Sebelumnya Saya beri tau untuk para pembaca ini kisah nyata yang terjadi pada tahun 2001 dan sekarang saya menulisnya pada tahun 2023, jadi jika alurnya seolah-olah banyak ceritanya mohon di maklumi ya.
Pada suatu pagi disaat aku hendak memasak tiba-tiba Suamiku muncul dari dalam dapur, dan bertanya padaku.
"Uang belanja kemarin masih ada sisa berapa dek?"
Hari itu saat suamiku akan berangkat kerja dia menanyakan sisa uang belanja kemarin yang sudah dia berikan, hal itu sudah biasa terjadi aku sudah tidak heran karena setiap hari seperti itu.
Dan kenapa aku bilang suamiku keluar dari dapur, memang kami waktu itu masih tinggal di rumah mertua dan aku memutuskan untuk masak sendiri supaya suamiku bisa lebih dewasa dan bisa memikirkan keperluan keluarga kecil kami, dan dia tidak harus mengandalkan orang tua terus, dan aku membuat dapur kecil di samping dapur rumah mertuaku dengan berdindingkan dinding yang terbuat dari bambu aku memasak di sana.
"Sisa seribu lima ratus rupiah (Rp 1500) mas" ucapku menjawab pertanyaannya.
Kemudian dia mengeluarkan dompetnya dan menyerahkan uang seribu lima ratus kepadaku untuk belanja hari ini.
Ya seperti itulah kehidupanku sehari-hari, aku di kasih uang belanja tiga ribu rupiah setiap harinya oleh suamiku.
Suamiku bekerja di sebuah Mebel yang cukup terkenal di daerah tempat tinggal suamiku waktu itu, ya, aku hidup ikut suamiku tinggal di rumah orang tuanya karena dari sana tempat dia bekerja dekat hanya perlu jalan kaki sudah sampai di tempat dia bekerja, karena tempat dia bekerja ada di belakang rumah mertuaku.
Dengan gaji lima belas ribu rupiah sehari dia memberiku uang belanja tiga ribu rupiah untuk beli lauk dan sayur.
Ya... jika untuk beli sayur dan lauk uang segitu memang cukup bahkan lebih,tapi jika untuk beli beras, dan kebutuhan lainnya tentu tidaklah cukup, untung saja beras kami selalu di kasih oleh orang tuaku, walaupun aku tinggal dengan mertua, aku meminta ijin untuk masak sediri tujuanku saat itu supaya suami aku tidak terus mengharap pemberian dari orang tua.
Karena dia termasuk anak manja semua keinginannya selalu di penuhi oleh nenek dan kakeknya, ya... walaupun dengan keputusanku untuk masak sendiri itu aku di benci oleh nenek suamiku itu tapi aku tidak masalah tujuanku baik dalam fikiran aku, aku hanya ingin supaya suamiku menjadi laki-laki yang bertanggung jawab kepada keluarganya dan tidak mengandalkan orang tuanya terus.
Keinginan hati dengan di beri uang belanja tiga ribu rupiah setiap hari, jika ada sisa maka masih bisalah aku tabungkan, tapi kenyataannya uang belanja tiga ribu rupiah itu ditanya setiap pagi masih ada sisa apa tidak jika ada maka dia tambah sesuai kekurangan uang itu ke tiga ribu rupiah, dan jika masih ada sisa seribu Mak di tambah dua ribu.
Bodohnya aku juga sih, kenapa aku terlalu jujur, dalam pikiranku jika aku membohongi suami maka aku takut dosa he he he, memang aku terlalu naif waktu itu.
Dengan uang belanja tiga ribu rupiah ya aku belanja cari sayur yang bisa di jangkau dengan uang segitu, kebetulan di daerah ku sayuran murah lima ratus atau seribu pun sudah dapat sayur dan ikan laut dengan uang seribu lima ratus pun sudah bisa dinikmati untuk lauk sehari untuk makan kami bertiga.
Ya, aku dan suamiku memang sudah di karuniai seorang nak laki-laki yang kami beri nama Bayu.
Perkenalkan namaku Ria, suamiku biasa di panggil Ragil karena dia nak bungsu dalam tiga bersaudara, dan kami mempunyai anak laki-laki yang kami beri mama bayu.
Karena Kenyataan tak sesuai dengan yang aku harapkan, maka suatu hari aku beranikan diri untuk bicara dengan suamiku.
"Mas, mulai besok bisa minta tolong kamu yang belanja sayur sama orang dagang sayur keliling ya" ucapku pada suamiku.
"Beli di mana emangnya jam berapa dagang sayur lewat?" tanyanya padaku
"Biasa bulek Senema jam 5 pun udah lewat, kan biasanya aku belanja sama dia" ucapku.
"O iyalah kalo gitu" jawab dia.
Kenapa aku minta tolong sama suamiku untuk belanja sayur waktu itu?, tujuanku supaya dia tau jika pengeluaran yang kita perlukan waktu belanja setiap hari tidaklah selalu sama.
Tapi ya... Ujung-ujungnya akupun tidak pernah dikasih uang belanja lagi, karena dia yang belanja setiap harinya dan akupun tidak pernah memegang uang walaupun cuma seribu rupiah.
Suatu hari anak aku meminta uang padaku ingin beli kue katanya ya... karena aku emang tidak pernah pegang duit maka aku suruh minta sama ayahnya.
"Buk..., minta uit mau beyi jajan" ucap anak ku waktu itu.
"Le ibuk Ndak ada duwit coba sana minta sama ayah" ucapku.
Karena anak aku memang kurang akrap dengan ayahnya diapun tidak mau minta uang sama ayahnya, tentu saja hati aku merasa sakit setiap melihat anakku minta kue namun aku tidak bisa membelikannya.
Akhirnya suatu hari aku ingin jualan kue di sekolahan dengan cara di titipkan, akupun ngomong sama suami aku keinginanku itu sekalian aku ingin pinjam uang sama dia untuk modal jualan.
"Mas, aku pengen bikin kue dititipkan ke kantin sekolah, apa boleh aku pinjam uang limapuluh ribu untuk modal?" tanyaku sama suami aku.
"Emangnya mau jualan kue apa?" tanya suamiku
"Aku pingin bikin kue kebeng" jawabku
"Apa yakin ada hasilnya nanti? tanyanya kembali.
"Ya...dicoba dulu lah mas bikin tapi Ndak usah banyak-banyak " ucapku
" Memangnya mau titip di sekolah mana?" tanyanya kembali.
"Kantin SMK " jawabku.
"O iyalah, kapan mau belanja" tanyanya.
"Ya kita ijin dulu sama pihak sekolah jika boleh baru nanti kita belanja bahan-bahannya" ucapku.
Akhirnya besok paginya kami menemui pihak sekolah yang mengelola kantin, kami minta ijin untuk menitipkan kue ke kantin sekolah itu, dan Alhamdulillah kami di ijinkan untuk menitipkan kue di sana.
Karena kebetulan waktu itu adalah hari sabtu, dan memang sudah direncanakan kami mau minta ijin ke sekolahan hari Sabtu jadi Minggu kami bisa belanja karena jika Minggu suami aku libur juga dari pekerjaannya, dan Senen depan kami mulai menitipkan kue yang akan aku buat.
Aku pun belanja bahan untuk membuat kue tersebut dari tepung, gula, telur, minyak, dan terutama kue kebeng, aku sengaja belanja. untuk stok tuju hari dengan porsi satu harinya bikin satu resep dulu jika habis maka bisa di tambah keesokan harinya.
Minggu malam kamipun mulai membuat kue untuk di bawa besok pagi karena jika bikin pagi selain tidak ngejar waktunya juga kondisi kebeng yang baru di goreng akan keras untuk dipotong, jika kondisi keras seperti itu maka kebengnya akan hancur, dan jika di bikin malam maka pagi kue kebengnya akan gampang di potong karena sudah lemau.
Pagi itu kami bersiap berangkat untuk menitipkan kue kami ke sekolahan, dengan diantar suami mengendarai motor, karena memang aku sendiri tidak bisa mengendarai motor, selain aku takut, juga karena keluargaku tidak mempunyai motor jadi aku tidak pernah belajar naik motor, karena keluargaku hanya punya sepeda engkol.
Awal kami menitipkan kue sebanyak enam puluh lima potong kue dengan harga dua ratus dua puluh lima rupiah (Rp225) karena kantin Jul dengan harga dua ratus lima puluh rupiah (Rp250).
Pagi itu aku dan suamiku menuju sekolahan untuk menitipkan kue, sesampainya di sekolahan kami langsung menuju ke kantin di sana sudah ada Bu indah guru yang mengelola kantin sekolahan itu.
"Selamat pagi bu" ucapku menegur ibu guru itu.
"Eh, selamat pagi berapa potong kuenya yang mau di titipkan?" diapun bertanya.
"Ini ada enam puluh lima potong Bu, tapi yang sepotong tidak usah di hitung untuk adek yang jaga kantinnya, jadi di hitung enam puluh empat" jawabku .
"Baiklah kalo begitu nanti sekitar jam setengah satu atau jam satu kamu bisa kesini untuk ngambil duit serta sisa kuenya jika masih" ucap Bu indah.
"Baik Bu terima kasih sebelumnya" ucapku sambil menjabat tangannya.
Aku kenal baik dengan guru-guru yang ada di sekolahan itu ya walaupun tidak semuanya dan tidak begitu dekat, karena aku Mentan murid sekolah itu juga.
Kamipun pulang karena sebentar lagi suami aku waktunya bekerja, suamiku masuk kerja jam tujuh pagi, di mebel itu kerja mulai jam tuju nanti istirahat jam setengah dua belas untuk makan siang dan jam satu masuk kembali, pulang jam empat sore.
Di mebel itu makan dua kali sehari pagi Sama siang untuk itu aku masak pun Ndak perlu banyak karena suami aku makan cuma sekali di rumah.
Sebenarnya gaji di mebel waktu itu lumayan besar jika ikut harian seperti ndempul dan mlitur, tapi karena suami aku ambil yang bagian masang busa kursi dan pemasangan itu di hitung borongan maka suami aku yang hanya karyawan ikut-ikutan ibaratnya dengan kawan pemborongnya di kasih gaji lima belas ribu sehari, namun jika ada borongan di luar kerja di mebel itu ya upahnya lumayan lebih banyak lagi.
Jam satu siang aku berangkat ke sekolahan dengan mengendarai sepeda engkol untuk ambil uang dan sisa kue jika masih ada, dan Alhamdulillah hari pertama kue aku habis tanpa sisa aku sangat bersyukur karena dengan itu aku bisa pegang uang sendiri dan bisa aku tabungkan
Hari kedua aku nyoba bikin satu setengah resep, dan pada hari kedua itu masih ada sisa tapi tidak banyak sisanya. Alhamdulillah hasil jual kue dengan gaji suami masih besar hasil jual kue. begitulah hari-hari ku sampai akhirnya aku tambah dagangan aku dengan bikin es teh untuk di titipkan di kantin itu.
Setiap bikin kue aku selalu di bantu oleh suamiku, entah kenapa walaupun aku tidak pernah di beri uang belanja tapi aku merasa bahagia bisa menolong dia mencari uang untuk kebutuhan sehari-hari walaupun ujung-ujungnya uang hasil jualan kue pun dia juga yang pegang, tapi aku tidak bisa melarang entah kenapa.
Ya walaupun ada rasa kesal dalam hati tapi mau bagai mana lagi melawan pada suami takut dosa juga,yang penting jika anak aku mau jajan aku minta sama suami gitu aja.
Hingga suatu hari bapakku kembali ke Sulawesi karena dulu bapak sama mamak aku ikut transmigrasi kesana dan di sana pun ada lahan yang perlu di rawat karena kebetulan lahan di sana di tanami kalau, bapakpun berangkat.
Saat ini tinggallah di rumah keluargaku mamak, adek, nenek dan kakek sedangkan aku tinggal bersama mertua aku, hingga suatu hari datanglah Abang mamak yang dari Kalimantan beliau ingin membawa mamak kekalimantan walaupun tidak lama mungkin sekitar satu bulan katanya dan akhirnya akupun di suruh kembali kerumah orang tuaku untuk menjaga nenek , kakek dan adik akupun ngomong sama suamiku.
"Mas, mamak mau kekalimantan kita disuruh tinggal di rumah sana, gimana menurut emas?" ucapku sama suamiku.
" Ya, Ndak apa-apa jika memang di sana Ndak ada yang jaga nenek sama kakek" kata suamiku.
Akhirnya di waktu yang telah di tentukan mamak berangkat dan kamipun pindah kerumah orang tuaku. Namun sebelum itu mamak minta ijin dulu kepada mertuaku supaya aku dan suami aku tinggal di rumah mamak.
Dan mertua aku pun mengijinkan, tapi embah suami aku minta jika kami tinggal di sana maka kami harus sering-sering berkunjung ke ke tempat mertua, kamipun mengiyakan, karena memang jarak kampung aku sama kampung suami bisa di bilang dekat hanya sekitar lima kilo dan cukup dengan dua puluh menit saja jika mengendarai sepeda motor dan jika mengendarai sepeda engkol sekitar tiga puluh menit sudah sampai.
"Mas, terus gimana nanti jualan kuenya kalau dari sini ( dari rumah orang tua ku) kan jauh?" aku bertanya sama suami ku.
"Ya udahlah Ndak usah bikin kue lagi, kalo dari sini Ndak mungkin kita ngantar ke sekolahan lagian kalo siang waktunya ngambil belum tentu aku bisa" ucap suamiku
"Tapi kita harus bilang sama Bu indah kalo kita tidak titip kue lagi ke kantin" ucapku .
"Iya, nanti kita pamit sama Bu indah kalo kita sudah tidak titip kue lagi karena jauh" ucap suamiku
"Iya mas" jawabku.
Sebenarnya berat melepaskan, tempat di mana kita bisa menghasilkan uang, tapi mau bagai mana lagi, karena jarak yang jauh dari rumah orang tuaku dan aku harus merawat kakek dan nenekku yang memang sudah sepuh, walaupun mereka sebenarnya masih sehat tapi ya namanya orang tua kan butuh perhatian dari yang muda.
Semenjak pindah ke rumah orang tuaku akupun tidak lagi jualan kue, aku sempat bingung karena uang belanja yang di kasih suamiku tentu saja tidak cukup jika hanya tiga ribu rupiah.
Ya..... aku harus pandai-pandai mengatur uang itu supaya bisa cukup untuk belanja, akhirnya aku bertekad untuk membuat botok karena kebetulan di pekarangan rumah kakek banyak terdapat pohon kelapa, ya hitung-hitung untuk tambahan uang belanja, akhirnya malam hari akupun mulai untuk membuat botok.
Aku coba buat dua butir kelapa kemudian aku belikan tempe dan teri, aku bungkus kecil-kecil karena rencana untuk di jual di sekolahan SD dengan harga seratus rupiah perbungkus.
Keesokan harinya, setelah suami aku berangkat kerja dan pekerjaan di rumah sudah beres semua akupun berangkat untuk menjual botok yang aku buat tadi malam, aku membawa sekitar tiga puluh bungkus, ya kalo habis dapatlah uang sekitar tiga puluh ribu pikirku.
Namun ya.., namanya juga orang jualan kadang habis kadang sisa, dari sekolahan hanya laku sekitar sepuluh bungkus dan masih sisa sekitar dua puluh bungkus lagi, aku bingung harua aku apakan sisanya, Ndak mungkin juga mau aku bawa pulang sebanyak itu, akhirnya aku jual keliling kampung sambil naik sepeda engkol dan menggendong anak aku yang masih baru berumur delapanbelas bulan, dan akhirnya habis juga jualan aku walaupun ya agak siang aku pulang kerumah.
Capk, ya tentu saja tapi tetap harus aku jalani, kalau tidak tidak tau lagi dapat uang tambahan dari mana.
Aku bingung harus bagai mana lagi aku cari uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, ya memang aku tak pernah minta uang belanja sama suami, jika di kasih ya aku terima jika tidak di kasih ya aku tidak minta begitulah aku.
Pekarangan rumah kakek Lo lumayan luas selain pohon kelapa ada juga pohon rambutan, manggis, pisang dan salak, namun semua itu tidak bisa aku andalkan karena pohon kelapa jika panen hasilnya di pegang sama nenek, begitu juga rambutan dan manggis tapi kedua pohon itukan musiman setahun sekali baru ada hasilnya.
Hari-hariku aku lalui dengan merawat pohon salak yang lumayan banyak hampir separuh tepi dari kebun pekarangan rumah kakek di tanami pohon salak dan Alhamdulillah sudah berbuah, aku coba bawa ke sekolahan jika ada yang masak ya Alhamdulillah jika laku.
Akhirnya laku juga salak yang aku jual Alhamdulillah dapat uang ya walaupun tidak banyak. suatu hari saat pulang bekerja suamiku bertanya sama aku.
"Dek, buah salaknya banyak kah?" tanyanya.
" Lumayanlah mas, ada apa? tanyaku.
"Aku Ingin jualan kue tempat Abang di di sana lumayan harganya" kata suamiku.
"Emangnya kamu Ndak capek mas? pulang kerja jualan ke sana, bukan dekati lo tempat Abang kerja itu" ucapku.
"Ya nanti aku jualannya waktu hari libur kerja , atau saat gajian pasti ramai" ucapnya.
"Tapi nanti kita pilih yang A, B ,C, nanti harganya bisa kita bedakan" ucapnya.
Ya, suamiku memang otaknya cerdik sebenarnya, dia pintar mengambil kesempatan untuk cari rejeki, namun yang sering membuat aku jengkel, dia jika sudah tidur susah di bangunin, kerjaan kalo ndk di kasih tau ya Ndak tau kerjaan itu harus di apakan. Sebenarnya dia lincah cari rejeki tapi sayangnya pelitnya minta ampun.
Namun aku tak pernah protes, akupun tak pernah ngeluh di depannya. aku Nerima apa yang dia kasih ke aku dan aku tak pernah menuntut apa apa darinya.
Saat dia pulang dari kerja dia berkata padaku.
"Dek lusa, tempat Abang gajian, kalo ada buah salaknya besok coba kamu panen ya, jadi lusa sepulang kerja biar aku bawa ke sana." ucapnya.
"Iya mas", jawabku "Mas, aku ingin beli kambing siapa tau nanti bisa jadi banyak kambingnya kan lumayan" kataku pada suami.
"Memangnya ada uang? terus siapa nanti yang akan nyarikan makan?" tanyanya.
"Memangnya kambing berapa sih mas satu ekornya?" tanyaku sama suami aku.
"Ya, macam-macam biasanya kalo yang perempuan lebih mahal, memang ada duit untuk beli kambing?" tanyanya lagi
"Ada sih tapi entah cukup apa tidak duitnya" ucapku.
"Dapat duit dari mana kamu?" tanya dia.
"Di kasih mamak waktu mamak mau berangkat ke kali mantan, katanya sih untuk uang belanja, tapi dari pada habis gitu aku kepingin beli kambing" ucapku.
"Memangnya di beri berapa sama mamak?" tanyanya.
"Lima ratus ribu, cukup Ndak ya?" tanyaku.
"Ya, kita cari saja dulu kambingnya, nantikan bisa ditawar" ucapnya.
"Terus kapan kita akan cari kambingnya mas?" tanyaku.
"Ya nantilah kalo aku libur kerja, biasa Minggu aku kan libur, kita bisa langsung ketempat blantik kambingnya" ucapnya.
"O iyalah" ucapku kemudian kamipun berbincang kegiatan yang kami lakukan sebelumnya dan bercerita kesana kemari.
Akhirnya pagi pun tiba, setelah semua pekerjaan rumah selesai dan suami aku berangkat kerja akupun mulai kekebun untuk mencari salak yang sudah masak untuk di jual suami aku nanti sore.
Sambil membawa anak, aku mulai memilih buah salak yang telah siap panen, aku berhenti memanen buah salak saat anak aku mulai rewel minta pulang.
"Buk, ayo ayek ( buk ayo balek/ pulang)"
"Lo ngapa kok pulang?, ibuk belum selesai manen salaknya"
"Ayek buk ( balek buk) Yayu di otot mamuk ( Bayu di cokot/ gigit nyamuk)" katanya
" O... di cokot nyamuk anak ibu?"
"Eh.." sambil mengangguk
"Iyo ayo balek, tapi neng omah Bayu Karo Mbah yut Yo, ibuk kape nggoleki salak kape di solo Karo ayae Ben entuk Duwet, kenek di gawe tumbas jajan (iya Ayo pulang, tapi dirumah sama Mbah buyut ya, ibuk mau nyari salah mau di jual sama ayah biar dapat duit, bisa buat beli kue)"
"He eh"
Sesampainya di rumah aku mencari kakek, karena anak aku lebih suka main sama kakek buyutnya dari pada dengan nenek buyutnya. Setelah aku menemukan kakek aku lalu minta tolong sama kakek untuk menjaga anak aku sebentar.
"Mbah Nang, Kulo titip Thole sekedap nggeh, wau rewel nedi wangsul, teng kebun di cokoti nyamuk larene wau, Kulo dereng mantun mendeti salak (kakek, saya titip ana saya sebentar ya, tadi rewel minta pulang,di kebun di gigit nyamuk anaknya tadi, saya belum selesai ngambil salak" ucapku sama kakek.
"O iyo, kene Thole Ben Karo aku ( o iya, sini anakmu biar sama kakek)" ucap kakek.
Setelah menyerahkan anakku sama kakek akupun melanjutkan untuk memetik buah salak (Thole \= sebutan untuk anak laki-laki). Akhirnya sekitar jam sepuluh lewat akupun sudah selesai memanen buah salak, kemudian langsung aku bawa pulang dan aku bersihkan.
Kemarin waktu ngobrol sama suami aku dia bilang jika buah salaknya suruh dipisah yang besar, sedang, dan yang kecil, akhirnya akupun memisahkan buah salak itu sesuai ukurannya. kebetulan waktu itu aku dapat sekitar sebelas kilo.
Setelah selesai memisahkan buah salak sesuai ukuran kemudian aku mulai menimbangnya sekilo-sekilo dan mendapatkan hasil yang besar empat kilogram, yang sedang dapat empat kilo dan yang kecil dapat tiga kolo lebih sedikit, dan sisanya itu di makan sendiri.
Jam empat sore akhirnya suamiku datang dari kerja, ya karena di mebel dia bekerja biasanya jam tiga sore baru pulang kerja karena jarak rumah aku dan tempat dia kerja cukup jauh ya wajar jika dia sampai di rumah jam segitu walau biasa agak awal juga karena kerjaan suamiku di mebel itu termasuk borongan bukan harian. jadi ya biasa kalo Ndak ada bahan yang di kerjakan ya libur.
Sesaat setelah sampai rumah diapun segera menanyakan buah salaknya sudah siap apa belum.
"Dek, salaknya udah di bungkus sesuai ukurannya kah"? tanya suamiku.
"Sudah mas? jawabku.
"Kalo gitu masukkan karung yang beda ya biar Ndak keliru ngasih harga nanti" ucapnya.
"Iya mas" ucapku, lalu akupun memasukan karung yang berbeda untuk buah salak yang berbeda.
Setelah selesai akhirnya suamiku berangkat dengan mengendarai motornya, setengah lima sore dia mulai jalan untuk menjual buah salak itu tujuannya adalah perumahan perkebunan yang di tempati abangnya karena dekat dengan kantor dan dia akan menjual buah salak itu ke perumahan disitu karena pasti orang sana udah pada gajian.
Karena jarak yang di tuju suami aku lumayan jauh wajar jika dia pulang malam , sekitar jam tujuh lewat tiga puluh menit akhirnya dia sampai juga di rumah, aku bernafas lega melihat dia pulang dengan keadaan sehat tanpa kurang satu apapun. karena yang aku khawatirkan saat dia diperjalanan, dengan keadaan jalan yang ramai membuat hatiku selalu merasa tidak tenang jika dia jalan jauh.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!