Namanya adalah Amelia. Usianya saat ini tiga puluh tahun tahun. Dan dia sudah menikah dengan seorang pria tampan nan baik hati bernama Solehuddin.
Mereka baru saja merayakan anniversary pernikahan yang sudah memasuki tahun ke-sepuluh seminggu lalu.
Baginya Mas Soleh adalah segalanya.
Pria yang baik, penyayang dan juga penuh tanggung jawab, ditambah bonus wajah tampan rupawan yang membuat Amelia selalu bersyukur dan bersyukur.
Rumah tangga mereka bahagia.
Saling melengkapi satu sama lain.
Amelia yang introvert, berjodoh dengan Soleh yang periang dan humoris.
Suasana rumah tangga mereka tentu saja menjadi hangat dan mesra tanpa pemanis buatan. Meski di awal sempat kesulitan menyatukan visi misi karena karakteristik yang sangat bertolak belakang dari segala sisi.
Amelia pendiam, sedangkan suaminya orang yang supel dan pandai bergaul.
Amelia pemalu, Soleh kebalikannya. Temannya banyak dimana-mana.
Tetapi semakin kesini, mereka semakin bisa saling mengimbangi.
Hanya satu kekurangan dari pernikahan mereka yang harmonis. Belum hadirnya seorang anak di antara Amelia dan Solehuddin. Hanya itu saja.
"Assalamualaikum!"
"Waalaikum salam..."
Amelia yang membukakan pintu melihat wajah masam Ibu Mertuanya.
"Ibu, Bapak, silakan masuk!" sapanya seraya meraih tangan Mariana dan Anta, pasangan suami istri kedua orang tua Solehuddin.
"Mana putraku?" tanya Mariana dengan suara ketus.
"Sudah pergi lagi ke pabrik, Bu! Bapak Ibu sebaiknya istirahat dulu. Pasti capek habis perjalanan jauh. Mau Amel buatkan teh manis hangat?"
Sang Menantu menyambut kedatangan kedua mertuanya dengan penuh sopan santun.
Sangat beda sekali dengan penerimaan Kedua Mertuanya pada si Menantu.
"Sudah tahu cuaca panas, malah diberi suguhan teh manis hangat! Dasar Mantu Oneng!"
Begitulah Mariana, begitu entengnya menjuluki sang menantu dengan sebutan 'Menantu Oneng'.
Amelia sendiri sudah faham betul tabiat Mariana. Ibu mertuanya itu julid sekali kepadanya bahkan sampai terlihat oleh semua orang kalau beliau tidak menyukainya.
Diawal-awal pernikahan, Amelia seringkali menangis merasakan sakit di hati terdalam karena sikap ketus dan judes Mariana kepadanya.
Alih-alih tidak suka dengan semua yang ada di diri sang menantu, tetapi putra tercintanya justru semakin sayang dan cinta pada Amelia.
"Masak apa?"
"Belum masak, Bu! Tadi Amel nyetrika pakaian Bang Soleh dulu. Baru mau belanja sayuran. Hehehe..."
"Ck. Istri macam apa kamu?! Gini hari belum beres apa-apa. Uyuhan si Soleh betah beristrikan kamu! Kalo anak orang kaya sih lumrah! Ini, anak petani miskin aja belagunya luar biasa!"
Amelia menunduk.
Seperti biasa, ocehan Mariana setiap kali menyambangi rumah kontrakan mereka selalu menyakitkan hati.
Kini Ia tidak lagi terlalu ambil pusing. Cukup diam dan anggap saja seperti angin kencang yang masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Begitu kini jalan ninja Amelia menyiasati semua komentar pedas ibu mertua.
Dari cerita beberapa temannya di grup alumni sekolah dasar, memang Ibu mertua selalu punya banyak cerita. Mertua cerewet, mertua yang tidak pernah puas dengan hasil kerja menantu, Mertua yang suka drama dan mengadu domba, Amelia sudah sering dengar cerita klasik seperti itu.
Amelia bukan tipikal perempuan yang mudah bercerita kepada semua orang tentang sifat suami dan mertua.
Ia lebih suka memendam sendiri di dalam hati.
Cukup berchat sewajarnya saja ketika sedang online di grup alumni sekolah dasar tempatnya dulu menuntut ilmu.
Soleh sang suami bahkan pernah beberapa kali menyuruhnya untuk left dari grup seperti itu. Grup unfaedah katanya.
Amelia juga sudah menuruti kata suami. Ia keluar grup setengah izin pamit dengan alasan hape kentang nya sering nge-lag.
Tetapi tetap saja Suminah, teman sebangkunya dulu di SD kembali lagi memasukkan nomor WhatsApp nya ke grup alumni SD.
Amelia telah memberi penjelasan kepada Soleh kalau dia jarang komentar apalagi ikut nimbrung dalam obrolan karena bingung ingin menulis apa dan bercanda yang bagaimana.
Amelia adalah pribadi yang pendiam, pemalu dan seorang introvert yang lebih suka berdiam diri di rumah mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bahkan Ia lebih suka melakukan hal-hal seperti melukis, merajut di sela-sela kejenuhannya setelah pekerjaan rumah tangga selesai dilakukan.
Mereka menikah sudah sepuluh tahun. Tetapi masih tinggal di rumah kontrakan berukuran 7 x 8 meter dengan dua kamar tidur, ruang tamu, ruang keluarga, dapur dan kamar mandi.
Amelia selalu mencuci pakaian secara manual. Sampai saat ini masih belum bisa membeli mesin cuci karena gaji bulanan Soleh hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari. Bayar kontrakan rumah, bayar cicilan motor, dan mengirim uang bulanan lima ratus ribu kepada Mariana dan Anta rutin.
Lemari es yang mereka punya pun saat ini dibeli second dari tetangga yang jual butuh.
Televisi, mereka beli di awal tahun pernikahan hasil dari isi amplop para tamu undangan yang sengaja Soleh sisihkan waktu itu dan tidak diberikan semua kepada Mariana juga Anta.
Tapi tetap saja, kedua mertuanya itu selalu menyalahkan Amelia adalah istri yang boros.
Bayangkan, gaji Soleh anaknya itu hanyalah UMR kota kecil pinggiran Jakarta. Sedangkan pengeluaran justru lebih besar daripada pemasukan.
Amelia sampai sering puasa Senin Kamis guna menyiasati agar keuangan mereka cukup untuk jangka waktu sebulan.
Amelia pernah mengutarakan keinginannya ikut bekerja untuk membantu perekonomian keluarga kecil mereka yang morat-marit, tetapi Soleh melarang. Alasannya, Ia ingin menikah dan cita-citanya adalah memiliki istri yang duduk manis berdiam diri di rumah. Biar dia yang bekerja mencari nafkah di luar rumah.
Amelia tidak perlu pusing ikut campur mencari nafkah, karena sejatinya yang wajib bekerja itu adalah suami, bukan istri. Begitu seloroh Soleh tempo hari.
Amelia akhirnya hanya bisa pasrah menuruti kehendak sang suami, walaupun keadaannya sebagai ibu negara pengatur keuangan rumah tangga dirinya sangat pusing tujuh keliling.
Pernah suatu kali Soleh sengaja tidak mengirimkan uang sangu pada Mariana dan Anta karena harus bayar pajak motor yang sudah jatuh tempo. Ternyata, selama sebulan Amelia jadi bulan-bulanan Mariana juga Anta baik via japrian maupun disatroni langsung ke rumah kontrakan mereka. Makian pedas melebihi bon cabe level sepuluh seketika melesat tepat di ulu hati Amelia.
Julukan istri pencuci otak suami-lah, perempuan yang pintar drama-lah, istri yang suka meras suami-lah. Pokoknya macam-macam makian serta sindiran pasangan mertua yang kompak itu meneror Amelia di belakang Soleh.
Anehnya, di depan Soleh mereka terlihat wajar dan biasa. Tak memperlihatkan kebencian yang begitu berakar pada Amelia.
Tapi ketika Sang Suami tidak ada di rumah, Mariana dan Anta menyerang Amelia silih berganti.
"Heh, kenapa malah bengong? Bukannya belanja, masak. Ada mertua malah dicuekin! Ck!"
Amelia tersentak dari lamunan.
"Maaf, Bu! Amel pamit ke warung dulu ya?" ujarnya dengan wajah merah padam karena malu.
"Amel! Jangan lupa, belikan bapak Beng-Beng se-box. Terus taruh di freezer biar beku! Bapak mau tidur dulu sebentar!"
"I_iya, Pak!"
Amelia pergi ke warung dengan hati bingung.
Sekarang tanggal 20. Gajihan Suaminya baru akan turun lima hari lagi.
Uang belanja tinggal lima puluh ribu di dompet bekas beli cincin yang sudah kusam dan pudar warnanya.
"Gimana ini? Aduuh, aku bingung!" gumam Amelia pada dirinya sendiri.
Haruskah Ia berhutang dulu pada Ibu warung padahal selama ini Amelia berusaha untuk tidak sampai memiliki hutang pada siapapun karena pastinya sang suami akan marah besar jika itu terjadi.
Amelia menggaruk-garuk kepalanya yang runyam.
BERSAMBUNG
Amelia akhirnya dengan sangat malu menunggu pembeli lain hingga selesai berbelanja demi untuk bernegosiasi dengan Ibu Saodah, pemilik warung yang tak jauh dari rumah kontrakannya.
"Ya ampun, Neng! Ga apa-apa, sok aja. Kayak yang baru kenal aja. Ibu percaya koq sama Neng Amel. Selama ini juga gak pernah punya hutang khan, silakan, ambil aja butuhnya apa. Biar Ibu buatkan bon. Akhir bulan bisa di bayar! Banyak koq tetangga lain yang ngontrak pada begitu! Asalkan bayarnya bener, pasti ibu kasih ngutang!"
Ini yang paling Amelia cemaskan. Berhutang lima puluh ribu rupiah, tetapi obrolan jadi panjang kali lebar meleber kemana-mana.
Tetapi daripada Ibu serta Bapak Mertua lebih panjang ocehannya dari Bu Saodah si pemilik warung, Amelia hanya bisa pasrah menerima nasib ini.
Selepas dari warung, Amelia segera memasak untuk menjamu makan siang Mariana serta Anta yang sedang beristirahat di kamar tidur.
Sebenarnya Amelia sudah bertekad untuk puasa bahkan sudah membaca niat sehabis sholat subuh. Tetapi akhirnya dibatalkan karena pastinya setelah makan, Ibu mertuanya akan meminta Amel untuk memijat seluruh tubuh.
Amelia butuh tenaga yang besar karena pastinya keringat akan jatuh bercucuran di pori-pori kulit sekujur badan.
Jika Ia teruskan berpuasa, pasti tenaganya lemah dan bentakan Mariana akan langsung menghujam di jantung. Amel tidak inginkan itu.
Dia berharap kedua mertuanya hanya menginap satu dua malam seperti biasanya setelah mendapat uang sangu dari putra pertama mereka.
Benar saja, selesai makan siang Mariana sudah memberinya kode.
Wanita paruh baya itu terlihat menggeliatkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Kemudian mengeluhkan pinggangnya yang sakit dengan alasan terlalu capek bekerja di rumahnya.
Padahal posisinya sama seperti Amelia. Hanya IRT yang tidak bekerja. Begitu juga dengan Anta. Sejak kena PHK massal tujuh tahun yang lalu di perusahaan tekstil tempatnya bekerja, bapak mertua Amelia itu tidak lagi bekerja.
Mereka hanya keliling memungut uang dari keempat putra-putrinya yang sudah menikah dengan diktator seorang wajib memberikan uang sangu sebesar lima ratus ribu per bulan untuk biaya hidup mereka berdua.
Soleh sang suami adalah putra pertama mereka, mau tidak mau harus jadi pelopor anak yang baik bagi ketiga adik-adiknya.
Amelia juga tidak bisa melarang. Apalagi Anta memberikan sebuah dalil yang isinya kalau anak laki-laki masih memiliki kewajiban membahagiakan orang tua dan memberi nafkah lahir meskipun sudah menikah.
Selama sepuluh tahun Amelia bungkam meskipun sebenarnya hati kecilnya ingin berontak.
Sebagai seorang istri, Ia harus bisa menempatkan diri dengan baik. Menjadi istri yang penurut, dan juga tidak tambah membebani Soleh. Apalagi suaminya adalah pria yang setia dan tidak suka berbuat yang aneh-aneh selama ini.
Ditambah dia pun tidak bekerja. Hanya diam di rumah dan mendoakan agar sang suami senantiasa sehat dan diberikan rezeki yang berlimpah dari Allah SWT.
Hari itu Amelia harus sediakan ekstra tenaga serta hati yang luas seluas samudera.
Perkataan ibu mertuanya yang julid, serta ocehan bapak mertua yang pedas mau tidak mau harus Amelia terima.
Sebagai menantu yang baik, Ia mencoba legowo mendengar ocehan serta sindiran keduanya yang semakin menyakitkan.
Pukul setengah enam menjelang malam, Solehudin pulang dari bekerja.
Wajahnya terlihat lelah dan tubuhnya juga tampak lemas karena pekerjaan yang menumpuk dan tekanan atasan yang kian besar.
"Amel! Apa kamu ini tidak bisa mengurus suami sampai keadaannya jadi jauh lebih tua dari umurnya?" semprot Anta merasa kasihan pada putra sulungnya itu.
Amelia yang canggung semakin tergagap. Untungnya Soleh segera mengambil alih pembicaraan dengan mengatakan kalau dirinya seperti ini bukanlah tekanan dari Amelia sebagai seorang istri. Melainkan dari pekerjaannya yang kian berat.
Amelia berusaha memperlihatkan caranya mengurus dan memberikan kenyamanan kepada Solehudin dihadapan Mariana dan Anta.
Harapannya adalah agar mertuanya bisa menilai sendiri kalau keluarga kecil mereka dalam keadaan baik-baik saja selama ini, walau belum ada seorang anak yang hadir menjadi perekat hubungan suami istri.
Selepas makan malam pukul tujuh, kedua pasangan suami istri beda generasi itu duduk-duduk mengobrol santai di teras rumah dengan camilan dan segelas kopi serta teh manis sebagai minumannya.
"Soleh, kamu sudah berumah tangga selama sepuluh tahun!"
"Iya, Pak!"
"Bapak sama Ibu ada yang mau dibicarakan secara serius kali ini!"
Solehudin duduk tegak. Ia mulai menyimak ucapan bapaknya dengan seksama. Begitu juga Amelia, yang sedang mengupas mangga simanalagi yang Soleh beli di perjalanan pulang dari kerja.
"Soleh!"
"Ya, Pak?"
"Menikahlah lagi!"
Amelia merasakan sakit di bagian ulu hatinya mendengar perkataan Bapak mertuanya itu.
Solehudin, sang suami justru tertawa mendengar Anta bicara.
"Mbok ya kalo guyon tuh yang elegan dikit lah, Pak!" timpal putra sulungnya itu dengan gaya khasnya.
Solehudin memang pribadi yang humoris dan suka sekali bercanda. Temannya banyak, jiwanya juga lebih rileks dan lebih lepas dibandingkan Amelia yang seorang introvert.
Tentu saja penerimaan ucapan bapaknya ditanggapi dengan santui sekali, berbeda dengan Amelia yang langsung gemetar dan ketar-ketir setelah mendapati perkataan sang bapak mertua.
"Aku ini serius, Solehudin!"
Suara Anta kali ini lebih tegas dengan nada bicara yang kuat.
Soleh masih tersenyum-senyum menanggapinya.
"Ya lucu saja kalau bapak bilang serius! Selama ini bapak juga suka guyon bukan? Suka godain Mbakyu Karti, tukang jamu keliling yang sering menawarkan jamu kuat buat bapak tapi kenyataannya hanya guyonan saja!" balas Soleh membuat Mariana, ibunya mendelik.
"Hahaha...!" sontak Soleh tertawa lepas.
Amelia hanya menunduk, melanjutkan kembali tangannya mengupas kulit buah mangga. Lalu mengirisnya masuk pinggan yang ia sediakan.
"Pulanglah dulu ke kampung akhir bulan ini! Aku dan bapaknya Siti Juriah sudah membicarakan pernikahan kalian yang akan digelar awal bulan depan!"
"Hahh???"
Soleh terperangah. Amelia memekik kaget. Jari tangannya berdarah terkena mata pisau yang tajam. Ia pun menghentikan kegiatan mengiris buah mangga dan bergegas ke dapur mencuci tangannya yang mulai berlumuran darah.
"Amel!"
Soleh beranjak dari duduknya. Ia berjalan cepat menuju Amelia yang sedang mencuci tangannya di bawah kucuran air mengalir dari kran wastafel dapurnya.
Soleh meraih jemari Amelia. Mengh+sap jari telunjuk kanan Sang istri yang luka kena sayatan tajamnya pisau dapur.
"Ga apa-apa koq, Bang! Cuma luka kecil!" tutur Amelia dengan senyuman.
Bukan tanganku yang terluka parah, Bang! Tapi hati ini, tersayat oleh ucapan bapakmu yang tidak masuk akal itu! Gumam hati kecilnya. Berharap Sang Suami mendengar dan segera menjawab bapak mertuanya yang telah membuat keputusan tanpa kompromi lebih dahulu itu.
"Hei, Soleh! Kamu koq ga dengerin ucapan bapak?!" tegur Anta marah karena anaknya terlihat acuh cuek bebek dengan ucapannya.
"Apa sih, Pak?! Amel nih tangannya berdarah kena pisau! Cobalah untuk bersimpatik sedikit!" jawab Soleh mulai gem+s dengan perkataan Anta, bapaknya.
"Yaelah! Tibang kena pisau sedikit, sudah manja! Bagaimana kalau masuk ruang operasi dibelek-belek itu kulit. Cengeng betul jadi perempuan!" Kini Mariana ikutan nimbrung menimpali komentar Soleh soal luka sayat di tangan Amelia.
"Hhh... Ibu, tolong jangan jadi provokator!"
Mata Anta membelalak.
"Soleh! Jangan bentak Ibumu karena lebih membela perempuan yang membuat hidupmu susah terus itu!"
"Bang!..."
Amelia menggeleng pelan. Berharap sang suami tidak lanjutkan ucapan yang semakin membuat pusing kepalanya.
Soleh menghela nafas. Hanya Amelia yang bisa meredam emosinya. Dan dia kembali duduk di sebelah Ibu serta Bapaknya.
Berdiskusi dengan hati setengah karena obrolan ini mulai meresahkan jiwa kedua pasutri muda itu.
BERSAMBUNG
"Anaknya teman Bapak seorang perawan. Umur dua puluh dua tahun, namanya Siti Juriah. Bapaknya ingin dia segera menikah. Dan setuju biarpun menikah jadi istri kedua!"
"Bapak?"
"Kenapa? Bagus kan!? Kamu menikah lagi dengan anaknya teman Bapak tanpa harus menceraikan Si Amel? Kesempatan langka yang ga akan ada dua kali dalam hidupmu. Bahkan banyak laki-laki menginginkan hal itu terjadi!"
Tentu saja Soleh meradang. Bagaimana bisa Ia menikah lagi sedangkan saat ini statusnya sudah menikah.
"Tinggal si Amel yang tentukan pilihan!" sela Mariana, Ibunya dengan sikap cuek seolah poligami bukan masalah besar baginya.
"Bu! Kenapa Ibu ga mikirin perasaan Amel sama sekali? Ibu juga perempuan kan? Mana mau Ibu dimadu Bapak? Pasti Ibu juga menolak!" kilah sang putra dengan suara nge-gas.
"Ibu akan mengikuti langkah ini kalau Ibu jadi istrimu itu! Kenapa? Karena punya kekurangan, belum bisa memberikan keturunan!!!" timpal Mariana tak kalah sengit pada anak sulungnya itu.
"Bu!!! Amelia bukannya punya kekurangan! Tapi hanya belum dikasih kesempatan sama Yang Maha Kuasa untuk bisa memberiku keturunan!"
"Hei, Soleh! Jaga ucapanmu pada Ibumu! Dia yang melahirkanmu!!! Si Amelia itu cuma istrimu! Kalau Allah berkehendak, kalian bisa saja bercerai. Tapi Ibu sampai mati pun tetaplah Ibu. Ibu yang melahirkan dan membesarkanmu sampai jadi orang!!!"
Anta marah besar. Kini keadaan semakin memanas.
"Kau lebih memilih istri ketimbang kami, orangtua yang jelas-jelas selalu ada untukmu sejak kau masih bayi merah! Padahal istrimu belum tentu ada sampai kau tua dan mati!!!"
Solehudin menunduk. Wajahnya pucat pasi menahan emosi.
Amelia tak kalah gemetar melihat dan menyaksikan sendiri kekuatan kedua mertuanya yang sangat jelas menginginkan sang suami menikah lagi.
Entah dia harus bagaimana dan seperti apa. Tak faham pada apa yang akan terjadi kedepan nanti.
Amelia tak kuasa melanjutkan obrolan yang terkesan menyudutkan dirinya. Orang tua Soleh bahkan seolah menjadikannya kambing hitam atas semua ketidak beruntungan anaknya dalam hidup, membuat Amelia bangkit dan masuk ke dalam kamar.
Soleh sendiri tidak berani mengejar Amelia dan beranjak dari tempat duduknya di hadapan Ibu Bapaknya yang inginkan dia menuruti semua kehendak.
"Menikahlah lagi! Aku tidak minta kamu menceraikan Amelia!" kata Anta sekali lagi dengan tegas.
Soleh terdiam terpekur menatap knat lantai rumah kontrakan mereka yang dingin.
"Bukan menyuruh cerai! Dan dimana bisa kamu dapatkan perempuan yang mau dijadikan istri muda hanya demi status saja! Kami ini sangat berbaik hati, membuat kehidupanmu lebih bagus lagi, Soleh!" timpal Mariana dengan suara cemprengnya.
Amelia yang mengintip dari balik pintu merasakan tubuh lemas dan lututnya gemetar.
Kedua mertua menyuruh suaminya untuk menikah lagi. Bahkan tanpa perlu susah payah mencari istri lain yang bisa sesuai harapan mereka.
"Ini. Lihat fotonya! Cantik, manis. Bahkan lebih muda dari istrimu yang gabug itu!"
Bagaikan petir menyambar di atas kepala. Amelia mendengar Ibu mertuanya mencapnya dengan label gabug. Dalam bahasa Indonesia artinya mandul, tidak punya anak.
Amelia menahan tangis di balik pintu.
Tetes demi tetes air mata meluncur membasahi kedua belah pipinya.
Ingin sekali melawan, tapi tidak kuasa.
Ingin membangkang, Ia juga tak berani.
Hanya menangis sendirian tanpa ada yang menghibur kesedihan hatinya yang luluh lantah bagaikan dihempas angin badai yang membabi buta.
Sepuluh tahun. Memang waktu yang cukup panjang untuk Amelia dalam penantian.
Tuhan Azza Wajalla belum juga memberikan kepercayaan dan kesempatan pada Amel agar bisa seperti perempuan bersuami pada umumnya.
Hamil, melahirkan, menyusui. Tiga hal yang paling Amelia cemburui dari para teman juga tetangga yang sudah dan sedang merasakan.
Dia, 30 tahun, namun belum juga mendapatkan kebahagiaan itu. Solehudin usianya lebih tua lima tahun dari Amelia. Sudah pasti juga memiliki kerinduan akan hadir momongan sama seperti istrinya.
Seringkali Amelia menangis sesegukan di dada bidang Soleh. Mengungkapkan kegundahan hatinya yang begitu ingin diberi momongan.
Tapi apa mau dikata. Tuhan belum juga memberi jawaban.
Tangis Amelia kian pecah, ketika terdengar lagi suara Bapak mertuanya yang bilang kalau semua sudah diatur di kampung.
Soleh cukup pulang dan datang ke kampung halaman. Maka prosesi pernikahan itu tinggal dilaksanakan saja tanpa menunggu lama.
Bahkan tanpa perlu Soleh memikirkan biaya untuk pernikahan. Cukup duduk manis pasang badan, ucapkan ijab kabul, selesai. Dan resmi jadi suami.
Tapi satu yang paling Amelia sesalkan. Ia harus mau kerja sama. Mau tanda tangan dan menyetujui kalau Sang suami boleh menikah lagi.
Artinya pernikahan kedua Soleh dilakukan secara resmi. Bukan nikah batangan atau nikah siri. Dan mereka berdua mendapatkan buku nikah resmi dari pihak KUA setempat.
"Amel, Amelia!"
Amelia mengusap air matanya. Ia segera menjawab panggilan Mariana dan bergegas membenahi wajah serta penampilan yang acak-acakan.
Amelia berjalan bagaikan hendak disidang di ruang pengadilan. Amelia berjalan bagaikan tersangka yang menunggu vonis.
Kedua mertua dan juga suaminya menatap Amelia dengan berbeda pandangan.
"Duduk!"
Istri Solehudin itu menurut.
"Amelia! Dengarkan, Aku mau bicara!"
Anta memimpin diskusi yang sudah Amelia prediksi bakalan menyakitkan itu.
"Izinkanlah Soleh menikah lagi! Berikan tanda tanganmu, untuk masa depan orang yang kamu cintai. Jangan jadi perempuan yang keras kepala!"
Amelia merasakan jantungnya nyeri.
"Setujui pernikahan ini, Amel! Dengar, ini untuk keluarga kami dan juga keluarga kecil kamu. Keluarga Siti Juriah memberikan sebidang sawahnya untuk Bapak. Jadi Bapak tidak perlu tergantung lagi pada uang gaji bulanan Soleh!"
"Tapi...,"
"Kenapa? Takut rezeki kamu berkurang?" sela Mariana gemas dengan kata 'tapi' yang Amelia ucapkan.
"Bu!" Soleh ikut angkat bicara.
"Kamu ini tidak perlu memikirkan urusan dapur dengan Juriah! Dia punya segalanya di kampung! Perempuan itu anak orang kaya raya dan ga butuh nafkah lahirmu! Cukup nafkah batin saja. Kurang apalagi coba?! Dimana ada orang tua yang memberikan jodoh terbaik satu lagi selain orang tuamu ini, Soleh!"
"Iya. Emang. Ga ada orang tua yang berfikiran aneh-aneh seperti Bapak Ibu! Orang tua lain justru menasehati anaknya yang sudah nikah untuk tidak poligami! Tapi Bapak Ibu, otaknya sudah koslet!" tutur Soleh dengan menekan intonasi suara serendah mungkin.
Soleh ingat kata guru mengajinya ketika masih kecil. Tidak boleh berkata kasar kepada kedua orang tua. Dosa besar dan hidupnya tidak akan diberkahi Tuhan.
"Hhh..."
Anta menghela nafas.
"Bapakmu berhutang banyak pada Bapaknya Juriah!"
Soleh terperangah.
"Hutang apa? Pasti hutang judi togel Singapura itu kan?"
Soleh kini sudah habis kesabaran.
Amelia yang sedari tadi duduk diam hanya bisa menundukkan kepala. Tak ikut larut dalam pembicaraan kecuali hanya jadi pendengar setia saja.
Akal sehatnya sudah menguap juga. Tapi Ia hanya pasif tak bergeming dan ikut campur urusan keluarga sang suami yang bisa membuatnya gila.
Hardikan dan omelan saling serang saling bantah antara anak dan Bapak hanya ditanggapi dingin oleh Amelia yang duduk diantara mereka.
Mariana sesekali melontarkan kata-kata untuk membantu Anta suaminya, dari serangan amarah Soleh yang kesal tingkat dewa.
Hanya satu harapan Amelia, suaminya tetap pada pendirian. Menolak keras keinginan Ibu Bapaknya yang menyodorkan seorang gadis untuk dinikahi jadi istri muda suaminya.
BERSAMBUNG
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!