Seorang gadis masih tertidur pulas, ditarik paksa dari ranjang yang ia tempati.
"Auww!" pekik Anaya.
Satu ember berukuran kecil berisi air mendarat ditubuh Anaya yang tergeletak di lantai.
"Bangun pemalas!" teriak seorang wanita paruh baya berusia 42 tahun
Anaya mendongakkan kepalanya kepala dengan tubuh gemetaran, "Aku sudah bangun, Bu!" berkata dengan terbata.
Wanita yang bernama Nuni melemparkan ember di samping tubuh putrinya membuat gadis itu tersentak kaget.
Nuni menarik rambut Anaya agar berdiri.
Anaya pun berdiri dengan memegang rambutnya.
"Mandi dan percantik dirimu, aku dan ayahmu akan menjual kamu!" Nuni menekankan kata-katanya penuh kebencian.
"Aku mau dijual dengan siapa, Bu?" tanya Anaya gemetar.
"Tentunya orang kaya yang dapat melunasi seluruh utang-utang kami!"
"Bu, aku tidak mau dijual. Aku akan melakukan apapun untuk melunasi utang kalian!" mohon Anaya dengan menangis.
Nuni mendorong tubuh putrinya secara kasar. "Mau kerja apa kamu untuk melunasi utang kami, hah!"
"Apapun itu, Bu!" Anaya berlutut di kaki ibunya.
"Sampai mati pun kamu bekerja tidak akan mampu melunasi utang kami dan solusinya kamu harus dijual dengan orang kaya itu!" Nuni berkata lantang.
Pintu depan rumah Anaya terbuka, seorang wanita lebih muda dari Nuni berlari mendekati Anaya dan memeluknya.
"Cih, kamu ingin membelanya!" Nuni melipat tangannya.
"Kakak ipar, kamu sungguh tega!"
"Hei, aku ingin memberikan dia pelajaran!"
"Bukan begini caranya, Kak."
"Lalu bagaimana?" tanya Nuni menantang.
"Berikan dia kepadaku!" jawabnya.
"Urus dia dan aku mau dia menjadi pelunas utang-utang aku dan Mas Emir!"
"Baiklah, Kak."
Nuni pun pergi.
Wanita itu membantu Anaya berdiri.
"Bibi, mereka ingin menjualku. Tolong aku!" mohonnya.
"Bibi, akan membantumu!"
"Terima kasih, Bi!"
"Sekarang kamu pergilah mandi, Bibi akan mempersiapkan sarapan untukmu!"
Anaya mengangguk.
Widuri melangkah ke dapur menyiapkan sarapan buat keponakannya lalu ia bawa ke kamar.
"Kamu sudah selesai mandi?" tanya Widuri dengan lembut.
"Sudah, Bi." Anaya tersenyum seraya menyisir rambutnya.
"Ini sarapan kamu, makanlah terlebih dahulu!" Widuri meletakkannya di atas nakas
"Iya, Bi." Anaya meraih piring berisi nasi putih dan telur dadar.
Anaya menyantapnya dengan lahap.
Widuri tersenyum melihat keponakannya itu makan dengan semangat.
Anaya pun selesai sarapan.
Widuri mendekati Anaya lalu menyisir rambut keponakannya, "Apa kamu menyayangi ibu dan ayahmu?"
"Iya, Bi."
"Apa kamu tidak ingin membalas kebaikan yang mereka?"
"Ingin, Bi."
"Orang kaya itu masih muda dan tampan, dia berani membeli kamu dengan harga mahal. Apa kamu tidak mau dengannya?"
"Bi, aku takut jika pria itu kejam."
"Tidak, dia pemuda yang baik. Dia ingin menikahimu jadi kata-kata membeli itu ibarat seorang gadis diminta dari kedua orang tuanya," tutur Widuri.
"Menikah? Aku dan dia belum pernah bertemu, bagaimana mungkin kami bisa menikah?"
"Dia pernah bertemu denganmu dan jatuh cinta kepadamu makanya ingin menikahimu," jelas Widuri.
"Siapa dia, Bi?"
"Ayo belanja pakaian bagus, kita akan bertemu dengannya. Kamu harus tampil cantik dan sempurna agar dia terpesona kepadamu," ucap Widuri.
"Baiklah, Bi."
-
Widuri dan Anaya pergi berbelanja ke toko baru. Mereka memilih pakaian yang akan dikenakan Anaya ketika makan malam di rumah pemuda kaya raya itu.
Selesai memilih pakaian, Widuri mengajak keponakannya itu memilih aksesoris yang cantik. Lalu lanjut berbelanja sepatu dan tas, semua itu agar menunjang penampilan Anaya.
Selesai berbelanja, keduanya menikmati makan siang di restoran. Tentunya membuat hati Anaya senang karena dia sama sekali belum pernah makan di luar.
Keduanya pun pulang membawa beberapa barang-barang belanjaan.
Begitu sampai rumah, Anaya yang baru tiba di depan pintu rambutnya dijambak Nuni.
"Darimana saja kamu anak pembawa sial?" makinya.
"Ampun, Bu. Sakit!" Anaya memekik.
"Kakak ipar, lepaskan dia!" Widuri memegang tangan Nuni.
"Kamu ingin membelanya!" sentaknya.
"Kakak, aku bisa jelaskan. Tolong, lepaskan tangan Kakak ipar dari rambutnya!" pinta Widuri.
Nuni melepaskan genggamannya.
"Anaya pergilah ke kamar, beristirahatlah!" ucap Widuri lembut.
Anaya mengangguk, melangkah cepat ia ke kamarnya.
"Kenapa kamu selalu membelanya?"
"Kakak tenanglah, ayo duduk!" ajak Widuri.
Nuni pun mengikuti perintah adik iparnya.
"Jika Kakak ingin menjual Anaya pakai cara yang halus bukan kasar seperti ini," ujar Widuri.
"Aku tuh kesal dengan anak itu!" geram Nuni.
"Sabar, Kak. Kekesalan Kakak ipar akan hilang sebentar lagi," ucap Widuri.
"Iya, tapi kapan?"
"Nanti malam, Anaya akan menyerahkan dirinya kepada pria kaya itu secara sukarela. Kak Nuni dan Kak Emir hanya perlu pura-pura bersedih," ujar Widuri.
"Jadi, menurutmu kami harus bersandiwara?"
"Ya."
"Apa kamu yakin Anaya mau dijual?"
"Tentunya."
-
Malam harinya, Anaya dan kedua orang tuanya beserta Widuri mendatangi kediaman seorang pemuda kaya raya.
Pintu pagar terbuka, mobil Widuri memasuki halaman istana yang begitu megah.
Anaya dan kedua orang tuanya memandang takjub rumah mewah tersebut.
"Kenapa aku jadi ragu untuk menyerahkan Anaya kepadanya?" ucap Emir.
"Ayah tidak ingin berpisah denganku?" tanya Anaya.
"Orang tua mana yang ingin berpisah dengan anaknya kalau tidak terpaksa," sahut Nuni dengan wajah pura-pura sedih.
"Ana, hanya kamu harapan kedua orang tuamu agar terbebas dari semua utang-utang ini. Kamu ingin menjadi anak yang berbakti, kan?" tanya Widuri.
Anaya mengangguk.
"Maka kamu harus mau menerima pemuda itu untuk menjadi suamimu," ucap Widuri.
"Iya, Bi."
Keempatnya berjalan memasuki istana mewah itu, depan pintu dijaga beberapa pelayan wanita.
"Mari saya antar!" ucap salah satunya.
Keempatnya berjalan ke ruangan khusus tamu yang begitu luas dengan kursi-kursi besar.
Keempatnya duduk di satu sofa yang sama.
Terdengar suara derap langkah kaki turun dari lantai atas.
Dua orang pemuda kini berdiri dihadapan Anaya dan kedua orang tuanya serta bibinya.
Seorang pemuda berdiri dengan gagah dan angkuh, lalu bertanya, "Jadi dia gadis yang akan menjadi istriku!" menunjuk ke arah Anaya.
"Benar, Tuan." Jawab Widuri.
"Berapa kalian menjualnya kepadaku?" tanya pria itu.
"Dua milyar rupiah," jawab Emir.
Pria itu tertawa mendengarnya.
Keempatnya saling pandang.
"Ternyata dia sangat murah sekali!" ledeknya.
"Apa harga yang kami tawarkan terlalu murah, Tuan?" tanya Widuri.
"Ya, sangat murah. Saya akan membelinya sebesar tiga milyar!"
"Apa!" Emir, Widuri dan Nuni tampak tercengang.
"Tapi, dengan syarat kalian tidak boleh mengunjunginya!"
"Baiklah, kami setuju!" sahut Nuni semangat.
Anaya menggelengkan kepalanya, "Aku tidak bisa jauh dari mereka!"
"Anaya, jangan menolaknya. Ini kesempatan bagus untuk berbakti kepada orang tuamu!" bisik Widuri.
"Tapi, dia melarang kedua orang tuaku menemui aku, Bi." Anaya berkata pelan.
"Kami itu sudah bosan denganmu!" bisik Nuni.
"Jangan dengarkan ucapan ibumu!" ucap Widuri lagi.
Anaya mengangguk.
"Bagaimana?" tanya pria itu.
"Kami setuju," jawab Emir.
"Kalian boleh datang ke sini besok pagi untuk menjadi wali dan saksi pernikahan aku dengan dia!" ucapnya.
"Baiklah," ujar Emir.
"Malam ini, dia harus tinggal di sini!"
"Bagaimana dengan uangnya?" tanya Nuni.
"Malam ini aku akan memberikan kalian separuh dan separuhnya lagi setelah pernikahan."
"Baiklah, kami setuju!" ucap Emir.
"Ayah, Bu, aku tidak mau tinggal di sini!" Anaya mulai ketakutan.
"Mereka tidak akan menyakiti kamu, percaya pada Bibi!" Widuri menyakinkan keponakannya dengan memegang tangannya.
Pria itu menarik sudut bibirnya melihat pemandangan yang ada di hadapannya.
"Biom, serahkan uang itu kepada mereka!"
"Baik, Tuan!" Biom meletakkan tas di atas meja lalu membukanya.
Kedua orang tuanya Anaya dan Widuri membulatkan matanya melihat uang di dalam tas tersebut.
"Apa kalian sudah percaya?" tanya Biom.
Ketiganya mengangguk.
Biom mengancingkan kembali tas, "Ambillah!"
Dengan cepat Emir meraih tas tersebut.
"Sekarang kalian boleh pergi!" ucap pria kaya raya itu.
"Baik, Tuan Harsya!" Emir, istri dan adiknya berdiri.
"Ayah, Bu, jangan tinggalkan aku!" Anaya juga berdiri.
"Ayo kita pergi dari sini!" ajak Nuni.
Anaya menahan tangan ibunya, "Jangan pergi!"
Nuni melepaskan genggaman putrinya lalu melangkah pergi bersama suami dan adik iparnya.
Anaya berdiri dengan air mata menetes dan wajah ketakutan.
Harsya memandangi wajah Anaya dengan tersenyum menyeringai.
"Mari, Nona. Saya akan menunjukkan kamar anda!" ucap Biom.
"Aku mau di sini saja!" tolak Anaya dengan bibir bergetar.
"Aku telah membelimu dengan harga mahal jadi jangan pernah membantah perintahku!" Harsya berkata dengan dingin.
Anaya berjalan pelan mengikuti langkah Biom.
Begitu sampai, Biom membuka pintu tampak sebuah kamar mewah dan luas. "Silahkan masuk, Nona!" berkata lembut.
Anaya mengangguk pelan lalu melangkah ke dalam.
"Nona tidak boleh keluar sebelum pagi datang," ucap Biom.
"Jika saya haus atau ingin buang kecil, bagaimana?"
"Di ujung sana kamar mandi dan di nakas ada segelas air putih," jelas Biom menunjuk ke sudut kamar.
Anaya mengikuti jemari Biom.
"Kalau begitu saya permisi, Nona!" Biom menutup pintu.
Setelah mengantarkan Anaya ke kamarnya, Biom melangkah ke kamar atasannya.
"Apa dia tidak membuat masalah?" tanya Harsya yang posisinya menghadap jendela menatap gelapnya malam.
"Tidak, Tuan."
"Bagus, silahkan keluar!" Harsya berkata dingin.
Biom pun pamit.
Harsya tersenyum menyeringai, "Aku akan membuatmu menderita Anaya setelah apa yang kamu lakukan dahulu kepadaku!"
Sementara di lain tempat, tepatnya di kediaman Widuri.
Wanita itu memasuki rumahnya dengan wajah sumringah dan hati senang.
"Dari mana kamu malam-malam begini?" tanya Alan, suaminya Widuri.
"Aku lagi mencari uang untuk kebutuhan kita sehari-hari dan biaya pengobatan kamu, Mas."
"Kerja apa kamu?"
"Menjual keponakan aku," jawab Widuri bangga.
"Keponakan kamu, maksudnya bagaimana?"
"Aku menjual Anaya kepada orang kaya dan besok dirinya akan menikah."
"Apa!" Alan tampak terkejut.
"Itu hukuman untuk gadis sialan yang sudah membuat aku kehilangan calon bayiku!"
"Itu semua bukan karena Anaya!"
"Kamu terus membela dia yang sudah membuat duduk di kursi roda selama bertahun-tahun!" Widuri berkata marah.
"Aku begini karena kurang hati-hati, Widuri."
"Terus saja membela dia!" sentaknya.
"Anaya itu keponakan kamu, Widuri. Kenapa kalian begitu tega menjual dirinya," ucap Alan sedih.
"Kedua orang tuanya saja tak bersedih seperti Mas Alan, kenapa aku harus peduli," ujar Widuri.
"Kalian memang jahat!" geram Alan.
"Kami memang jahat, Mas. Tapi, dia lebih jahat!" Widuri tersenyum menyeringai.
Alan tak dapat menolong Anaya karena tubuhnya pun tak sanggup untuk berdiri.
"Aku akan membawa Mas Alan berobat," ucap Widuri.
"Aku akan mengganti uang Anaya dan membawanya pulang jika sudah sembuh," janji Alan.
"Terserah Mas Alan mau apa!" Widuri memilih ke kamarnya.
*
Dikediaman orang tuanya Anaya...
Nuni merebahkan tubuhnya di ranjang, sambil berkata, "Akhirnya anak sialan itu pergi dari rumah ini!"
"Apa kamu tidak sedih, jauh dari Anaya?" tanya Emir.
Nuni mengarahkan tatapannya kepada suaminya, "Apa Mas Emir sekarang menyesal telah menjual Anaya?" balik bertanya.
"Kenapa aku menjadi takut jika Anaya disiksa?"
"Mas, anak itu telah membawa pengaruh buruk di keluarga kita. Bertahun-tahun kita mengurus dan merawatnya, tapi lihatlah apa yang kita dapatkan. Selalu kesialan dan kerugian, berkali-kali membuka usaha selalu bangkrut!"
Emir terdiam.
"Sekarang tidurlah, besok pagi kita akan menikahkan Anaya dengan pria itu. Tentunya separuh lagi uang akan kita dapatkan," Nuni tersenyum puas.
-
Di istana mewah milik Harsya...
Anaya belum tertidur meskipun jarum jam telah menunjukkan angka 11 malam. Ia turun dari ranjang dan berjalan mondar-mandir.
Kreek....
Anaya dengan cepat menoleh ke arah pintu.
Harsya masuk ke kamar Anaya dengan tatapan wajah dingin.
Anaya gegas memundurkan langkahnya, wajahnya seketika memucat.
"Kamu ingin mencoba kabur?" Harsya menuding.
Anaya menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Jika berani kabur, kamu akan tahu akibatnya!" Berkata dengan nada dingin.
Anaya terdiam.
"Besok hari pernikahan kita," ucap Harsya.
"I...iya," Anaya berkata dengan gemetaran.
"Persiapkan dirimu sebaik mungkin dan aku tidak suka melihat air matamu!" Harsya menatap tajam.
Anaya menundukkan pandangannya.
Harsya pun berlalu.
Anaya terduduk di ranjang dan menangis. "Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya.
******
Beberapa orang telah berkumpul di halaman belakang istana mewahnya Harsya. Pagi ini pria itu akan melangsungkan pernikahan yang sederhana.
Emir, Nuni dan Widuri telah hadir.
Tak lama kemudian, Harsya muncul dengan gagah dan rapi.
Pria itu duduk berhadapan dengan Emir selaku ayah kandungnya Anaya.
Janji suci pernikahan pun diucapkan Harsya secara lantang, para tamu yang hadir mengucapkan syukur.
Anaya memegang ujung selendang yang ia pakai dengan tangan gemetaran.
Seorang pelayan wanita memanggilnya di kamar dan menuntun Anaya menemui suaminya.
Anaya duduk di samping suaminya dengan mata membengkak, ia mencoba tersenyum.
"Kamu lihat 'kan, dia begitu bahagia menikah dengan pria kaya itu!" bisik Nuni.
Emir hanya diam menatap putrinya yang tersenyum dalam kesedihan.
Harsya lalu berdiri meninggalkan taman.
Anaya yang bingung juga melakukan hal sama.
Harsya kini duduk bersama kedua mertuanya dan Bibi dari istrinya.
Harsya memerintahkan Biom memberikan tas berisi uang kepada ketiga orang tersebut.
Tas berisi uang 1,5 miliar kini ada dihadapan orang tua dan bibinya Anaya.
"Kalian tidak boleh menampakkan wajah di depannya," Harsya memperingatkan. "Jika berani muncul serta meminta uang kepadanya, kalian akan tahu akibatnya!" lanjutnya.
"Baik, menantuku!" ucap Nuni.
"Ciih, menantu?" Harsya tersenyum sinis.
"Panggil dengan sebutan Tuan Harsya!" Biom menatap tajam Nuni.
"Baik, Tuan Harsya!" Nuni menundukkan kepalanya.
"Pergilah dan bawa uang ini!" perintah Harsya.
"Baik, Tuan!" ucap ketiganya.
Nuni dengan cepat menyambar tas di atas meja lalu memeluknya.
Harsya meninggalkan ruang tamu bersama Biom.
Emir, istrinya dan adiknya pun meninggalkan kediaman Harsya.
Sebelum mobilnya meninggalkan rumah mewah tersebut, Emir menatap sebuah jendela yang merupakan kamar putrinya dengan mata sendu.
"Ayo, Kak!" ajak Widuri.
"Semua sudah terjadi, Anaya juga bahagia dengan pernikahannya," ujar Nuni.
"Iya, Kak. Sekarang mari kita buka lembaran baru tanpa dia," ucap Widuri.
"Apa yang dikatakan adikmu benar, Mas. Ayo kita pergi dari sini!" Nuni menimpali.
Emir memasuki mobilnya dan perlahan meninggalkan kediaman mewah Harsya.
Anaya duduk di sisi ranjang masih memakai pakaian pengantin, wajahnya tampak cemas.
Pintu kamar terbuka, seorang pelayan wanita muncul dihadapannya, "Tuan Harsya meminta Nona menemuinya."
Anaya pun berdiri lalu mengikuti perintah pelayan wanita itu.
Anaya berjalan di belakang pelayan, menuju sebuah ruangan.
"Tinggalkan dia dan kamu silahkan keluar dan jangan lupa tutup pintunya!" perintah Harsya tanpa menatap.
"Baik, Tuan." Pelayan wanita itu meninggalkan Anaya berdua dengan Harsya dengan menutup pintu.
Harsya membalikkan tubuhnya dengan wajah dingin, ia melangkah mendekati istrinya yang baru dinikahinya 30 menit yang lalu.
Tubuh Anaya gemetaran, wajahnya ia tundukkan.
Harsya mengangkat dagu Anaya secara kasar.
Anaya tersentak.
"Tugasmu adalah melayaniku!"
Air mata Anata menetes.
"Kamu harus menuruti semua perintahku, paham!" Harsya berkata lantang.
"Pa..pa..ham, suamiku!"
Plak...
Telapak tangan Harsya mendarat di pipi Anaya membuat gadis itu terjatuh.
Anaya terdiam, tubuhnya bergetar hebat.
"Panggil aku Tuan!" hardiknya.
Anaya mengangguk sembari menangis.
"Ganti pakaianmu itu, kamu terlalu bagus jika memakainya!" Harsya berkata dengan nada tinggi.
Anaya perlahan berdiri.
"Jika berani membantah perintahku atau mencoba kabur dari rumah ini. Kamu akan tahu akibatnya!" Harsya menekankan kata-katanya.
Harsya meninggalkan ruang itu.
Anaya pun melakukan hal yang sama, melangkah ke kamarnya dan mengganti pakaiannya.
Suara ketukan pintu kembali terdengar, Anaya membukanya.
"Nona, di suruh datang ke ruangan Tuan Harsya," ucap pelayan wanita.
"Saya akan ke sana!" Anaya menutup pintu kamarnya dan melangkah ke kamar suaminya.
Anaya mengetuk pintu setelah pelayan yang mengantarnya pamit untuk kembali bekerja.
Anaya membuka pintu kamar suaminya dengan perasaan takut.
"Tutup pintunya dan mendekatlah kepadaku!" pinta Harsya yang berada di atas ranjang.
Anaya melangkah pelan mendekati ranjang suaminya.
"Ambilkan gelas itu!"
Anaya mengarahkan pandangannya ke arah nakas dan meraih gelas berisi air putih.
"Cepat!" bentak Harsya.
Seketika tubuh Anaya bergetar hebat.
"Aku haus!"
Anaya mendekatkan gelas ke mulut suaminya dengan penuh kehati-hatian.
Harsya menyeruput air dalam gelas yang disodorkan oleh istrinya.
Anaya yang begitu ketakutan tanpa sengaja menumpahkan air di baju suaminya.
Harsya dengan cepat mendorong tubuh Anaya hingga terjatuh ke lantai.
"Auww!" pekiknya.
"Kamu sengaja, ya!" sentak Harsya.
"Tidak, Tuan." Anaya berkata dengan bibir bergemetaran.
"Ambilkan baju di lemari!" perintah Harsya.
Dengan cepat berdiri, Anaya melangkah ke lemari dan mengambil baju buat suaminya.
Anaya gegas mendekati suaminya dan memberikan baju kepada Harsya.
"Sekarang kamu buka baju aku dan ganti dengan baju itu!"
Tangan Anaya terasa kaku ketika harus menyentuh tubuh suaminya.
"Cepatan!" teriaknya lantang.
"I..iya, Tuan!" Anaya membukakan baju suaminya dengan menutup mata.
"Siapa yang menyuruhmu memejamkan mata, cepat buka!" bentaknya.
Anaya membuka matanya dan ia berhasil melakukan tugasnya memakaikan baju suaminya.
"Pijat kakiku, sekarang!" titahnya.
Anaya naik ke atas ranjang dan memijit kaki Harsya, sementara pria itu membaca buku.
Hampir 30 menit, Anaya memijit tanpa berhenti.
Harsya yang dipijit akhirnya tertidur.
Anaya perlahan turun dari ranjang dengan hati-hati, tak lupa ia menyelimuti suaminya.
Anaya memilih duduk di sofa karena ia belum diperintahkan untuk keluar kamar.
Harsya terbangun setelah 30 menit tertidur, ia melihat ke arah sampingnya tampak Anaya tertidur dengan posisi duduk dengan tangan kanan menopang dagunya.
Harsya menyibak selimutnya lalu turun dari ranjang, berjalan mendekati istrinya dengan cepat menarik tangan kanan Anaya yang sedang menopang dagu.
Anaya terkejut dan hampir tersungkur, gegas ia berdiri di hadapan suaminya.
"Siapa yang menyuruhmu tidur, hah?" bentaknya.
"Maafkan saya, Tuan."
Harsya mencengkeram lengan Anaya dengan kasar, "Kamu telah melakukan kesalahan, maka aku harus menghukummu!"
Harsya menarik lengan istrinya secara paksa ke kamar mandi, begitu sampai ia mendorong Anaya dengan kasar.
"Berendam di dalam bathtub sekarang!" perintahnya.
"Tuan, berapa lama saya harus berendam?"
"Sampai sore!"
"So...sore, Tuan?"
"Iya!" jawabnya lantang.
"Tuan....."
"Jangan banyak membantah cepat berendam!"
Anaya dengan langkah lambat memasuki bathtub.
Harsya menghidupkan air hingga seluruh tubuh Anaya terendam air.
"Jangan pernah keluar dari tempat ini sebelum aku datang!" Harsya menekankan kata-katanya.
Anaya hanya mengangguk.
Harsya keluar dari kamar mandi dengan membanting pintu.
Harsya meninggalkan Anaya di kamarnya, ia lalu melangkah ke ruang makan.
Para pelayan telah menyajikan makanan di meja makan, Harsya menikmati makan siang seorang diri.
"Tuan, ada telepon dari Nyonya Besar!" Biom menyerahkan ponselnya.
"Halo, Bu!"
"Harsya, kenapa kamu menikah tidak memberitahu Ibu?"
"Aku menikah dengan dia terpaksa, Bu."
"Terpaksa, bagaimana?"
"Aku ingin membalas dendam pada dia yang telah membuat ayah meninggal, Bu."
"Apa kamu yakin dia yang telah membuat ayahmu meninggal?"
"Iya, Bu."
"Harsya, Ibu tidak ingin kamu salah orang."
"Aku sangat yakin, Bu. Dia yang memasak dan menghidangkan makanan kepada ayah," ucap Harsya.
Madya menghela nafas.
"Ibu, aku menyayangimu. Jangan pernah mengkhawatirkan aku, jika ku menikah tentunya dengan wanita yang ku cintai dan Ibu pasti akan ku beritahu."
"Iya, Nak. Ibu serahkan semuanya kepadamu, tapi Ibu berharap jangan sampai kamu jatuh cinta padanya."
Harsya tertawa sinis, "Dia hanya pelampiasan ku saja, Bu."
"Ibu percaya padamu, Ibu merindukanmu!" Madya menutup teleponnya.
Harsya dan ibunya serta adik perempuannya tinggal terpisah dengannya. Harsya tinggal di kota ini sudah setahun belakangan hanya untuk mencari Anaya dan membalas dendam.
Harsya menyudahi makan siang, ia berdiri dan hendak melangkah ke kamar.
"Tuan, dari pagi kita belum memberikan Nona Anaya makan," Biom mengingatkan atasannya itu.
"Beri jatah dia hanya malam saja," titahnya.
"Baik, Tuan." Biom sedikit menundukkan kepalanya.
Harsya melangkah ke kamarnya, ia duduk di sofa sembari membaca buku dan akhirnya tertidur.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!