"Mas Bagas, sebaiknya akhiri hubungan kita! tidak seharusnya kita terus seperti ini, aku dan Mas adalah adik sepupu. Bagaimana jika keluarga kita mengetahui tentang hubungan terlarang ini!" pungkas Alina Cahya Kirani.
"Tidakkk! Mas sangat mencintaimu Alina, sampai kapan pun Mas tak rela jika dirimu dekat dengan siapapun apalagi sampai dipersunting laki-laki lain." Bagaskara Ardhana Putra tetap kokoh dengan pendiriannya. Ia sangat mencintai Alina Cahya Kirani, meskipun ia tahu Alina adalah adik sepupunya, anak dari bibinya.
Kata-kata pisah yang terucap dari bibir mungil Alina membuat Bagaskara dirundung nestapa setengah mati.
"Bagaimana pun caranya, Alina harus tetap menjadi milik ku! sampai kapan pun tetap milik ku!" begitulah keyakinan dari hati Bagaskara Ardhana Putra. Ia pun menarik pergelangan tangan Alina dan memasukkan gadis belia itu kedalam pelukannya.
Alina ingin melepaskan diri dari pelukan Bagaskara, namun sayangnya Bagaskara semakin memeluknya erat dan sama sekali tidak ingin melepaskan gadis cantik yang telah membuatnya cinta setengah mati. Bagaskara benar-benar tergila-gila dengan pesona Alina Cahya Kirani, meskipun ia tahu Alina menyandang predikat adik sepupu untuknya dan sampai kapanpun tidak akan pernah berubah hubungan saudara di antara mereka berdua. Dan Bagas sangat paham akan hal itu.
"Jangan begini, Mas! diluar sana masih banyak wanita yang lebih baik dan sempurna dari Alina, Mas. Sampai kapanpun cinta kita tidak akan pernah bisa menyatu sampai hari kebangkitan sekalipun!" tegas Alina dengan air mata yang mulai menetes membasahi pipinya.
Alina benar-benar tidak bisa melepaskan diri dari saudara sepupunya itu, jujur dari hati yang terdalam, Alina pun sangat mencintai Abang sepupunya itu, namun ia tidak ingin terus melanjutkan hubungan terlarang tersebut. Kendatipun rasa cinta itu masih terus bersarang di hatinya.
Dalam keadaan warasnya, Alina pun menyadari atas kesalahan fatal yang telah diperbuat olehnya. Ia menyadari jika telah keliru menerima cinta saudara sepupunya yang memiliki rentang usia 8 tahun lebih tua darinya, yakni 25 tahun.
Ibu Alina dan Ibu Bagas adalah saudara kandung, namun karena kecantikan dan pesona Alina di usianya yang baru beranjak 17 tahun, membuat Bagaskara Ardhana Putra tergila-gila dengan sosok Alina. Mereka berdua diam-diam berpacaran ketika Alina duduk di bangku SMA akhir. Tepatnya satu tahun yang lalu.
Kini pun, Alina telah menamatkan pendidikan menengah akhirnya itu. Ketika itu Bagaskara kerap kali menemani Alina ketika belajar dan mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Bagaskara pun kerapkali mengantar jemput Alina ketika masih duduk di bangku SMA dan masih banyak lagi aktivitas lainnya yang sering mereka lakukan bersama.
Karena seringnya bersama dan menikmati hari-hari dengan penuh suka cita. Membuat Bagaskara dan Alina memiliki perasaan yang seharusnya tak wajar untuk mereka rasakan. Namun, siapa sangka perasaan cinta yang lebih dari sekedar adik kakak terus tumbuh dan berkembang di hati keduanya.
Bunga-bunga cinta itu semakin tumbuh dan bermekaran di taman hati keduanya, hingga rasa tersebut pun tidak bisa lagi untuk mereka membendungnya.
💙 Flash back on 💙
Di Pantai Teluk Indah.
Cuaca hari itu sangat terik sekali, panasnya pun menyengat sampai ubun-ubun. Dua anak manusia sedang asyiknya bergurau dan bercanda memandangi deburan ombak yang menggulung. Nampaklah pemandangan laut yang biru membuat keduanya pun kagum memandangi panorama alam kala itu.
Gadis cantik nan mempesona dengan seragam putih abu-abu, juga dengan kerudung putih yang dikenakannya nampak merentangkan tangannya menikmati hembusan angin yang bertiup kencang menerpa wajah ayunya.
Bagaskara tiba-tiba merasakan getaran yang tak lazim, ketika melihat keanggunan dan kecantikan yang terpancar dari sosok Alina Cahya Kirani.
Di tengah panas terik dan rasa haus yang menyergapi kerongkongannya membuat Bagaskara menghabiskan sebotol air mineral yang baru saja di bukanya.
Hanya dengan seperkian detik minuman dingin tersebut habis di seruput olehnya. Dengan mengumpulkan semua keberaniannya Bagas menghampiri Alina saudara sepupunya yang sedang menikmati udara di atas bebatuan pantai.
Alina merentangkan kedua tangannya sambil memejamkan matanya, menghirup banyak pasokan udara di tengah tiupan angin yang berhembus.
Hamparan pasir putih dan langit biru membentang luas, di tengah deburan ombak pantai yang menggulung, membuat Alina Cahya Kirani begitu menikmati kreasi sang Maha karya, yang telah menciptakan panorama alam sedemikian rupanya. Indah dan sejuk di pandang mata.
Bagaskara refleks menarik Alina dari arah belakang, sehingga tubuh mungil nan sintal tersebut kini berada dalam dekapannya.
Alina mengerjapkan matanya, ia pun menurunkan kedua tangannya yang semula direntangkannya, ketika menyadari ada sosok tubuh kekar yang mendekapnya erat dan penuh dengan kelembutan. Alina menolehkan wajahnya yang hampir saja bersentuhan dengan wajah sepupunya itu.
"Mas Bagaskara Ardhana Putra!" ucap Alina setengah histeris ketika melihat kehadiran Bagas yang tiba-tiba memeluknya erat.
Alina ingin melepaskan diri dari pelukan saudara sepupunya tersebut, namun Bagaskara tidak ingin melepaskannya walau barang sedetikpun. Ia tidak rela melepaskan pelukannya dari Alina Cahya Kirani.
Bagaskara membalikkan tubuh Alina, sehingga wajah keduanya pun kini saling bertemu pandang. Bagas merengkuh pinggang gadis Ayu tersebut agar tetap berdiri di tempatnya. Ia menempelkan telunjuknya pada bibir Alina Cahya Kirani, sehingga membuat tubuh Alina bergetar hebat. Jantungnya pun terasa berdegup kencang, ia tidak pernah menduga bisa menatap lekat manik mata dan wajah tampan serta dua lesung pipi milik Abang sepupunya tersebut, yang terlihat menerbitkan senyuman manis di hadapannya.
Sebagai seorang wanita, ketika berhadapan dengan seorang pria dewasa yang tiba-tiba menempelkan telunjuk di bibirnya seakan menyiratkan seribu tanda tanya dihati Alina. "Ada apakah gerangan? mengapa Abang sepupunya jadi seagresif itu?" pikirnya.
Alina sempat melang-lang buana ketika wajah tampan itu terus menatapnya dengan tatapan tak biasa. Namun, akal sehatnya masih bisa berpikir jernih agar jangan sampai tergoda dengan Abang sepupunya itu.
"Mas Bagas, ada apa ini? apa yang terjadi dengan diri mu?" tanya Alina dengan melepaskan jari telunjuk Bagaskara dari atas bibirnya.
"Dengarkan aku Alina, Mas sangat mencintaimu! sudah sangat lama Mas menantikan saat-saat yang indah bersama mu, dan hari ini adalah momen yang tepat untuk ku mengungkapkan segala isi hati ku terhadap mu. Mas harap, jangan kau tolak rasa ini. Jika itu terjadi sungguh aku bisa gila!" ucap Bagaskara dengan nada serius dan tatapan yang tak biasanya pada adik sepupunya itu.
Deg ....
Deg ....
Deg ... jantung hati Alina terasa ingin berpindah dari tempatnya ketika mendengar penuturan Bagaskara yang ia tahu, pemuda tersebut adalah Abang sepupunya adik dari bibinya. Kakak kandung dari Ibu Alina sendiri.
"Astaghfirullah, Mas! kita ini saudara sepupu, Mas. Alina tidak mungkin menerima cinta Mas." Alina mendorong tubuh Bagaskara agar melepaskan dekapannya. Ia pun menjaga jarak dari Bagaskara. Ia tidak ingin jika menimbulkan fitnah kalau-kalau ada orang-orang disekitar pantai yang satu tempat tinggal dengan mereka melihat kemesraan yang ditampakkan oleh Bagaskara Ardhana putra padanya.
Di tengah deburan ombak dan pantai, kedua anak manusia itu saling terdiam. Seketika suasana pun menjadi hening. Bagaskara melemparkan batu-batu kecil ke lautan yang membentang luas. Ia menanti jawaban dari gadis cantik nan anggun yang kini berada di sampingnya.
Tidak dapat dipungkiri, Alina pun sudah sejak lama menyimpan rasa terhadap Bagaskara sepupunya. Namun, akal sehatnya masih tetap berfungsi dengan baik, ia tidak mungkin mencintai Abang sepupunya sendiri. Sebisa mungkin ia memendam perasaannya pada sosok pemuda tersebut.
Namun, hari ini entah angin apa yang merasukinya. Setelah sejuta kali Bagaskara mengungkapkan sejuta kata cinta. Alina akhirnya pun goyah, ia pun menerima Bagaskara menjadi kekasih hati dan orang yang sangat berarti dalam hidupnya.
"Baiklah, aku menerima Mas menjadi seorang yang istimewa dalam hidup ku!" ucap Alina dengan menatap sekilas wajah Bagaskara Ardhana Putra.
Bagaskara menerbitkan senyumannya ketika mendengar jawaban dari yang terkasih. "Benarkah apa yang Mas dengar barusan?" tanya Bagaskara dengan menatap lekat manik mata indah dari sosok Alina Cahya Kirani.
Alina pun menggangguk pelan.
"Terimakasih, Alina. Mas berjanji akan menjaga hati ini hanya untuk dirimu seorang!" ucap Bagaskara dengan menggenggam jemari tangan Alina dengan penuh cinta.
Sejak saat itulah petaka itu di mulai, keduanya pun diam-diam saling mencintai dan menjalani hubungan layaknya teman istimewa. Walaupun tidak pernah terjadi hal-hal yang romantis seperti sepasang kekasih umumnya. Namun, keduanya sepakat menyatukan hati sebagai pasangan kekasih. Kemana-mana seiring sejalan, bersama. Namun, tidak ada satu orang sanak saudara pun yang mengetahui jika keduanya memiliki ikatan cinta hingga detik ini. Yang orang-orang ketahui mereka berdua adalah saudara sepupu tidak lebih dari itu.
💙 Flash Back Off 💙
"Jangan pergi Alina! Aku tidak ingin kita pisah, sampai kapanpun kau hanya milik ku seorang! tidak ada yang bisa memiliki mu kecuali diri ku!" teriak Bagaskara dengan menangis pilu, ia tidak rela jika harus kehilangan Alina, wanita yang sangat dicintainya. Terlepas dari apapun status dari sosok Alina dalam silsilah keluarganya.
Alina terisak dalam tangisnya, keputusannya sudah bulat untuk mengakhiri hubungannya dengan Bagaskara Ardhana Putra. Ia tidak ingin keduanya terluka lebih dalam lagi. Mengingat hubungan yang tak wajar untuk terus mereka jalani.
Alina pergi meninggalkan Bagaskara sendirian di sebuah taman tempat di mana mereka saling bersua. Ia pun segera menahan mobil angkutan umum tanpa menoleh lagi ke arah Bagaskara Ardhana Putra yang sedang menangis pilu meratapi kedukaannya.
"Maafkan aku Mas Bagas, inilah yang terbaik untuk kita!" bathin Alina meringis pilu.
Alina menyeka bulir air matanya dengan sapu tangannya, sebab ia baru menyadari di sampingnya kini duduk seorang pemuda yang terlihat sedang membaca buku dengan fokusnya.
Melihat kehadiran Alina duduk bersebelahan dengannya dan terlihat sedang tidak baik-baik saja. Membuat pemuda itu merasa sangat prihatin mendengar isak tangis dari seorang gadis belia yang ada di sisinya.
"Maaf, hendak kemana, Neng?" sapa pemuda tersebut untuk sekedar basa-basi.
"Pulang!" jawab Alina ketus. Matanya terlihat sembab karena terlalu lama menangis mengenang percintaannya yang kandas bersama Bagaskara Ardhana Putra yang sudah terjalin selama satu tahun terakhir ini.
Pemuda tersebut menutup buku yang sedang di baca olehnya, kemudian menghembuskan nafasnya pelan. "Sebaiknya, masalah pribadi jangan di bawa ke ranah umum, Neng. Malu dilihat orang," pungkas pemuda tersebut.
Alina terdiam sesaat, memikirkan ucapan pemuda tersebut. "Maaf, jangan panggil aku Neng. Panggil aku Alina," ucap Alina dengan menoleh sekilas pada wajah pemuda yang berada di sampingnya.
Alina baru menyadari jika pemuda yang ada di sampingnya terlihat sangat menarik sekali dengan sedikit ditumbuhi bulu-bulu halus di dagunya.
"Tampan!" satu kata yang terbesit di dalam hati Alina ketika melihat pemuda tersebut nampak tersenyum manis padanya. Namun, pandangan Alina kembali tertuju pada sosok Bagaskara Ardhana Putra yang dari kejauhan tampak mengendarai motor sportnya dan mengejar mobil angkutan umum yang sedang di tumpanginya.
"Mas Bagas, bagaimana ini?" bathin Alina dengan menyembunyikan wajahnya di belakang tubuh pemuda yang ada di sampingnya. Membuat pemuda tersebut mengernyitkan dahinya.
"Maaf, Neng Alina. Eh, Alina maksudnya," ucap pemuda tersebut khawatir salah menyebut nama Alina. Pasalnya, pemuda tersebut merasa hal yang tak lazim ketika gadis manis tersebut bersembunyi di balik punggungnya.
"Maaf, aku pinjam punggungnya." Alina kembali menyembunyikan wajahnya ketika Bagaskara hampir mendekati mobil yang di tumpanginya. Ia tidak ingin Bagaskara sampai melihat dirinya didalam mobil angkutan umum tersebut.
Beruntung ketika sampai di lampu merah mobil yang di tumpangi Alina melaju duluan. Sedangkan Bagaskara harus sabar menunggu sejenak lantaran arus kendaraan yang melintas lalu lalang begitu padatnya. Membuat Bagaskara harus antri lebih lama lagi.
"Si*lan, aku kehilangan jejaknya!" umpat Bagaskara dengan memukul stang motornya.
"Awas saja kau Alina, aku akan menemui mu dirumah bibi Chintya. Tidak ada yang tahu jika kita memiliki hubungan spesial. Aku akan membuat mu tak berkutik barang sedetik pun. Dan aku pastikan kau akan bertekuk lutut di bawah kaki ku! Jangan salahkan aku jika diriku menggunakan cara yang halus untuk melumpuhkan mu! Sungguh, kau telah menghancurkan mimpi-mimpi dan harapan ku. Di alam jagat ini tak ada satu orang pun yang bisa memiliki mu, kecuali aku!" bathin Bagaskara yang mulai dibisiki pikiran jahat dan kotor.
***
Dua puluh menit kemudian.
Alina sudah sampai di kediamannya, "Bang stoppp! berhenti di sini!" pekik Alina setengah histeris.
"Astaghfirullah!" hampir copot jantung ku, ini gadis postur tubuh kecil mungil. Namun, pekikannya terasa memekakkan gendang telinga ku." Pemuda yang duduk bersebelahan dengan Alina melakukan aksi protes didalam hatinya.
Abang sopir segera menepi dan menghentikan laju kendaraannya, Alina segera turun dari mobil angkot tersebut dengan melongos begitu saja tanpa melirik pemuda yang ada di sampingnya.
"Hey, Neng Alina! kau belum berterima kasih pada ku," ucap pemuda tersebut seperti menuntut haknya. Sebab, karena dirinya gadis itu selamat dari genggaman Bagaskara Ardhana Putra.
Alina menghentikan langkahnya, "Oh ya, maaf terima kasih atas punggungnya!" ucap Alina dengan berjalan ke depan guna membayar ongkos mobilnya.
"Tunggu dulu! Ini kartu nama ku, jika sewaktu-waktu kau membutuhkan bantuan ku. Nomor ku tertera di situ," ucap pemuda tersebut tulus. Entah kenapa pemuda tersebut nampak tertarik untuk mencoba berkenalan lebih dekat lagi dengan Alina. Ada sesuatu yang sangat menarik hati dari sosok Alina sepanjang pengamatan pemuda tampan tersebut, meskipun baru sekali bertemu muka.
Tanpa pikir panjang Alina pun mengambil kartu nama pemuda tersebut dan menyelipkannya dalam tas kulit miliknya. Ia tidak ingin terlalu banyak bicara, mengingat hatinya yang sedang tidak baik-baik saja.
Alina pun segera beranjak pergi dari hadapan pemuda tersebut tanpa bertanya siapa namanya, ia pun segera membayar ongkos mobilnya dan segera melintasi jalan raya menuju ke rumahnya. Tanpa berniat menoleh sedikitpun, dalam pikirannya, Alina hanya ingin bebas dari jerat cinta Bagaskara Ardhana Putra.
"Semoga kita dapat bertemu kembali!" bathin pemuda tersebut dengan memperhatikan punggung Alina yang telah menjauh dari hadapannya. Mobil angkutan Umum tersebut pun kini telah membawanya pergi menuju tempat tujuannya yang sangat jauh dari kediaman Alina Cahya Kirani.
***
Alina menghempaskan tubuhnya di kasur miliknya, ia membaringkan kepalanya dengan beralaskan bantal Hello Kitty Pink kesayangannya.
Gadis yang menyukai warna pink tersebut pun mencoba memejamkan matanya dan berusaha untuk melupakan bayangan sosok Bagaskara Ardhana Putra yang kini masih bersemayam di hatinya. Barulah ia ingin menenangkan hati dan pikirannya pintu kamarnya pun di ketuk oleh ibunya.
"Nak, ada Mas Bagaskara di luar. Katanya ia sedang ada keperluan dengan mu!" ucap Ibu Chintya dari balik pintu.
"Maaf, Bu. Sampaikan pada Mas Bagas, Alina sedang tidak enak badan!" ucap Alina malas untuk keluar.
"Ya Allah, Mas Bagas benar-benar keterlaluan! sudah diputusin masih ngotot kemari juga," dumel Alina.
"Kamu sakit apa, Nak? biar Ibu belikan obat."
"Hanya sakit kepala biasa, Bu!" ucap Alina dari dalam kamar.
"Ya Allah, kamu tunggu di kamar, biar Ibu ke toko Mang Udin dulu!" Ibu Chintya pun melangkahkan kakinya keluar rumah dengan terburu-buru ketika mendengar putrinya sedang sakit. Padahal, sejatinya putrinya sedang patah hati.
Tok ... tok ... tok, pintu kamar pun kembali ada yang mengetuk.
"Sebentar, Bu!" ucap Alina yang mengira jika itu adalah Ibunya yang hendak memberikan obat untuknya. Ia pun segera membuka pintu kamarnya.
Tubuh Alina terasa membeku ketika melihat seseorang yang ada di balik pintu.
"Mas Bagas, Kau!" Alina ingin menutup kembali pintu kamarnya, ketika melihat kehadiran Bagaskara dihadapannya. Namun, pergerakan Bagaskara lebih cepat dibandingkan dirinya.
Bagaskara semakin mendekatinya, membuat Alina mundur perlahan dan hendak menghindari Abang sepupunya tersebut. Namun, semakin Alina menjauhinya, Bagaskara semakin nekat menghampirinya. Hingga membuat tubuh Alina pun menempel di dinding tembok. Membuat Bagaskara semakin leluasa berbuat sesuka hatinya.
Bagaskara menarik dagu Alina dengan perasaan yang membuncah, antara amarah, nafsu dan cinta kini menguasai dirinya. "Tatap mata ku Alina! kenapa kau meninggalkan ku sendiri di taman? kenapa kau memutuskan temali cinta yang sejak lama kita bina? kenapa tak kau pikirkan perasaan ku yang memang telah terpatri pada mu? jangan salahkan aku jika aku melakukan hal yang tak wajar pada mu!" pungkas Bagaskara dengan manik mata yang memerah mengisyaratkan bahwa dirinya benar-benar sangat murka pada Alina.
"Kau gila Mas!" pekik Alina dengan menghempaskan tangan Bagaskara Ardhana Putra dari dagunya.
"Iya, aku memang gila. Gila pada mu Alina," ucap Bagas dengan mendekatkan wajahnya pada Alina yang tinggal sedikit lagi hampir bersentuhan dengannya.
Hembusan nafas Bagaskara terasa dekat di indera penciuman Alina Cahya Kirani.
Keduanya pun saling beradu pandang, entah mantra apa yang di bacakan oleh Bagaskara ketika manik mata mereka saling bertemu. Sehingga membuat tubuh Alina terasa melayang dan lemah. Alina hampir tumbang dalam pelukan Bagaskara.
Bagaskara tersenyum devil, ia merasa bahagia sebab buhul-buhul cinta yang ia hembuskan lewat mantra-mantra yang di bacanya perlahan mulai merasuki tubuh Alina lewat pandangan mata gadis malang tersebut.
"Aku berhasil menghembuskan buhul-buhul tersebut, tidak sia-sia aku mempelajari ilmu tentang menaklukkan kesombongan wanita dan membuat mereka tergila-gila dan terpesona ketika melihat ku, bagaikan melihat sinar ketampanan Nabi Yusuf!" bathin Bagaskara dengan seringai liciknya.
"Maafkan aku Alina, aku terpaksa mengamalkan ilmu yang aku pelajari dari mendiang ayah ku. Ternyata mantra tersebut benar-benar sakti dan ampuh!" bathin Bagaskara yang mulai terjerat lingkaran syetan dan perdukunan.
Padahal, semasa hidup mendiang Ayahnya Arya Arnenda ilmu-ilmu tersebut hanya di gunakan untuk menolong orang-orang yang sering terkena sihir dan guna-guna. Namun, Bagaskara justru menggunakannya pada jalan yang salah.
Konon, pada tempo dulu orang-orang desa masih kental menggunakan ilmu perdukunan jika ada hal-hal yang berbau mistis menimpa mereka. Belum ada yang mengenal tentang ilmu ruqyah syar'iyyah seperti yang dituntunkan dalam syari'at Islam yakni mengusir kejahatan jin dan sihir dengan ayat-ayat Al Qur'an sebagai penyembuh dari segala penyakit hati yang bersarang di jiwa. Baik penyakit medis maupun non medis, sejatinya semua penyakit bisa disembuhkan dengan lantunan ayat-ayat Al Qur'an jika diamalkan dan di yakini kemujizatannya dengan benar.
Namun, tidak dengan Bagaskara, karena cinta butanya terhadap sosok Alina, membuatnya gelap mata. Mantra-mantra dan ilmu hitam yang ia pelajari dari buku peninggalan ayahnya Arya Arnenda kini ia salah gunakan untuk menjerat Alina sebagai mangsanya.
Perlahan Bagaskara meletakkan tubuh Alina di atas kasur, di pandanginya wajah cantik nan ayu tersebut dengan penuh cinta yang bersarang di hatinya.
"Alina, sungguh ... kau benar-benar sangat cantik dan menggoda," ucap Bagaskara dengan menelusuri pipi mulus dan bibir tipis milik Alina yang membuat Bagaskara semakin mabuk kepayang.
"Selamat bermimpi indah wahai putri tidur ku! setelah ini kupastikan kau akan tergila-gila pada ku dan tak kan bisa melupakan ku, dan yang pastinya lagi tidak akan ada satu pemuda pun yang dapat mencintaimu seutuhnya, apalagi sampai memiliki mu, karena jiwa raga mu telah menyatu dengan ku!" bathin Bagaskara dengan menampakkan senyum devilnya.
Bagaskara melangkah pergi meninggalkan Alina sendiri di dalam kamar, sebab ia khawatir bibi Chintya, ibunya Alina tiba-tiba memergoki keberadaannya di dalam bilik kamar putrinya.
"Alhamdulillah, selamat! ternyata bibi Chintya belum pulang dari toko," ucap Bagaskara pelan, dengan kalimat pujian yang di bumbui kemunafikan yang membakar jiwa mistisnya.
Bagaskara duduk manis di ruang tamu, setelah berhasil menghembuskan buhul-buhul cinta pada Alina lewat mantra-mantra yang di bacakannya lewat isyarat mata. Saat ini ia sengaja menunggu kepulangan bibi Chintiya dari toko mang Udin yang katanya hendak membelikan obat untuk sang putrinya Alina Cahaya Kirani.
Bagaskara merasakan keanehan pada dirinya, setelah mengamalkan mantra-mantra yang ia pelajari tersebut, membuat dirinya merasakan jika dirinya adalah sosok laki-laki yang sangat tampan dan mempesona.
"Kalau begitu, jika bertemu dengan para wanita cantik dan menarik hatiku, aku akan mengamalkan kembali ilmu yang telah kumiliki. Aku yakin semua wanita akan terpesona dan tergila-gila pada ku. Kenapa tidak dari sejak dulu aku mengamalkan ilmu ini? jika saja itu terjadi sebelumnya, tentunya semua orang akan bertekuk lutut di bawah kekuasaan ku!" bathin Bagaskara seolah-olah dirinya lah yang paling sempurna dan paling hebat di atas jagat raya.
Bagaskara merasakan hal yang tak lazim merasuki hati, pikiran dan jiwanya. Manisnya keimanan dihatinya kini berubah menjadi kemunafikan dan keangkuhan yang sangat luar biasa.
Nafsu setannya semakin merajai hatinya, meskipun ia dapat menaklukkan seribu wanita. Namun, di dalam hatinya hanya ada satu Alina Cahya Kirani yang benar-benar dicintai dan rasa itu tidak akan pernah berubah dan akan tetap bersarang di hatinya sampai kapanpun.
"Alina, jika kau bukan adik sepupu ku. Detik ini juga aku ingin merengkuh mu dan melamar mu menjadi permaisuri ku, kenapa takdir ini begitu mempermainkan ku. Kenapa harus kamu yang aku cintai? kenapa rasa ini terus bertumbuh di hatiku? kenapa kita harus memiliki ikatan keluarga seperti ini? aku benci dengan takdir hidup ini?" teriak Bagaskara dengan mengacak-acak rambutnya.
Kedua bola mata Bagaskara terlihat merah menyala, semakin ia emosi semakin aura jahat merasuki dirinya lantaran mantra-mantra yang telah dipelajarinya membuat energi negatif bermunculan dalam dirinya.
"Alina, aku mencintaimu sungguh sangat mencintai mu!" Bagaskara berbicara pada dirinya sendiri. Ingin rasanya ia memukul cermin agar retak seribu dan menoreh luka ditangannya, ketimbang memendam rasa cinta yang kini telah pupus ditengah jalan.
"Salah mu Alina, kau yang membuat ku gila seperti ini! kenapa kau begitu nampak indah dalam pandangan mata ku!" Bagaskara semakin didera rasa yang menggila terhadap Alina sepupunya.
Alina yang masih terbaring di kamar perlahan mengerjapkan indera penglihatannya, ia merasakan keasingan entah mengapa semula ia begitu kuat ingin mengakhiri hubungannya dengan Bagaskara, akan tetapi setelah terbangun dari tidurnya ia justru didera perasaan rindu yang sangat berat jika tidak melihat raut wajah Bagaskara Ardhana Putra.
"Mas Bagas, kau dimana?" ucap Alina pelan. Ia pun segera beranjak dari tempat tidurnya dan bergegas melangkah keluar. Ia hendak melihat Bagaskara apakah masih berada di kediamannya.
"Mas Bagas, kau belum pulang?" tanya Alina, ketika melihat Bagaskara masih duduk di ruang tamu dengan raut wajah yang sedang tidak baik-baik saja.
Entah mengapa, Alina tiba-tiba merasakan keanehan dalam dirinya. Ia melihat Bagaskara terlihat tampan dan manis serta sangat menarik hatinya. Ia ingin lepas dari jerat Bagaskara, namun entah angin apa yang membawanya rasa cinta itu kembali kuat menghembus jiwanya.
Sedetik pun tidak melihat Bagaskara membuat Alina merasakan rindu setengah mati terhadap pemuda tersebut.
"Ya Allah, apa yang terjadi dengan ku? kenapa rasaku semakin kuat terhadapnya, jika terus begini jiwaku akan terus merasa tersiksa!" bathin Alina.
Alina mencoba terus beristighfar didalam hatinya, meskipun rasa itu terus merasuki hati dan jiwanya ia begitu kuat meyakini jika Allah Maha segalanya.
"Ya Allah, apa yang terjadi sebenarnya? kenapa aku seperti orang linglung, kenapa pula tadi ku merasakan tubuh ku terasa melayang dan aku pun tiba-tiba hilang kesadaran? kemanakah perginya emosi ku yang memuncak tadi? kenapa aku tiba-tiba merasakan kelembutan pada Mas Bagas!" bathin Alina yang merasakan keanehan dalam dirinya.
"Alina, kau sudah bangun, sayang?" tanya Bagaskara dengan senyuman devilnya.
"Sudah, Mas. Ibu mana? perasaan tadi ibu mengetuk pintu kamar Alina dan ingin membelikan obat untuk Alina." Alina celingukan mencari keberadaan ibunya.
"Bibi Chintya masih ditoko," ucap Bagaskara dengan menatap Alina penuh rasa cinta yang menggebu-gebu.
Menyadari jika Bagaskara menatapnya penuh arti, Alina semakin merasakan keanehan dalam dirinya. Ia seakan-akan tidak rela melepaskan Bagaskara Ardhana Putra.
"Kenapa memandangi ku, Mas?" tanya Alina dengan perasaan yang berdebar-debar.
"Karena Aku mencintaimu Alina, sungguh aku lemah tanpamu, aku akan tersiksa jika sampai kehilangan cinta mu! jangan pernah kau ucapkan kembali kata-kata pisah dari bibir manis mu!" ucap Bagaskara hendak mendekati Alina. Namun, langkahnya tertahan ketika melihat Bibi Chintya, ibunya Alina tergopoh-gopoh masuk ke dalam rumah.
"Assalamu'alaikum, Nak. Apakah kau baik-baik saja?" tanya Ibunya dengan meletakkan punggung tangannya di di dahi Alina.
"Wa'alaikumsalam warrahmatullahi, Alhamdulillah Alina baik, Bu."
"Syukurlah, Nak." Ibu Chintya mengecup kening putrinya. Kemudian ia melirik ke arah Bagaskara Ardhana Putra.
"Nak Bagas, terima kasih telah menjaga Alina. Bibi bersyukur memiliki keponakan seperti mu, selama berapa tahun terakhir ini kau selalu ada untuk Alina. Kau memang sosok Abang sepupu yang baik untuk Alina," sarkas Ibu Chintya yang sama sekali tidak mengetahui perihal hubungan terlarang antara Bagaskara dan Alina putrinya.
"Sudah kewajiban saya, Bi untuk menjaga Alina. Sebagai Abangnya tentunya aku sangat bahagia menemani kemana pun ia pergi." Bagaskara seolah berperan menjadi seorang kakak laki-laki yang baik, padahal semua itu berselimutkan kebohongan dan kemunafikan.
Alina berusaha menahan kegugupannya, ia sangat khawatir jika suatu saat orang tua mereka dapat membaca gelagat buruk yang terjadi antara dirinya dan Bagaskara.
"Ya Allah, mengapa semua menjadi begini? mengapa aku seolah-olah masuk dalam perangkapnya!" bathin Alina dengan menahan segala rasa yang membuncah di dadanya.
"Oh, ya Bi. Bagas boleh bawa Alina keluar sebentar, ada keperluan." Bagaskara mencari kesempatan dalam kesempitan.
"Lho bukankah tadi kalian sudah keluar!" tanya Ibu Chintya bingung.
"Itu tadi hanya jalan-jalan di taman kota, Bi. Sekarang ada hal penting yang harus Bagas selesaikan, dan Bagas butuh Alina untuk menyelesaikan segala hal yang ada. Bukan begitu Alina?" tanya Bagaskara dengan kembali menerbitkan senyum devilnya.
"I-iya, Bu." Alina terlihat gugup, entah kenapa semenjak Bagaskara membaca mantra-mantra dan dihembuskan ke dalam dirinya, membuat Alina seperti tidak bisa menolak Bagaskara barang sedetik pun. Padahal sebelumnya, ia setengah mati menolak dan ingin memutuskan hubungan dengan Bagaskara. Namun, kali ini ia merasa cinta mati pada pemuda tersebut.
Alina pun seperti kerbau di cucuk hidung, setelah berpamitan dengan ibunya. Ia pun mengikuti kemana langkah Bagaskara membawanya pergi. Ia pun naik di atas kendaraan Bagaskara.
Bagaskara merasa sangat kegirangan, ia pun melajukan motornya dengan kecepatan sedang. "Akhirnya aku berhasil menundukkan mu kembali Alina, ilmu yang kuamalkan ternyata tidak sia-sia, hasilnya benar sakti mandraguna!" batin Bagaskara dengan terus-menerus tersenyum sebab rasa bahagia yang kini menyelubungi hati dan jiwanya.
"Kita mau kemana, Mas?" tanya Alina dari belakang motor.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!