Demi membantu keluarganya, Nina tergiur dengan tawaran dari tetangganya yang baru saja kembali dari luar negeri. Nina membujuk dan merayu Ibunya supaya memberikan ijin.
"bu, lihat Adik, dia harus sekolah supaya tidak seperti Nina yang putus sekolah!" kata Nina yang sedang menggenggam tangan Eni, Ibunya.
Eni yang sudah berlinang air mata itu akhirnya menganggukkan kepala, ia harus merelakan untuk berjauhan dengan Nina.
"Sementara waktu, kamu harus janji, jangan lama-lama! Ibu khawatir!" lirih Eni seraya mengahapus air matanya.
"Nina janji, Bu. Nina hanya berniat untuk ambil satu kontrak, setelah itu, Nina akan mencari kerja di sini atau di Ibu Kota," jelas Nina dan Eni pun menganggukkan kepala.
Singkat cerita, sekarang, Nina sudah berada di rumah majikannya, Nina merasa beruntung setelah mendapatkan majikan yang ternyata adalah orang dari asal negara yang sama dengannya.
Setelah itu, Nina di bawa oleh asisten rumah tangga kepercayaan sang majikan yang bernama Kinan.
Lalu, asisten rumah tangga juga memberitahu apa saja tugas Nina dan di hari pertama bekerja, Nina sudah dapat menarik perhatian dari anak Kinan yang bernama Evan.
Evan adalah pengusaha muda yang sukses, ia memiliki pabrik textile dan beberapa cabangnya.
"Siapa namamu?" tanya Evan yang sedang duduk bersantai di ruang tengah, Evan sendiri baru saja kembali dari bekerja.
"Nina," jawab Nina yang menundukkan kepala, Baru saja menyajikan minuman hangat sesuai pesanan Tuannya.
"Nama ku, Evan," kata Evan seraya memperhatikan Nina yang terlihat malu-malu.
Nina menjawab dengan mengangguk, setelah itu, Nina pun harus permisi.
"Saya permisi, Tuan," kata Nina yang kemudian undur diri.
Setelah perkenalan itu, Evan lebih sering menyapa Nina dan keduanya pun menjadi akrab.
Satu bulan berlalu dengan baik, hubungan Evan dan Nina pun berjalan lancar, Evan yang sudah tidak bisa menahan perasaannya lagi itu mengutarakannya pada gadis polos dan baik hati itu.
"Nina, aku jatuh hati padamu!" kata Evan yang sedang berdiri di belakang Nina, baru saja, Nina masuk ke kamar Evan untuk mengambil pakaian kotor.
Dan Nina harus terkejut dengan apa yang didengar. Nina yang sedang memegangi keranjang baju kotor itu berbalik badan.
"maaf, Tuan. Nina tidak mengerti, apa maksud yang baru saja Tuan katakan," jawab Nina.
Ya, Nina tidak ingin terburu-buru dalam mengartikan ucapan Evan yang baginya belum jelas.
"Aku jatuh cinta, pada mu! Dan aku berharap, kamu juga memiliki perasaan yang sama dengan ku!" jawab Evan seraya berjalan mendekati Nina, Evan menurunkan keranjang yang sedang Nina pegang, lalu, Evan menggenggam kedua tangan Nina.
Nina sendiri merasa bingung, ia melihat status yang ada, walau Nina memiliki perasaan yang sama, Nina tidak merasa yakin kalau akan dapat bersatu dengan pria yang tengah ia cintai itu.
"Tapi, Tuan. Nina hanya pembantu di sini, tidak seharusnya Tuan menyatakan cinta," kata Nina yang melepaskan tangan Evan dari tangannya.
Evan pun tak menyerah, justru, Evan mengeluarkan sebuah kotak kecil yang berwarna merah, kotak itu berisi cincin yang manis dengan satu permata, sangat sederhana dan cincin itu sangat cocok dengan karakter Nina.
Evan memakaikan cincin itu di jari manis Nina.
"Aku mencintaimu, menikahlah dengan ku!" kata Evan seraya menatap Nina yang juga sedang menatapnya.
'Cup' Evan mencium punggung tangan Nina dan Nina hanya bisa diam, ia bingung dan diamnya itu sebagai tanda terima bagi Evan.
Setelah itu, Evan memeluk Nina, mengusap rambutnya yang hitam.
Setelah itu, Evan pun menyampaikan niatannya itu pada Kinan.
Kinan, wanita yang berusia 55 tahun itu sedang duduk di kursi ruang kerjanya. Menatap putranya yang ternyata sudah beranjak dewasa, terbukti dengan ucapan Evan yang mengatakan kalau dirinya akan menikah.
"Siapa wanita beruntung itu?" tanya Kinan seraya menatap anaknya yang berparas tampan, tinggi dan berbadan atletis.
"Mama mengenalnya dengan baik, Evan merasa, Mama akan menyukainya karena Evan yakin, dia akan merawat Evan dengan baik," kata Evan, pria yang tengah duduk di kursi depan Ibunya itu membanggakan calon istrinya.
Siapa dia? Kamu tau, Mama tidak suka dibuat penasaran!" kata Kinan, ia masih menatap Evan.
Baginya, Evan masih terlalu muda untuk menikah, karena Evan sendiri masih berusia 25 tahun.
"Dia, Nina!" Evan menjawab dan Kinan tersenyum, tidak menyangka dan tidak mengira kalau Nina pembantunya lah yang akan menjadi menantunya.
"Nina? Pembantu kita yang baru itu?" tanya Kinan kemudian.
"Ma, jangan panggil dia seperti itu, dia calon istri ku!" pintar Evan dan Kinan pun menganggukkan kepala.
Sementara itu, hati Kinan tengah merasa panas, ia tidak terima dan rela kalau akan bermantukan Nina yang berstatus sebagai pembantu di istananya, tetapi, Kinan tidak dapat menolak permintaan putranya sehingga pernikahan pun terjadi. Pernikahan itu digelar di istana Kinan.
Nina yang sudah tidak memiliki ayah itu harus menggunakan wali hakim dan sekarang, Evan juga Nina sudah sah sebagai pasangan suami-istri.
Di depan Evan, Kinan mengucapkan kata selamat dan Kinan juga memeluk Nina yang sekarang sudah menjadi menantu.
Berbeda saat dibelakang Evan, Kinan yang sekarang sedang menangis di kamar itu merasa jijik pada menantunya, Kinan pun melepaskan gaun kebayanya itu, Kinan melemparkan gaun tersebut ke dalam tempat sampah seraya mengumpat.
"Sialan! Aku yakin, gadis itu hanya mengincar harta anakku!" kata Kinan yang kemudian terduduk di sofa panjang yang tersedia di kamar.
"Nina!" geram Kinan seraya mengepalkan dua tangannya.
****
Di kamar pengantin, Evan sedang meminta pada Nina untuk berhenti malu-malu.
Nina yang masih mengenakan gaun kebaya itu tengah duduk bersama dengan suaminya di tepi ranjang, ranjang yang berhiaskan dan penuh dengan kelopak bunga mawar merah.
"Sekarang, kita adalah suami istri, aku mau, tidak ada yang ditutupi, kamu harus selalu bercerita dan begitupun aku, kita harus saling terbuka!" kata Evan seraya mengangkat dagu Nina.
Diam... Untuk sesaat, Keduanya saling menatap, lalu, Nina harus memejamkan matanya saat Evan memajukan wajahnya.
'Cup' Evan mengecup bibir tipis Nina.
Lalu, Evan meminta pada istrinya itu untuk membuka mata, "buka matamu, kenapa harus menutup mata?" tanya Evan dan Nina yang tengah merona itu kembali menundukkan kepala.
"Aku masih merasa malu, Mas."
Ya, sebelum menikah, Evan sudah meminta pada Nina untuk berhenti memanggilnya Tuan.
Bukannya menjawab, tetapi, Evan membawa Nina ke dalam pelukan mesranya dan terjadilah yang seharusnya terjadi, Evan dan Nina memadu kasih.
****
Keesokan paginya, Nina yang sudah rapi itu keluar dari kamar Evan, ia berniat untuk menyiapkan sarapan suaminya dan di meja makan, Nina dilarang menyentuh pekerjaan yang sekarang sudah diambil alih.
"Tapi, untuk suamiku, aku harus menyiapkannya sendiri," kata Nina pada pelayan.
"Maaf, Nyonya. Kami hanya melakukan perintah." Pelayan menajawab dengan menundukkan kepala.
Lalu, Nina harus melihat ke belakang saat Kinan menyusul ke meja makan.
"Bagaimana? Apa malam mu menyenangkan?" tanya Kinan seraya duduk di kursinya.
Nina sendiri masih merasa canggung dan tidak berani untuk bergabung dengan mertuanya.
"Duduklah, sekarang, kamu adalah menantu, naik kasta!" kata Kinan.
Mendengar itu, Nina merasa kalau Kinan tidak menyukainya. Benarkah demikian?
Bersambung..
Ya, memang benar apa yang Nina pikirkan tentang mertuanya.
Nina hanya bisa diam sampai Evan ikut untuk bergabung. "Sayang, terima kasih!" kata Evan yang menarik kursi duduknya. Evan mengusap punggung Nina yang tengah berdiri di dekat meja makan, Evan mengira, Nina lah yang menyajikan sarapannya.
Dan Evan, pria yang mengenakan baju santai itu menatap Nina yang masih berdiri.
"Kenapa? Duduklah!" perintah Evan dan Nina pun melirik pada Kinan.
Lalu, Kinan memberikan senyum palsu pada menantunya. Wanita paruh baya itu menyuruh Nina untuk duduk.
"Duduk, tidak usah sungkan, sekarang, kamu adalah bagian keluarga kami!" kata Kinan dengan begitu lembutnya.
Nina tersenyum dan kemudian ikut bergabung dengan keluarga Evan. Begitu polosnya Nina, ia mudah termakan oleh perkataan manis mertuanya.
Selesai dengan sarapan, Evan menyuruh Nina untuk bersiap.
"Kemana?" tanya Nina.
"Kita harus berbelanja!" jawab Evan seraya menatap Nina penuh cinta dan kasih.
Selesai dengan bersiap, Evan mengajak Nina untuk menemui Kinan yang sedang berada di ruang kerjanya.
Kinan yang sedang menangis itu segera menghapus air matanya menggunakan tisu, lalu, Kinan menyuruh keduanya untuk masuk.
"Ada apa? Kalian sudah sangat tampan dan cantik!" kata Kinan, ia terpaksa mengatakan kata manis di depan putranya.
"Kami akan berbelanja, Ma. Apakah ada sesuatu yang Mama inginkan?" tanya Evan dan Kinan menjawab dengan tersenyum, lalu menggelengkan kepala.
"Baiklah, kalau begitu, kami permisi," kata Evan yang kemudian keluar dari ruangan itu seraya menggenggam tangan Nina.
Kinan memperhatikan apa yang sedang digenggam oleh anaknya.
"Suatu saat, kamu harus melepaskan apa yang sedang kamu genggam, Evan!" geram Kinan dalam hati.
Kesedihan Kinan dan rasa malunya itu telah berubah menjadi benci yang teramat dalam sehingga membuatnya berpikir harus menyingkirkan Nina dengan cara apapun.
"Kamu, boleh bahagia... tetapi, hanya untuk sesaat! Camkan itu!" kata Kinan dalam hati, wanita berambut pendek sebahu yang sedang duduk di singgasananya itu mengepalkan tangan kanannya.
Setelah beberapa jam, sekarang, Nina dan Evan sudah kembali, keduanya membelikan sebuah dress cantik dan malah untuk Kinan.
"Ma, Evan membelikan ini, untuk Mama," kata Evan pada Kinan yang tengah duduk di ruang tamu, sedang menonton televisi.
Kinan pun menerima paper bag yang Evan berikan, Kinan juga langsung membukanya dan Kinan langsung menyukainya isi paper bag tersebut.
"Terima kasih, sayang. Pilihan mu selalu bagus, Mama menyukainya," kata Kinan seraya tersenyum pada Evan dan dengan bangganya Evan memberitahu kalah itu adalah pilihan Nina.
"Lagi-lagi gadis sialan ini!" kata Kinan dalam hati, wanita itu pun terpaksa memuji pilihan menantunya.
Setelah memuji, Kinan harus membawa barang tersebut ke kamar, di kamar, Kinan langsung melemparkan paper bag beserta isinya ke tempat sampah.
"Tidak sudi aku harus menerimanya, apalagi untuk memakainya!" gerutu Kinan seraya tangan yang berada di pinggang.
"Hah!" Kinan menarik nafas dalam lalu memikirkan rencana.
****
Keesokannya, Nina yang kebetulan berada di dapur itu melihat pelayanan yang membawa tempat sampah dari kamar Kinan, terlihat paper bag yang sangat Nina kenal, Nina pun meminta pada pelayan untuk berhenti.
Sempat berpikir, kalau paper bag itu sudah kosong, tetapi, entah apa yang membuat Nina harus memeriksanya.
Nina pun mengambil paper bag itu dan masih terasa berat. "Berarti masih ada isinya, apakah Nyonya tidak menyukai dress ini?" batin Nina, gadis itu terlihat sedang memikirkan sesuatu.
Lalu, Nina mengatakan pada pelayan untuk melanjutkan pekerjaannya dan Nina membawa paper bag itu ke kamar untuk menyimpannya.
"Mungkin, Nyonya masih belum menerima ku!" kata Nina yang terduduk di sofa panjang dan Evan yang baru saja selesai dengan mandinya itu bertanya, "Sayang, kamu kenapa? Seperti ada yang sedang kamu pikirkan?"
"Mas, apakah Ibu menyukai ku?" tanya Nina pada Evan.
Evan yang sedang memakai kaos itu pun menjawab, "Tentu saja, kamu harus bisa melihatnya!" kata Evan seraya tersenyum dan Nina pun membalas senyum itu.
"Mas, seandainya kamu tau, Ibu kamu tidak menyukai ku," batin Nina.
Setelah beberapa hari, hari cuti Evan sebagai pengantin baru itu telah selesai dan Evan harus kembali bekerja.
Inilah kesempatan dan waktu yang ditunggu oleh Kinan.
Kinan meminta kopi hangat pada menantunya dan meminta padanya untuk membawakannya ke ruang santai khusus yang berada di samping kamar Kinan.
Dengan penuh semangat, Nina pun membuatkan kopi itu, berharap, kopi buatannya akan dapat meluluhkan hati seorang Kinan.
Nyatanya, tidak seperti itu, Kinan yang baru saja menyeruput kopi itu harus melemparkannya sehingga mengenai dress Nina yang berwarna lilac, panjang selutut dan berlengan pendek.
Kopi tersebut juga sempat mengenai kaki Nina sehingga Nina merasa panas, Nina menitikkan air matanya. Baru kali ini, ia mendapatkan perlakuan kasar dari seseorang.
"Kamu ingin saya diabetes, hah?" bentak Kinan pada Nina, Nina hanya bisa menunduk seraya sesenggukan.
Lalu, Nina mengangkat kepalanya, menatap Kinan untuk menjelaskan.
"Kemarin, Ibu menyukai kopi buatan ku, rasanya sama seperti ini."
"Pintar menjawab kamu, ya!" bentak Kinan seraya menyibakkan alas cangkir yang berada di meja bundar, sampingnya duduk.
Dan Nina harus menghindar saat alas cangkir itu hampir mengenai perutnya.
"Aaa!" teriak Nina yang kemudian menutup mulutnya, Nina berlari keluar dari ruangan santai itu.
Nina masuk ke kamarnya, tepatnya, kamar Evan. Nina menangis seorang diri dan saat itu juga Nina mendapatkan panggilan dari Eny yang selalu memikirkannya.
"Bu, Nina baik-baik saja, Ibu jangan khawatir, nanti, setelah Mas Evan tidak sibuk, kami akan terbang untuk menemui Ibu, Mas Evan pria yang sangat baik dan lembut!" kata Nina dan apa yang Nina katakan berhasil membuat Eny merasa lega.
"Syukur alhamdulillah, jaga diri kamu baik-baik, sayang!" kata Eny sebelum keduanya mengakhiri panggilan.
"Iya, Ibu juga, jaga kesehatan!" kata Nina, setelah itu, Nina menutup mulutnya yang bergetar karena menangis.
Hari-hari Nina lewati dengan penuh siksaan dari Kinan, sebenarnya, Nina ingin mengatakan semua perbuatan Kinan pada Evan, tetapi, Nina yakin, Evan akan lebih percaya pada Ibunya.
Nina hanya bisa menyimpan lara itu sendiri, berkata dalam hati, kalau itu adalah bentuk pengorbanan untuk cintanya pada Evan.
Bahkan, Nina melewati makan siangnya, Nina hanya makan apabila ada Evan dan ketika Evan harus pulang larut, Nina pun terpaksa, terpaksa menahan lapar.
Seperti malam ini, Nina yang sedang membereskan pakaian kotor Evan itu mengeluarkan bunyi keroncongan dari perutnya. Evan yang baru saja mengganti pakaiannya itu mendengar.
"Sayang, bunyi apa itu?"
"Ah, itu, perutku, tidak tau malu, tidak bisa menjaga image pemiliknya, bunyi di saat yang tidak tepat!" jawab Nina, ia mencoba untuk membuat Evan tertawa dengan perkataannya.
Memang benar, Evan sedikit tertawa karena menganggap Nina sangat lucu.
"Memangnya kamu tidak makan?" tanya Evan seraya berjalan mendekati Nina yang masih memegangi kemeja kotor Evan.
Evan mengambil kemeja itu, lalu, melemparkannya ke keranjang kotor.
"Ayo, kita makan, di luar!" ajak Evan dan Nina segera menitikkan air mata.
"Kenapa, kenapa menangis?" tanya Evan dan Nina menggelengkan kepala.
Singkat cerita, Evan dan Nina sudah berada di restoran, Nina menyantap makanan itu dengan terus menunduk, ia sudah tidak dapat lagi menahan air mata kesedihannya.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Evan seraya mengangkat dagu Nina.
Nina tersenyum manis, ia menjawab, "Aku sangat merindukan Ibu dan Adikku!"
"Sabarlah, kita akan pulang ke Indonesia!" kata Evan yang kemudian mengacak pucuk kepala Nina.
Benarkah apa yang dikatakan oleh Evan?
Semoga saja, supaya pertemuan Nina dengan Ibunya dapat menyembuhkan luka yang Kinan torehkan.
Like dan komen setelah membaca, ya. Terima kasih. Dukung karya ini dengan vote/giftnya, saranghaeyo 💙
Selesai dengan makan malam, sekarang, Evan mengajak Nina untuk pulang, sesampainya di rumah, Evan dan Nina disambut oleh Kinan yang sudah berdiri di depan pintu utama.
"Kalian dari mana?" tanya Kinan seraya ikut bergabung dengan Evan dan Nina, Nina berada di tengah antara mereka.
Dan Nina hanya bisa diam, ia mengerti kalau semua kebaikan mertuanya saat ini adalah pura-pura.
Sesampainya di ruang tengah, Evan dan Kinan memilih untuk berbincang, sementara Nina, ia meminta izin pada Evan untuk lebih dulu ke kamar.
Nina juga tidak melupakan Kinan dan Kinan yang tengah berpura-pura itu mengucapkan selamat istirahat pada menantunya.
Sesampainya di kamar, Nina merasa sakit di pinggangnya, pinggang yang terkena cubit oleh Kinan.
Nina membayangkan kejadian siang tadi saat dirinya sedang menyetrika dan Kinan merasa tidak puas dengan hasil kerja Nina itu mencubitnya.
"Ibu, Nina harus bagaimana?" tangis Nina, gadis itu pun segera menghapus air matanya saat mendengar suara Evan dan Kinan yang semakin dekat.
Nina segera berlari ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya.
"Sayang, kenapa dengan matamu? Apa kamu menangis?" tanya Evan seraya menyentuh pipi putih mulus Nina.
Nina menjawab, "Tidak, aku hanya ceroboh, saat mencuci wajah, mataku terkena sabun."
"Astaga, lain kali harus hati-hati!" kata Evan seraya merangkum wajah imut Nina dan Nina pun memeluk Evan.
Getaran cinta diantara keduanya, begitu terasa, cinta yang sedang tumbuh mekar dan menggebu itu harus terpisahkan karena Kinan merasa kalau saat ini adalah waktu tepat.
Setelah tiga minggu berlalu, Evan harus pergi ke luar kota, Evan tidak dapat pulang karena padatnya pekerjaannya.
Sore hari, Kinan yang mengetahui kalau hari ini Evan akan kembali itu pun menyusun siasat.
Kinan yang sedang bersantai di ruang santainya yang terhias cantik dengan bunga mawar putih dan merah itu memanggil Nina.
Kinan yang sedang merawat bunga itu pun berbalik badan saat mengetahui Nina sudah berada di pintu.
Kinan segera meletakkan gunting yang dipegangnya dan meminta pada Nina untuk duduk di sofa empuknya.
"Duduklah!" perintah Kinan, Kinan pun mengambil paper bag yang sudah ia siapkan.
"Hari ini, teman ku ulang tahun, ia berada di hotel xxx, karena tidak enak badan, aku terpaksa tidak dapat menghadirinya," kata Kinan seraya menatap Nina.
"Niatku, aku mau, kamu mengantarkan ini untuknya, tidak usah malu, karena mungkin pesta sudah selesai dan dia berada di kamar nomor xxx, kamu harus mengantarkannya sampai pemiliknya menerimanya," lanjut Kinan seraya memberikan paper bag tersebut.
Dan Nina tak berpikir apapun lagi, ia menerima setiap perintah dari Kinan dengan baik.
Setelah itu, Nina pun pergi ke alamat yang Kinan berikan, tanpa Nina tau, sebenarnya, di sana sudah ada pria yang sedang menunggunya.
Setibanya di hotel, Nina sudah menemukan kamar yang dicarinya dan Nina pun menekan bel, tidak lama kemudian, seorang pria bule membuka pintu dan Nina dimintai untuk masuk ke kamar.
Nina menjawab dengan bahasa asing yang sempat ia pelajari sebelum menjadi TKW, Nina mengatakan kalau dirinya hanya mengantarkan barang saja.
Dan si pria itu pun mengatakan kalau Nina harus menunggu karena ada titipan untuk Kinan.
Dan Nina yang menunggu di pintu itu harus masuk ke kamar saat mendengar suara seseorang yang terjatuh dan benar saja pria bule itu terjatuh dan Nina harus membantunya berdiri.
Tanpa Nina tau, kalau itu adalah tipu dayanya. Nina pun masuk ke dalam perangkap.
****
Di rumah Kinan.
Kinan yang berada di kamar itu tengah menangis, seraya memandangi foto-foto Nina yang berada di hotel dari layar ponselnya.
Evan yang baru saja tiba itu pun mengetuk pintu kamar Kinan, ia yang baru saja kembali dari luar kota membawakan oleh-oleh untuk Ibunya tersayang.
Kinan yang tengah menangis itu segera menghapus air matanya, lalu bangun dari duduk untuk membuka pintu.
Evan yang melihat mata merah dari Kinan pun bertanya, apa yang membuat Kinan menangis.
"Tidak ada apa-apa, kamu tidak seharusnya tau, Nak!" jawab Kinan seraya berbalik badan, dalam hati, Kinan berharap kalau putranya itu akan mendesak untuk memberitahu dan benar saja, Evan kembali bertanya, "Ma, jangan sembunyikan apapun dari Evan."
"Mama takut kamu akan terluka, Nak!" lirih Kinan yang dibuat semelas mungkin seraya memeluk ponselnya.
Lalu, Kinan pun berbalik badan.
"Tetapi, kalau kamu memaksa, Mama harus memberitahu!" jawab Kinan seraya memberikan ponselnya.
Terlihat, kalau Nina tengah mengetuk pintu kamar hotel dan seorang pria bule yang membuka pintunya.
"Dari mana Mama mendapatkan ini?" tanya Evan seraya menatap Kinan yang kembali mengambil ponselnya dari tangan Evan.
"Kamu tau, kan. Kolega kita ada di mana-mana! Mereka mengenal anggota keluarga kita dan Mama mendapatkan ini dari salah satu teman Mama yang memang kebetulan ada di hotel yang sama."
"Lalu, untuk apa Mama menangis?" tanya Evan seraya menatap Kinan yang sekarang juga menatapnya.
"Anak Mama terlalu polos atau bodoh? Istrimu berada di hotel dengan seorang pria!" jawab Kinan dengan nada sedikit tinggi.
"Mama memikirkan banyak hal, terutama, Mama memikirkan kamu, Nak. Mama tidak mau kamu sakit hati, maka dari itu Mama menangis," ujar Kinan.
Dan Evan pun mulai tersadar, membenarkan ucapan Kinan, untuk apa dan sedang apa Nina berada di hotel dengan seorang pria, Evan pun mulai bertanya-tanya dalam hati.
Untuk memastikan, Evan meminta pada Kinan alamat hotel tersebut, dengan senang hati Kinan pun memberikannya.
Setelah mendapatkan alamatnya, Evan segera menyusul istrinya yang sekarang tengah tertidur pulas dengan seorang pria di bawah selimut yang sama.
Melihat itu, darah Evan langsung mendidih dan Evan menarik selimut yang menutupi tubuh keduanya yang sama-sama polos.
Nina yang berada dalam pengaruh obat tidur itu harus membuka mata dan pandangan matanya yang masih memudar itu tak dapat membuatnya melihat dengan jelas wajah Evan yang sudah memerah karena terbakar api cemburu.
Evan menarik kaki pria itu yang tengah memeluk istrinya, menarik hingga terjatuh dari ranjang kenikmatan, meninju tanpa ampun dan pria itu harus ingat ucapan Kinan kalau dirinya tidak boleh melawan atau menyakiti anaknya yang pasti akan mengamuk.
Nina yang tersadar pun segera memakai dressnya yang tergeletak di lantai. Setelah itu, Nina segera memisahkan Evan dengan pria bule tersebut, sebelum pria itu tak terselamatkan.
"Kenapa? Kamu membelanya? Apa cintamu untukku palsu?" tanya Evan yang membentak Nina seraya mengibaskan tangan Nina.
Lalu, Evan pun menarik rambut Nina, membawanya keluar dari kamar hotel.
Nina yang merasa kesakitan itu pun terus menangis, memohon pada Evan untuk melepaskan tangannya.
Evan sendiri tidak memperdulikan sekitarnya yang memperhatikan dan di luar hotel, Evan segera melepaskan tangannya dari kepala Nina dengan kasar sehingga Nina harus terbentur pot besar yang berada di sana.
Sakit, bukan hanya sakit fisik, tetapi, hati Nina pun teriris.
Nina bangun, ia meraih tangan Evan yang berkacak pinggang dan Evan menyingkirkan tangan itu.
"Lepaskan tangan kotor mu itu!" teriak Evan dan Nina yang sudah berderai air mata itu pun bersujud di kaki Evan, memohon pada Evan agar bersabar lebih dulu dan mungkinkah Evan akan mendengarkan Nina?
Like dan komen setelah membaca, ya, all. Maafkan untuk typonya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!