"Heh, apa kamu bodoh? Kamu bisa kerja nggak, sih?" hardik seorang pria tampan dengan wajah tegas. Tidak habis pikir dengan kelakuan gadis di hadapannya yang terus menerus melakukan kesalahan yang sama berulang kali.
"Ma-maaf, Tuan Aaroon. Saya janji tidak akan mengulanginya lagi," ucap seorang gadis berpenampilan khas kutu buku bernama Zea Sadiya dengan tubuh gemetaran.
Ia menautkan jemarinya di depan tubuh untuk mengurangi rasa gugup yang menguasainya.
"Kamu pikir semuanya selesai hanya dengan minta maaf, hah? Tidak semudah itu." Aaroon berdecih sembari memiringkan wajah menatap remeh ke arah gadis di hadapannya.
Sementara Zea hanya terdiam dan tidak mampu berkata-kata lagi. Semua memang karena kesalahannya. Padahal biasanya ia selalu melakukan pekerjaan dengan benar. Namun, entah mengapa ia selalu saja gugup saat melayani majikan barunya itu.
"Argh, sudahlah! Cepat bereskan kekacauan yang kamu buat dan bawakan aku kopi. Kamu tahu, 'kan, aku tidak bisa fokus bekerja tanpa kopi?" ucap Aaroon menyugar rambutnya frustasi. Lalu, mengayun langkah menuju menuju meja kerjanya.
"Ba-baik, Tuan Aaron." Zea segera membereskan lembaran kertas-kertas yang berjatuhan di lantai akibat ulahnya.
Setelah itu, Zea meninggalkan ruangan kerja Aaroon dengan tergesa-gesa. Sudah beberapa bulan ia melayani pria itu dan sangat hafal kebiasaannya yang perfeksionis. Namun, entah mengapa ia selalu saja gugup.
Tidak sampai lima menit kemudian, Zea datang kembali. Ia meraup oksigen dengan rakus sebelum memutar kenop pintu, lalu mengembuskannya dengan pelan.
Diketuknya daun pintu itu perlahan, lalu melangkah sesantai mungkin setelah suara bariton menyuruhnya untuk masuk.
Zea berjalan menunduk memperhatikan langkahnya dan cangkir kopi yang dibawanya. Ia tidak ingin melakukan kesalahan lagi kali ini.
"Silakan, Tuan Aaroon," ucap Zea sesaat setelah meletakkan cangkir kopi di meja kerja.
Wajahnya menampilkan senyum semringah seolah-olah telah memenangkan olimpiade saat berhasil membawa kopi dengan selamat.
"Phah!" Aaroon mengeluarkan kopi yang baru saja dicicipi dari mulutnya. Matanya terpejam sesaat dengan rahang yang mengeras.
Ah, Zea sangat tahu ekspresi apa itu. Ya, sebentar lagi ia akan mendapat makian.
"Dasar bodoh! Bahkan membuat kopi saja kamu nggak becus. Lalu, apa yang bisa kamu kerjakan. Semua yang kamu lakukan hanya kesalahan. Entah di mana papa memungut orang bodoh sepertimu."
"Ma-maafkan saya, Tuan Aaroon. Apa yang salah dengan kopinya? Saya yakin semuanya baik-baik saja tadi," kilah Zea untuk membela diri. Ia yakin betul telah melakukan dengan benar kali ini.
"Banyak bicara kamu! Coba rasakan sendiri apa yang salah dari kopi ini!" titah Aaroon menyodorkan cangkir yang masih mengeluarkan uap panas.
Zea pun meraih dan mencicipi rasanya. Namun, karena ketakutan, ia lupa jika kopi itu masih sangat panas hingga menyemburkannya dari mulut ke wajah sosok pria yang memiliki paras rupawan di hadapannya karena lidahnya serasa terbakar.
"Zea!" teriak Aaroon dengan lantang lantaran gadis itu membuat wajahnya sudah dipenuhi oleh minuman berwarna hitam itu.
"Kamu sudah bosan bekerja di sini, hah? Gadis bodoh! Kamu ...."
Zea tidak memperhatikan lagi kalimat yang diucapkan majikannya itu karena sangat terkejut, ia mengusap wajah Aaroon dengan kain lap yang tersampir di bahunya.
Namun, tangannya segera terhenti saat matanya menatap manik sang majikan.
"'Mampus!' gumam Zea lirih dengan mata membulat.
"Zea!"
Kesabaran Aaroon telah habis. Bisa jadi kesabarannya seumur hidup telah habis dikuras oleh pelayan barunya yang dibawa oleh papanya beberapa bulan lalu entah dari mana.
"Maaf, Tuan. Saya tidak sengaja melakukan itu. Saya hanya refleks ingin membersihkan wajah Anda. Tunggulah dulu, saya akan mengambilkan tisu untuk membersihkannya."
Aaroon mencengkaram lengan Zea hingga gadis itu merintih. Diseretnya gadis itu keluar ruangan, lalu mendorong tubuhnya keluar dari ruang kerjanya.
"Tuan, kumohon maafkan saya," pinta Zea dengan wajah memelas.
"Bacot! Kenapa kamu hanya menggunakan kepandaianmu untuk bicara dan bukan untuk bekerja, hah?" Zea terdiam karena tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Sungguh, gadis itu pun sama penasarannya dengan Aaroon.
"Jangan muncul di hadapanku lagi!" Segera setelah berkata seperti itu Aaroon membanting pintu dengan keras.
Zea sedikit tersentak saat pintu itu menutup dengan keras.
'Dasar bodoh. Zea bodoh!' gumam Zea kepada diri sendiri.
Gadis itu berjalan dengan sedikit menengadahkan wajah agar air matanya tidak terjatuh. Namun, justru tubuhnya yang terjatuh karena tercekal oleh kakinya sendiri.
Seorang pria paruh baya menghampiri Zea yang menangis terduduk di lantai setelah terjatuh.
"Apakah sangat sakit?" tanya pria itu mengulurkan tangan kepada Zea.
"Terima kasih, Tuan Jonathan." Zea menerima uluran tangan itu dan segera berdiri.
"Jangan terlalu dimasukkan ke dalam hati, ya. Kamu tahu, 'kan, Aaroon orang yang seperti apa?" Pria itu tersenyum ramah sembari mengusap pucuk kepala Zea.
Gadis itu hanya mengangguk dan membalas senyuman majikannya itu.
Telah beberapa bulan gadis bernama Zea Sadiya berusia 19 tahun tinggal dan bekerja sebagai pelayan di rumah besar itu.
Setelah tragedi mengenaskan yang dialaminya yang membuat Zea tertabrak mobil Jonathan_ seorang pengusaha sukses dan merupakan salah satu konglomerat di Jakarta.
Karena takut untuk pulang ke rumah, Zea Sadiya berbohong dan berpura-pura kehilangan ingatan.
Beruntung pria paruh baya yang hampir menabraknya mau menerima dan mempekerjakan Zea sebagai pelayan.
Ya, Jonathan membawa Zea sebagai bentuk tanggung jawab atas perbuatannya karena ulahnya, gadis itu tidak tahu apa pun tentang dirinya. Lagipula ia bisa mempekerjakan Zea sebagai pelayan pribadi anaknya yang menderita depresi dan trauma terhadap wanita karena ditinggal oleh tunangannya.
"Kamu tidak apa-apa, 'kan?" Jonathan kembali bertanya karena khawatir Zea akan mengundurkan diri dari pekerjaannya.
"Tentu saja, Tuan. Saya, kan, gadis yang kuat," ucap Zea mengangkat tangan menampilkan lengannya yang tidak berotot.
Jonathan hanya terkekeh melihat tingkah gadis yang tidak mudah menyerah dan patah semangat.
***
Hari itu, Aaroon sangat frustasi karena proyek yang ditanganinya tidak berjalan lancar. Hanya karena kesalahan kecil seorang pegawai yang terlambat mengkonfirmasi, hingga kontraknya harus dibuat ulang.
Pria itu hanya meminta pihak vendor untuk menunggu 30 menit. Namun, mereka menolak dan justru menandatangani kesepakatan dengan pihak saingannya.
"****!" umpat Aaroon berulang kali setelah mencekoki dirinya dengan minuman beralkohol.
Ya, semenjak ditinggal oleh sang kekasih, ia memang menjadi akrab dengan minuman memabukkan. Kini Aaron telah terbiasa mabuk-mabukan jika mengalami masalah. Meski esok akan teringat kembali, setidaknya ia bisa melupakannya untuk sesaat.
Aaroon berjalan terhuyung saat memasuki rumah. Ia melangkah dengan susah payah menuju kamarnya. Hampir saja ia terjatuh saat menabrak lemari. Beruntung Zea menangkap tubuhnya sebelum terjatuh ke lantai.
"Tuan Aaroon, sadarlah!"
Zea memapah Aaroon menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Susah payah Zea membawa pria itu ke kamarnya lantaran tubuhnya yang lebih kecil.
"Kenapa kamu melakukan ini kepadaku ...." Aaroon bergumam di ambang kesadarannya.
"Ugh, sadarlah, Tuan Aaroon. Kau sangat berat," keluh gadis itu setelah berada di ambang pintu kamar Aaron.
Dengan sisa tenaga, Zea membimbing Aaroon ke tempat tidur. Namun, saat akan membaringkannya, gadis itu ikut terjatuh di atas tubuh majikannya itu.
'Mati aku!' gumam Zea karena yakin akan dimarahi lagi.
Namun, Aaroon hanya bergeming tanpa memberikan respon apa pun. Sepertinya pengaruh alkohol sangat kuat hingga membuatnya benar-benar kehilangan kesadaran. Setidaknya begitu menurut gadis itu.
Saat Zea beranjak bangun, Aaroon justru terbangun dan membalikkan tubuhnya. Kini posisi mereka berbalik dengan Zea berada dalam kungkungannya.
"Kamu mau kabur ke mana lagi, Sayang? Akan kubuat kamu menjadi milikku dan tidak bisa lepas dariku."
Sepertinya Aaroon salah mengenali Zea sebagai mantan tunangannya.
"Jangan, Tuan!" Zea hendak memberontak, tetapi tenaganya kalah jauh dari Aaroon.
"Sstt, jangan berteriak atau semua orang akan terbangun," bisik Aaroon tepat di telinga Zea sebelum menyesap leher jenjang gadis itu.
"Tidak! Kumohon jangan lakukan itu, Tuan," pinta Zea meronta di bawah cengkraman Aaroon.
Namun, Aaroon tidak perduli sama sekali terhadap rintihannya. Akhirnya gadis itu menangis pasrah saat sang majikan melakukan penyatuan dengan beringas.
To be continued...
Enam bulan yang lalu....
Seorang gadis berpenampilan khas kutu buku dengan rambut dikuncir dua, baju yang kebesaran, serta kacamata besar yang bertengger di wajah yang sebenarnya cantik, tetapi tertutup oleh penampilannya yang cupu.
Gadis yang tak lain adalah Zea Sadiya merupakan gadis manis yang sangat pendiam. Gadis itu bangun lebih pagi dibandingkan semua penghuni rumah untuk melakukan pekerjaan rumah sebelum berangkat ke sekolah.
"Heh, nasi gorengnya udah jadi belum? Nanti ayahmu keburu bangun!" hardik seorang wanita paruh baya yang merupakan ibu tirinya.
Zea terlonjak kaget saat ibu tirinya tiba-tiba saja berteriak di belakangnya hingga membuat spatula yang dipegangnya hampir terlepas dari genggamannya.
"Ma-maaf, Bu, tadi piring kotornya banyak jadi ...."
"Halah, jangan banyak alasan kamu!" Wanita itu mengangkat tangannya ke udara, bersiap untuk memukul Zea lagi.
Zea sudah bersiap dengan menutup mata. Namun, yang didapatnya sebuah elusan lembut. Gadis itu membuka mata dan menatap ibunya dengan heran.
"Zea ... Ibu, kan, sudang bilang. Enggak usah bikin nasi goreng, Sayang. Nanti kamu telat, loh, ke sekolahnya," ucap Reni dengan suara yang lembut.
Ah, andai saja ibu tirinya memang benar sebaik dan selembut itu, tentu Zea akan sangat bahagia. Terlebih ia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu.
Namun, semua itu hanya sandiwara belaka. Gadis itu yakin, pasti ayahnya sedang melihat mereka, karena itulah sikap ibunya berubah.
Ya, persis seperti di cerita-cerita tentang ibu tiri lainnya, di novel maupun dongeng. Meski telah menyandang gelar ibu, tetap saja mereka berlaku buruk saat tidak ada yang melihatnya.
Kini, terlihat seorang pria paruh baya melangkah mendekati mereka.
"Wah, anak papa pintar sekali. Papa enggak pernah tahu kalau kamu bisa masak nasi goreng. Tapi benar kata ibumu, nanti kamu bisa terlambat ke sekolah, loh," ujar Abraham memeluk lembut bahu anaknya.
Reni meraih tangan suaminya dan menuntun ke arah meja makan. Kini mereka duduk berdampingan, sedangkan Zea menyelesaikan kegiatan memasaknya.
'Andai papa tahu, kalau selama ini aku yang memasak dan melakukan semuanya. Apa papa akan marah?' batin Zea tertunduk sedih.
"Aku sudah bilang seperti itu, Mas, tapi Zea ngotot. Katanya dia kasihan melihat aku mengerjakan semua pekerjaan rumah semenjak Sumi pulang kampung." Reni memberikan alasan yang sangat masuk akal bagi siapapun yang mendengarnya.
"Zea sayang sekali, ya, sama Ibu."
Abraham menatap sang istri dan anaknya bergantian. Sangat bahagia melihat keduanya tampak rukun dan saling menyayangi. Padahal sebelumnya ia khawatir karena Zea anak yang pemalu dan tidak mudah akrab dengan orang lain.
"Iya, Mas. Zea memang anak yang baik, aku beruntung punya anak seperti dia."
Abraham sangat senang karena Reni selalu memperlakukan Zea seperti anak kandungnya sendiri.
Nasi gorengnya telah jadi, Zea pun meletakkannya pada sebuah mangkok kaca yang berukuran besar, lalu membawanya ke meja makan. Tadi gadis itu sudah menata piring dan peralatan makan lainnya. Bahkan, telur dadar dan ayam gorengnya pun sudah tertata rapi di sana.
"Ini buatan Zea juga?" tanya Abraham menunjuk telur dadar dan ayam goreng di hadapannya.
"Itu ...."
Zea tidak sempat melanjutkan perkataannya karena dipotong oleh sosok wanita yang saat ini tengah berakting di depan sang ayah.
"Tentu saja itu aku yang masak, Mas. Tadi Zea kasihan melihatku, makanya ia menawarkan diri untuk membuat nasi gorengnya. Coba, deh, Mas. Enak enggak?" Reni tidak memberikan kesempatan kepada Zea untuk mengatakan semuanya. Suaminya bisa marah kalau tahu anaknya yang memasak semua.
Wajah Reni berbinar saat mendapat jempol dari sang suami.
"Aku enggak tahu kalau istriku ternyata jago masak," puji Abraham kepada sang istri.
Ya, selama ini semua pekerjaan rumah tangga memang dikerjakan oleh bi Sumi. Asisten rumah tangga mereka yang pulang kampung sejak tiga minggu yang lalu.
"Ah, Mas, bisa saja. Itu, kan, sudah kewajiban seorang istri, Mas. Aku jadi malu."
"Sepertinya penyakit suami Sumi parah, jadi bagaimana kalau kita mencari penggantinya?" Abraham memberi usul karena tidak ingin pekerjaan rumah terbengkalai.
"Enggak usah, Mas, biar aku saja yang mengerjakan semuanya. Lagian ada Zea dan Aurora yang bisa bantu aku," tolak Reni dengan lembut.
Ia tentu ingin mencari muka di depan suaminya sekaligus ingin menghemat uang belanja karena jika membayar pembantu, pasti uang jatah satu bulan dari suami akan berkurang.
Zea tersenyum kecut mendengar perbincangan kedua orang dewasa itu. Bukan ibu tirinya, tetapi ia yang harus mengerjakan semuanya.
Sebenarnya ia sangat muak sekarang, tetapi harus bersandiwara seolah-olah semuanya baik-baik saja. Ia baru saja akan duduk dan memakan nasi goreng buatannya, tetapi tidak jadi karena perkataan ibu tirinya.
To be continued...
"Zea, tolong panggil Kak Aurora untuk sarapan bersama, ya! Kakakmu itu juga doyan makan nasi goreng," pinta Reni dengan suara yang lembut.
Alih-alih menjawab, Zea hanya menganggukkan kepala, lalu berjalan menuju ke kamar Aurora—kakak tirinya yang berada di lantai atas.
Setelah tiba di depan kamar Aurora, ia mengetuk pintu beberapa kali. Namun, karena belum ada jawaban, gadis itu memutuskan masuk dan membangunkan kakaknya.
"Kak, Kak Aurora bangun. Ditunggu ibu dan papa di bawah untuk sarapan." Zea mengguncang tubuh Aurora pelan.
Namun, karena kakak tirinya itu belum juga bangun, ia mengguncang dengan sedikit lebih keras.
"Apaan, sih, lo! Gue udah bangun. Lo nggak ikhlas banget bangunin gue sampe guncang kencang gitu. Mulai berani lo sama gue, hah?" hardik Aurora kesal. "Padahal tadi gue lagi mimpi kencan sama Park Chanyeol, tapi lo malah bangunin gue. Sirik lo sama gue?"
Zea tidak terkejut lagi dengan perlakuan kasar Aurora. Semua itu sudah seperti rutinitas baginya. Awalnya ia memang sedih dengan perlakuan kakak dan ibu tirinya, tetapi semakin lama ia telah terbiasa.
"Maaf, Kak. Aku cuma bangunin Kakak buat sarapan bareng ibu dan papa. Kalau Kak Aurora masih ngantuk, tidur aja lagi. Nanti aku bilangin ke ibu kalau Kakak masih ngantuk karena begadang," usul Zea kepada Aurora dengan polosnya.
"Heh, gue udah bangun! Gimana sambung mimpinya, bego! Lo kira mimpi itu seperti Indonesia yang sambung menyambung menjadi satu?" Aurora lekas menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar. "Lo duluan aja, ntar gue nyusul," teriaknya dari dalam kamar mandi.
Namun, Zea tidak melakukannya dan justru merapikan tempat tidur Aurora. Ya, bagaimanapun, ia tetap akan melakukannya. Jadi gadis itu memilih mengerjakannya sekarang saat telah berada di sana.
Setelah selesai, Zea dan Aurora bergabung dan sarapan bersama kedua orang tuanya.
"Pagi, Ma, Pa," sapa Aurora mengecup pipi ibu dan ayahnya.
"Pagi, Sayang. Kok, lama sekali turunnya?" tanya Abraham menatap putri sulungnya. Meskipun tidak berbagi darah yang sama, tetapi pria itu berusaha memperlakukannya seperti anak sendiri.
"Itu tadi si Zea kebelet, Pa. Jadi aku tungguin dulu," kilah Aurora dengan menampilkan senyum manis.
Aurora dan Reni memang sangat pandai bersandiwara. Jika mereka menjadi aktris, mungkin saja bisa mendapatkan penghargaan atas aktris dengan akting terbaik.
Zea kesal karena lagi-lagi ia yang disalahkan, tetapi tidak apa-apa. Ia hanya perlu bersabar sedikit lagi. Setelah lulus sekolah, gadis itu akan meminta izin untuk kuliah di luar kota, jadi ia bisa tinggal jauh dari ibu dan kakak tirinya.
Meski itu artinya harus jauh dari ayahnya juga, tetapi ia ingin meraih cita-citanya di lingkungan yang nyaman.
"Ya sudah, makan sekarang, Sayang. Zea juga sarapan, ya. Nanti kamu terlambat. Hari ini hari terakhir ujian, 'kan?" Zea hanya menganggukkan kepala karena mulutnya penuh dengan makanan.
"Semangat, ya, Sayang. Papa yakin kamu pasti bisa mengerjakan semua soalnya dengan baik. Kamu kan, anak Papa yang pinter." Abraham memberikan semangat kepada Zea.
Pria itu sangat yakin jika putrinya akan lulus dengan nilai yang memuaskan. Pasalnya, selama ini Zea memang selalu berada di peringkat satu di sekolahnya.
Setelah menandaskan makanannya, semua bersiap untuk melakukan kegiatan masing-masing.
Zea berangkat ke sekolah dengan Abraham, Aurora berangkat sendiri ke kampus, sedangkan Reni ada pertemuan dengan geng ibu-ibu sosialitanya nanti siang.
"Kamu semangat, ya ujiannya. Papa yakin kamu pasti bisa membuat kami bangga," ucap Abraham tersenyum lembut sembari memandang wajah Zea.
"Iya, Pa." Zea hanya menjawab singkat.
Ya, gadis manis itu memang irit bicara dan sangat pemalu.
***
"Papa akan kasih kamu kejutan nanti sepulang sekolah. Jadi kamu tunggu, ya," ucapnya dengan wajah bersemangat karena hari ini hari terakhir ujian.
Ia berencana membeli hadiah untuk Zea dan mengajaknya jalan-jalan saat pekerjaannya sudah beres.
"Kejutan apa?" tanya Zea penasaran.
"Ada, deh. Pokoknya kamu tunggu saja di rumah, ya."
Zea menjawab dengan menyatukan ibu jari dan telunjuknya. "Aku masuk dulu, Pa," ucapnya meraih tangan Abraham, lalu mengecupnya.
Namun, tiba-tiba saja Abraham memeluk erat tubuh Zea membuat gadis itu mengerutkan kening heran.
"Papa kenapa?"
"Enggak apa-apa, Sayang. Kamu yang kuat, ya. Sana masuk, nanti terlambat, loh."
Zea sebenarnya masih bingung, tetapi memilih pergi karena takut terlambat.
Zea berjalan pelan dengan pandangan ke bawah memasuki sekolah setelah diantarkan oleh ayahnya.
"Sstt, liat tuh, si Cupu udah datang," ujar seorang gadis seumuran dengan si cupu menyenggol lengan temannya dengan siku.
Si Cupu itu baru saja akan meletakkan tas ranselnya di bangku saat teman wanitanya yang lain menghampiri.
"Heh, kenapa lo lama banget, sih, datangnya?" tanya gadis itu dengan tatapan kesal. "Awas kalau lo enggak ngasih gue jawaban!" Tangannya terkepal tepat di depan wajah Zea.
Zea cukup terkejut, tetapi dengan segera bisa mengatur ekspresinya. Ya, sekarang ia sudah terbiasa dengan perlakuan buruk semua orang.
Ia memang tidak mempunyai teman di sekolah karena penampilannya yang sangat cupu dan tidak gaul seperti cewek-cewek di sekolahnya.
Selama ini yang dipikirkan hanyalah belajar dengan baik dan mendapatkan prestasi di sekolah agar bisa mendapatkan beasiswa untuk kuliah karena tidak ingin menyusahkan sang ayah yang harus banting tulang untuk menghidupi dan membiayai kuliah kakak tirinya.
Zea memang sering di bully saat ujian, agar memberikan jawaban pada teman-temannya dan tidak pernah bisa menolak, meski di hatinya merasa tidak terima. Seolah-olah semesta merancangnya untuk menjadi orang yang sangat menyedihkan.
Baru saja Zea akan menjawab, bel masuk telah berbunyi. Semua pelajar kembali ke tempat duduk masing-masing dan menjalani ujian dengan tenang, kecuali Zea.
Entah kenapa perasaannya tidak enak, tetapi ia mengabaikannya dan kembali fokus mengerjakan soal ujian.
Setelah selesai ujian, Zea memilih segera pulang ke rumah. Selain karena perasaanya yang tidak enak. Ia juga ingin menghindari kelompok pelajar perempuan yang sering merundungnya. Lebih baik beristirahat dan bersantai di rumah, begitu menurutnya.
Baru saja Zea melangkahkan kaki keluar dari ojek online yang membawanya pulang ke rumah, ia mengerutkan kening saat mendapati pemandangan yang aneh. Tidak biasanya rumah mereka ramai seperti itu.
Mata Zea melebar dan perasaan cemas tatkala melihat bendera kuning di sudut pagar rumah.
'Siapa yang meninggal,' batinnya semakin cemas. Semoga saja apa yang dipikirkannya tidak benar.
Zea berlari menerobos kerumunan orang-orang. Langkahnya terhenti saat mendapati tubuh seseorang yang dikenalnya tengah terbaring kaku tertutup kain hingga hanya menyisakan wajahnya saja.
"Tidak!" teriak Zea histeris sebelum penglihatannya gelap dan kehilangan kesadaran.
To be continued...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!