangan lakuin itu lagi, ya," kata Fufy menasehati, "kamu tidak perlu bersedih, karena rencana kamu sudah berhasil."

Perempuan berambut pendek tampak terkejut mendengar pernyataan Fufy. "Lo tau?"

Fufy mengangguk kecil sambil tersenyum. "Nama aku Fufy. Aku sudah melihatmu dari lima jam yang lalu. Di depan sana, kamu berdiri selama tiga puluh menit. Dan sebelum pelatih datang, kamu melepas sepatu. Aku tau," jelas Fufy membuat sang Lawan terdiam.

"Maaf, ini perintah pelatih gue. Maaf," ungkap perempuan itu cepat.

"Tidak apa-apa." Fufy mengerti. "Fufy sudah beberapa kali melihat kejadian ini dan mengalaminya. Namun kali ini, adalah bagian terparah." Perempuan itu menunduk.

"Biarkan Fufy menang, maka masalah akan beres."

Secepat kilat si Penyemangat berlari menghampiri Fufy. Tubuh Fufy melemas hingga terduduk di atas tanah. Fufy pingsan.

"Gaya kuno!"

Ilmu jahat kini bermain.

...-TENTANGFUFY-...

Chapter 2

Dua: Playgirl Atau Fuckgirl?

...-TENTANGFUFY-...

"Kalau kapal pecah, berarti bukan kelapa yang pecah."

Mada melempar tatapan tajam kepada Ranbi. "Aku tidak tau. Mungkin sebentar lagi aku akan mengamuk di sini," ucap Ranbi dengan suara lembut khasnya.

"Nanya gue?" Ranbi terdiam.

Perhatian Ranbi dari Mada berubah ke seseorang. Ranbi menunjuk cowok itu sambil berteriak. "Itu! Itu Penyemangatnya Fufy datang!"

Sontak para pelatih mereka tersenyum senang. Si Penyemangat membawa Fufy menjauhi area papan tebing.

"Telpon Abdi," pinta Fufy masih dengan mata terpejam.

Penyemangat berdecak kesal. "Ngapain?" Nadanya tinggi.

"Dia guru penasehat Fufy. Kasi tau dia, kalau Fufy lagi diserang ilmu jahat. Telepon Abdi, Ardha," jelas Fufy.

Nama si Penyemangat Fufy adalah Aardhavannan Fabera. Orang-orang terdekat Fufy lebih suka memanggilnya si Penyemangat, tetapi kadang sering juga dipanggil Ardha atau Davan.

"Pacar kamu?"

Fufy membuka matanya, mengangguk. "Aku di sini. Kamu cuma dijahilin sama mereka. Seharusnya gak perlu panggil dia ke sini, banyak ada kejahatan," ucap si Penyemangat lembut.

"Begitu?" bingung Fufy, "seharusnya zodiak cancer kebal akan kejahatan."

Ardha berdiri merapikan rambutnya. "Jangan dilebih-lebihkan. Kita berdiri di sini dengan persiapan yang panjang." Penyemangat melirik Fufy. "Lebih baik itu ponsel di cass, bukan dimainin terus."

Sontak Fufy tersadar akan peraturan sang pelatih. Fufy menyengir lebar, kemudian langsung berlari ke arah papan tebing.

Ardha tersenyum tipis. "Kelihatan gak kejahatannya?" teriak Ardha.

"Iya, cintanya kelihatan," celetuk Mada membuat Ardha menoleh.

"******."

...---...

Nomor peserta Fufy berubah menjadi peserta paling terakhir. Fufy menunggu dengan sangat bosan karena keempat pacarnya belum membalas pesannya. Salah satunya, Ardi. Cowok super cuek.

"Persiapan."

"Ambillah risiko yang lebih besar dari apa yang dipikirkan orang lain aman," kata Si Penyemangat tanpa menatap Fufy.

Mendengar itu, Fufy mengerutkan keningnya dengan bibir berkedut menahan senyum. "Terima kasih Penyemangat," ungkapnya.

Ardha tersenyum miring dengan perasaan senang dalam hatinya. Menelan ludah, Ardha menoleh ke kanan kiri dikarenakan kehilangan kendali mengontrol rasa senangnya. Darah mendesir merangkak di wajahnya. Ardha menundukkan wajahnya malu.

Fufy melirik Mantra yang sedang meminum air. Entah perasaan apa yang menjalar ke hatinya, kali ini Fufy lebih gugup. Mengamati point panjat tebing, Fufy menghela napas panjang.

"Siap, 3, 2, 1!" Suasana terasa lebih mencekam. Para peserta disana melihat aksi Fufy dengan sangat serius.

Sedikit mendongak, Fufy menyentuh bonus point puncak. Semua bersorak. Fufy masuk ke babak semifinal.

"Semifinal di mulai 30 menit dari sekarang. Istirahat sejenak, kemudian lanjut pemanasan," ucap pak Indra sebagai pelatih.

Fufy bernapas lega. Ia memanfaatkan waktu istirahat untuk mengecek kondisi tubuhnya. Sementara itu, Ardha sibuk menyuapi air minum untuknya. Sungguh Penyemangat terbaik.

"Masih sakit?" Ardha menatapnya khawatir, "zodiak sagitarius itu kuat."

Ardha mengambil tempat duduk disebelahnya. "Target kali ini apa?" tanyanya.

"Bertemu Ardi." Fufy menyadari ekspresi Ardha.

"Bercanda." Wajah Ardha menjadi kosong, "kali ini Fufy bikin kesepakatan sama Mama supaya di bolehin beli hardness."

"Semangat. Sederhana, keinginan kamu pasti terujud," kata Ardha.

Fufy tersenyum mengangguk, "Lalu, kamu sendiri?"

Ardha melihat para peserta yang terlihat bersemangat. "Sama seperti sebelumnya. Aku harap, Papa mengijinkan aku melanjutkan hobi ini," jawab Ardha membuat Fufy menatapnya lama.

Fufy menepuk pundak Ardha, lalu berdiri. "Weles, pasti! Buktinya, kamu sudah mendapat peringkat pertama. Diijinin kok, Fufy bantu!" Fufy memamerkan senyum lebar.

Ardha menarik sudut bibirnya, "Terima kasih."

"Penyemangat harus tetep rajin latihan. Supaya ketemu Fufy terus." Fufy menaik turunkan alisnya.

Ardha menatapnya teduh. Lantas, ia bangun bersamaan dengan datangnya Ruby dan Saraswati.

"Aman Py?" Saraswati bertanya.

Fufy menganggukkan kepalanya. Fufy merasa pengobatan disini sangat bagus. Obatnya juga bekerja cepat. "Nanti sampai hotel aku cek," ujar Ranbi.

Ranbi dan Saraswati adalah sahabat sekaligus lawan dalam kompetisi ini. Sebagai informasi, sifat Saraswati dan Ranbi itu berbanding. Ranbi itu orangnya polos, pengertian, juga dia ahlinya di boulder. Sebagai tanda, Ranbi selalu memakai jepit bunga pada rambut pendeknya.

Sedangkan lain dengan sifat Saraswati. Saraswati itu orangnya slow respon, cuek, tapi dia itu orang yang paling tau akan segala hal. Sama banget seperti Fufy. Tapi bedanya, Saraswati bisa merasakan firasat sesuatu buruk, bukan meramal. Oh iya, ciri khas Saraswati terletak pada jepit bermotif mutiara.

Saraswati beralih menatap Ardha yang terlihat lesu. "Ngapa muka lo? Habis di putusin pacar? Semangat dong, keluarkan jiwa ambisi!" tegas Saraswati.

Ardha berdecak, "Pergi kalian."

"Dih?" Saraswati melirik Fufy mengode. Namun tampaknya, Fufy tidak peka.

Fufy menarik tangan kedua sahabatnya, mengajaknya untuk melakukan pemanasan. "Ayo pemanasan. Tegang nih," ucap Fufy.

Saraswati memutar bola matanya malas, "Ngehindar terus."

Ardha yang masih diam ditempat, berdiri kaku. Dia mengusap wajahnya kasar, lalu bergumam,

"Aku jelek, ya?"

...---...

"Yeyy! Party kita!" sorak teman-teman Fufy.

Fufy mengelus piala di tangannya. Sebuah medali melingkar pada lehernya. Fufy merasa sangat bersyukur pada kompetisi ini. Sekali lagi, pengalaman memberinya pelajaran. Bukan sekali dua kali, dari ini, Fufy tau bahwa perjuangan tidak mengkhianati.

Setelah selesai mencuci wajah, Fufy keluar kamar hotel untuk bertemu pak Indra. Karena ponselnya disita, Fufy jadi tidak bisa menghubungi orang tuanya.

Sebenarnya Fufy lelah sekali. Tetapi, melihat si Penyemangat di depannya, membuat jiwa semangat Fufy kembali.

"Hai," sapa Fufy.

"Jadi? Mau kemana?" Ardha bertanya.

Fufy tertegun mengamati Ardha. Milihat malam ini Ardha tampak berbeda. Jarang sekali melihat si Penyemangat memakai jaket di malam hari. Yang Fufy ketahui, Ardha orangnya kebal suhu dingin.

"Mau ngambil ponsel." Fufy ragu bertanya, "egh, tumben banget pakai jaket. Kamu sakit?"

Ardha diam, lalu menyadari. "Oh? Kan, mau keluar bareng kamu," balasnya.

Fufy memiringkan kepalanya bingung, "Jalan-jalan?"

Ardha terdiam sejenak. Apakah Fufy lupa? Fufy sendiri merencanakan akan mengantar dirinya bertemu dengan Andre.

"Nonton pertandingan basket?" Sontak Fufy menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Astaga, dia lupa. Andre pacarnya, seorang pemain basket yang sering tanding hingga tingkat provinsi. Malam ini, Andre latihan di Yogyakarta, tempat dirinya mengikuti lomba panjat tebing.

"Ah, lupa." Fufy menyengir, "kayaknya juga, Andre udah selesai latihannya."

Fufy menghampiri Ardha, "Mulai sekarang, kalau keluar malam harus pakai jaket. Fufy membaca bahwa di bulan Juli, zodiak cancer harus lebih jaga kesehatan, karena tidak tahan dingin."

Ardha tersenyum malu. "Benarkah? Bagaimana dengan sagitarius?" Mereka berjalan menuju kamar pak Indra.

Fufy mengeratkan pegangannya pada tali tas. "Sagitarius itu tahan dingin," jawabnya.

"Juga dingin hati," sambung Ardha.

"Hah?" Ardha tersenyum, "jalannya yang cepet, nanti kehabisan waktu." Ardha mengalihkan pembicaraan.

Fufy tersenyum kikuk, lalu menutup matanya. Fufy berteriak di dalam hati akibat kesenangan. "Manis banget!" teriak batinnya.

Sesampainya di kamar pak Indra, Fufy langsung mendapat ceramah dari Pelatihnya itu. Pak Indra marah karena Fufy berani bermain ponsel di tengah waktu perlombaan. Pak Indra juga berbicara tegas, akibat kelalaian Fufy yang hampir berakibat fatal.

"Kamu boleh menghubungi teman, pacar, orang tua sekalipun. Tapi ingat, jangan saat lomba berlangsung! Mengerti?!" Fufy menundukkan kepalanya.

"Dan lagi kamu harus bela-"

"Pak, sudah jam 10." Ardha memotong pembicaraan.

Pak Indra memijit pelipisnya pusing. "Baiklah, kalian silahkan beristirahat. Besok, jangan sampai terlambat," ucap pak Indra menyudahi.

"Baik, Pak," jawab mereka bersamaan.

Pak Indra lantas memberikan ponsel Fufy. Pandangan pak Indra beralih ke jaket yang melekat pada Ardha.

"Mau kemana kamu?" tanya pak Indra membuat Ardha panas dingin.

Buru-buru Fufy menjawab, "Ardha kedinginan, Pak."

Fufy merutuki dirinya sendiri. Sepertinya pak Indra sadar rencana mereka untuk melarikan diri.

Pak Indra mengerutkan keningnya, menunggu jawaban Ardha. "Benar?" Ardha membalas tatapan pak Indra.

"Ya.., begitu." Dan Pak Indra menyadarinya.

"Begitu? Lalu keluhan tentang suhu AC tadi bagaimana?" Fufy menelan salivanya.

Fufy mencoba mencari jawaban, "Pak, kondisi kita sedang tidak stabil. Bisa saja sekarang merasa dingin, sebentar sudah kepanasan. Pak Indra tau sendiri, kami baru saja menyelesaikan perlombaan menegangkan."

Pak Indra menghela napas panjang. "Itu benar. Namun, tidak ada pengampunan terhadap orang berbohong. Besok, kalian berdua push up 100 kali," ujar pak Indra penuh penekanan.

Fufy dan Ardha melototkan matanya. Itu dua kali lipat dari biasanya.

"PAKK!!"

...--...

Chapter 3

Tiga: Cancer Cari Perhatian

...---...

Fufy menghentikan langkahnya ketika merasa kesulitan bernapas. Ia menatap lapangan sepak bola nanar. Harus memutari empat kali, belum lagi menjalankan hukuman dari pak Indra. Fufy berjalan sempoyongan.

"Gak kuat, mau tiduran." Tubuh Fufy di dorong oleh Ranbi dari belakang.

Spontan Fufy berteriak, "Ini hukuman. Gerakkan kakimu cepat!"

Fufy melototkan matanya hendak protes. Namun kemudian, ia memasang wajah memelas kepada Ranbi. Ranbi yang sekalinya ngomong, percis seperti Ibunya.

"Atlet itu kuat!" Saraswati ikut menyoraki.

Fufy menatap kedua sahabatnya tajam. Entah disini dirinya yang lemah atau olahraga kali ini terlalu menyakitkan baginya. Fufy menarik napas guna melancarkan pernapasannya. Ia merasa tinggi badannya menurun.

Dengan tubuh lemas, tiba-tiba Ardha datang lalu berjongkok di depannya. Fufy mengernyit bingung.

"Ayo naik," ujarnya.

Namun Fufy masih diam, "Cepet. Keburu kehabisan waktu."

"Lucuk banget," batin Fufy.

Penyemangat tampan yang mampu membuat Fufy melakukan kebohongan berkali-kali. Ardha, idaman semua perempuan karena memiliki roti sobek. Lantas Fufy menyepak punggung si Penyemangat pelan.

"Weh?!" Ardha menyipitkan matanya, "satu putaran."

Fufy menarik sudut bibirnya. Dengan sekali loncatan, langsung saja Fufy melingkarkan kakinya pada pinggang si Penyemangat. Setelahnya, Fufy tersenyum puas. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.

"Berat juga," komentar Ardha. Dibalik itu, sebisa mungkin ia menyembunyikan rasa senangnya.

"Lebih baik setengah putaran. Berhenti di tiang itu." Ardha menolak.

Fufy mengayunkan kakinya, "Habis ini pijat kakiku."

Sejenak Fufy menahan napas. Wangi bau badan Penyemangat memanjakannya. Fufy menutup matanya sebelum langkah Ardha terhenti.

"Berat juga, ya," komentar Ardha membuat Fufy tertohok.

"Apa?" Fufy mendekatkan wajahnya, "gak, ini kakinya diem. Sedikit susah berjalan kalau kamu bergerak."

Terlihat sekali bahwa Ardha menyembunyikan perasaan senangnya. Ardha dengan pelan mengeratkan lingkaran pada kaki Fufy. Sementara Fufy yang berada di belakangnya menahan gejolak amarah.

Fufy kembali mengayunkan kakinya, "Turunin! Turun!"

Fufy memaksa agar Ardha menurunkan dirinya. Namun, tampaknya Ardha sama sekali tidak terlihat terganggu dengan tingkahnya. Justru akibat ulahnya, Ardha berjalan dengan langkah lebar.

"Turunin Fufy! Cancer denger, gak?!" Fufy merengek merajuk.

Ardha menipiskan bibirnya, "Iya, Sagitarius."

Pupil mata Fufy membesar. Ia kemudian menghentikan ayunan kakinya. "Ayo berhenti!" Lalu Fufy dengan sengaja mencubit tangan Ardha.

"Shh..," Terdengar helaan napas dari si Penyemangat.

Fufy menyodorkan botol minum kepada Penyemangat. "Sakit," rintih Ardha.

Spontan Fufy menarik tangan si Penyemangat, lalu mengelusnya. "Maaf. Sakit banget, ya?" Terlihat ada jejak merah di area lengan Ardha.

"Hm, banget." Melihat itu, rasa bersalah menyerang Fufy, "tangan kamu terlalu putih."

Fufy menyengir ketika Ardha menatapnya datar. "Pijitin," perintah Ardha.

Fufy mengiyakan cepat. Mereka berdua kemudian meluruskan kaki, lantas setelah beberapa saat Fufy beralih duduk di depan si Penyemangat bersiap untuk melakukan penyembuhan. Ardha melirik Fufy sejenak, lalu jari telunjuknya menunjuk kaki kanannya.

"Yang ini agak lemes," ucap Ardha.

Fufy menatap nanar luka cubitan ulahnya. "Maaf, ya," ungkap Fufy.

"Tidak apa-apa. Ada yang lebih sakit dari ini," balas Ardha membuat Fufy langsung tersadar.

Cepat-cepat Fufy mengumpulkan semua sisa kekuatannya untuk memijat kaki si Penyemangatnya. Dengan telaten Fufy memijit sembari melirik respon Ardha.

Muncul sedikit kekecewaan ketika Ardha bukannya tersenyum malu-malu seperti biasanya, malah kali ini dia tersenyum kecut. Selanjutnya pikiran Fufy penuh oleh berbagai pertanyaan.

"Panggilan kepada Davan dan Fufy untuk segera memasuki aula panjat tebing. Sekali lagi, Davan dan Fufy segera menemui pak Indra!" teriakan kakak Senior membuat semua atlet di lapangan menatapnya.

"Kenapa kita?" Fufy bertanya kepada Ardha.

Ardha mengamati aula panjat tebing dari lapangan. "Wih, panggilan medali, tuh. Cuyz, lo bagi lah pialanya," celetuk Saraswati dari belakang.

Fufy membalasnya dengan senyuman, "Boouldering manggil, tuh."

Ardha menatapnya, lalu mengangguk. "Ayo," ajaknya.

"Kalian enggak melakukan kesalahan, 'kan?" tanya Ranbi.

"Kekuatan kalian masih cukup?" Fufy mengerjapkan matanya, merasa firasat Saraswati menakutinya, "masih, kok."

Fufy kemudian segera berlari bersama Ardha menuju panjat boouldering. Setibanya, mereka berdua mendapat tatapan menuntut dari pak Indra. Ardha maju tanpa berbicara, lalu mulai melakukan push up.

"Bagus." Pak Indra menatap Fufy setelahnya, "kamu masih ingat?"

Fufy menunduk, lalu mengangguk. Dia mengambil tempat tepat di sebelah Ardha. Fufy berjongkok, lantas menumpu tangannya di tanah dengan kedua kaki lurus ke belakang. Di hitungan ke dua puluh, Ardha berhenti sejenak mengatur napasnya.

"50 kali, Pak?" tanya Ardha menawar.

Pak Indra menggeleng, "Seperti yang sudah dikatakan kemarin."

Spontan Fufy mendesah kecewa. Seratus kali bukanlah angka kecil. Bisa-bisa setelah ini dirinya pingsan.

"Cemangat, semangat!" kata Ali, atlet yang disebut senior.

Fufy menutup telinganya. Jelas itu ejekan, bukan berarti menyemangati. Diam-diam, Fufy melirik Ardha. Tampak kerutan di wajah Ardha, namun tidak ada keluhan.

Lalu Fufy melanjutkan hukumannya dengan semua sisa kekuatannya. Fufy dan Ardha melakukan hukuman itu hingga wajah mereka memerah, dengan keringat bercucuran di wajah.

Tidak sampai hitungan seratus, Fufy menjatuhkan tubuhnya di atas matras. Fufy memejamkan mata. Rasanya mau pingsan ketika hitungan enam puluh dilewati.

"Berotot kekar dah tu," ucap Istri, junior yang ahli di bagian leed.

Sesa tersenyum miring, "Pasti capek."

"Lah? Ngeselin banget." Mada dan Sesa bertatapan tajam.

"100!!" Sorakan para atlet berdengung membuat kedua alis Ardha mengkerut, "Penyemangat hebat!"

Fufy mengintip sedikit. Rupanya si Penyemangat berhasil menyelesaikan hukumannya. Dalam hati Fufy merasa senang. Ardha memang jagoannya.

"Bener 'kan, Pak? Davan aslinya tidak bersalah." Mada di pihak Ardha.

"Salah." Terdengar tawa dari Saraswati, "Ardha memang salah. Fufy difitnah."

"Lah? Fufy memanfaatkan temen gue, ***!" balas Mada kesal.

Saraswati melirik sinis, "Lah, loh, lah, loh. Ardha sukarela nerima hukumannya. Semua orang disini juga tau, Ardha itu Penyemangatnya Fufy!"

Fufy berguling-guling di atas matras. Pernyataan mereka adalah fakta. Namun kenyataan itu tidak dapat Fufy terima. Ia tidak memanfaatkan Ardha.

Karena Ardha adalah sang Penyemangat.

"Mada terlalu bacot," sosor Ranbi sontak membuat Mada terdiam.

"Udah. Waktu pemanasan habis," ujar Levi menyudahi.

Tubuh Fufy tersentak ketika seseorang menarik kakinya. Tubuhnya merosot. Fufy membelakkan matanya hampir berteriak.

"Udah minum?" Amarahnya langsung menghilang. Penyemangat, tidak lain Ardha duduk di depannya seraya membantunya meminum air.

Fufy tersenyum kecil sebagai ucapan terima kasih. Sejujurnya, dia merasa gugup berdekatan dengan Ardha. Juga rasa senang mendominasi.

"Sebentar." Fufy mengeluarkan sebuah tisu dari tasnya. "Keringat kamu banyak banget."

Fufy menelan salivanya. Tangannya bergerak cepat menghapus keringat Ardha. Namun, lain dengan matanya yang hanya fokus di satu titik. Yaitu hidung Penyemangatnya.

Begitu sempurna, hingga mampu membuat dirinya terpana. "Makasih," ungkap Ardha membuat Fufy tersadar.

Tergesa-gesa Fufy menggeledah tasnya. "Duh, ponselnya dimana?" gumam Fufy.

Ardha menjauhkan tubuhnya sedikit. Tidak perlu dipertanyakan lagi, Fufy ingin menghubungi seseorang. "Nelpon siapa?" Ardha bertanya.

"Ardi." Mendengar itu, sontak Ardha berdiri dengan tangan mengepal. Satu-satunya cowok yang ia tidak ketahui wajahnya.

Cowok yang katanya bersifat dingin itu menarik Fufy dan memanfaatkannya. Bukan pacar bermodal.

"Masih latihan. Lebih baik nanti saja," ucap Ardha, "Mau ketemuan?"

Fufy menaruh kembali ponselnya, "Enggak, kok. Males sama Ardi."

"Cuek, ya?" tebak Ardha, "Iya. Susah digapai."

Ardha terkekeh kecil, "Kayak kamu."

"Ya?" Ardha menggeleng.

"Gantian, ya. Py, asah speed dulu." Pak Bima memanggil.

Fufy menaruh kembali tasnya. "Adu kecepatan?" Fufy menantang Ardha.

"Lakukan." Ardha membalas seraya tersenyum miring.

Ardha menjulurkan lidahnya. Tidak mudah bagi Fufy berlatih speed. Dibutuhkan kefokusan, kecepatan, dan keseimbangan agar bisa menjadi juara speed. Sayang, Fufy tidak ahli di bagian speed.

Tetapi tidak dengan Ardha. Ardha adalah ahlinya. Ardha memasukkan tangannya ke dalam kantong magnesium, mengambil kapur secukupnya, dengan bertekad kuat, Ardha memfokuskan dirinya pada poin-poin papan panjat.

Lawannya kali ini adalah Mada, temannya. Mereka saling menatap. Tidak ingin menggunakan otot secara berlebihan, karena tadi dirinya sudah menyiksa otot-ototnya.

"Minggir, nae. Mau rekam nih, mau rekam atlet kebanggaan kita," ucap Levi mendekat pada papan.

Atlet yang bernama Levi itu adalah senior disini. Umurnya tidak jauh dari Fufy, namun pangkatnya disini sudah seperti guru. Levi sering membantu adik-adik yang baru mengikuti olahraga panjat tebing.

"Pegang talinya kuat. Siap?" Pak Indra bersuara.

Fufy ikut mengepalkan tangan akibat tegang. "Ya!" Ardha berpegang kuat pada point, memanjat ke atas dengan kecepatan cukup cepat, lalu berhenti ketika menyentuh bonus point.

"Wait, 10 detik!" Seruan pak Bima menghebohkan atlet lainnya.

Fufy memberikan senyum bangga kepada Ardha. "Kece, 10 detik!" Santi berucap.

"Makasih Penyemangat," ucap Ardha menghampiri Fufy.

"Eh? Gak salah?" Mereka tertawa kecil.

"Selanjutnya Fufy dan Levi," lontar pak Bima.

Fufy segera memakai sepatu panjat tebing. Sepatu yang berfungsi melindungi dan memudahkan dalam menginjak tebing, terlihat kecil. 

"Siap dong, kak?" Fufy mengangguk menjawab pertanyaan Levi.

Kemudian Levi memakai sabuk pengaman panjat tebing. Mereka berdua mengamati papan panjat dengan serius. Fufy berharap dirinya menang. Tidak mudah mengalahkan Levi sebagai senior disini. Levi yang terkenal sampai internasional, bukan lawannya.

"Semangat!"

"Jepit kupu-kupu!" Ardha berseru.

"CIEE!!"

Pak Indra mengatur waktu. Matanya beralih ke arah Mada dan Ardha yang tengah memegang tali. "Dengan erat. Sudah siap?" tanyanya.

Fufy dan Levi mengangguk bersama, "Ya!"

Ranbi berteriak, "AYO FUFY CEPAT!"

Kedua tangan Ardha berkeringat. "Cepat, cepat!" seru pak Indra ikutan panik.

Fufy terlihat sedikit susah naik menginjak point, sehingga semua gemas melihatnya. "Cepat, cepat!"

Kata itu terus berputar di pikiran Fufy. Telinganya hanya mendengar kata itu. Fufy menguatkan kakinya.

Seiring waktu berjalan, tangan Fufy melemah. Otot bahunya melemas. Fufy merasa otot bagian atas tubuhnya melemas. Di tengah perjalanan, Fufy turun dengan wajah pucat.

Semua menghampirinya. Fufy kehilangan kesadaran. Ardha berlari menghampiri Fufy setelah memastikan ikatan tali panjat.

"LEVI SANG JUARA!" teriakan atlet lainnya.

Levi turun sambil melihat ke bawah. Matanya fokus tidak beralih dari Fufy. Sementara itu, Fufy di tidurkan di atas matras oleh Ardha.

"Ada yang bawa minyak?"

Ardha menatap cemas wajah Fufy, lalu bergumam. "Jangan menyiksa, tolong."

...---...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!