NovelToon NovelToon

Istri Yang Tersakiti

PROLOG

Sakit. Hal yang dirasakan wanita di dalam sebuah mobil yang jatuh di jurang. Ia mengernyit, lalu membuka matanya perlahan meski hanya setengah, kemudian ia tersentak.

Apa yang terjadi? Kenapa ia bisa berada di sini sendirian?

Ia melihat ke sekitarnya dengan panik. "Tolong! Tolong!" jeritnya.

Ia tidak mau mati. Ia berusaha menggedor-gedor jendela mobil sambil terus meraung minta tolong, dan membuka pintu dengan sisa tenaga yang dipunyainya.

Dari atas jurang, berdiri seorang pria dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celananya. Bibirnya melengkungkan senyum jahat, kemudian dia mengeluarkan sebuah mancis gas dari dalam saku.

"Selamat tinggal, sayang," ucapnya nada bicaranya mencemooh.

Mancis dinyalakan, kemudian dilemparkan tepat ke mobil yang terjerembab di jurang itu. Dalam hitungan detik ... boom! Mobil meledak.

Senyuman berubah menjadi tawa keras. Pria itu berbalik, puas karena akhirnya rencana yang dibuatnya berhasil. Ia melangkah jauh, sebuah kebebasan sudah ada di dalam genggamannya.

...***...

Sebuah taman khusus disewakan untuk acara telah dihias dengan cantik. Berbagai bunga warna merah muda ditata di berbagai sudut, ditambah dengan lampu neon yang menerangi tempat itu.

Para tamu undangan telah hadir dan duduk di tempat yang disediakan. Seorang pendeta berdiri di altar, menunggu pengantin yang menikah hari ini.

Tak perlu menunggu lama untuk menyambut kebahagiaan yang hakiki, pengantin itu memasuki halaman sambil tersenyum. Para tamu undangan menoleh, lalu berdiri. Pasangan itu mulai melangkahkan kaki di atas karpet merah, disirami oleh kelopak bunga mawar merah yang dilemparkan oleh para tamu undangan.

Senyum bahagia menghiasi keduanya, saling menatap penuh kasih. Kini, mereka sampai di depan altar. Pendeta membuka kitabnya, memulai acara pernikahan ini dengan khidmat.

"Saudara Giorgino Bram Hartawan, apakah Anda bersedia menjadi suami dari Irish Kinandita Tanutama sehidup-semati, dalam keadaan suka maupun duka, sehat maupun sakit?" kata pendeta, mengucapkan ikrar pernikahan.

Pria berewokan tipis itu melirik calon istrinya sambil tersenyum lebar. "Tentu saja, saya bersedia," ucapnya lembut, dan wanita itu tersipu.

Tatapan pendeta kemudian dialihkan pada pengantin wanita. "Saudari Irish Kinandita Tanutama, apakah Anda bersedia menerima Giorgino Bram Hartawan sebagai suami Anda, menemaninya dalam keadaan sehat maupun sakit, suka maupun duka, dan sehidup-semati?"

Tanpa ragu, wanita itu menganggukkan kepala sembari menatap pria yang ada di hadapannya. "Saya bersedia," jawabnya, tersenyum riang.

Setelah itu, pendeta mengucapkan doa untuk mempelai, sebelum kata "sah" terucap dari bibir mereka. Keadaan menjadi hening, semua orang menunduk sambil menggumamkan kata "amin", menyahuti doa untuk pasangan baru itu.

"Saudara Giorgino dan Saudari Irish, sekarang kalian sudah sah menjadi pasangan suami-istri di hadapan Tuhan. Mempelai pria boleh mencium istri Anda," kata pendeta.

Gio dan Irish berputar saling berhadapan. Tangan Gio meraih ujung sekat putih yang menutupi wajah Irish, menyibakkannya ke atas hingga wajah cantik wanita itu terlihat.

Keduanya tersenyum, larut dalam kebahagiaan. Perlahan, Gio dan Irish saling mendekatkan wajah, akan berciuman. Namun, suara tembakan terdengar, spontan mereka menjauhkan wajah dengan ekspresi terkejut, menoleh ke arah suara itu berasal.

Suasana yang membahagiakan berubah menjadi riuh oleh jerit ketakutan dari para tamu undangan. Mereka berlari tak tentu arah mencari jalan keluar. Pendeta juga langsung turun dari altar untuk menyelamatkan diri. Gio dan Irish hanya berdiri di tempatnya, bingung menonton situasi kacau ini.

"Bagaimana ini, Gio?" rengek Irish, kesal karena pernikahan impiannya jadi berantakan.

"Aku juga nggak tau!" sahut Gio, yang kejengkelannya ikut tersulut.

Padahal, mereka telah merencanakan pernikahan yang damai. Tapi, gara-gara suara sebuah tembakan, semua harapan itu buyar. Tidak ada yang bisa mereka lakukan. Para tamu undangan kabur dari pesta itu, meninggalkan Gio yang Irish yang kini tengah tercengang.

"Iiih! Siapa sih yang bikin pernikahan aku kacau begini? Kamu tau, nggak? Rencana pernikahan, cincin, gaun, dekorasi, sampai kartu undangannya aku pamerin ke teman-teman aku. Mereka pasti akan ngetawain aku habis ini, dan mem-posting pernikahan aku yang gagal ini!"

Tak tahan pada ocehan Irish, Gio sampai menutup telinganya. Dasar perempuan! Dia memang cantik, tapi sifatnya tidak sama seperti wanita seusianya. Sikap manis dan manjanya meluluhkan hati Gio. Dia hampir 99 persen sempurna. Yang 1 persennya hanya sifat bawelnya. Kadang, rasa penyesalan karena telah memilihnya menggelayut hatinya. Tapi bagaimana lagi, Irish sedang mengandung, dan ia harus bertanggung jawab.

"Terus, kenapa malah salahin aku?" bentak Gio frustasi. "Aku nggak nyangka pesta pernikahan kita jadi berantakan begini. Lagian, siapa yang bikin gaduh siang-siang gini?" Gio berkacak pinggang dan mendengus.

Seakan ucapannya seperti kata kunci. Seorang wanita bergaun hitam muncul sambil tersenyum misterius. Gio dan Irish hampir karena tak bisa mengenalinya karena matanya memakai kacamata hitam dan memakai topi floppy warna cokelat. Gaya berpakaian yang aneh. Irish tersenyum geli mencemooh wanita konyol itu.

Dia berdiri ujung altar. Tangan kanan wanita itu menenteng sebuah senjata api sejenis revolver. Sontak Gio dan Irish tercengang serta gugup. Apa dia yang membuat kegaduhan? Maksudnya apa dia melakukan hal ini? Apa dia wanita stress yang kabur dari RSJ?

"Siapa kamu?" tanya Gio pongah, menuruni tangga dan menghampiri wanita itu sambil terus mengomel. "Kenapa kamu buat gaduh dengan membuat bunyi tem—"

Dor!

Sebelum mencapainya, wanita itu menembakkan timah panas tepat ke dada pria itu. Gio mematung, lalu tumbang dengan mata mendelik.

Melihat suaminya jatuh, Irish berteriak histeris. "GIOOOOO!"

Wanita itu tersenyum, kemudian pandangannya mengarah pada Irish. Pistol diacungkan ke arah Irish, sontak wanita itu mengangkat kedua tangannya.

"Saya mohon, jangan bunuh saya," pinta Irish, memelas sambil menangkupkan kedua tangannya. Tubuhnya bergetar hebat, takut jikalau wanita itu akan mengambil nyawanya juga.

"Irish, pengampunan kamu tidak ada gunanya," ucap wanita itu, meskipun bersuara halus, tetapi terdengar mengerikan seperti suara iblis meminta nyawa. "Kesalahan kamu dan pria itu sangat banyak. Tidak ada ampunan bagi kalian."

"Ampun ... ampun!" Irish spontan berlutut sambil menangkupkan kedua tangannya. "Tolong, lepaskan saya. Saya akan melakukan apa pun. Tolong, ampuni sa—"

Dor! Dor!

Dua peluru melesat di bagian kening dan dada bagian tengah. Mata Irish terbelalak, mulutnya ternganga, dan kedua tangannya terangkat sejajar dengan bahu. Sedetik kemudian, tubuh Irish roboh di atas altar, darah keluar dari bekas tembakan, lalu membasahi gaun putihnya yang cantik.

Wanita itu menghargai pekerjaannya itu dengan senyuman. Setelah puas melakukan hal mengerikan, lantas ia berbalik, berjalan dari tempat itu sambil mengelap pistol dengan sapu tangan putih bersulam bunga mawar merah di ujungnya.

"HEI, TUNGGU!" Langkah wanita itu terhenti mendengar sebuah jeritan yang disertai tangisan dari seorang wanita paruh baya. "DASAR WANITA SINTING! Kenapa kamu membunuh anakku?!"

Satu lagi orang yang sangat ingin diberantasnya. Telinganya menangkap suara langkah cepat di sebelah kanannya. Waktunya untuk menarik pelatuk. Ia pun menoleh, mengarahkan pistol itu ke arah wanita itu, lalu ... dor! Sebuah peluru langsung mencabut nyawanya. Ia berhasil membidik tepat di dada sebelah kiri.

Pria paruh baya, yang merupakan suami wanita tua itu, merangkul tubuhnya yang roboh di atas rerumputan. Dia bukan target, jadi wanita misterius itu tidak menodongkan pistol ke arahnya. Ditatapnya pria itu, setelah itu ia pergi sembari memasukkan pistol ke dalam tas kecilnya.[]

INIKAH PERNIKAHAN?

Perhatian: Cerita ini fiktif belaka. Maklumi saja jika ada alur yang berlebihan dan klise. Nikmati cerita dalam keadaan yang jernih, ya. Selamat membaca.

...***...

Pernikahan tidak seindah apa yang dibayangkan. Jika kamu memiliki suami yang sangat mencintaimu, maka ia akan melindunginya, berkata baik meski tak harus romantis.

Alina tidak demikian. Suaminya hanya manis pada awal pernikahan, tetapi ketika bulan berikutnya, rasa sakit yang ditahannya harus dimulai saat itu juga.

Di rumah besar ini, tak ada yang menganggapnya sebagai menantu. Mereka orang kaya, tapi terlalu pelit untuk menyewa seorang pembantu. Memasak, Alina tidak mempermasalahkannya, begitu juga dengan melayani ibu mertuanya yang sekadar minta secangkir teh dan camilan.

Alina mengantarkan pesanan ibu mertuanya itu ke teras belakang rumah yang tamannya begitu luas dan penuh oleh tanaman hias. Gadis itu agak gemetaran membawa nampan, wajahnya pucat karena lelah mengerjakan semua pekerjaan rumah. Ditambah lagi ia belum makan sejak pagi.

Dengan tetap menahan tubuhnya, Alina menghampiri ibu mertuanya yang sedang duduk di sebuah kursi sambil memegang kipas bertenaga baterai. Alih-alih berterima kasih, wanita itu memperlihatkan wajah cemberutnya.

"Lama banget! Saya kan sudah bilang, jam 4 sore, kamu wajib menyuguhkan saya teh dan cemilan!" bentak ibu mertuanya.

Alina menjawab sembari menunduk dan tersenyum kecut. "Maaf, Ma. Pekerjaan rumah saya tadi—"

"Alasan! Pekerjaan rumah dijadikan alasan!" potongnya seraya menyindir. "Makanya, jadi istri itu bangun lebih pagi lagi! Jangan malas-malasan kayak gitu!"

Memangnya, harus seberapa pagi? Subuh, Alina sudah bangun untuk menyiapkan sarapan, menyetrika pakaian suaminya yang akan berangkat kerja di rumah sakit besar sebagai dokter spesialis toraks.

Setelah itu, lantas ia bisa sarapan? Ibu mertuanya justru menyuruhnya untuk mencuci semua pakaian, kemudian membersihkan rumah, atau kadang berbelanja mingguan. Seperti itulah keseharian Alina di rumah ini.

Namun, setelah apa yang sudah dilakukannya, ia hanya dapat omelan saja. Bahkan, ia harus menunduk meminta maaf seperti apa yang dilakukannya saat ini.

"Maaf, Ma. Saya akan lebih cepat lagi menyelesaikan semua pekerjaan saya," gumam Alina, menahan air matanya yang menggenang dalam tundukan kepalanya yang dalam.

"Bagus itu." Hanya kata dingin yang dilontarkan ibu mertuanya sambil meraih cangkir dan akan menyeruputnya.

Namun, wanita paruh baya itu tidak menyadari bahwa tehnya masih panas, sehingga dia kaget, lalu meletakkan cangkir itu. Alina buru-buru mendekatinya dengan cemas, tetapi malah mendapatkan tatapan sangar darinya.

Dengan cepat wanita itu meraih cangkir teh, kemudian menyiram paha Alina. Sontak, Alina terpekik pelan dan terkejut. Teh itu menembus rok ke kulit pahanya, membuatnya kepanasan dan perih.

"Dasar menantu nggak becus!" maki ibu mertuanya. "Kamu sengaja mau buat bibir saya melepuh, hah?"

"Maaf, Ma," isak Alina menundukkan kepalanya lagi.

"Maaf, maaf! Saya bosan dengar kata itu!" Wanita itu mendegus dan berkacak pinggang, lalu mencibir pelan. "Heran, kenapa Gio mau saja menikahi wanita jelek kayak gini!"

Rasa sakit pada fisik tak sebanding dengan pedihnya penghinaan yang melukai hati. Namun, kelembutan hati Alina menelan semua ucapan menyakitkan itu, dan malah menganggap bahwa mungkin memang dirinya yang salah.

Lagi, kata "maaf" terucap dari bibir Alina. Ibu mertuanya meradang, menjerit sambil menutup telinganya.

"Cukup! Saya muak mendengar semua ucapan kamu! Sekarang, pijitin saya!" Lalu, wanita itu duduk sambil memegangi kepalanya, dan menggerutu pelan. "Huh! Kepala saya malah pusing gara-gara kamu. Cepat! Pijitin saya!"

Perlakuan semena-mena ibu mertuanya, Alina lakukan dengan cepat, meskipun tubuhnya mulai sulit untuk tetap berdiri tegak. Dengan tubuh terhuyung-huyung, ia menghampiri ibu mertuanya itu. Karena lemas, gerakan pijatannya pelan dan tak bertenaga. Dan itu membuat ibu mertuanya kembali berang.

"Bisa pijit nggak sih? Nggak berasa begini?" omelnya.

"Iya, Ma," jawab Alina lemas.

Alina berusaha keras mengeluarkan tenaganya untuk memijat kepala ibu mertuanya. Namun, ia justru semakin lemas, dan pada akhirnya tubuhnya terjatuh di atas rerumputan, tak sadarkan diri.

Ibu mertuanya tersentak karena mendengar suara debuman keras itu, lalu menoleh. Alih-alih prihatin melihat menantunya pingsan, wanita itu malah berdiri sambil berkacak pinggang.

"Dia pasti pura-pura," gerutunya. "Heh! Bangun! Jangan pura-pura pingsan deh! Sok drama banget sih? Kamu kira, saya mempan dengan trik jadul kamu!" omelnya, dengan berhati dingin membangunkan Alina dengan menendang-tendang kakinya.

Alina tetap bergeming, ibu mertuanya mendengus dongkol. Lalu, wanita itu berjongkok, menepuk-tepuk lengannya agak keras.

"Heh, Alina! Bangun! Saya tahu kamu cuma pura!" bentaknya, tetapi Alina tidak juga menyadarkan diri. "Oke, kalau kamu masih mau bertahan sama akting kamu, saya akan bangunkan kamu dengan cara lain!"

Wanita itu bergegas menghampiri keran air yang ada di dekatnya. Diraihnya selang air, membuka keran hingga air mengucur dari keran. Lalu, ia mengarahkan selang pada Alina, menyemprotkan air sampai Alina tersentak bangun.

Setelah itu, selang tadi dibuang asal oleh wanita itu, kemudian menghampiri Alina sambil berkacak pinggang. "Bagus, ya? Beginikah cara kamu untuk menghindari tugas sebagai pembantu? Pura-pura pingsan! Kamu pikir, ini panggung teater apa? Kamu tahu, nggak? Akting kamu itu buruk!"

Alina cuma bisa menunduk sesegukan, tak mampu melawan dengan mengatakan bahwa dirinya benar-benar dalam keadaan sakit. Namun, kalaupun ia mengatakannya, itu juga percuma karena ibu mertuanya tidak akan percaya. Ia masih membantah bahwa ibu mertuanya itu berhati dingin dan kejam. Sifat kerasnya itu dikarenakan memang pembawaan wanita itu.

"Huh! Kenapa hariku buruk sekali sekarang?" gerutunya, tangannya mengibas-kibas. Kemudian, lirikan sinis ditancapkan pada Alina. "Heh! Bereskan semua kekacauan ini! Hariku buruk karena kamu! Jadi, jangan memperlihatkan wajah kamu di depan saya. Paham!"

Wanita itu meninggalkan Alina sambil berjalan menghentakkan kakinya. Perlahan, Alina berdiri sambil terus menangis kencang. Apa yang diterimanya saat ini, memang sudah biasa ia hadapi. Namun, tetap saja ia tidak akan bisa menahan rasa sakit di hatinya dan air matanya.

Ia menyabarkan diri, ia harus tetap teguh. Toh, hidupnya tidak seberapa menderita dibandingkan ibunya yang telah membesarkanya tanpa suami. Jika mengingat hal itu, ia menjadi kuat, menyeka air matanya dan berhenti menangis.

Diraihnya selang yang tadi dilemparkan ibu mertuanya, mematikan keran, lalu menggulung selang itu, dan diletakkan kembali ke tempatnya. Cangkir dan toples kue juga ia bereskan di atas nampan, setelah itu ia bawa ke dapur.

...☘...

Ruang makan sunyi dari obrolan penghuni rumah yang sedang menikmati makan malam. Alina muram sambil melirik tempat kosong yang biasa di tempati oleh suaminya.

Ayah mertuanya ternyata memperhatikannya, lalu bertanya, "Alina, kok makannya nggak semangat begitu? Apa karena Gio belum pulang?"

"Alina terkesiap sejenak, senyum dipaksakannya terulas. "Bukan karena itu kok, Pa."

"Apa Gio lembur lagi?"

"Tadi aku telepon, katanya dia ada acara makan malam sama teman-temannya," jawab Alina berkecil hati.

Ibu mertuanya tampak tersenyum sinis. "Itu cuma alasan. Gio tidak mau makan di rumah karena masakan istrinya tidak enak," cibirnya.

Pandangan suaminya sontak ke arah wanita itu, menatap tajam dan geram. "Siapa yang bilang begitu? Kalau memang tidak enak, kenapa tidak kau saja yang masak?"

Voni tidak mau kalah, menatap pria yang sudah 30 tahun dinikahinya itu dengan tak kalah garang. "Buat apa gunanya menantu di rumah ini kalau bukan untuk mengurusi rumah?" sahutnya ketus.

"Memangnya, selama ini kau telah melakukan tugas sebagai menantu di keluarga ini?" balas Vincent, nama ayah mertua Alina. "Kau saja tidak pernah memasak, semua dikerjakan oleh pembantu."

Wanita cepat sekali kemarahannya meledak. Disinggung seperti ini saja, dia langsung menggebrakkan meja dan sekaligus berdiri. "Oh! Jadi karena itu kau—"

Voni tiba-tiba hening karena mempertimbangkan ucapan yang keluar dari mulutnya itu. Mood-nya langsung buruk, dan seketika seleranya jadi hilang.

"Saya sudah selesai makan," gumamnya sambil mengelap mulutnya.

Serbet yang digunakannya itu, lalu dilemparkan dengan kasar ke atas meja makan, lalu ia beranjak pergi dari ruang makan sambil menghentakkan kaki.

Vincent tampak kesal juga, tetapi ia tak ingin merusak suasana di depan Alina, kedua anaknya. "Sudah, jangan dipikirkan. Ayo, lanjutkan makannya."

Alina yang sejak tadi melihat ke arah Voni, kemudian menoleh pada ayah mertuanya sambil tersenyum hambar. Pertengkaran ini bukanlah pemandangan asing baginya. Entah ada apa dengan mereka, Voni selalu membahas sesuatu hal dalam pertengkaran mereka, tetapi tidak diucapkan sampai tuntas. Apa yang terjadi? Apa ini ada hubungannya dengan ketidakharmonisan dalam hubungan mereka?

Makan malam usai begitu saja, Alina membereskan meja makan dan mencuci peralatan makan sendirian. Tak ada yang membantu meski di rumah ini memiliki seorang putri bungsu. Dan ini adalah pekerjaan terakhir yang dilakukannya. Ia bisa istirahat sekarang.

Namun, matanya tak mau terpejam, sisi ranjang sampingnya kosong. Sudah dua bulan pria itu selalu seperti ini, pulang di saat ia sudah terlelap. Mereka tidak pernah menghabiskan waktu karena Gio menjadikan pekerjaannya yang sibuk sebagai alasan.

Alina menghela napas panjang, meratap, mengelus ranjang kosong itu sambil bergumam, "Gio, kapan kamu punya waktu untukku? Aku kangen pelukanmu."

Akhirnya, Alina memejamkan mata, berusaha terlelap meski butuh waktu lama. Tak sadar jam telah menunjukkan pukul 12 malam. Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka, seseorang masuk ke dalam kamar yang gelap.

Pria itu sempoyongan menghampiri ranjang, lalu menghempaskan diri. Alina tersentak, dan langsung menghidupkan lampu hias. Lagi, ia harus menemukan sosok Gio dalam keadaan yang sama—bau alkohol yang bercampur dengan aroma parfum yang aneh.

"Gio, kamu baru pulang?" tanya Alina sambil membuka sepatu Gio.

"Udah tahu nanya! Cepat, gantikan bajuku!" sahut pria itu ketus, menggerakkan kakinya.

Alina melakukan perintahnya tanpa protes. Kedua sepatu Gio sudah dilepasnya, kini ia beranjak ke lemari untuk mengambil sepasang piyama putih. Lantas, ia mulai membuka kancing kemeja Gio. Akan tetapi, ia tertegun ketika tanpa sengaja lirikan matanya mengarah pada sebuah noda warna merah di kerah baju Gio.[]

SUAMIKU YANG DINGIN

Noda lipstik warna merah! Alina mengernyit menatap noda itu. Selama ini, pakaian yang dicucinya selalu bersih, tidak mungkin meninggalkan noda seperti ini. Tadi pagi, ketika ia menyiapkan pakaian untuk Gio, kemeja ini juga dalam keadaan bersih.

Ini noda baru. Apa Gio berselingkuh?

"Hei! Kamu ngapain? Cepat ganti bajuku? Nggak tahu apa kalau aku udah ngantuk!" bentak Gio, menghentakkan Alina dari lamunannya.

"I-iya." Alina menurutinya dengan patuh. Hal tadi dienyahkan sejenak, ia memakaikan Gio piyama, lalu menyelimutinya.

Alina berbaring di sampingnya setelah itu, memperhatikan wajah Gio dengan mata sendu dan hati yang sesak. Noda lipstik itu membayangi. Bibir siapa yang menempel di sana? Siapa wanita itu? Apa suaminya benar-benar telah mengkhianatinya?

Memikirkannya membuatnya tidak bisa tidur. Ia hanya berbaring, berbalut dengan perasaan kalut dan getir. Ingin menangis, tapi takut suara isakkannya membangunkan Gio. Akhirnya, semua kesedihan itu dipendam, menangis tanpa suara sambil memunggunggi suaminya.

Meski kurang tidur, Alina tetap bangun pagi untuk melakukan kegiatannya seperti biasa. Mandi, lalu membuatkan sarapan untuk satu keluarga. Setelah selesai, ia kembali ke kamar untuk membangunkan Gio.

Namun sejenak, ia mematung. Kembali otaknya memutar ingatan akan noda lipstik yang menempel pada kerah baju suaminya. Entah suaminya benar berselingkuh atau tidak, tapi ia akan berusaha menarik hati Gio lagi agar tetap setia padanya.

"Bagaimana caranya, ya?" gumamnya seraya berpikir dan melirik Gio.

Alina pernah menonton film romantis, di mana terdapat sebuah adegan mesra sepasang suami-istri yang harmonis. Mereka memulai hari dengan ritual yang disebut "morning kiss".

Ya! Alina bertekad melakukan hal itu. Namun, ia bimbang lagi. Bagaimana cara memulainya? Ah! Memikirkan hal ini membuat pipinya memerah. Agak memalukan sepertinya, soalnya Alina tidak pernah melakukan hal romantis seperti itu.

Tapi demi mempertahankan rumah tangganya, Alina berniat melakukannya. Oke! Dimulai dengan duduk di tepi ranjang, lalu, ia membelai pipi pria itu dengan lembut.

"Gio, bangun sayang. Sudah pagi." Kemudian, meski agak canggung, Alina mendaratkan kecupan di pipi Gio dengan gerakan perlahan.

Gio pun tentu tersentak. Namun, semua di luar ekpektasi. Alih-alih membalas dengan kecupan manis di bibir, Gio justru memelototinya dan sontak terbangun.

"Apa-apaan sih, nih?" Gio mengusap-usap pipinya dengan kasar seakan kecupan istrinya itu menjijikkan. "Kamu ngapain, hah? Cium-cium pipi aku? Apa uang bulanan yang aku kasih kurang?"

Tindakannya justru membuat suaminya marah, dan Alina menjadi sedih. "Maaf, aku hanya ingin melakukan hal romantis denganmu," gumamnya menunduk malu.

"Romantis?" cemooh Gio agak berseru. "Apanya yang romantis? Yang tadi itu menggelikan tau, nggak? Nggak usah yang aneh-aneh deh! Ambilkan handuk untukku!"

Alina langsung memberikannya karena benda itu sejak tadi dipegangnya. Gio merenggutnya dengan kasar, lalu beranjak ke kamar mandi. Alina kecewa karena Gio kini enggan menatapnya. Sekalinya pandangan matanya teralihkan padanya, tatapan yang diterimanya hanya tatapan dingin.

Sudah dua tahun sikap pria itu berubah seperti ini, dan hampir 6 bulan Gio jarang berada di sisinya. Tidur seranjang, tapi kehidupan mereka bagai orang asing. Cinta di masa pacaran telah luntur, ia bahkan kini tak mengenal Gio yang dulu bersikap manis ketika mengejar cintanya.

Langkahnya lunglai menuju pintu, tapi kemudian ia berhenti di depan meja rias karena tak sengaja menoleh pada bayangannya di cermin. Sering ia merenungkan perubahan sikap Gio padanya, berbagai pertanyaan bermunculan dalam benak.

Apa yang salah? Apa karena cara berpakaiannya? Apa karena ia kurang perhatian? Mungkin servisnya di ranjang kurang memuaskan? Atau ... karena ia sudah tidak menarik lagi?

Ia akui, sekarang ia sudah jarang berdandan. Tidak banyak produk perawatan wajah yang dipakainya, bahkan wajahnya hanya pakai pelembab, bedak bayi, dan lipbalm. Rambut diikat kuncir kuda. Kesibukannya mengurus rumah membuatnya tak sempat untuk merias diri.

Kalaupun pakai make-up, itu jika ada acara penting yang membuat Gio harus membawa istrinya. Tapi, kini ia sudah tidak pergi ke manapun, Gio lebih memilih pergi sendirian ketika diundang ke sebuah acara.

Entah karena bodoh atau hatinya yang terlalu baik, Alina selalu berpikir positif sebagai penghiburan diri. Dinginnya sikap Gio mungkin karena lelah setelah seharian bekerja. Lalu, siapa yang tidak malu pergi dengan istri berpendidikan rendah sepertinya? Yang ada ia di sana hanya pelangak-pelongok mendengar ucapan teman-temannya Gio.

Pedih, tapi ia harus tetap harus tersenyum dan mengusap air matanya. "Setop pikir yang aneh-aneh, Alina! Kamu tetap harus semangat!" gumamnya dengan hati penuh keteguhan.

Ia tak boleh goyah, telah banyak penderitaan yang sudah dilaluinya. Termasuk ibu mertuanya yang cerewet. Wanita itu ternyata sudah duduk di ruang makan bersama dengan anak bungsunya, anak keduanya, dan suaminya. Pandangan sinis darinya untuk pagi ini. Sejak menikah, wanita itu tidak pernah tersenyum manis padanya. Menyedihkan, tapi kini ia sudah biasa.

"Dari mana saja kamu?" cecar ibu mertuanya dingin begitu melihat Alina masuk ke dalam ruangan. "Mana sarapannya? Sudah terlambat 5 dari waktu yang seharusnya."

"Maaf, Ma. Aku harus menyiapkan pakaian Gio dulu," jawab Alina, buru-buru meletakkan sebuah mangkok berisi nasi goreng putih di atas meja.

"Alasan, alasan, alasan mulu! Kamu selalu menutupi kesalahan dengan alasan. Bilang aja, kamu dari tadi leha-leha, 'kan?" Omelan istrinya ini membuat suaminya geleng-geleng kepala.

Setiap pagi, ada saja bahan untuk mengomentari Alina. Lelaki paruh baya itu jadi kasihan melihatnya. Tubuh gadis itu semakin kurus karena makan omelan istrinya.

"Iya, Ma. Pasti tadi di atas dia lagi tiduran sambil main hape. Atau nggak, bangunnya sengaja siang supaya kita semua terlambat sarapan." Anak bungsunya yang bernama Grace sengaja mengompori.

"Bukannya itu kamu, yang suka males-malesan di kamar sambil main hape?" sindir anak kedua keluarga ini, yang bernama Betrand, sembari menyendokkan nasi goreng ke piringnya.

Diam-diam Alina tersenyum tipis. Di keluarga ini, yang memperlakukannya baik hanya dua orang: ayah mertuanya dan Betrand. Pria berusia 22 tahun itu kalem dan ramah padanya. Mulutnya yang pedas sering mengkritik Grace jika adiknya itu mengatakan ucapan yang kasar pada Alina. Ia merasa dihargai oleh kedua pria itu.

"Apa sih, Bang?" bantah Grace gelagapan. "Ya ... kan aku juga sekalian belajar dan nge-googling."

"Googling atau main medsos?"

Grace mati kutu, kartunya sudah dibuka oleh Betrand. Tak mampu melawan, ia mengeluarkan amunisinya. "Ma, lihat tuh, Bang Betrand! Masa bilang aku gitu? Emang apa salahnya main medsos? Emang dia mau adiknya kuper, nggak bersosialisasi sama orang?" Ya, inilah senjatanya, mengadu pada ibunya.

"Betrand, kok kamu ngomong gitu?" Sungguh, Vonny seharusnya tidak perlu menegur anak itu. "Bermain medsos sekali-kali kan boleh."

Mendapatkan pembelaan, Grace menjulurkan lidahnya pada Betrand. Tapi, lelaki itu tidak berhenti mencela. "Iya, boleh sih. Tapi masa setiap 3 jam sekali update postingan? Uang bulanan habis cuma buat beli kuota aja."

"Benarkah?" sahut Vincent, pria paruh baya itu baru tahu kalau anak bungsunya menyia-nyiakan uang dan waktu untuk hal yang tidak berguna. "Vonny, seharusnya kamu nasehati anak kamu agar jangan main hape terus. Pantas saja nilai-nilainya jeblok karena tidak mau belajar!"

Alih-alih menyesal, Vonny malah meradang. "Kenapa jadi salahin saya dan Grace? Memang dasarnya saja semua mata pelajarannya susah. Grace sudah berusaha mendapatkan nilai terbaik, tapi mau gimana lagi kalau nilainya buruk."

Senyum geli terulas dari bibir Betrand. Sungguh lucu. Ibunya tetap kekeh membela anaknya yang salah dan bodoh itu. Tidak ada yang menanggapi ucapan Vonny, karena memang percuma melakukan hal itu. Vonny tidak akan kalah meski ucapan konyol yang keluar dari mulutnya.

"Pagi. Ada apa ini? Kok Mama udah marah-marah pagi-pagi gini?" Gio nimbrung seraya memasuki ruang makan. Spontan Alina menggeser kursi dan menyiapkan sarapan untuknya.

Kedatangan Gio sangat sempurna. Vonny memanfaatkannya untuk mendapatkan dukungan dari anak sulung kesayangannya itu.

"Aduh, bagaimana aku tidak cepat tua? Papa dan dan adikmu ini mengeroyokku. Dan semua itu berawal dari wanita itu!" Tatapan menuding yang tajam langsung ia arahkan pada menantunya.

Alina yang malang harus pasrah mendapatkan tatapan diskriminasi dari suaminya. "Alina, apa kamu tidak bisa menjadi menantu yang baik? Selalu bikin mama kesal. Sekali-kali bikin dia senang, kek!"

Lagi, Gio menuduh tanpa mendengar duduk perkaranya. Yang senang tentu saja Vonny dan Grace, sementara Betrand dan Vincent menyayangkan sikap kasar Gio itu.

Alina sendiri menerima penghinaan ini dengan mengatakan sambil menunduk. "Maaf, Mas. Aku akan berusaha nggak bikin mama marah."

Betrand muak, tak tahan melihat semua kegilaan ini. "Bang, bukan seperti itu permasalahannya—"

"Betrand, udah nggak apa-apa," potong Alina, tak mau abang dan adik ini ribut gara-gara dirinya. Ia tahu adik iparnya itu bermaksud baik, tapi akan lebih baik jika masalah ini tidak perlu dibesar-besarkan.

Akan tetapi, kebesaran hati Alina dicemooh oleh Gio. "Nggak usah bersikap lembut deh," sindirnya pelan seraya mengaduk makanannya.

Hati Betrand panas. Abangnya ini adalah suami paling buruk! Ia ingin menyahutinya, tetapi Alina mengisyaratkan untuk tetap tak mengindahkannya. Drama di rumah ini membuatnya muak, selera makannya jadi hilang karenanya.

Betrand meletakkan sendok di atas piring, lalu beranjak dari kursinya. "Aku berangkat dulu," gumamnya geram, main pergi saja tanpa berpamitan dengan ibunya. Padahal, Vonny sudah bersiap memberikan mengacungkan punggung tangannya pada Betrand. Anak itu hanya berpamitan pada ayah dan Alina.

"Uh, dasar anak yang tidak sopan! Coba lihat anakmu, Mas. Apa begini cara kamu mendidiknya?" rutuk Vonny kesal sampai gregetan.

Mengoceh saja sepuasnya, Vonny. Suamimu tidak mendengarkannya sama sekali, mengunyah makanannya dengan acuh tak acuh. Ia jenuh dengan suasana rumah yang sama setiap harinya. Ia iba pada menantunya yang kena omel, selalu berdiri di sampingnya sambil menunggu semua orang selesai makan. Itu adalah aturan Vonny, dan ia tak bisa melakukan apa pun karena dia akan mengungkit hal yang sama sehingga mulutnya terpaksa bungkam.[]

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!