Seorang gadis kecil dengan piama imut di tubuhnya mengintip kearah ruang tamu, dimana suara berisik terdengar tak habis habisnya sejak setengah jam yang lalu.
Gadis kecil itu memeluk boneka teddy bearnya erat erat, berusaha untuk tidak menangis meski air matanya tetap saja jatuh membasahi pipinya yang kemerahan.
Dalam hati gadis kecil itu bertanya tanya mengapa Ayahnya itu berteriak teriak kepada Ibunya dan mengapa Ibunya terus saja menangis? Apa yang sebenarnya terjadi antara dua orang dewasa itu?
Isak tangis mulai keluar dari bibir kecilnya, gadis kecil itu terduduk lantaran tak kuat melihat Ayahnya memukuli Ibunya, suara tangisannya yang cukup kencang itu terdengar oleh dua orang dewasa itu, sang Ibu menatapnya dengan senyuman yang dipaksakan menyuruh gadis kecil itu untuk masuk ke kamar dan tidur berbanding terbalik dengan sang Ayah yang terlihat tidak perduli.
Gadis kecil itu bangkit dan melangkah pelan mendekati Ibunya sesaat Ayahnya pergi tanpa kata, meninggalkan sang Ibu terduduk dengan luka lebam di pipinya.
"I-Ibu.." gadis itu menjatuhkan bonekannya dan berlari memeluk Ibunya, ia memang masih kecil tapi ia tahu bahwa apa yang terjadi tadi adalah hal yang buruk dan sialnya Ibunya lah yang menjadi korban. Gadis kecil itu tahu bahwa Ibunya disiksa tapi yang tidak diketahuinya adalah alasan mengapa Ibunya diperlakukan seperti itu.
"Ibu, s-sakit?" Gadis kecil itu mengusap lebam dipipi Ibunya, melihat Ibunya meringis membuat gerakan tangan gadis itu terhenti, matanya kembali meneteskan air mata.
"Ibu baik baik saja, Hannah lebih baik sekarang tidur, besok Hannah harus berangkat sekolah."
***
Hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun terlewati, tidak pernah seharipun keadaan keluarganya membaik atau kembali kekeadaan dulu, jangankan sehari, sedetikpun rasanya mustahil.
Hannah rindu keluarganya yang dulu, yang bahagia meski kekurangan, yang terasa damai meski tidak tahu esok bisa makan atau tidak. Semenjak keluarganya mulai memiliki harta bukannya bahagia keluarganya justru hancur.
Ayahnya memang sudah tidak lagi memukuli Ibunya hanya saja Ayahnya justru menyiksa Ibunya dengan cara lain, membawa selingkuhannya ke rumah, bermesraan di depan Ibunya dan memperlakukan Ibunya seperti pembantu.
Hannah benci melihat Ibunya disakiti seperti itu, Hannah ingin cepat cepat lulus sekolah dan mencari pekerjaan, jika ia telah mendapat pekerjaan maka ia akan membawa Ibunya pergi menjauh dari Ayahnya itu, cukup hidup berdua saja tanpa ada Ayahnya.
Namun rencana hanya tinggal rencana, ketika Hannah pulang membawa surat kelulusan dengan hasil yang memuaskan, bukannya senyum bangga yang ia dapatkan dari Ibunya.
Hannah justru mendapati Ibunya terbaring diranjang sudah tak bernyawa, tubuhnya sudah dingin setelah menenggak obat tidur dalam jumlah yang sangat banyak.
Rencana Hannah untuk membahagiakan Ibunya hancur sudah, ia tidak sempat membuat Ibunya kembali merasakan kebahagiaan sebelum Ibunya itu meninggal.
Hannah menangis, menjerit sekuat kuatnya karna ditinggal mati oleh satu satunya orang yang selalu ada disisinya selama ini. Hannah sempat berharap bahwa kematian Ibunya akan menyadarkan Ayahnya, mengetuk pintu hati Ayahnya itu namun lagi lagi semuanya tidak terjadi.
Ayah Hannah sama sekali tidak perduli, Ayahnya justru sibuk dengan selingkuhannya itu-Martha.
Hannah benci dengan Martha, kenapa wanita itu tidak mengerti akan penderitaannya, kenapa wanita itu merebut Ayahnya, kenapa wanita itu bukannya merasa bersalah justru merasa semakin diatas angin atas kematian Ibu Hannah?
Hannah tidak sanggup jika harus tinggal satu rumah dengan selingkuhan Ayah tirinya itu, meski setelah Ibunya meninggal Ayahnya itu akhirnya menikahi Martha, menjadikan Martha sebagai istri sah nya.
Hannah pergi dari rumah dan ingin menjadi wanita yang mandiri, ia tidak butuh bantuan Ayahnya. Hannah bisa mengurus dirinya sendiri dengan baik.
Namun lagi lagi Hannah justru dihadapkan dengan kenyataan pahit, pilihannya untuk meninggalkan Ayahnya dengan wanita busuk itu adalah pilihan yang terus saja disesalinya setelah ia mendapat kabar bahwa Ayahnya meninggal dunia.
Hannah tahu dengan pasti bahwa Ayahnya meninggal itu atas campur tangan Martha. Ayahnya sebelumnya baik baik saja dan tiba tiba dinyatakan meninggal? Belum lagi semua harta yang Ayahnya tinggalkan jatuh ketangan Martha, benar benar tidak bisa Hannah terima.
Hannah tidak percaya dengan wanita busuk itu, meskipun Martha menangis nangis di depan kuburan Ayahnya, Hannah tahu Martha hanya berpura pura karna banyak pasang mata yang melihatnya, Martha hanya ingin terlihat sebagai istri yang baik.
Dan benar saja, tidak sampai dua hari Hannah mendapati Martha sudah memiliki laki laki lain, Hannah melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Martha berciuman dengan seorang laki laki disebuah cafe.
Dan laki laki itu adalah Demitrius Constantine, salah satu mitra kerja Ayah Hannah saat Ayahnya itu masih hidup. Martha benar benar wanita jalang, Martha mengincar laki laki kaya raya dan sepertinya dia berhasil menjerat Demitrius.
Hannah tidak akan membiarkan Martha bahagia, Hannah tidak akan membiarkan Martha berhasil menjerat Demitrius, Hannah bersumpah bahwa ia lah yang akan menjerat Demitrius tidak perduli bahwa kabarnya Demitrius dan Martha sudah akan bertunangan.
Bahkan jika Martha sudah menikah dengan Demitrius pun Hannah tidak akan mundur, Hannah akan merebut segalanya yang Martha miliki seperti bagaimana Martha merebut segalanya darinya.
***
"Kau putrinya Jeffry Zilvano bukan? Rasanya aku seperti pernah melihat mu."
Hannah tersenyum palsu, menatap Direktur utama perusahaan tempatnya bekerja dengan perasaan malu yang dibuat buat. Hannah jelas sudah merencanakan ini sebelumnya, ia sengaja bekerja menjadi office girl di perusahaan milik keluarga Constantine ini dan Hannah juga sudah merencanakan untuk bertemu dengan Ayah dari Demitrius Constantine yaitu Hans Constantine.
"Kau bekerja sebagai office girl? Bagaimana ini bisa terjadi? Apa Ibu tiri mu membiarkan mu bekerja seperti ini?"
Hannah mendongak menatap wajah Hans yang mulai keriput itu, Hannah menatap Hans dengan pandangan mata berkaca kaca, seolah olah ia tengah menahan air matanya agar tidak tumpah. Dan lagi lagi itu hanya akting, Hannah sudah lama barlatih memanipulasi orang untuk tujuannya ini, ia bahkan berlatih pada temannya yang sudah memanipulasi banyak orang.
Hans berdecak ketika melihat kondisi menyedihkan Hannah, "Dari awal aku juga sudah tidak menyetujui hubungan Demitri dengan Ibu tiri mu itu, aku tahu Ibu tiri mu itu bukan lah orang yang baik. Dia tidak pantas untuk putra ku."
Hans mendesah, meminta Hannah untuk menaruh sapu yang di pegangnya itu, "Kau ikut aku, kita akan bukti kan pada Demitri."
***
"Sampai kapan kau akan sibuk dengan tugas tugas mu itu, aku sudah jauh jauh kemari bukan hanya untuk melihat mu bekerja." Martha cemberut, ia hendak naik ke pangkuan Demitri namun terhenti di karenakan pintu ruangan Demitri yang tiba tiba saja terbuka.
Martha nyaris memaki orang yang mengganggu saat saat kesenangannya itu namun makian yang sudah Martha siap lontarkan itu kembali tertelan ketika melihat siapa yang datang. Direktur utama, Hans Constantine.
Yang membuat Martha semakin dongkol adalah Hannah, kenapa juga anak sialan itu bisa datang bersama dengan Hans.
Martha mulai antisipasi, apakah Hannah sudah mengatakan hal yang tidak tidak tentang dirinya kepada Hans? Martha tidak mau hubungannya dengan Demitri rusak, Martha tidak mau kehilangan calon suami seperti Demitri belum lagi Demitri adalah pewaris keluarga Constantine jelas sekali Martha tidak mau kehilangan.
"Apa apaan ini Martha, kau bermesraan disini dengan putra ku sementara kau membiarkan putri mu bekerja menjadi office girl di perusahaan calon suami mu sendiri?!" Hans mengamuk, sebenarnya ini hanya sekedar alasan saja bagi Hans untuk dapat memaki Martha, karna Hans benar benar tidak suka jika Martha yang akan menjadi menantunya.
Masih banyak wanita cantik diluar sana, kenapa harus Martha yang sudah menikah berkali kali dan selalu berakhir menjanda karna di tinggal mati sang suami.
Demitri yang sebelumnya sibuk dengan pekerjaannya mengalihkan pandangannya kearah Hannah, "Aku tidak pernah tahu kalau Martha memiliki putri."
Martha gelagapan, dengan cepat ia melangkah kearah Hannah berpura pura memeluk Hannah dengan penuh kasih sayang.
"Kamu dari mana saja Hannah, aku mencari mu kemana mana. Semenjak Ayah mu meninggal kau justru kabur dari rumah."
Hannah ingin sekali mendorong Martha dan memaki wanita itu namun ia hanya diam, ia akan mengikuti alur permainan Martha hingga akhirnya ia akan mengambil alih kemudi dan berbalik membuat Martha berada di posisinya.
"Benarkah dia kabur dari rumah, bukan kau yang mengusirnya dari sana?" Hans kembali angkat bicara, membuat Hannah harus menyembunyikan senyumannya karna ia merasa tidak perlu bersusah payah berakting di depan Martha, Ayah Demitri itu sudah melakukannya untuk nya.
"Pa.." Demitri angkat suara, ia melangkah mendekat dan merangkul pinggul Martha. "Jangan memojokkan Martha terus menerus."
Wajah Hans memerah, ia tampak tidak terima putranya membela Martha. "Kenapa juga kau harus menjalin hubungan dengan wanita yang tujuh belas tahun lebih tua dari mu Demitri?!"
Hannah mengernyit ketika melihat Martha mengusap usap matanya, bertingkah seolah kata kata Hans barusan menyakiti perasaannya sekali.
Jangan berakting, kau payah sekali berakting!
"Menjijikan." Hans pergi dari ruangan itu dan membanting pintu cukup keras, meninggalkan Hannah bersama dengan Martha dan Demitri.
Demitri menatap Hannah tajam, namun Hannah tidak takut sama sekali, tatapan tajam Demitri tidak akan bisa menembus pertahanannya yang sudah ia bangun bertahun tahun lamanya.
"Mulai besok kau jangan lagi datang ke perusahaan ini sebagai office girl, kau akan aku pekerjakan sebagai asisten kedua ku. Aku tidak mau nama Martha dan nama ku tercoreng karna kau bekerja sebagai office girl, hitung hitung supaya kau bisa menyesuaikan diri dengan diriku, sebentar lagi aku akan menjadi ayah mu." Demitri berucap dengan wajah datarnya, Hannah juga memandang Demitri dengan wajah tak kalah datarnya.
Ayah kau bilang? Dalam jangka waktu seminggu, akan ku buat kau bertekuk lutut di hadapan ku. Tunggu saja, Tuan Demitri Constantine.
***
Hannah menatap gedung besar dihadapannya dengan pandangan penuh tekat, hari ini adalah hari dimana Hannah akan bekerja sebagai asisten kedua Demitrius, dan juga hari pertama Hannah akan menjalankannya aksinya untuk menggoda Demitri.
"Hannah!"
Hannah menoleh pada seorang wanita yang melambai kearahnya, wanita itu adalah Sherin, seorang office girl yang sangat ramah terhadap Hannah.
"Ayo masuk, bentar lagi kita harus bersihkan toilet." Sherin dengan semangat menarik tangan Hannah namun dengan lembut Hannah tepis.
"Maaf Rin, tapi mulai hari ini aku sudah bukan Office girl lagi." Hannah tersenyum dan menepuk nepuk bahu Sherin lembut, meski ia baru sehari mengenal Sherin namun Hannah sudah merasa nyaman dengan Sherin dan Hannah juga tahu bahwa Sherin adalah orang baik.
Sherin menatap Hannah bingung, "Terus kalau bukan Office girl, lalu apa?"
Hannah tersenyum jahil, mengedipkan matanya sebelum akhirnya berkata "Rahasia, nanti juga kau akan tahu. Sudahlah aku bisa dimarahi bos nanti, ini hari pertama ku."
Sherin hanya mengangguk dan melambaikan tangannya kepada Hannah, jujur ia penasaran namun Sherin tahu Hannah pasti akan bercerita nanti, mungkin bukan sekarang.
***
"5 menit."
Hannah mengerutkan alisnya ketika ia masuk ke ruangan Demitri dan justru disambut dengan dua kata itu.
"Kau terlambat 5 menit." Demitri mengetuk ngetuk meja kerjanya dengan bollpoin, menunjukkan bahwa ia tidak suka dengan keterlambatan Hannah meski Hannah sendiri merasa tidak terlambat karena ia datang sebelum waktu jam kerja dimulai.
"Sebagai seorang asisten kau harus datang lebih awal dari ku, menyiapkan apa yang aku butuhkan. Tapi karena ini hari pertama mu dan kau adalah calon anak tiri ku maka aku akan memaafkan mu, ingat ini baik baik. Kau harus datang lebih awal dari ku, menyiapkan sarapan, makan siang, mengontrol jadwal ku meminum obat ku. Hanya pekerjaan mudah seperti itu, aku tidak akan membiarkan calon anak ku melakukan pekerjaan berat maka hanya itulah pekerjaan mu, kau mengerti?"
Demitri menatap Hannah dari atas kebawah, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Demitri mengetuk ngetuk meja kerjanya dengan bollpoin, tingkah Demitri saat ini seolah olah ia adalah fashion designer dan menjudge penampilan Hannah yang benar benar jauh dari kata 'baik'.
"Sebenarnya kau ini mau bekerja atau mau pergi ke pasar?" Demitri bangkit dari posisi nyamannya, "Pagi ini saja kau sudah melakukan dua kesalahan, aku tidak tahu bagaimana nanti kedepannya."
Hannah mengernyit, ia ingin bertanya dimana letak kesalahannya karena Hannah merasa bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan apa apa, Hannah baru saja sampai dan belum melakukan apa apa ia sudah mendapat kritik dan komplain dari Demitri.
Demitri yang seolah olah tahu apa yang Hannah pikirkan membuka suara, berkacak pinggang di depan Hannah. "Kesalahan pertama mu adalah datang terlambat, kau seharusnya datang lebih awal dan menyediakan sarapan di meja untuk ku sebelum aku datang, dan kesalahan kedua, pakaian mu itu. Jangan mempermalukan diriku dengan berkeliaran disekitar ku dengan pakaian kumuh itu, aku tidak ingin jika ada mitra kerja ku yang berkunjung nanti merasa tidak nyaman karena dirimu."
Demitrius merogoh saku jas nya, mengeluarkan kartu debit miliknya dan menodongkannya tepat di depan wajah Hannah, "Beli pakaian yang bagus, berdandanlah yang cantik jangan mempermalukan calon Ayah mu ini."
Hannah mengepalkan tangannya, ia ingin sekali memukul Demitri tepat di hidung mancung nya itu, kenapa bibir seksi Demitri itu lancar sekali dalam mengucapkan kalimat ejekan? Kalimat hinaan yang lebih pedas dari mie instan dari Korea yang Hannah makan semalam.
Hannah merampas debit card itu dan dengan penuh tekat Hannah berjalan keluar dari ruang kerja Demitri.
Lihat saja, akan ku habiskan uang mu ini. Aku akan belanja habis habisan dan aku akan berdandan secantik mungkin dan memastikan kau akan jatuh berlutut di depan ku.
Hannah mengeluarkan ponsel miliknya dan menjual nomor sahabatnya-Reyna Kasnova, satu satunya teman Hannah yang sangat sangat tergila gila dengan penampilan. Hannah yakin bahwa Reyna bisa membantunya belum lagi Reyna juga tahu seluk beluk soal menggoda laki laki.
***
"Shit!"
Hannah menepuk jidatnya, menyesali tindakan apa yang sudah dilakukannya. "Bodoh! Bodoh! Bodoh!"
"Kau ini kenapa sih?" Reyna berdecak sebal melihat tingkah laku aneh Hannah. "Apa menurut mu terlalu sulit mempraktekkan tips tips yang ku berikan?"
Hannah menggeleng, dengan heboh Hannah menggenggam tangan Reyna. "Bagaimana ini aku menghabiskan banyak sekali uang Demitri?!"
"Bukannya dia sendiri yang menyuruh mu pergi berbelanja, kenapa juga kau harus histeris seperti ini?" Reyna tidak habis pikir kenapa juga Hannah harus membesar besarkan masalah kecil seperti ini.
"Bagaimana kalau Demitri meminta ku untuk mengganti uang yang ku habiskan?!" Hannah ingin pingsan rasanya ketika ia mengingat nominal uang yang telah ia habiskan.
Reyna menarik bahu Hannah agar Hannah duduk dengan tenang, "Kalau kau berhasil merayunya apa dia akan berani meminta ganti uangnya? Jangan kan uang, kau minta pulau pribadi pun bisa dia berikan. Kunci nya hanya satu, buat dia bertekuk lutut pada mu. Mengerti?"
Hannah menarik nafas panjang, berusaha untuk menenangkan hatinya. "Ya, aku pasti bisa. Demi melihat Martha sialan itu menangis darah aku rela melakukan apapun."
***
Martha merengut sebal, panggilannya tidak diangkat oleh Demitri, padahal Martha ingin sekali bertemu dengan Demitri. Lebih tepatnya Martha ingin merayu Demitri agar mempercepat tanggal pernikahan mereka.
Martha menaruh curiga terhadap Hannah, Martha tahu bahwa Hannah sangat membencinya, Martha tahu bahwa Hannah sedang merencanakan sesuatu untuk membuat dirinya jatuh.
Tapi Martha tidak bodoh, ia jelas mempunyai banyak strategi untuk melawan balik Hannah. Dan ketika Martha sudah berhasil menjadi istri Demitri, Martha akan memastikan Hannah tidak akan ada di dalam keluarga bahagia yang di idamkan nya.
Martha menatap botol obat yang berada di tangannya, malam ini Martha akan memastikan bahwa dirinya dan Demitri akan menghabiskan malam yang hebat berdua.
Jika Demitri selalu saja berpegang teguh dengan prinsipnya maka obat ini lah jalan satu satunya untuk mempercepat pernikahan mereka. Karena jika Demitri sudah menidurinya Martha bisa menuntut Demitri untuk segera bertanggung jawab, semudah itu.
"Demitri sayang, kau akan segera menjadi milik ku seutuhnya."
***
Hannah menaruh sarapan yang sudah di siapkan nya tepat di meja kerja Demitri, Hannah tidak membuatkan Demitri makanan Hannah hanya memesannya dan menyediakan nya, Hannah tidak mau ambil resiko di maki maki oleh Demitri karena masakan Hannah tak sesuai seleranya.
Hannah kembali ke kursinya, duduk diam sembari menunggu Demitri datang. Sesekali Hannah bercermin melalui kaca layar ponselnya. “Semoga saja penampilan ku ini tidak terlihat memaksakan.”
Hannah bangkit berdiri ketika melihat Demitri keluar dari lift, sudut bibir Hannah sedikit terangkat ketika ia melihat Demitri yang sekilas melirik ke arah belahan dadanya. Sepertinya tidak salah Reyna memilihkan baju ini untuknya kemarin.
“Kemarin aku menyuruh mu membeli pakaian bukan tidur panjang, kenapa kau tidak kembali ke kantor?” Demitri melipat tangannya di depan dada, meneliti penampilan Hannah dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Bukannya aku meminta mu untuk berpakaian yang pantas sebagai seorang asisten kemarin, lalu kenapa kau justru berpakaian seperti ******* hari ini?” Demitri berdecak, masuk ke dalam ruangannya meninggalkan Hannah yang sudah gemas ingin menjambak jambak rambut Demitri hingga benar benar botak.
Baru saja Hannah ingin kembali duduk, Demitri membuka pintu ruangannya “Jangan siapkan makan siang untuk ku nanti, aku akan pergi makan siang dengan Ibu mu. Kau mau ikut?”
Hannah menggeleng, namun detik berikutnya ia mengangguk. Hannah awalnya ingin menolak namun kemudian Hannah teringat bahwa ia tidak boleh kecolongan, Hannah harus terus menempel pada Demitri.
“Jadi kau mau ikut atau tidak?”
“Ya, ikut.”
***
Rafael tersenyum manis hingga lesung pipinya terlihat, ia menjabat tangan Hannah dengan ramah.
“Maaf ya kau harus duduk bersama ku meski tugas ku hanya menyiapkan makanan untuk Pak Demitrius.”
Rafael menggelengkan kepalanya tidak setuju, “Aku justru berterima kasih. Aku selalu saja keteteran setiap kali harus melakukan tugas tugas ku dan juga menyiapkan makanan untuk Tuan Demitrius, dengan adanya kau disini kau meringankan beban ku.”
Hannah berterima kasih, dan duduk di kursinya. Tidak berniat mengganggu Rafael yang mulai sibuk menghubungi klien yang katanya akan mengadakan pertemuan dengan Demitri setelah makan siang.
***
“Ku rasa Demitri bukan tipikal laki laki bodoh yang akan jatuh ke dalam jebakan seperti itu.” Clara Aurora—Salah satu teman Martha sesama perusak rumah tangga orang demi harta itu angkat suara, mengomentari tentang apa yang rencananya akan Martha lakukan hari ini.
“Tidak ada salahnya mencoba kan?” Martha tetap bersikeras pada keputusannya, hari ini ia harus bisa jika bukan sekarang kapan lagi.
“Terserah kau saja, aku mengatakan ini agar kau tidak terlalu banyak berharap. Demitri itu bukan laki laki bodoh seperti para mantan korban mu sebelumnya.” Clara menengguk wine nya dengan anggun lalu bangkit berdiri, “Aku harus pergi, aku tidak bisa terus mendengarkan mu mengoceh tapi kau sendiri tidak menggubris pendapat ku, lagi pula hari ini aku harus bertemu dengan Demian.”
“Demian? You mean that Demian, your sugar daddy?”
Clara mengangguk mengiyakan pertanyaan Martha. “Dia bilang hari ini istrinya pergi ke luar negri bersama teman temannya jadi dia ingin aku menemani malamnya agar dia tidak kesepian, selagi imbalan yang ku dapatkan tidak mengecewakan kenapa tidak?”
Martha hanya mengangguk, meski ia sedikit agak iri dengan Carla. Karena Carla tidak pernah mengejar ngejar laki laki dan uang, seolah olah laki laki dan uang lah yang mengejar ngejar nya. Dan satu hal lagi, Carla jauh lebih muda dari dirinya, jika ingatan Martha tidak salah usia Carla hanya terpaut sekitar 3-4 tahun dari Hannah, anak tirinya.
Sepeninggal Clara, Martha juga pergi berniat untuk bersiap siap karena hari ini ia ada janji makan siang bersama dengan Demitri.
Martha sengaja mengatakan pada Demitri agar makan di apartemennya dengan alasan agar ia yang memasak.
Demitri kedengarannya antusias, Martha merasa Demitri sangat mencintainya tapi kenapa Demitri tidak mau menyentuhnya? Persetan dengan moto hidup Demitri yang aneh itu, Martha hanya ingin segera memiliki Demitrius seutuhnya dan menendang Hannah jauh jauh dari hidupnya.
Martha bersumpah jika ia sudah hidup bahagia menikah dengan Demitri, Martha tidak akan berselingkuh ataupun mencari laki laki mapan yang lain, Demitri adalah yang terakhir dan Martha ingin memiliki anak dengan Demitri. Bisa dibilang selain harta, Martha telah benar benar menaruh hati pada calon suaminya itu.
***
Martha kesal bukan main ketika melihat Demitri datang tidak sendirian, Demitri justru datang dengan Hannah. Menyebalkan sekali.
Martha bahkan mendadak tidak nafsu makan karena melihat Hannah yang seolah olah terus saja menempel pada Demitri. Martha ingin protes pada Demitri tapi Martha takut Demitri justru akan menganggapnya sebagai Ibu tiri yang tidak bertanggung jawab, belum lagi Martha dan Hannah tinggal terpisah. Martha tidak mau ambil resiko.
“Sayang, tidak usah kembali ke kantor ya. Temani aku disini aku butuh kamu.” Martha mencoba untuk membujuk Demitri, lantaran Demitri berkata ia harus segera kembali. Sialan sekali.
“Aku tidak bisa lama lama sayang, aku harus menemui klien ku setelah ini.” Demitri menolak dengan halus. Ia mendekat dan mengecup kening Martha sekilas. “Akan ku usahakan datang malam ini.”
Wajah Martha memerah, baiklah.. Martha akan merelakan Demitri sekarang dan tidak akan melepaskan Demitri nanti malam, tunggu saja.
Hannah hanya diam menyaksikan kemesraan dua manusia itu, ia ingin sekali menendang Martha jauh jauh namun Hannah tidak bisa melakukan itu, belum waktunya.
Sementara Martha melepaskan kepergian Demitri dengan senyum kecut, lalu beralih menatap jus milik Demitri yang tidak tersentuh sedikitpun.
“Malam ini, akan ku tunggu kau malam ini, sayang.”
***
“Ada apa dengan mu kau kelihatan tidak sehat?” Demitri masih menjalankan mobilnya, sesekali melirik Hannah sekilas. Demitri dapat melihat Hannah kelihatan tidak nyaman, nafasnya juga seperti tersengal sengal.
“Aku baik baik saja”
Demitri hanya diam saja, kembali fokus menyetir. Meski sesekali ia masih melirik risih ke arah Hannah yang terus saja bergerak gerak tidak mau diam.
***
Hannah merasa ada yang aneh dengan tubuhnya, Hanna mendadak merasa sangat sensitif, bahkan ketika berjalan menuju lift saja Hannah terus saja mendesah pelan. Entah kenapa bagian bawahnya terasa sangat sensitif dan juga hawa sekitarnya terasa agak panas.
Yang lebih gilanya lagi tiap kali Hannah melihat kearah Demitri, Hannah seolah ingin meloncat ke pelukan Demitri dan mencumbu laki laki itu, apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya?
Hannah duduk ditempatnya dengan tidak nyaman, beberapa kali Hannah mendapat pandangan aneh dari Rafael yang berada di sebelahnya.
“Kau tidak apa apakan?” Rafael bertanya dengan wajah khawatirnya, Hannah hanya memberi senyuman palsu.
“Tuan Demitri memanggil mu.”
Hannah mendesah, dengan perlahan bangkit dan berjalan memasuki ruangan Demitri. Hannah terus saja mengernyit tiap kali ia mengambil langkah.
“Kau tidak sehat?” Demitri yang duduk di kursi kebanggaannya itu menggerakkan jarinya mengarahkan Hannah untuk melangkah mendekat kearahnya.
Hannah melangkah mendekat tepat sekali disamping Demitri hingga Demitri memutar kursinya menghadap Hannah, Demitri bangkit berdiri dan memegang kening Hannah, memastikan bahwa calon anak tirinya itu baik baik saja.
Hannah tanpa sadar mendesah tatkala tangan Demitri menyentuh kulitnya, Hannah semakin kalang kabut, ia mendongak menatap wajah Demitri yang entah kenapa kelihatan sangat seksi dimatanya saat ini.
Tangan Hannah bergerak tanpa dapat dikontrol, Hannah mendorong Demitri jatuh terduduk ke kursinya dan dengan beraninya Hannah duduk dipangkuan Demitri.
“A-apa yang kau lakukan?” Demitri hendak mendorong Hannah namun Hannah dengan erat mengalungkan tangannya di leher Demitri, tidak berniat melepaskan sedikitpun.
“Kau mau menggoda ku, aku tidak akan termakan godaan mu. Cepat lepaskan!”
Bukannya turun Hannah justru tersenyum dan membisikan kalimat memalukan ketelinga Demitri, yang sontak membuat Demitri mengalihkan wajahnya.
Hannah tersenyum miring ketika Demitri termakan oleh umpan yang ia berikan, Demitri dengan tergesa gesa menempelkan bibir mereka.
Sialnya sesaat Demitri hampir melepas pakaian Hannah, pintu ruangan Demitri justru terbuka tiba tiba, Rafael masuk untuk mengingatkan Demitri soal pertemuan nya dengan klien.
Demitri dengan geramannya menjauhkan dirinya dari Hannah, memperbaiki pakaiannya yang berantakan dan menatap Hannah dengan pandangan dinginnya. “Rapihkan pakaian mu, Pulang lah, Rafael akan mengantarkan mu.”
Hannah mendesah tidak rela, meski begitu Hannah tetap bangkit dan merapihkan pakaiannya, sedikit malu terhadap Rafael yang memergokinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!