Di sebuah Rumah Sakit terdengar suara brankar yang di dorong tergesa-gesa. "Bertahanlah! kau pasti bisa!" terdengar suara seorang Pria yang cemas pada orang yang terbaring di brankar tersebut.
"Kakak bertahanlah!" Timpal seorang gadis.
"Emm … sayang tetaplah berada di sampingku …" Pinta wanita yang terbaring di atas brankar.
"Ya! aku akan selalu menunggumu dan selalu berada di sampingmu."
Wanita yang terbaring di brankar itupun di bawa ke ruang persalinan, seluruh keluarga yang ikut mengantarkan hanya menunggu di luar sampai persalinan selesai.
Seluruh anggota keluarga duduk di kursi tunggu, setiap detiknya terasa sangat mencekam.
"Narumi … kau pasti bisa, aku percaya padamu …" Batin Pria tersebut.
"Tenangkan dirimu Asahi! Narumi pasti baik-baik saja, jangan mengeluarkan aura yang tidak mengenakkan disini." Tegas seorang wanita tua.
"Tapi Ibu … aku tak pernah meninggalkan Narumi sendirian, dan aku tak pernah melihatnya menahan rasa sakit seperti itu. Aku ingin masuk ke dalam, tapi Dokter s*al*n itu tidak mengizinkanku."
"Aku yakin kakak ku pasti bisa! karna dia bukan orang yang lemah, dan tentunya Kak Asahi juga tau bukan," ucap seorang gadis.
"Asahi Ibu tau kau khawatir, kami semua yang berada di sini juga khawatir. Kau tidak lihat adiknya Narumi dan temannya juga khawatir, termasuk juga Ayahmu." Jelas Ibunya Asahi.
"Cih!"
"Asahi, aku yakin Narumi akan baik-baik saja." Timpal temannya Narumi.
Asahi tak membalas perkataan temannya Narumi itu, di dalam pikirannya hanya di penuhi dengan istrinya yang berada di dalam ruang persalinan.
Detik dan menit sudah berlalu hingga tepat satu jam suasana di ruang tunggu akhirnya mereda, karna dari dalam ruang persalinan terdengar suara bayi yang menangis.
Sontak mendengar tangisan bayi itu semua orang berdiri, dan tepat saat itu juga Dokter yang menangani persalinan Narumi akhirnya keluar.
Tanpa berbasa-basi Asahi langsung menghampiri Dokter tersebut. "Bagaimana dengan istri dan anakku?" tanya nya khawatir.
"Selamat Tuan, anda mendapatkan 2 orang putra. Dan mengenai istri anda, ia baik-baik saja," ucap Sang Dokter.
"Bolehkah aku menemuinya?"
"Tentu, tapi jangan terlalu banyak orang yang melihat, karna itu bisa mengganggu kondisi pasien."
Asahi melihat ke arah keluarganya dan keluarganya pun mengangguk untuk mempersilahkan Asahi lebih dulu melihat istrinya.
Tanpa berbasa-basi Asahi masuk ke dalam ruang persalinan menemui istrinya.
Di dalam Asahi melihat istrinya yang terbaring lemas sehabis melahirkan anak mereka.
Asahi berjalan mendekati istrinya, memegang tangan istrinya dan mendekatkan keningnya dengan kening istrinya di sertai air mata bahagia yang perlahan jatuh mengenai wajah istrinya.
"Terimakasih … terimakasih Narumi …" Lirih nya.
Karena merasa ada sesuatu yang menetes membasahi pipinya, Narumi membuka matanya perlahan-lahan dan melihat suaminya yang sedang menangis di depan matanya.
Narumi mengusap lembut air mata suaminya. "Asahi … kau menangis? heh …" Lirih Narumi.
Melihat Narumi yang terbangun Asahi langsung mengusap air matanya dan kembali ke gaya cool nya. "Ha? apa yang kau katakan Narumi? aku tidak menangis, aku hanya khawatir dengan dirimu."
"Hehe' … kau seperti anak kecil. Dimana anak kita?"
Disaat Narumi menanyakan keberadaan anaknya, tiba-tiba datang dua orang Suster membawa dua orang bayi.
"Tuan, Nyonya, ini anak anda," ucap salah satu Suster itu.
Salah satu Suster meletakkan bayi tersebut di sebelah Narumi dan satu Susternya lagi memberikan bayi yang satunya kepada Asahi.
Asahi berdiri dan menatap kedua putranya. "Wajah mereka sangat mirip denganmu, mereka juga kembar. Bagaimana cara membedakannya?" tanya Narumi menatap Asahi.
"Kurasa kau benar. Emm' tapi … coba kau perhatikan baik-baik apakah ada suatu tanda yang bisa membedakan mereka berdua."
Asahi meletakkan bayi yang di gendongnya di sebelah bayi yang satunya, dan mulai memperhatikan kedua anaknya itu secara teliti.
Termasuk juga dengan Narumi, dia bingung bagaimana cara membedakan kedua putranya itu.
Saat mencari perbedaannya, Asahi menyadari kalau tidak ada yang berbeda dari kedua putranya itu. Kecuali tanda titik hitam yang berada di telinga kedua putranya.
"Narumi, kau pasti tidak bisa menemukan perbedaannya bukan?"
"Hmm' iya. Apakah kau menemukan perbedaan mereka berdua sayangku?"
"Heh' tentu saja. Di tubuh mereka tidak ditemukan bekas atau tanda apapun yang bisa membedakan mereka, tapi tanda titik hitam kecil di telinga mereka sudah bisa membedakannya."
"Yang satu titik hitamnya berada di sebelah kanan dan yang satunya lagi berada di sebelah kiri." Jelas Asahi.
"Matamu terlalu teliti."
"Tentu saja. Mereka berdua adalah Putra-putraku anak dari seorang Yakuza dan akan memakai gelar keluarga besar ku."
"Apa kau sudah memiliki nama untuk mereka?"
"Ya. Nama mereka adalah Saito Rei dan Saito Ren, Rei mempunyai tanda titik hitam di telinga sebelah kirinya sedangkan Ren mempunyai titik hitam di sebelah kanannya."
"Hhh' … semoga aku tidak keliru."
Mendengar perkataan itu dari Narumi membuat Asahi tersenyum hangat menatap Narumi dan anak-anaknya.
Samar-samar terlihat kalau kedua putranya itu tersenyum dengan mata yang tertutup seolah-olah mengerti apa yang sedang dibicarakan orang tuanya.
****************
Tujuh tahun pun berlalu, Si kembar Rei dan Ren tumbuh menjadi anak yang pintar, bahkan mereka berdua suka bercanda dan menjahili semua orang karena mereka kembar.
Hingga tepat di suatu hari yang sangat tak diinginkan oleh semua orang, suatu peristiwa sedih menimpa keluarga besar Saito. Narumi terkena penyakit yang sangat parah.
Di malam harinya tepat disaat semua orang di Rumah Sakit telah terlelap dalam tidur mereka masing-masing, Asahi masih terjaga dari tidurnya.
Ketika Asahi sedang sibuk mencari seorang Dokter yang bisa menyembuhkan penyakit Narumi, tiba-tiba saja Narumi terbangun dari tidurnya.
Melihat Narumi yang terbangun, Asahi mendekati Narumi dan memegang tangannya. "Kau sudah bangun."
"Kenapa kau belum tidur?" tanya Narumi dengan nada suara lemah.
"Aku tak bisa tidur."
"Jika kau tidak tidur, maka aku juga tidak akan tidur."
Perkataan Narumi membuat hati Asahi tersentuh, air mata yang tak tertahankan dari nya pun perlahan mulai lolos membasahi pipinya, Asahi menangis di hadapan Narumi.
"Hiks … hiks … hiks …"
"Kau menangis Asahi?"
"Tidak, mataku hanya terkena debu …"
"Oh' ternyata begitu."
"Narumi … aku mohon jangan tinggalkan aku, tetaplah bertahan sampai aku bisa mencarikan Dokter yang bisa menyembuhkan mu …"
"Heh … terimakasih, kau selalu mencintaiku dan aku juga bahagia mempunyai dua orang anak yang mirip sepertimu. Asahi … jika memang kematian di hadapanku, maka aku tak bisa menolaknya."
"Apa yang kau katakan! aku pasti bisa menyembuhkan mu."
"Iya, aku percaya. Sebaiknya kita tidur dulu dan lihat hari esok."
Tanpa menjawab pertanyaan dari Narumi, Asahi semakin menangis tersedu-sedu melihat kondisi istrinya itu.
Narumi membelai lembut kepala suaminya, tak terasa belain lembut dari Narumi membuat Asahi sedikit tenang hingga akhirnya ia tertidur.
Melihat Asahi yang sudah tertidur Narumi mengambil ponselnya di atas meja di samping tempat tidurnya, dan menghubungi seseorang.
Tak butuh waktu lama, sambungan telepon itu langsung di angkat oleh orang tersebut.
Drrtt … drrtt … drrtt …
📲"Halo Miho!"
📲"Kakak! apa kakak baik-baik saja. Tunggu aku! aku akan pulang," ucap Miho cemas.
📲"Tidak perlu, aku tau kau sedang sibuk menata karir mu." Jawab Narumi.
📲"Aku tidak peduli, yang jelas aku akan pulang. Besok aku akan sampai."
📲"Heh' mustahil, setidaknya kau membutuhkan waktu lebih kurang dua hari untuk sampai kemari."
📲"Aku akan mencari cara agar bisa sampai kesana besok pagi."
📲"Maupun besok atau dua hari lagi, aku tidak bisa menunggu. Maka aku akan mengatakan semuanya padamu, karna aku percaya padamu Miho."
Mendengar perkataan seperti itu dari kakaknya lewat telpon, membuat Miho terdiam tanpa mengucapkan sepatah kata apapun.
📲"Miho dengar ini baik-baik, aku …" Narumi mengatakan keinginannya pada Miho.
Sedangkan Miho tak bisa mengatakan apapun, air matanya terus mengalir membasahi pipinya saat mendengar permintaan dari kakaknya,Miho menangis tersedu-sedu saat itu.
📲"Maafkan aku Miho … aku meninggalkanmu dengan beban yang sangat berat di pundakmu … karna tidak ada orang lain lagi yang bisa ku percaya selain dirimu … kau adik paling hebat yang ku miliki …"
📲" Tapi …" Lirih Miho.
📲"Kali ini tidak ada tapi, kalau begitu selamat tinggal." Narumi langsung mematikan sambungan telepon tersebut setelah mengatakan keinginannya pada Miho.
Narumi meletakkan ponsel nya kembali di atas meja di samping brankar nya.
Sambil menangis perlahan-lahan Narumi menutup matanya. "Aku mohon … bisakah aku masih hidup esok pagi dan melihat kedua putraku … setelah melihat mereka aku akan pergi."
Perlahan-lahan Narumi kehilangan kesadarannya.
****************
Keesokan paginya ruang tempat Narumi di rawat dipenuhi dengan keluarga besar Saito, disitu mereka semua sangat panik dan bertanya-tanya kenapa Narumi masih belum terbangun dari tidurnya.
Narumi bernapas tetapi matanya tertutup, Si kembar yang melihat keadaan Ibunya yang seperti itu juga ikut menangis dan berjalan perlahan mendekati Ibunya, sambil memegang tangan Ibunya.
"Ibu … Ibu bangun, ini Rei dan Ren. Kami berjanji tidak akan menjahili Ibu lagi." Tangis Si kembar Rei dan Ren memanggil-manggil Ibunya.
Semua orang yang berada disitu juga ikut menangis. Tiba-tiba tangan Narumi bergerak dan perlahan-lahan Narumi membuka matanya.
Ia berfokus melihat kedua Putranya yang berada di sampingnya menangis tersedu-sedu sembari memanggil dirinya.
"Rei, Ren …" Lirih Narumi.
"Ibu!" Serentak Si kembar.
"Kenapa kalian menangis? apakah ada seseorang yang berbuat jahat pada kalian? atau Ayah kalian memperlakukan kalian dengan tidak baik?"
"Tidak, Ayah memperlakukan kami dengan sangat baik. Kami menangis karna melihat Ibu," ucap Rei disertai air mata.
"Ibu tidak akan meninggalkan Ren kan?" tanya Ren.
"Rei, Ren Ibu tak pernah meninggalkan kalian. Mendekatlah, Ibu akan membisikkan sesuatu pada kalian."
Rei dan Ren menuruti perkataan Ibunya lalu mendekatkan telinga mereka ke arah Ibunya.
"Ren, Rei, jadilah anak yang baik. Ibu mungkin akan pergi dari dunia ini, tapi Ibu tidak pernah pergi dari hati kalian … Ibu menitipkan kalian pada bibi Miho dan bibi Miho akan menjadi Ibu sambung kalian." Bisik Narumi.
Narumi membisikkan hal tersebut sembari menangis, dengan tubuhnya yang lemas ia memegang kedua tangan Putranya dan menarik mereka berdua ke dalam pelukannya.
"Selamat tinggal semuanya!" Narumi menghembuskan napas terakhirnya saat itu juga.
"Ibu … Ibu!" teriak Ren memanggil Ibunya.
"Tidak!!" teriak Rei.
Si kembar menangis dalam pelukan Ibunya yang sudah tak bernyawa, Asahi tak sanggup melihat semua itu dan memutuskan untuk keluar.
Di luar ada dua orang yang mendatangi Asahi. "Tuan kami mendapatkan kabar dari anggota di bagian timur Kota, kalau ada seorang mafia yang mencoba menguasai wilayah itu." Ucap orang¹.
"Ha' lelucon apa ini Narumi, kau berjanji tak akan pernah meninggalkanku tetapi kau meninggalkan ku lebih dulu. Dan ketika kau pergi kenapa selalu ada saja seekor lalat yang mengganggu." Asahi bermonolog sendiri disertai air mata.
Asahi berjalan melewati kedua anak buahnya dan bertanya pada mereka di mana Hisao.
"Hisao, saya mendapatkan kabar kalau dia sudah berada di sana." Jawab orang².
"Ternyata begitu. Ayo kita pergi!"
Asahi pergi dengan kedua anak buahnya ke wilayah Timur Kota. Sedangkan keluarga Asahi, Ayah, Ibu beserta kedua Putranya masih berada di dalam ruangan tempat rawat inap Narumi.
"Rei, Ren kemari. Sudah, ibu kalian tidak akan kembali," ucap Neneknya pada Rei dan Ren.
"Aku akan menelpon beberapa orang dari rumah untuk datang kemari membawa jasad Narumi pulang." Osamu keluar dari dalam ruangan dan Asami mendekati Rei dan Ren.
"Sudahlah, disini masih ada Nenek dan Kakek. Jadi, Rei dan Ren jangan bersedih lagi …"
Rei dan Ren tidak menggubris sama sekali tidak menggubris perkataan Neneknya, mereka terus menangis tanpa henti walaupun sudah di pisahkan oleh jasad ibunya.
Jasadnya Narumi di bawa pulang ke rumah keluarga besar Saito.
Sesampainya di rumah Rei dan Ren langsung turun dan bergegas pergi menuju kamar mereka, Asami yang melihat itu hanya membiarkannya karna ia tau kalau anak seumuran mereka memerlukan waktu untuk mengikhlaskan kepergian ibunya.
Di hari itu seluruh keluarga Saito merasakan kesedihan yang mendalam atas kepergian Narumi, tepat di saat itu juga Miho sampai di rumah keluarga besar Saito.
Ketika sampai di dalam rumah ia terdiam, koper yang ia bawa terjatuh, wajahnya sangat pucat dan terlihat juga dari matanya kalau ia tidak tidur semalaman karena terlihat jelas bahwa kantong mata hitam di bawah matanya.
Miho berjalan perlahan, matanya tertuju pada kakaknya yang tergeletak tak sadarkan diri.
Saat tiba di jasad Narumi, Miho terjatuh karena lemas. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangannya, ia berteriak histeris di depan jasad Narumi sambil menangis tersedu-sedu.
"Tidak! kakak … tidak mungkin! hiks … hiks …" teriak Miho.
"Maafkan aku … aku terlambat, aku datang tidak tepat waktu. Maafkan aku kak …" Batin Miho di penuhi rasa penyesalan.
"Paman Bibi, dimana Rei dan Ren?" tanyanya.
"Mereka berdua ada di dalam kamarnya, ketika sampai ke rumah mereka langsung masuk ke kamarnya. Mungkin mereka sangat terpukul." Jelas Asami.
"Aku ingin menemui mereka …"
"Silahkan saja Miho, kuharap kau bisa membuat mereka menjadi lebih baik."
Miho berjalan pergi menuju kamar Rei dan Ren, sesampainya di depan pintu kamar Rei dan Ren Miho mengetuk pintu.
Tok … tok … tok …
"Rei, Ren apa kalian ada di dalam?" tanya Miho memanggil Rei dan Ren.
Tetapi Rei dan Ren tidak menjawab pertanyaan Miho tidak di jawab sama sekali oleh mereka berdua, hingga membuat Miho memutuskan untuk membuka pintu.
*Kkrreett
Saat di buka Miho melihat Rei dan Ren yang menatap keluar jendela tanpa ekspresi apapun.
Melihat hal itu membuat hati Miho semakin tergores dan berjalan perlahan mendekati Rei dan Ren sambil memeluk mereka dari belakang.
"Rei, Ren ini Bibi …" Tangisnya.
Rei dan Ren sama sekali tidak menggubris perkataan Miho, mereka hanya memandang keluar jendela dengan tatapan kosong.
"Kakak …kau meninggalkan ku dalam situasi yang cukup sulit." Batin Miho.
"Ren, Rei Bibi berjanji tidak akan meninggalkan kalian," ucap Miho sembari menangis dan mengeratkan pelukannya pada Rei dan Ren.
Hari itu juga Narumi di makamkan, tepat di pemakaman Rei dan Ren menangis tanpa ekspresi di wajah mereka. Sedangkan Asahi hanya menatap malam istrinya.
"Narumi … kau pembohongan besar, kau berkata kau tidak akan pernah meninggalkan ku … tetapi hari ini semuanya telah terbukti, kaulah orang pertama yang meninggalkan ku." Batin Asahi.
Miho yang memegang tangan Rei dan Ren juga menangis sambil menatap makam kakaknya. "Kakak … aku berjanji padamu, aku akan menepati keinginan terakhirmu walaupun menurutku itu berat."
Asami yang melihat Miho menangis, lalu berjalan mendekatinya. "Miho, Bibi tau ini berat bagimu tapi Bibi yakin kau bisa menghadapinya," ucap Asami memberikan semangat pada Miho.
"Terimakasih Bibi."
Setelah usai memakamkan Narumi, mereka semua pulang terkecuali Asahi yang entah pergi kemana.
****************
Di rumah Miho hanya berfokus kepada Rei dan Ren, ia ingin membuat Rei dan Ren berbicara. Karna dari awal pemakaman sampai mereka semua sudah pulang, Rei dan Ren tidak mengatakan sepatah kata apapun.
"Rei, Ren ingin ikut bersama Bibi?" ajak Miho pada Rei dan Ren.
Tetapi Rei dan Ren hanya menggelengkan kepala, Rei dan Ren kemudian pergi ke kamar mereka.
"Huhh … ini sangat sulit bagiku, tapi aku yakin aku pasti bisa." Kekeh Miho menguatkan dirinya.
Sore hari Miho menyiapkan makan malam untuk semua orang di bantu oleh Bibi Emi.
Seusai menyiapkan makan malam, Miho memanggil Rei dan Ren untuk makan malam bersama.
Tok … tok … tok …
"Rei, Ren keluarlah, makan malam sudah siap," kata Miho dari luar kamar Rei dan Ren.
Seperti sebelumnya, Rei dan Ren tidak menjawab perkataan Miho.
Miho merasa sedih karena selalu tidak dipedulikan oleh Rei dan Ren, ia lalu memutuskan kembali ke meja makan tanpa membawa Rei dan Ren.
Di meja makan, Asami dan Osamu melihat wajah sedih Miho. "Miho kau pasti tau bukan, jika sudah kehilangan seseorang maka butuh waktu untuk melupakannya. Bukankah kau juga merasakannya." Jelas Asami.
"Iya Bibi aku paham." Miho mengangguk.
"Miho, bisakah kau juga membujuk Asahi agar bisa melupakan Narumi. Karna jika ia terus mengingatnya, itu hanya akan membebani dirinya dan mengganggu kesehatannya." Pinta Osamu pada Miho.
"Miho juga berharap begitu Paman, tapi seharian penuh ini Miho tidak melihat keberadaan kak Asahi."
"Tentu saja kau tidak melihatnya, dia sedang berada di markas Yakuza. Entah apa yang dia lakukan tidak ada yang tau."
"Paman Miho berjanji akan membuat kak Asahi melupakan kak Narumi, tetapi Miho tidak bisa berjanji untuk melupakan kak Narumi di dalam hati kak Asahi."
"Miho, kau anak yang baik. Kenapa kau tidak menjadi ibu sambung dari Rei dan Ren." Timpal Asami.
"Ee' … itu Miho …"
"Sudahlah Miho, tidak perlu memikirkan perkataan Bibi tadi."
Miho, Asami dan juga Osamu makan bersama malam itu.
Seusai makan malam, Miho memutuskan untuk masuk ke kamarnya. Di dalam kamar Miho duduk di kasurnya sembari memegang sebuah poto, di dalam poto itu terlihat poto nya bersama kakaknya.
"Kak, aku tidak tau sampai kapan aku bisa bertahan, yang jelas aku akan terus berusaha walaupun itu berat." Miho bermonolog sendiri.
Setelah mengatakan itu,Miho merebahkan tubuhnya di kasur,perlahan-lahan ia menutup matanya dan tertidur.
****************
Keesokan paginya Miho yang sudah selesai membersihkan diri sekaligus telah selesai merapikan kamar lalu keluar dari kamarnya.
Ia berjalan menuju pintu kamar Rei dan Ren.
Tok … tok … tok …
"Ren, Rei apa kalian sudah bangun." Panggil Miho dari luar kamar.
Tidak ada jawaban sama sekali dari dalam kamar Rei dan Ren.
"Emm' … mungkin mereka masih tidur." Batin Miho.
Miho pun berinisiatif masuk ke dalam kamar Rei dan Ren untuk membangunkan mereka.
*Kkrreett
Saat masuk ke dalam kamar, Miho mulai membangunkan Rei dan Ren dengan lemah lembut. "Rei, Ren bangun, sudah pagi. Kalian harus berangkat ke sekolah."
Perlahan-lahan Rei dan Ren bangun dari tidur mereka. "Ehh' … selamat pagi." Ucap Rei dan Ren bersamaan.
Miho menahan air matanya melihat Rei dan Ren yang seperti orang tanpa perasaan seakan tidak ada warna lagi dalam hidup mereka.
"Kalian sudah bangun, kalau begitu bangkit dari tempat tidur dan bersihkan diri kalian. Bibi akan mengantar kalian pergi ke sekolah, tapi sebelum itu kita akan sarapan pagi bersama."
"Ya baiklah," ucap Ren.
"Hmm' aku mengerti." Timpal Rei.
Miho keluar dari dalam kamar Rei dan Rei, ia berjalan pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan pagi.
Di dapur ternyata sudah Bibi Emi yang baru saja ingin memasak.
"Bibi, biar Miho saja yang memasak." Pinta Miho pada Bibi Emi.
"Tapi Nona Miho, ini pekerjaan saya," ucap Bibi Emi.
"Tidak apa-apa, aku ingin memasak untuk Rei dan Ren."
"Baiklah jika itu kemauan anda Nona, kalau masakan Nona sudah siap saya akan menyusunnya di meja makan."
"Ya."
Miho mulai memasak sarapan pagi. Tak berapa lama Miho bergelut dengan bumbu masakan di dapur, akhirnya sarapan pagi sudah siap di hidangkan.
Tepat di saat itu, Rei dan Ren keluar dari kamar bersamaan dengan Asahi yang juga keluar dari kamarnya. Mereka turun bersama-sama untuk sarapan pagi.
Melihat Asahi bersama Rei dan Ren, Miho menyadari kalau Asahi kembali larut malam disaat semua orang sudah terlelap dalam tidurnya.
Mereka pun duduk di meja makan, Miho lalu mengambilkan makanan untuk mereka bertiga dan mempersilahkan mereka untuk makan.
Asahi adalah orang pertama yang memakan masakan itu, saat memakan masakan itu Asahi langsung terdiam. "Siapa yang memasak ini?"
"Aku, ada apa? apakah masakannya kurang enak?" tanya Miho.
"Tidak, aku hanya bertanya."
Sekarang giliran Rei dan Ren yang memakannya, sama seperti Asahi saat sudah memakan masakan itu mereka berdua terdiam dan air mata perlahan lolos membasahi pipi mereka.
"Masakan ini sama seperti masakan ibu, apakah ibu kembali Ayah?" tanya Rei menatap Ayahnya sembari menangis.
"Aku rindu ibu." Timpal Ren yang juga ikut menangis.
Melihat Rei dan Ren menangis, Miho bangkit dari tempat duduknya dan mendatangi Rei dan Ren.
Miho mengusap air mata mereka dan mengelus pelan kepala Rei dan Ren. "Jika Rei dan Ren menyukainya, Bibi akan setiap hari memasak untuk kalian berdua."
"Ya! terimakasih Bibi." Kata Rei dan Ren bersamaan dengan senyuman tipis terlihat dari wajah mereka.
Senyuman dari Rei dan Ren membuat Miho sangat bahagia, ia merasa usahanya tidak sia-sia, sedangkan Asahi hanya melirik Miho lalu mengalihkan lirikannya dan kembali melanjutkan makannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!