NovelToon NovelToon

Sign Of Zodiac: Gemini

Pertaruhan

Suara mesin roulette, sebaran kartu remi dalam deck-deck, serta denting flute glass menjadi latar pertunjukan malam itu. Seorang perempuan cantik bertubuh ramping memutar gelas winenya yang menguarkan aroma anggur segar. Kedua matanya yang seperti kucing menatap tajam meja poker di hadapannya. Senyum simpul menghiasi wajahnya yang penuh kelicikan. Ia tidak boleh membiarkan siapa pun membaca isi pikirannya.

“Call,” ucap seorang pria yang duduk di sebelah gadis itu.

Sang gadis masih tersenyum tipis, lantas mengintip lembaran kartunya di atas meja. Sebuah angka tiga berwarna merah muncul disertai lambang wajik.

“Raise,” kata gadis itu tenang seraya mendorong setumpuk chip poker berwarna merah.

Beberapa orang di meja tersebut melirik gadis itu sambil menyembunyikan ekspresi mereka. Sang gadis tidak berkata apa-apa lagi dan hanya menatap gelas anggurnya yang sudah separuh kosong.

“Fold,” ujar pria yang duduk di sisi lainnya.

Satu putaran permainan poker itu pun kini hanya menyisakan sang gadis dan seorang pria berkumis tipis yang duduk di sebelahnya.

“Baiklah, silakan buka kartu Anda,” ujar seorang pria lain bertubuh jangkung yang berdiri di belakang meja mereka.

Gadis itu membuka kartunya. Tiga kartu berangka tiga dan dua kartu berangka delapan. Gadis itu melirik satu-satunya musuh yang masih bertahan. Pria di sebelahnya memiliki lima kartu dengan angka berurutan, lima sampai sembilan, tetapi dengan gambar yang berbeda-beda. Dengkusan pendek terdengar dari sang gadis.

“Nona Chiara, Full House, Tuan Benedict, Straight,” ucap sang Bandar membagi chip yang ada di atas meja dengan perbandingan 7:3 untuk Chiara.

Pria yang duduk di sebelah gadis itu membanting kartunya dengan kesal sambil menghela napas.

“Dasar perempuan licik,” geramnya melirik Chiara.

Gadis itu hanya tersenyum santai sambil mengumpulkan semua chip yang sudah didapatnya hari itu.

“Keberuntungan menyertai orang-orang yang menarik, Ben,” ucapnya lembut.

Orang-orang di meja judi itu turut menatap Chiara dengan sikap memusuhi. Meski begitu mereka tidak bisa melakukan apa-apa terhadap Chiara, dan hanya berharap gadis itu segera pergi dari meja mereka.

Chiara sepertinya menangkap getaran memusuhi yang diarahkan kepadanya. Setelah selesai mengemas seluruh chipnya, Chiara pun bangkit berdiri dari sofa merah tempatnya duduk sejak satu jam yang lalu.

“Baiklah tuan-tuan. Sepertinya sudah waktunya bagi saya untuk pergi. Terima kasih atas permainannya hari ini,” ucap Chiara menenteng kotak kayu yang berisi seluruh chip pokernya. “Dan sampai jumpa besok, Ben,” tambahnya kepada pria berkumis tipis.

Chiara menyentuhkan jemarinya ke pundak Ben lantas mengecup pipinya sekilah. Ben berdecih kesal dan menolak untuk menjawab kata-kata Chiara. Akan tetapi Chiara tidak peduli. Dia ada di sana bukan untuk mencari teman. Ia sudah cukup puas bersenang-senang hari itu. Waktunya untuk kembali.

Tidak ada yang tidak mengenal Chiara di kasino tersebut. Chiara adalah seorang pemain judi paling disegani di (nama suku). Kemenangannya sudah tidak terhitung jumlahnya, dan meskipun ia membuat banyak orang bangkrut di kasino itu, tetapi tidak ada yang bisa menyentuhnya. Gadis itu terlalu licik seperti ular. Tidak ada yang tahu identitas Chiara sebenarnya.  Orang-orang hanya mengenal Chiara sebagai gadis muda dengan rambut abu-abu yang glamor. Andai orang tahu siapa dirinya yang sebenarnya, mungkin dengan mudah orang-orang itu membunuhnya. Itu tidak boleh terjadi tentu saja.

Chiara akhirnya berhasil keluar dari (nama kasino) setelah menukar sejumlah uang dari chip yang didapatnya hari itu. Ia tidak bisa pergi begitu saja melalui jalan raya. Seseorang bisa mengikutinya. Chiara menyelinap di antara kesibukan jalanan para penduduk (nama suku) menuju kerumunan. Sebuah toko barang antik terlihat di sisi jalan. Chara segera masuk ke dalam sana tanpa menarik perhatian. Etalase-etalase yang memamerkan barang-barang kuno menyambut Chiara. Ia melewatinya begitu saja dan segera melesat menuju salah satu ruangan bertirai hijau.

Ruangan tersebut memiliki sebuah pintu rahasia yang disamarkan sebagai lemari koleksi barang antik yang sudah berdebu. Dengan fasih Chiara membuka pintu rahasia tersebut tanpa menimbulkan suara dan menyelinap ke dalamnya. Ruangan lain menyambut Chiara. Sebuah ruangan dengan parket kayu mengilap, dilengkapi perapian dan set sofa mewah berwarna putih tulang. Rak-rak buku berjajar rapi di dinding yang berhiaskan wallpaper bunga-bunga merah hitam.

Chiara buru-buru membawa dirinya ke depan cermin panjang yang ada di sudut ruangan. Kotak hartanya ia letakkan di atas toilet kayu tempatnya berdandan.

“Hhh … melelahkan. Tapi aku mendapat banyak uang hari ini. Benjamin … pria itu benar-benar mudah diprovokasi,” gumamnya riang.

Detik berikutnya Chiara melepas rambut abu-abunya yang ternyata adalah sebuah wig. Rambut aslinya yang berwarna hitam segera tergerai sepanjang bahu.

“Kau sudah pulang?” sebuah suara mendadak terdengar dari balik pintu rahasia tempat Chiara masuk tadi.

“Ah, halo, Rein. Maaf merepotkanmu lagi. Apa ada banyak yang mengikutiku hari ini?” tanya Chiara sembari membersihkan wajahnya dari make up tebal.

“Ada lima orang. Mereka mengancam akan menggeledah tokoku. Tapi stampel kerajaan melindungi tempat ini dari serangan apa pun. Barang-barang di tokoku jauh lebih berharga dari pertaruhan para penjudi itu. Bahkan di pelelangan, sebuah guci porselen seukuran telapak tangan saja bisa seharga seluruh chip di kasino (nama),” ucap pemuda berambut cepak itu sambil meringis.

Chiara mendengkus pelan. “Ada gunanya aku berteman dengan putra pemilik pelelangan terkenal,” sahutnya riang.

“Jadi sampai kapan kau mau bermain-main di tempat judi, Kara? Orang tuamu sangat khawatir padamu,” lanjut Rein sembari merebahkan tubuhnya di sofa panjang.

Chiara, atau yang punya nama asli Kara, menghela napas panjang. “Mereka seharusnya berterima kasih padaku. Berkat kemampuanku, aku bisa mengangkat kehidupan keluargaku dari lumpur kemiskinan,” desahnya.

Rein hanya mendengkus pelan sembari memalingkan wajahnya karena Chiara kini tengah melepas gaun mewahnya dan berganti menjadi pakaian yang lebih sederhana.

“Sejujurnya kau hanya suka bertaruh, kan. Kenapa membawa-bawa keluargamu. Mereka bahkan tidak pernah mengeluh bekerja di bawah ayahku. Gaji yang diterima ayahmu juga cukup untuk menghidupimu serta dua adikmu. Kau bicara seolah-olah ayahku memperbudak keluargamu,” ujar Rein menatap lampu Kristal indah yang menggantung di langit-langit ruangan itu.

“Kau tidak akan mengerti bagaimana hidup dengan ekonomi yang terbatas. Dua adikku sudah harus masuk akademi. Dan sekarang ayahku justru membawa anak dari entah wanita mana yang sudah dia tiduri. Tiga anak laki-laki di rumahku menyita seluruh perhatian mereka.

“Aku yang satu-satunya perempuan ini selalu diabaikan, bahkan terancam dijodohkan. Aku perlu cukup uang untuk diriku sendiri. Suatu saat mungkin aku harus hidup sendiri tanpa keluargaku,” keluh Chiara setengah meratap.

“Kau bisa menikah denganku saja kalau ingin hidup nyaman. Uangku banyak. Jadi kau tidak perlu berjudi untuk mencari uang,” tawar Rein sembari menatap Chiara lantas mengedipkan matanya dengan jahil.

Chiara balas menatap teman masa kecilnya itu dengan jijik. “Judi itu terlalu menyenangkan untuk ditinggalkan, Rein,” ucap Chiara akhirnya.

Tawa Rein segera meledak. Pemuda itu terpingkal-pingkal hingga berguling di sofa ruang rahasianya.

“Sudah kuduga kau itu cuma kecanduan. Berhentilah membuat scenario romantis untuk hobi berjudimu,” kata Rein di sela-sela gelak tawanya.

Chiara kehilangan kata-kata. Gadis itu hanya bisa menatap sahabatnya sambil berkacak pinggang kesal.

“Terserah kau saja. Aku mau pulang sekarang,” ujar Chiara yang kini penampilannya sudah berubah drastis.

Dari seorang gadis glamor berambut perak panjang dan begelombang dengan mata hijau tajam, menjadi gadis polos yang sederhana berambut hitam pendek yang berpakaian kusam dan mata hitam yang keruh.

“Datanglah saat makan malam nanti. Adik-adikmu juga akan datang katanya,” undang Rein kemudian.

Chiara hanya mengibaskan tangannya sambil lalu lantas beranjak pergi melalui pintu rahasia.

Takdir

“Kara, kemana saja seharian? Ayahmu mencari kemana-mana. Malam ini kita diundang untuk makan malam bersama keluarga pemilik rumah lelang.” Omelan ibunya menyambut kedatangan Chiara di rumah keluarganya yang sederhana.

Pintu depannya sudah tua dan bersuara setiap kali dibuka atau ditutup. Lantai kayunya sudah sedikit berjamur dengan dinding-dinding lembab yang selalu basah setiap kali musim hujan datang. Ayahnya bilang rumah itu dulunya adalah mansion yang megah yang selalu digunakan oleh leluhur keluarga mereka, entah sejak kapan. Namun tempat ini sekarang bahkan tidak layak disebut rumah apa lagi mansion. Taman depan dan belakang sudah menjadi jalanan kumuh yang dipadati orang berlalu lalang. Beberapa bangunan rumah sudah dihancurkan dan kini telah berganti pemilik. Hanya tersisa satu bangunan berlantai dua yang terlampau sempit untuk ditinggali lima anggota keluarga.

Seingat Chiara, sejak kakeknya masih hidup, keluarga mereka sudah tidak lagi memiliki pelayan. Bahkan mungkin jauh sebelum itu, pelayan sudah tidak dipekerjakan lagi di keluarga mereka. Saudara-saudara ayahnya dinikahkan dengan keluarga lain dan yang mewarisi rumah ini sekarang adalah keluarga Chiara yang sekarang. Entah apa yang terjadi di masa depan ketika ketiga adik laki-laki Chiara sudah tumbuh besar. Mereka mungkin akan berebut untuk mendapatkan rumah usang ini. Sebagai perempuan, Chiara jelas sudah tidak punya kesempatan untuk sekedar memikirkannya. Takdirnya adalah untuk dijual ke pria keluarga lain sebagai istri atau mungkin gundik.

Memikirkannya saja sudah membuat Chiara bergidik. Karena itulah sejak ia berusia sepuluh tahun, Chiara sudah berpikir untuk menghasilkan uang sendiri. Ayahnya adalah seorang penjudi jalanan. Saking banyaknya hutang keluarganya, kini sang ayah sudah menjadi orang yang di black list oleh semua kasino di Valas. Beliau akhirnya hanya bisa berjudi kecil-kecilan dengan para penipu miskin di pasar. Dan tetap saja selalu membawa pulang hutang yang semakin lama semakin menumpuk. Beruntung keluarga Rein yang sudah berhubungan dekat dengan kakek Chiara, masih bersedia mempekerjakan ayahnya sebagai curator di pelelangan. Meski hidupnya kacau, tapi sang ayah memiliki mata yang bagus dalam menilai karya seni. Keturunan keluarga – kalau kata ayah Rein.

“Kenapa tidak menjawab ibumu, Kara? Sebagai anak pertama dan satu-satunya putri keluarga ini, sikapmu benar-benar tidak beretika. Bagaimana bisa seorang anak perempuan selalu berkeliaran dari pagi buta dan kembali ke rumah setelah lewat tengah hari?” omel ibu Chiara yang mengikuti gadis itu naik ke lantai dua, ke dalam kamarnya yang berbau jamur dan kayu basah.

“Kenapa ibu hanya selalu mengurusi hidupku? Daripada memarahiku yang sama sekali tidak pernah membuat masalah, lebih baik ibu memperhatikan ayah yang selalu pulang membawa surat hutang. Atau Kale yang bahkan sudah tidak pulang selama dua hari karena sibuk menggauli gadis-gadis pelacur di pasar. Khan dan Kai juga masih butuh perhatian ibu. Tapi kenapa ibu selalu menggangguku yang bahkan tidak melakukan apa-apa?” sergah Chiara meledak marah.

Mata ibunya berkilat-kilat penuh amarah. Chiara tahu bahwa pertengkaran besar akan segera terjadi. Dua orang marah hanya akan menimbulkan kekacauan. Sudah saatnya dia berhenti. Sebaiknya Chiara mengalah dan menghindari drama yang menyebalkan itu.

“Baiklah, aku minta maaf Ibu. Seharian tadi aku bersama Rein. Dia memintaku membantunya merapikan toko dan mendekor etalase baru. Ibu bisa bertanya padanya saat makan malam nanti. Rein juga sudah memberitahuku tentang acara tersebut,” jawab Chiara sembari memalingkan wajahnya dari sang ibu. Ia kemudian merogoh kantong bajunya dan mengeluarkan beberapa keping uang perak untuk diserahkan pada ibunya.

“Ini hasil kerjaku hari ini,” ujar Chiara sembari mengulurkan tak lebih dari sepuluh keping perak.

Itu jumlah yang tidak sedikit. Setidaknya dengan uang sebanyak itu, ibunya mungkin bisa membeli sepuluh gaun baru untuk mereka berdua. Atau memperbaiki atap rumah yang sudah bocor di mana-mana. Bahkan dua atau tiga perhiasan dengan batu permata juga bisa dibelanjakan dengan jumlah sebanyak itu.

Namun tentu saja ibunya tidak bisa melakukannya. Penhasilan Chiara dari rumah judi itu hanya akan digunakan untuk menutup hutang-hutang ayahnya. Chiara kesal, tentu saja. Namun tidak berusaha memprotes. Toh yang dia dapat dari kasino seharian tadi tiga kali lipat dari uang yang barusan dia serahkan kepada sang ibu.

Ekspresi wajah ibunya langsung melembut ketika menerima kepingan perak dari Chiara. Seulas senyum lega terkembang di bibirnya yang sudah keriput.

“Seharusnya kau mengatakannya pada ibu sejak awal. Ibu kan tidak perlu khawatir seharian. Lain kali bilang pada ibu sebelum kau berangkat. Ibu bisa menyiapkan camilan untuk Rein,” ujar ibunya setelah amarahnya mereda.

Chiara menarik napas panjang. “Makanan di rumah Rein bahkan jauh lebih berkualitas daripada masakan di sini,” gumamnya acuh.

Ibunya tampak terluka, tetapi tidak berusaha menyanggah. Kata-kata Chiara memang tidak salah.

“Kalau begitu beristirahatlah dulu, Kara. Ibu akan datang lagi kalau sudah waktunya kita pergi ke rumah pemilik pelelangan,” ucap ibunya lantas berbalik pergi.

Chiara tidak menjawab dan hanya sibuk mengganti gaun lusuhnya menjadi baju tidur yang nyaman.

Setelah ibunya pergi, Chiara pun merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Kotak uangnya dia tinggalkan di ruang rahasia toko Rein. Tempat itu aman mengingat kekayaan Rein jauh lebih banyak berkali-kali lipat. Dan tidak ada yang tahu tentang ruang rahasia mereka berdua. Bahkan ayah Rein pun tidak pernah menyambangi ruangan putranya. Beliau hanya akan datang ke toko ketika hendak mengambil atau membawa barang-barang baru untuk dilelang.

Chiara mendesah lelah. Kedua adiknya yang masih kecil – satu di antaranya adalah adik tiri yang lahir dari seorang pelacur yang ditiduri ayahnya – kini tengah bermain dengan riuh di sebelah kamarnya. Mereka berteriak-teriak seolah tidak ada orang lain di rumah itu. Sesekali suara barang-barang yang dilempar mengenai dinding kamar Chiara. Keributan itu membuat Chiara tidak bisa tidur atau beristirahat dengan tenang. Padahal dia lelah sekali setelah melakukan penyamaran dan menghadapi para penipu di kasino. Meski tidak dipungkiri bahwa dia juga seorang penipu.

Bagaimana bisa hidupnya bisa sekacau ini? Ia tidak pernah minta dilahirkan di keluarga yang begini berantakan. Seolah masalah itu belum cukup, Chiara juga ditakdirkan untuk menjadi seorang perempuan yang dipandang rendah dalam komunitasnya. Karir awalnya sebagai seorang penjudi sama sekali tidak mudah. Banyak orang yang berusaha menghancurkannya, menipunya bahkan memperkosanya. Namun berkat kelihaiannya mempermainkan pikiran orang lain, ditambah dukungan dari Rein, sahabatnya sejak kecil, Chiara berhasil berada di posisinya yang sekarang.

Dia mungkin berasal dari keluarga miskin yang berantakan. Akan tetapi, di dunia perjudian, dia adalah Ratunya. Semua orang tahu bagaimana kiprah Chiara selama delapan tahun terakhir. Tidak ada permainan yang tidak dia menangkan. Entah sejak kapan kepuasan bermain di kasino telah membuat Chiara begitu kecanduan. Kepuasan saat menjatuhkan lawan-lawannya dan membawa pulang keberuntungan adalah hal yang tidak bisa dia dapatkan dari tempat lain. Meski pun pada akhirnya, dia harus mengkhianati nuraninya sendiri dan menjadi orang yang sama seperti ayahnya yang sangat dia benci.

Alasan

Pukul tujuh tepat, makan malam di kediaman keluarga Rein pun dimulai. Rein hanya tinggal dengan ayahnya karena sang ibu sudah meninggal sejak Rein berusia tujuh tahun. Ayahnya yang gila kerja sama sekali tidak berminat untuk menikah lagi, dan hal itu mengakibatkan Rein menjadi anak tunggal tanpa saudara kandung. Karena suasana rumahnya yang sepi, sesekali ayah Rein mengundang keluarga Chiara untuk makan bersama. Rumah mewah dan luas keluarga Rein pun akhirnya diramaikan oleh suara gurauan atau rengekan adik-adik Chiara.

Kadang Chiara merasa begitu iri pada Rein karena pemuda itu seolah memiliki segalanya. Hidupnya berkecukupan, punya ayah yang baik dan puluhan pelayan yang memenuhi segala kebutuhannya. Bahkan ia juga punya toko barang antik sendiri untuk menyalurkan hobinya mengoleksi benda-benda berharga.

Akan tetapi seiring perkenalan Chiara dengan Rein, gadis itu tidak lagi merasa iri. Rein sama kesepiannya dengan Chiara. Ayahnya sangat sibuk, sementara para dayang sama sekali tidak bisa dipercaya. Beberapa kali dalam setahun, Rein selalu mengalami percobaan pembunuhan. Banyak orang mengincar keluarganya karena kekayaan yang melimpah. Rein tidak bisa mempercayai siapa pun, termasuk pelayannya atau teman-teman sebayanya yang lain. Satu-satunya orang yang dia percaya hanyalah Chiara.

Atas alasan itulah mereka Chiara akhirnya menjadi dekat dengan Rein hingga memberitahunya mengenai kegiatan berjudinya di kasino. Rein tidak pernah melarang Chiara melakukan aktifitas itu. Alih-alih pemuda tersebut justru membantunya dengan memberikan tempat perlindungan rahasia di toko antik. Rein juga selalu dengan senang hati membiarkan Chiara menggunakan namanya sebagai alasan keluar rumah. Satu-satunya orang yang paling bisa diandalkan Chiara di dunia ini hanyalah teman kecilnya itu.

“Rein, terima kasih karena telah menemani Chiara sepanjang pagi tadi. Kau bahkan repot-repot memberinya hadiah padahal anak itu kerjanya hanya mengacau saja,” kata ibu Chiara tiba-tiba.

Meja makan panjang dengan tujuh pasang kursi saling berhadapan itu pun langsung lengang. Semua orang memperhatikan Rein, menunggu jawaban pemuda itu. Rein melirik Chiara dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Chiara berlagak tenang meski dalam hatinya begitu panik. Gadis itu hanya bisa memberi kode lewat tatapan mata, berharap Rein bisa membaca pikirannya.

Katakan aku bersamamu seharian tadi. Kau memintaku membantu membersihkan toko. Batin Chiara sembari melotot menatap Rein, berharap pemuda itu bisa mengetahui isi pikirannya.

Akan tetapi Rein tentu saja tidak punya kemampuan telepati seperti yang diharapkan Chiara. Pemuda itu hanya mampu berdehem canggung untuk mengulur waktu dan memikirkan alasan yang biasanya dilontarkan Chiara.

“Tentu saja, Bibi.  Sejak pagi pelanggan terus-terusan datang hingga aku kewalahan. Karena itu aku meminta Chiara datang dan membantuku melayani mereka. Kau tahu, untuk menilai benda-benda antik, kita tidak bisa hanya mempercayai para pelayan,” kata Rein kemudian.

Chiara mendesis panjang sambil bergumam pelan. “Dasar bodoh,” desisnya dalam bisikan yang nyaris tak terdengar.

“Bukannya kalian tadi merapikan toko dan memasang etalase baru? Memangnya itu bisa dilakukan saat ada banyak pelanggan?” tanya ibu Chiara sekali lagi.

Otomatis Rein menatap Chiara yang sudah balas memelototinya. Mulut kecil Chiara sudah berkomat-kamit menggumamkan beragam umpatan tanpa suara. Rein hanya bisa mengangkat bahunya dengan samar-samar sambil memasang ekspresi yang seolah berkata ‘Mana kutahu kau mengarang alasan itu?’.

“Iya, benar, Bibi. Chiara memang awalnya datang untuk membantu memasang etalase. Lalu setelah semua selesai toko kami langsung dipenuhi para pembeli,” kilah Rein mencari-cari alasan.

“Thomas bilang seharian tadi tidak ada orang yang datang selain lima preman dari kasino. Kenapa mereka selalu mengganggu toko kita.” Mendadak ayah Rein turut berbicara menyampaikan laporan yang sudah dikirim oleh butler keluarga mereka. Thomas biasanya berkunjung untuk mengecek toko sehari sekali untuk melihat pembukuan dan keadaan toko.

Kau memberi tahu Thomas kalau orang-orang dari kasino datang ke tokomu? Tidak sekalian kau beri tahu saja kalau mereka mengejarku? Ujar Chiara dalam bahasa tatapan pada Rein.

Kali ini, entah bagaimana Rein bisa memahami maksud ekspresi wajah Chiara yang memelototinya dengan tajam.

Aku memberitahunya karena aku mengeluarkan stampel kerajaan. Dia bertanya dan aku menjawab begitu saja tanpa berpikir. Sahut Rein juga menggunakan bahasa tatapan mata sambil kembali mengangkat bahu.

Lanjutkan kebodohanmu, Reinhart Gillian. Desis Chiara dalam hati lantas mengakhiri kontak mata mereka.

Maafkan aku. Itu kata-kata terakhir Rein sebelum Chiara mengalihkan pandangannya.

“Sepertinya anak-anak menyembunyikan sesuatu dari kita. Orang dewasa jangan terlalu mengurusi urusan anak muda. Asal mereka tidak membuat masalah, biarkan saja,” kata ayah Rein kemudian.

“Anda benar. Asal Kara bersama Rein, tentu saja saya tidak akan terlalu khawatir,” ucap ibunya kemudian diikuti anggukan setuju oleh suaminya.

Chiara mendesah lega. Akhirnya masalah selesai tanpa menimbulkan keributan besar. Lain kali Chiara harus ingat untuk berdiskusi dengan Rein tentang alasan kepergiannya. Jadi hal semacam ini tidak perlu terjadi lagi.

Ahirnya setelah selesai menyantap hidangan utama berupa kalkun panggang, hidangan penutup pun disajikan. Sorbet nanas yang dingin dengan hiasan potongan buah yang segar. Chiara tidak terlalu berselera untuk menyantap makanan penutup. Ia terbiasa makan sedikit-sedikit karena di rumahnya sendiri, ia harus berbagi makanan dengan ketiga adik laki-lakinya. Sepertinya karena itu kapasitas lambung Chiara semakin lama semakin kecil.

Gadis itu hanya menusuk-nusukkan sendok desertnya ke sorbet nanas itu tanpa menyuapnya sekalipun. Rein yang melihatnya langsung tahu kalau Chiara sudah tidak berselera. Pemuda itu pun meletakkan sendoknya sendiri dan menunjukkan bahwa dia sudah selesai makan.

“Ayah, aku sudah selesai. Bolehkan aku membawa Kara untuk membaca di perpustakaan? Kebetulan ada barang baru yang kami minati di toko. Aku ingin mendiskusikannya dengan Kara sambil mencari sumber informasi dari perpustakaan,” pinta Rein memohon ijin.

Chiara mendongak menatap sahabatnya yang langsung dibalas dengan kedipan jahil. Sepertinya ini bentuk permintamaafan Rein terhadap kelalaiannya tadi. Setidaknya Chiara bisa kabur dari kewajiban menghabiskan makanannya.

“Ya, pergola. Apa kau sudah selesai makan, Kara?” tanya ayah Rein berbalik menanyai Chiara.

Gadis itu buru-buru mengangguk sopan menanggapi. “Sudah, Tuan. Saya sudah kenyang,” jawab Chiara sembari meletakkan sendoknya dengan hati-hati.

“Kalau begitu bersenang-senanglah kalian. Biarkan pelayan membawakan camilan dan the ke perpustakaan,” lanjut sang tuan rumah sembari melambai pada pelayannya.

Seorang pelayan perempuan berseragam hitam dengan apron putih segera mengangguk dan meninggalkan ruang makan untuk menyiapkan kue dan teh bagi Rein dan Chiara. Sementara itu mereka berdua sudah bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan ruang makan setelah berpamitan dengan sopan.

“Alasanmu keterlaluan, Kara. Bagaimana bisa kau membuatku seperti majikan jahat yang menyuruh-nyuruhmu membersihkan toko?” protes Rein setelah mereka berdua sudah berjalan di koridor, jauh dari semua orang.

“Alasanmu lebih tidak masuk akal. Sejak kapan tokomu dipenuhi pelanggan? Dalam sebulan saja belum tentu ada lima orang pembeli,” bantah Chiara tak terima.

Mereka berdua lantas tertawa beriringan. Rasanya begitu ringan saat berdua saja dengan Rein, seolah masalah hidupnya terangkat begitu saja. Terkadang Chiara merasa beruntung karena memiliki teman seperti pemuda itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!