NovelToon NovelToon

Sign Of Zodiac: Cancer

Damian Castor

Damian baru saja sampai ke rumahnya, sebuah domus  mewah yang berada di pusat ibu kota Ponza. Sebuah atrium luas dengan banyak lukisan terkenal menyambut kedatangan Damian. Sebuah patung batu berwujud pria berjubah dengan janggut lebat berdiri di tengah ruangan. Patung itu dia dapatkan dari seorang pemahat terkenal di Ponza, ketika ia menangani kasusnya. Pada akhirnya pemahat itu harus dikurung karena Damian melaporkan tentang patung antik yang menyinggung kaisar.

Mau bagaimana lagi, itu sudah pekerjaannya. Damian adalah seorang jaksa delator, informan pencari berita yang dibayar untuk mengumpulkan gosip tentang seluruh penduduk kota. Dia hidup dengan melaporkan tindakan-tindakan buruk yang dilakukan orang lain. Meski karena pekerjaan itu, Damian tidak punya banyak teman, dan cenderung dijauhi orang, tetapi ia menikmatinya. Damian suka kalau segala sesuatunya teratur menurut standar pribadinya sendiri.

“Kau sudah pulang, Damian?” Seorang wanita paruh baya menyapa Damian dari tangga lantai dua. Pemuda itu melepas mantel lalu ia serahkan pada seorang pelayan wanita yang sudah muncul untuk melayaninya.

“Aku lelah, Ibu. Apa makan malam kita hari ini?” sahut Damian sembari berjalan ke ujung ruangan, hendak masuk ke koridor lantai satu.

Sang ibu, Nyonya Castor, paruh baya turun dari tangga dan berjalan mengikuti Damian. Ia lalu merangkulkan tangan ke lengan putranya itu. Mereka lalu berjalan menuju ruang makan yang ada di lantai satu.

“Koki baru kita membuat hidangan spesial kesukaanmu. Ada banyak daging dan ikan segar,” ujar Nyonya Castor sembari mengelus punggung Damian. “Kau pasti lelah berkeliling kota seharian. Apa para bangsawan itu membayarmu begitu banyak? Sampai kau harus bekerja sekeras ini,” lanjut ibunya tampak cemas.

“Tenang saja, Ibu. Kau tahu kalau aku suka melakukannya. Ini pekerjaan yang sangat cocok untukku. Lagipula orang-orang suka sekali mencari masalah. Aku tinggal menyiramkan sedikit minyak, dan api lekas membara begitu cepat. Setelah salah satu pihak hangus terbakar, maka gajiku akan dilipat gandakan. Pekerjaan ini mudah dan menyenangkan. Melihat orang-orang bertikai membuatku terhibur,” ujar Damian tertawa puas.

“Tapi kau harus merelakan masa mudamu karena pekerjaan itu. Kau juga harus segera menikah dan berkeluarga. Dengan pekerjaan itu, siapa gadis yang mau menikah denganmu. Keluarga mereka juga cemas menikahkan anak gadisnya denganmu. Aku tidak bisa tenang melihatmu terus-terusan hidup sendiri. Meski kau menghasilkan banyak uang, tapi itu tidak ada gunanya kalau kau tidak punya keluarga untuk berbagi. Lihat kakak-kakakmu, semuanya sudah menikah dengan keluarga baik-baik,” keluh ibunya panjang lebar.

“Ah, Ibu … kenapa mulai membahas masalah ini lagi. Sudah kubilang padamu kalau aku sudah memiliki seseorang yang kutemui. Kau hanya perlu bersabar sampai saatnya aku membawanya ke rumah,” sahut Damian sembari mengelus tangan ibunya. Ia berusaha menenangkan sang ibu yang mulai tantrum setiap membahas masalah pernikahan. Padahal Damian belum terlalu tua untuk menikah. Usianya baru menginjak dua puluh satu tahun.

“Baiklah, kau harus berjanji padaku untuk membawa gadis itu, Damian. Jangan terus-terusan membuat Ibu cemas. Kau tahu kalau Ibu paling menyayangimu, kan,” desak Nyonya Castor lagi.

Damian mengangguk paham sembari tersenyum meyakinkan. Tanpa terasa mereka sudah sampai di ruang makan keluarga. Dua kakak Damian, Titus dan Marcus sudah duduk di meja makan panjang bersama keluarga mereka masing-masing. Ayahnya, Lord Castor, duduk di ujung meja sambil bercakap-cakap dengan keluarganya yang lain.

Saat melihat Damian datang bersama Nyonya Castor, ayahnya segera menyambut dengan hangat.

“Kau sudah datang, Damian. Ibumu menunggu di atrium sepanjang sore. Jadi kita bisa mulai makan malam sekarang?” sapa Lord Castor setelah Damian dan ibunya duduk di sisi meja yang masih kosong.

“Ibu selalu hanya memperhatikan Damian, sampai-sampai kita semua harus menunggu untuk makan malam,” protes Titus, kakak pertamanya.

“Maafkan aku, Kakak. Lain kali aku akan pulang lebih cepat, sebelum jam makan malam,” ujar Damian sembari memasang serbet putih ke dadanya. Seorang pelayan menuangkan segelas anggur untuk Damian, sementara pelayan lainnya menghidangkan semangkuk sup hangat sebagai hidangan pembuka.

“Aku juga akan melakukan hal yang sama kalau kau belum pulang, Titus. Dari dulu makan bersama adalah tradisi keluarga kita,” sanggah Nyonya Castor menatap putra pertamanya.

“Kau tidak pernah melakukannya untukku atau Marcus. Saat aku terlambat pulang karena pekerjaanku di tambang, seluruh hidangan sudah dibereskan oleh pelayan. Akhirnya aku makan di kamar bersama istriku,” timpal Titus sembari menggenggam tangan istrinya, Aurela.

“Itu karena kau datang begitu larut. Bagaimana mungkin kau menyuruh ibu dan ayahmu untuk menunggumu sampai selarut itu.” Nyonya Castor kembali menyanggah.

“Sudah, sudah. Jangan bertengkar. Ayo kita mulai saja makan malamnya,” kata sang kepala keluarga menengahi.

“Katakan sesuatu, Marcus. Kakak pertamamu itu selalu iri pada adik bungsunya.” Nyonya Castor tampak masih kesal.

Sang putra kedua, Marcus, hanya tersenyum menanggapi. “Sebaiknya kita mulai makan saja, Ibu. Makanannya mulai dingin kalau terlalu lama dibiarkan,” sahutnya penuh kesabaran.

Begitulah akhirnya keluarga Castor memulai rutinitas makan malamnya. Dalam rumah besar itu, terdapat tiga keluarga yang tinggal bersama. Kebanyakan orang di Ponza tinggal bersama seluruh keluarga mereka dalam satu ruangan dari semacam rumah yang disebut domus. Rumah-rumah dibangun sekitar dua atau tiga sisi halaman, dengan tinggi satu atau dua lantai. Sisi lain halaman memiliki tembok tinggi untuk melindungi dari pencuri.

Rumah orang kaya di suku Ponza memiliki pintu depan yang mengarah ke atrium, atau halaman, dan kamar-kamar di sekitar halaman. Kadang-kadang ada atap di atas halaman, seringkali dengan lubang cahaya di tengahnya untuk tempat masuknya cahaya, dan untuk menyalurkan air hujan ke dalam bak di tengah-tengah halaman.

Damian adalah anak terakhir dari empat bersaudara. Ayahnya, Lord Castor adalah seorang anggota Magistratus kerajaan, seorang Hakim Ketua. Kakak pertamanya, Titus Castor, adalah seorang legislator. Hanya kakak keduanya, Marcus Castor, yang tidak bekerja di pemerintahan. Marcus adalah seorang pengusaha berlian yang memiliki sebuah tambang di pinggir kota. Ketiga keluarga itu tinggal bersama dalam sebuah domus.

Hanya kakak ketiganya, Balbina, yang sudah tidak tinggal bersama mereka. Balbina pindah ke rumah keluarga suaminya yang seorang senat. Karena latar belakang keluarga itulah yang kemudian membuat Damian bekerja di bidang hukum. Akan tetapi, daripada bekerja secara legal dalam konstitusi, Damian memilih menjadi informan lepas atau yang kerap disebut sebagai delator.

Bukan jenis pekerjaan favorit, tetapi cukup menjanjikan. Delator biasanya disingkirkan dalam kehidupan sosial, karena mereka cenderung suka melaporkan kesalahan-kesalahan orang lain ke dewan. Seorang delator bisa memenjarakan atau bahkan membunuh seseorang dari laporannya. Karena itu semua orang begitu waspada di dekat Damian. Namun Damian selalu punya cara untuk mendapatkan informasi. Ia sudah terlatih menjadi orang yang cerdik. Mungkin karena faktor genetic dari keluarganya juga.

Gosip

Damian kembali ke kamarnya setelah selesai makan malam. Ia mengulas kegiatan hari ini dalam catatan pribadinya dan menuliskan beberapa berita serta gosip penting yang sudah dia dengar hari ini. Manusia sungguh makhluk yang sangat mudah terpengaruh pada emosi. Dengan sedikit kabar saja, orang-orang segera terpicu untuk menjadi emosional. Itulah kenapa pekerjaannya menjadi mudah.

Orang hanya mau percaya apa yang ingin dia percayai, dan mendengar hal-hal yang ingin mereka dengar. Damian sudah terbiasa membaca keinginan seseorang. Karena itu tidak sulit baginya menggali informasi darinya dengan pendekatan persuasif yang terselubung.

Viscount Gausse selalu membanggakan diri sebagai bangsawan yang jujur, tetapi pada kenyataannya, ia berselingkuh dari istrinya. Bahkan orang yang paling jujur sekalipun melakukan kesalahan.

“Menyedihkan,” gumam Damian pelan. Ia membuka pintu balkon lantas membiarkan angin malam menerpa rambutnya yang gelap tersibak. Damian memiliki mata abu-abu gelap yang terlihat sayu. Rambutnya bergelombang, dipangkas pendek, semata-mata agar lebih mudah diatur. Damian tidak terlalu tinggi. Dibanding dua kakaknya yang lain, Damian termasuk yang memiliki tinggi rata-rata.

Saat tengah menghirup udara malam, tiba-tiba dari bawah balkon kamarnya di lantai dua, Damian mendengar suara bisik-bisik orang mengobrol. Ia melongok ke bawah dan mendapati dua pelayan rumahnya sedang berjalan melewati bawah kamar Damian sambil saling bergosip. Secara otomatis Damian pun menajamkan pendengarannya, sambil tetap terlihat tak peduli.

“Aku sudah lama menduga kalau Lady Arabela disiksa oleh suaminya. Lord Castor muda memang sangat sensitif beberapa hari belakangan. Masalah di Dewan Legislatif membuatnya mudah marah. Apalagi ketegangannya dengan Duke,” kata salah satu pelayan berwajah masam.

Pelayan lainnya yang membawa tumpukan handuk baru mengangguk setuju. “Apa kau lihat luka-luka di tubuh Lady Arabela? Aku sampai kehilangan kata-kata saat membantunya berganti pakaian. Aku bertanya-tanya apa Nyonya tahu tentang hal ini?”

“Nyonya Castor pasti membela anak-anaknya. Kau tahu sendiri bagaimana ia mencintai ketiga putranya, lebih dari pada apa pun.”

Pelayan yang membawa handuk itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdecak penuh simpati. “Memang tidak mudah menjadi perempuan yang menikah,” komentarnya prihatin.

“Karena itu aku memilih menghabiskan hidupku untuk bekerja daripada harus mengurus suami,” sahut yang lain. Keduanya lalu terkikik dan melenggang pergi menjauhi balkon kamar Damian.

Damian tercenung sejenak. Kedua pelayan itu tengah membicarakan rumah tangga kakak pertamanya, Titus. Arabela adalah nama istri kakaknya. Kabar tentang kekerasan dalam rumah tangga itu memang bukan hal baru. Damian mengenal kakaknya dengan baik. Sejak kecil Titus memang bukan orang yang sabar. Ia hanya berpura-pura lembut di depan orang lain, padahal ia suka melampiaskan amarahnya pada orang yang lebih lemah.

Damian mendengkus pelan. Haruskan ia membicarakan ini pada ibunya? Seperti kata pelayan itu, Nyonya Castor pasti sudah tahu tentang tabiat Titus dan bagaimana kakak pertamanya menyiksa Arabela. Selama ini, ibunya tidak mengatakan apa-apa karena di mata Nyonya Castor, anak-anaknya adalah yang paling berharga. Kesalahan apa pun yang dibuat Titus tidak akan menjadi perkara penting bagi Nyonya rumah tersebut.

Akan tetapi, keadaan mungkin bisa berubah kalau Damian ikut campur. Ibunya paling menyayangi Damian, dan ia juga menyadarinya. Nyonya Castor akan mempercayai dan menuruti kata-kata Damian, meski itu tentang kakaknya sekalipun. Berkat Damian juga akhirnya Balbina yang keras kepala dikirim menikah dengan seorang Baron yang tinggal di selatan. Sejak saat kepergian Balbina, kediaman Castor menjadi lebih tenang. Tidak ada lagi orang yang menyuruh-nyuruh Damian melakukan ini itu.

“Sebaiknya aku bicara pada ibu besok pagi sebelum sarapan,” gumam Damian sembari tersenyum simpul.

Prahara

Esok paginya, Damian menemui ibunya sebelum sarapan. Nyonya Castor baru selesai bersiap-siap ketia Damian datang ke kamarnya.

“Damian, ada apa menemui ibu pagi-pagi sekali?” tanya Nyonya Castor menyambut kedatangan putra bungsunya.

“Aku ingin menemani Ibu berjalan-jalan pagi di taman. Sebelum sarapan,” jawab Damian sambil tersenyum.

Nyonya Castor mengangkat kedua alisnya, bingung. “Pagi-pagi?” Ia kembali bertanya.

Damian mengangguk pelan. “Bejalan-jalan pagi bagus untuk pencernaan, Ibu,” sahut pemuda itu sembari mengulurkan lengannya, gestur untuk menawarkan diri mengawal seorang Lady.

Nyonya Castor akhirnya mengalah, lalu menyambut uluran tangan Damian. Keduanya lantas berjalan keluar domus menuju taman bunga mawar di tengah bangunan. Taman itu seperti labirin dengan dinding tanaman hidup setinggi dua meter. Bunga mawar merah bermekaran di sepanjang dinding tersebut, membuat aroma harum melingkupi tempat itu.

Saat masih kecil dulu, Damian beberapa kali tersesat dalam labirin bunga mawar. Namun kini, setelah dewasa, ia sudah hafal betul denah labirin. Ia bisa keluar masuk dengan mudah tanpa kebingungan.

“Apa ada sesuatu yang ingin kau katakan pada Ibu?” tanya Nyonya Castor sembari menatap Damian.

Damian hanya tersenyum dan melempar pandangannya pada bunga-bunga mawar yang warnanya begitu mencolok.

“Tidak ada yang khusus, Ibu. Hanya saja aku sedikit terganggu karena medengar beberapa pelayan membicarakan keluarga kita,” ungkap Damian mulai bercerita.

Nyonya Castor mengernyitkan dahi. “Para pelayan membicarakan keluarga kita? Apa tepatnya yang mereka bicarakan? Dan pelayan mana yang berani-beraninya melakukan itu?”

“Jangan hukum para pelayan, Ibu. Mereka hanya membicarakan fakta yang terjadi di rumah kita,” timpal Damian membela para pelayan.

Nyonya Castor berubah muram. Ia menerawang ke arah bunga-bunganya yang indah. “Sepertinya aku tahu siapa yang dibicarakan oleh para pelayan,” gumamnya pelan.

Damian menghela napas. “Aku hanya tidak ingin membuat ayah dan ibu berada dalam masalah. Orang-orang mulai tahu tentang kebiasaan buruk Kakak. Bagaimana kalau Arabela tiba-tiba memutuskan untuk menuntut kakak karena sudah tidak tahan lagi?”

Nyonya Castor tampak berpikir sejenak. “Aku sepertinya sudah terlalu lunak pada anak-anakku,” ucapnya kemudian.

Damian mengelus punggung tangan sang ibu yang tengah memegang lengannya. “Kenapa itu jadi salah Ibu? Kakaklah yang bertemperamen buruk. Ibu tidak melakukan kesalahan apa pun. Justru karena ibu, kami semua bisa sukses seperti sekarang,” hibur pemuda itu sembari menatap ibunya dengan hangat.

Nyonya Castor tersenyum pada Damian. “Kau memang selalu bisa menghibur hati Ibu.”

Setelah tiga puluh menit berjalan-jalan di taman, Damian dan Nyonya Castor pun kembali ke kediaman. Mereka berkumpul bersama seluruh aggota keluarga untuk sarapan bersama di meja panjang yang penuh hidangan menggiurkan.

Sampai setelah hidangan utama selesai dinikmati, suasana sarapan masih kondusif. Akan tetapi ketika hidangan penutup datang, Nyonya Castor memutuskan untuk mulai membahas mengenai tingkah laku Titus yang akhir-akhir ini selalu memukuli istrinya.

“Titus, ibu dengar Arabela sedang sakit. Ini sudah hari kedua sejak istrimu tidak ikut sarapan bersama,” ujar Nyonya Castor memulai mengarahkan topik pembicaraan.

Anak pertama keluarga Castor itu tidak terlalu mengacuhkan pertanyaan ibunya dan tetap fokus menikmati sorbet jeruk di hadapannya. “Hanya sakit biasa, Ibu. Mungkin kelelahan,” sahutnya pendek.

Nyonya Castor mendengkus pelan. “Istrimu bahkan tidak perlu melakukan apa-apa di rumah ini. kenapa dia harus kelelahan? Dua anakmu pun diasuh oleh pelayan,” tandasnya sinis.

Titus akhirnya menghentikan kegiatannya lalu meletakkan sendok sorbetnya di meja. “Apa yang ingin ibu katakan sebenarnya?” tanya pria itu mulai menaruh perhatian.

Damian tersenyum tipis. Prahara akhirnya dimulai. Ia kenal betul dengan kakak pertamanya itu. Titus Castor tidak pernah suka dikritik, sekalipun oleh ibunya sendiri. Teguran ibu dan ayahnya hanya akan memancing keributan yang berkepanjangan. Damian tidak pernah tidak menikmati drama semacam ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!