NovelToon NovelToon

Sign Of Zodiac: Taurus

Del Monte

Pemuda itu memoles gelas anggur dengan rajin. Sebentar lagi para pelanggan akan berdatangan. Bar itu akan segera disesaki oleh para Torero, petarung banteng, yang baru saja melakukan pertandingan melawan banteng. Belum lagi puluhan penonton yang juga akan berjubel membicarakan pertandingan yang menegangkan tersebut.

Sang pemuda menghela napas panjang sambil mengamati bar remang-remang tempatnya bekerja lima belas tahun terakhir. Ia memulai pekerjaannya di tempat itu sebagai petugas kebersihan. Mengepel lantai kayu dengan mop kotor hingga membersihkan muntahan pelanggan bukan lagi hal yang baru baginya. Kini, setelah lamanya perjalanan karirnya, ia berhasil menjadi bartender yang bertugas menyiapkan minuman di balik meja bar.

Kursi-kursi kayu dengan meja bulat sudah tertata dengan rapi. Angelo, anak gelandangan yang dipungutnya sebulan yang lalu sudah bekerja dengan baik sebagai petugas kebersihan tempat itu. Anak itu mungkin kelak akan menjadi seperti dirinya. Terjebak pekerjaan budak seumur hidup di bar milik keluarga Manolette,. Nasibnya mungkin akan lebih beruntung dari dirinya kalau anak itu tidak terjerumus dalam kecanduan obat.

Sayangnya hidup pemuda tersebut sudah kepalang hancur. Selain terpaksa bekerja tanpa bayaran yang layak, ia juga menjadi pecandu obat-obatan terlarang. Satu-satunya yang membuat pemuda itu bertahan adalah cintanya pada Beatrisa, putri pemilik Bar DelMonte tempatnya bekerja.

“Bianco, berikan aku minuman terbaikmu,” ujar Andres, rekannya sesame pekerja bar yang bertugas menjaga keamanan.

“Sebentar lagi orang-orang barbar itu datang. Aku tidak bisa bekerja dalam keadaan sadar. Orang-orang itu membuatku gila. Setidaknya aku harus sama gilanya untuk berhadapan dengan mereka,” lanjut Andres setengah teler.

Pemuda bernama Bianco itu mendengkus pendek. Bahkan tanpa minum alkohol pun Andres sudah kehilangan separuh kesadarannya. Entah obat apa yang sudah dikonsumsinya sejak pagi tadi. Hari sudah menjelang malam dan kesadaran Andres bahkan belum pulih sepenuhnya. Meski begitu Bianco tetap meracik minuman sederhana untuk rekan kerjanya itu. Ada baiknya membuat Andres semakin mabuk. Orang ini jauh lebih berbahaya saat sadar daripada teler.

Dengan cekatan Bianco menuang bahan-bahan minumannya. Dua setengah oz gin ditambah sedikit air jeruk nipis dan simple syrup. Bianco melewatkan buah blackberry segar dan hanya menambahkan es batu secukupnya. Tidak perlu membuang bahan-bahan berharga untuk orang yang minum tanpa membayar.

“Dimana Baltazar?” tanya Bianco sembari menyodorkan Gin Gilmeti buatannya.

“Dia sudah membawa botol wiskinya sendiri. Tapi aku ingin minum yang manis-manis hari ini. Hidupku sudah terlalu pahit untuk merasakan wiski,” jawab Andres sembari menyesap minumannya dalam satu tarikan napas.

Andres mengerang pelan, menikmati sisa-sisa rasa alkohol di mulutnya.

“Semoga hari ini tidak hujan. Darah berceceran dimana-mana terbawa hujan. Dan bau muntahan orang-orang itu menjadi lebih memuakkan kalau terkena air. Ngomong-ngomong bocah gelandangan yang kau bawa itu cukup berguna. Kulihat dia masih bisa bekerja walaupun Baltazar mencekokinya dengan kokain. Sepertinya anak itu memang sudah terlatih,” komentar Andres sembari menyodorkan gelas kosongnya pada Bianco, meminta untuk diisi kembali.

Bianco menerima gelas itu sambil merutuk dalam hati, membayangkan pembengkakan biaya bahan yang dihabiskan oleh manusia-manusia semacam Andres.

“Namanya Angelo. Dia baru berusia sepuluh tahun, jangan rusak masa depannya dengan kelakuan kalian yang seperti sampah. Aku sudah susah payah mencari pengganti petugas kebersihan sebelumnya yang mati overdosis gara-gara kalian,” sergah Bianco kembali meracik minuman yang sama dengan terpaksa.

“Dan ini gelas terakhirmu malam ini. Cobalah bersahabat dengan wiski Baltazar kalau kau benar-benar ingin teler,” lanjutya galak.

Andres terkekeh pelan sembari menerima uluran cocktail Bianco. “Kau ini satu-satunya pekerja yang masih waras di tempat pembuangan ini. Tidak heran Nona Beatrisia memilihmu menjadi Manager. Apa kau puas dengan itu, Bianco? Padahal kau sama saja seperti kami,” gertak Andres sambil beranjak berdiri.

“Kembalikan gelas itu setelah selesai. Jangan mencoba menggunakannya untuk melempari pelangan. Pakai botol wiski saja,” seru Bianco pada rekannya yang sudah berjalan menjauh.

Andres hanya mengangkat gelas cocktailnya dengan satu tangan tanpa menjawab apa-apa. Bianco kembali menghela napas panjang. Sejak awal hidupnya memang sudah seperti kotoran. Itulah kenapa ia harus bergaul dengan orang-orang yang sejenis dengannya.

Bianco lahir dari rahim seorang pelacur. Ibunya bekerja di rumah bordil di gang yang sama dengan Bar tempatnya bekerja tersebut. Kawasan prostitusi dan distrik paling terkenal di Nuchas. Area tersebut juga dimiliki oleh keluarga Manolette, mafia kartel narkoba, sekaligus perdagangan manusia. Segala bisnis gelap di Nuchas dikuasai oleh keluarga tersebut. Dan Bianco adalah salah satu dari ratusan pekerja mereka.

Setelah ibunya meninggal karena penyakit paru-paru – ibunya memang perokok ganja yang sangat aktif – Bianco kecil dibawa oleh Gusto yang tak lain adalah manager terdahulu Bar DelMonte ini. Usianya masih tujuh tahun ketika ia akhirnya berakhir menjadi petugas kebersihan di tempat tersebut. Sejak saat itulah ia berkawan dengan makian, umpatan, obat-obatan terlarang hingga perkelahian yang beberapa kali nyaris menewaskannya.

Ia sudah nyaris menyerah untuk melanjutkan hidupnya ketika akhirnya takdir mempertemukan Bianco dengan Beatrisia. Saat itu usianya baru menginjak empat belas tahun, sementara putri pemilik bisnis tersebut lima tahun lebih tua darinya. Beatris yang tengah merayakan pesta ulang tahun di bar itu akhirnya mabuk hingga tak sadarkan diri. Pesta itu benar-benar kacau dan membuat semua orang harus mengurus teman-teman Beatris yang mulai merusak properti.

Gusto yang melihat Bianco masih tampak baik-baik saja, segera menyuruh pemuda tersebut membawa nona muda mereka ke kamar pribadinya di lantai dua. Bianco menurut dan membopong Beatris dengan tubuhnya sendiri. Saat itu dia masih begitu muda dan belum mengenal tentang tubuh perempuan. Hidupnya hanya berkisar dengan pekerjaan, minuman keras dan sesekali narkotika.

Maka saat melihat Beatris yang terkulai lemah dengan pakaian begitu terbuka, mau tidak mau tubuh remaja Bianco pun bereaksi. Ia tidak pernah menyentuh perempuan sebelum ini. Meski begitu, badan Bianco remaja sebenarnya sudah cukup bagus karena terlatih dengan pekerjaan berat. Ia berusaha keras menahan diri untuk tidak melakukan hal buruk pada nona mudanya tersebut dan buru-buru pergi setelah berhasil membaringkan Beatris di atas ranjang.

Akan tetapi, mendadak tangan Beatris menggapai jemarinya. Bianco menoleh dan mendapati nona mudanya itu tersenyum sambil menatapnya setengah sadar. Beatris lantas menggoda pemuda tersebut dengan kata-kata dan gestur tubuhnya. Bianco nyaris goyah, tapi ia menolak dengan halus segala hal yang mungkin akan ditawarkan nona mudanya tersebut. Beatris sedang dalam keadaan mabuk.

Sayangnya Beatris tetap bersikeras. Dan dengan segala usahanya itu, Bianco pun terlena Malam itu, tepat pada ulang tahun Beatris yang ke sembilan belas, ia telah merenggut satu-satunya hal yang masih terjaga dari Bianco: kesuciannya. Hingga setelah malam itu dan malam-malam selanjutnya, yang direnggut oleh Beatris tidak hanya keperjakaan Bianco, tapi juga hati pemuda itu.

Perkelahian

Pintu bar menjeblak terbuka. Barisan orang-orang bertubuh kekar dengan otot-otot menonjol segera memasuki tempat minum remang-remang tersebut. Beberapa pria itu tampak mendekap perempuan cantik dengan tubuh menggoda dan pakaian serba terbuka. Pasangan-pasangan tersebut lantas bercumbu di sudut ruangan tak lama setelah memesan minuman dan sedikit mabuk.

Sementara itu puluhan orang lainnya hanya saling berbicara dengan suara keras. Tawa mereka yang membahana tumpang tindih memenuhi DelMonte hingga mengakibatkan hingar-bingar yang begitu riuh. Bianco mencoba tetap fokus pada pekerjaannya membuat minuman-minuman yang dipesan. Saking sudah terlatihnya, ia bisa membuat sepuluh gelas minuman yang berbeda dalam satu waktu. Kecepatan dan keterampilan tangan Bianco memang tidak tertandingi.

“Kau masih sama membsosankannya seperti biasa, Bianco,” sapa seorang perempuan bergaun merah yang duduk di depan meja bar.

Bianco mendengus kecil tanpa sedikitpun menoleh pada perempuan itu. “Apa kau belum mendapat pelanggan, Adana?” tanya Bianco sambil menuang vodka dalam bar jigger nya.

Adana berdecih kesal sambil menyandarkan dadanya di atas meja bar. Potongan gaunnya yang rendah menampakkan belahan dadanya yang terbentuk dari dua buah dada yang montok.

“Gara-gara anak baru yang dibawa Chulo , sekarang semua torero  tergila-gila padanya. Dalam semalam saja dia bisa melayani tujuh orang torero bergiliran. Dan bahkan karena banyaknya peminat, Chulo memberi batasan waktu untuk bisa berkencan dengan anak baru itu, lalu juga menaikkan tarifnya,” ulas Adana tampak benar-benar kesal.

“Tidak biasanya kau mengeluh hanya karena hal semacam itu. Pamormu tidak kalah dibandingkan anak baru itu,” sahut Bianco ringan.

“Hmph… tapi semua pelanggan terbaikku sudah dicuri. Hanya tersisa orang-orang sinting yang mencariku. Mereka minta bermacam-macam hal mulai dari kostum yang konyol hingga kekerasan. Lihat ini. Ini luka semalam dan belum kering sampai sekarang. Bagaimana aku bisa bekerja dengan tubuh seperti ini,” keluh Adena sambil mengangkat rambut coklat gelapnya yang panjang.

Di balik rambutnya yang bergelombang tersebut, tampaklah punggung Adena yang penuh luka lebam dan memerah. Seperti bekas luka cambuk yang saling silang. Bianco menatap punggung Adena tersebut dengan prihatin. Hidup perempuan itu juga tidak mudah. Akan tetapi ia lantas menyadari, kalau suku Nuchas, tempatnya tinggal ini, memang bukan lagi tempat yang layak dihuni oleh manusia. Bahkan malignos  pun tidak sekejam manusia-manusia yang tinggal di sini. Memangnya di tempat ini ada orang yang bisa hidup dengan mudah?

“Beristirahat saja untuk beberapa hari. Anggaplah ini liburan,” hibur Bianco pada akhirnya.

Pemuda itu lantas mengulurkan segelas cocktail cantik dengan buah berry pada Adena. “Ini hadiah dariku. Aku jarang memberi cocktail gratis untuk pelanggan,” ucapnya sambil tersenyum.

“Kau benar-benar tidak pandai merayu wanita, Bianco. Seharusnya kau mengatakan kata-kata yang lebih menggoda sambil mengedipkan mata,” sahut Adena tertawa kecil. Namun perempuan itu tetap menerima minuman dari Bianco.

“Aku tidak suka melakukan hal-hal semacam itu. Pekerjaanku sudah cukup menguras tenaga. Tidak perlu menarik perhatian para wanita,” sahut Bianco kemudian.

Adena tertawa keras. “Entah aku harus menyebutmu orang aneh atau orang waras. Di tempat yang gila begini kau adalah yang paling membosankan,” komentar Adena sembari menyesap minumannya.

“Apa gara-gara putri keluarga Manolete itu? Kau masih mencintainya?” lanjut Adena setengah meledek.

Bianco tak menjawab, tanpa disadarinya gerakan tangannya terhenti untuk beberapa saat. Bayangan Beatrisia Manolette melintas di kepalanya. Sudah berapa lama sejak ia bertemu dengan wanita itu? Mungkin tiga minggu, atau satu bulan. Kerinduan mendadak merayapi dada Bianco, membuatnya merasa bagai pecundang yang dicampakan.

“Kau menempuh jalan yang penuh penderitaan, Bianco. Hidup kita di sini sudah seperti kotoran, dank au justru memilih cinta. Bukan cinta biasa, tapi pada putri keluarga terkuat di Nuchas. Manolette? Benar-benar pemuda membosankan yang suka menyakiti diri sendiri,” kata Adena kemudian.

Bianco lagi-lagi tidak menjawab. Ia hanya berdehem pelan lantas kembali melakukan pekerjaannya. Kalau saja ia bisa memilih, ia pasti akan bersenang-senang dengan banyak perempuan, seperti umumnya lelaki di Nuchas. Akan tetapi hatinya tidak bisa dia atur. Satu-satunya orang yang bisa menyentuh tubuh dan hati Bianco hanyalah Beatris, wanita yang sudah pasti tidak akan pernah bisa dia gapai.

Mendadak suara teriakan dan makian terdengar dari salah satu sudut bar, diikuti dengan bunyi pecahan kaca dan debam meja kayu yang hancur. Bianco segera mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Benar saja, kini di salah satu sudut Bar tersebut terjadi perkelahian antara dua orang torero berbadan besar. Mereka berdua saling mengumpat dan memukul di saat yang bersamaan. Gelas-gelas kaca dan botol-botol alkohol Bianco percah berserakan. Beberapa meja dan kursi kayu hancur karena tubuh para torero yang berkelahi itu terbanting kea rah benda-benda tersebut.

Bianco menghela napas panjang. Malam bahkan belum larut dan pendapatan Barnya sama sekali belum cukup untuk mengganti kerugian tersebut. Ia melihat Andres dan Baltazar, penjaga keamanan bar itu tergupuh-gupuh datang dan mencoba melerai. Akan tetapi perkelahian itu sudah kepalang brutal. Sambil menarik napas panjang, Bianco pun segera keluar dari meja barnya dan menuju tempat para torero mabuk yang saling meninju tersebut.

Tubuh Bianco sangat kecil jika dibandingkan dengan tubuh para torero. Meski begitu ia turut membantu Andres dan Baltazar melerai perkelahian. Ia menarik salah satu torero agar terpisah dari torero lainnya. Sekuat tenaga Bianco mencengkeram lengan penuh otot torero tersebut. Sayang tindakan itu sepertinya justru membuat sang torero semakin kesal. Sambil meraung marah, torero tersebut mengayunkan lengannya dengan kencang hingga sukses menghempaskan tubuh ramping Bianco hingga menabrak tembok bar.

Benturan keras tersebut membuat Bianco tersedak. Punggungnya terasa nyeri karena membentur tembok yang keras. Tak sampai di sana, torero tadi lantas melemparkan botol alkohol terdekat ke arah Bianco. Botol tersebut pecah berkeping-keping mengenaik kepala pemuda itu. Darah segar mengucur dari kepala Bianco hingga menutupi satu matanya. Kepalanya sedikit pening karena hantaman botol yang tiba-tiba. Akan tetapi Bianco masih bisa menjaga kesadarannya.

“Menyingkirlah, Bian. Biar kami yang atasi ini,” kata Andres yang masih setengah teller.

Bianco meludahkan darah yang juga keluar dari dalam mulutnya lalu bangkit berdiri seolah tidak terjadi apa-apa.

“Kalau begitu selesaikan dengan cepat,” sahut Bianco sambil berjalan pergi menuju belakang bar. Ia harus membersihkan darah di wajah dan seragamnya.

Malignos

Bianco membasuh wajahnya di belakang bar. Sebuah tangki air besar berdiri di depan pintu belakang bar tersebut. Biasanya air itu ditampung dari tetes-tetes hujan yang sesekali turun. Bianco kerap menggunakan air itu untuk membasuh wajah atau pun membersihkan bar. Air di Nuchas sangat langka. Karena itu orang-orang memang menampung air hujan untuk persiapan musim kemarau panjang.

Pemuda tersebut lantas membuka kemeja putih dan waistcoast merahnya yang terkena darah. Apronnya yang berwarna senada juga sedikit terciprat darah. Namun Bianco membiarkannya. Ia hanya bertelanjang dada karena pakaian atasnya sudah begitu banyak ternoda oleh darahnya sendiri. Tubuh Bianco memang tidak sekekar para torero. Akan tetapi karena Beatrisia pernah mengatakan bahwa tubuhnya bagus, maka Bianco terus melatih tubuhnya agar tetap liat dan kencang.

“Pwah!” desah Bianco setelah mengguyurkan satu gayung air segar di wajahnya.

Gang belakang barnya menguarkan bau bacin tak sedap. Meski begitu Bianco tak terganggu. Ia sudah terbiasa hidup di tempat kumuh semacam itu. Suasananya yang gelap ditambah genangan-genangan air kehitaman membuat tempatnya berdiri tersebut terasa cukup mencekam. Tidak ada orang lain di sana. Kontras dengan hingar bingar bar dan tempat hiburan sangat gaduh di depannya.

Bianco menarik napas panjang lantas mengusap wajah dan dadanya yang bidang dengan baju seragamnya yang sudah ia remas menjadi gumpalan. Beruntung ia meninggalkan baju seragam yang lain di ruang istirahat karyawan. Pemuda itu sudah hendak masuk ke dalam bar, sambil berharap kekacauan sudah usai, ketika mendadak ia mendengar suara teraiakan perempuan di salah satu ujung gang.

Bianco terdiam selama beberapa saat sembari menoleh ke arah datangnya suara. Ia menimbang-nimbang untuk memeriksanya atau tidak. Kejahatan, kriminalitas hingga kematian adalah hal yang biasa di Nuchas. Bianco sudah melatih dirinya untuk tidak lagi peduli pada hal-hal semacam itu, sejauh kondisi tersebut tidak menimpa dirinya atau orang yang dikenalnya.

Akan tetapi entah kenapa, teriakan perempuan kali ini terasa begitu ganjil hingga membuat perasaan Bianco begitu tidak nyaman. Seperti ada hal lain yang seharusnya dia konfirmasi. Namun apa yang harus pemuda itu lakukan setibanya di tempat perempuan yang berteriak tadi? Ia toh tidak punya badan sekuat dan sebesar para torero. Pun kemampuan bela dirinya juga hanya sebatas level awal.

Meski begitu, rasa penasaran seolah mengundang Bianco malam itu. Desau angin yang membawa bau bacin seolah membisikkan kalimat ajakan padanya, untuk sekedar mengintip apa yang menjadi penyebab teriakan perempuan tersebut. Bianco menyerah. Ia pun mengikuti instingnya untuk berjalan tanpa suara menuju suara datangnya teriakan perempuan tadi.  Ia berpikir untuk tidak menarik perhatian apa pun dan berusaha untuk tidak diketahui.

Ia tidak tahu orang seperti apa yang menyerang perempuan tadi. Kalau dia beruntung, mungkin hanya sesosok bandit kecil yang gemar mencuri uang tanpa berusaha membunuh korbannya. Akan tetapi kalau ia bertemu torero berbadan besar, maka itu akan menjadi masalah. Para torero miskin biasanya tidak punya cukup uang untuk membayar perempuan di rumah bordil.

Karena itu sesekali, setelah kalah dalam pertandingan dan tidak mendapat uang sepeserpun, mereka melampiaskan amarah dan nafsunya dengan menghadang sembarang wanita yang berjalan sendirian lantas memperkosanya. Tak jarang ia juga membunuh korbannya tanpa ampun. Bianco sudah terbiasa melihat kematian. Jenazah-jenazah dengan berbagai kondisi, semiris apa pun, sama sekali tidak mengganggunya. Kematian bukanlah hal yang baru di Nuchas. Manusia-manusia di tempat ini sudah tidak bisa dibedakan dengan binatang.

Setelah beberapa saat menelusur dalam gelap, akhirnya Bianco sampai juga di ujung gang. Suara mengunyah terdengar samar-samar. Semakin dekat dengan suara tersebut, bau amis darah tercium semakin kuat. Bianco menutup mulut dan hidungnya dengan tangan, berusaha untuk tidak mengeluarkan suara napas. Dengan tubuh menempel di dinding bangunan, Bianco lantas mengintip ke balik tumpukan kotak kayu yang teronggok sembarangan di ujung gang.

Dalam keremangan tersebut, untuk pertama kalinya, Bianco menyaksikan hal yang paling membuatnya mual. Sesosok makhluk gelap yang serba hitam, menjulang sebesar dua atau tiga kali tubuhnya. Makhluk itu memiliki bulu duri dan bentuknya sama sekali tidak bisa diidentifikasi sebagai manusia. Bianco belum pernah melihat makhluk semacam itu sebelumnya.

Bagian yang paling mengerikannya adalah kenyataan bahwa makhluk tersebut kini tengah memakan tubuh seorang perempuan yang sudah tinggal separuh. Bianco semakin erat mendekap mulutnya dan menahan diri untuk tidak memekik. Makhluk tersebut sepertinya belum menyadari kehadirannya. Sebaiknya Bianco segera pergi dari tempat itu sebelum ia tidak bisa lagi menahan rasa mual yang mengaduk-aduk perutnya.

Maka, sekali lagi, Bianco kembali berjalan menjauh tanpa suara. Namun rasa panik dan terkejut memenuhi dirinya, membuat langkah kakinya yang tergesa-gesa kini menimbulkan bunyi gesekan pelan pada jalan batu yang kasar. Serta merta makhluk hitam yang mengerikan tai pun menoleh dan menyadari keberadaan Bianco. Kedua mata merah makhluk tersebut segera menangkap basah pemuda itu dan lantas melesat menuju ke arahnya dengan kecepatan di luar nalar.

Sontak Bianco pun berlari secepat mungkin sembari mengerang keras. Makhluk itu terbang begitu cepat hingga kini sudah berada sejengkal di belakang Bianco. Tiba-tiba pintu barnya terbuka dan mengeluarkan cahaya terang dari dalam bar.

“Bian, kau dimana?!” seru Andres yang mencarinya. “Banyak pelanggan yang mau memesan minuman,” lanjut Andres sembari menoleh ke kanan dan kiri.

Detik berikutnya, Andres menyadari bahwa rekan kerjanya itu tengah berada dalam situasi hidup dan mati. Maka dengan sigap Andres menarik tubuh Bianco yang ramping dan segera membawa pemuda tersebut masuk ke dalam bar. Andres lantas menutup pintu bar secepat kilat sebelum makhluk hitam mengerikan itu berhasil mencapai mereka. Terima kasih atas ketangkasan Andres dan jam terbangnya yang panjang sebagai mantan torero. Hanya dengan kedua alasan tersebutlah, Andres tetap bisa sigap dan waspada meski tengah teller karena obat-obatan yang dikonsumsinya.

“Kau baik-baik saja, Bian?” tanya Andres sembari berlutut kea rah Bianco yang tadi dia lemparkan ke lantai dapur bar.

Bianco masih tersengal dan tampak terkejut. “Aku baik-baik saja. Tapi apa tadi itu? Aku belum pernah melihat yang seperti itu. Dia … dia … memakan manusia,” kata Bianco kemudian.

“Malignos. Itu roh jahat yang memangsa manusia,” jawab Andres sembari membantu Bianco berdiri.

“Seperti itukah wujud malignos?” tanya Bianco masih tak percaya.

Andres mengangguk pelan. “Ini karena kau tidak pernah keluar dari bar dan bergaul dengan orang-orang, jadi kau tidak pernah melihat makhluk itu. Kau beruntung aku datang tepat waktu.”

“Terima kasih, Andres,” gumam Bianco sembari mengambil segelas air untuk diminumnya, berharap hal itu bisa membantunya menenangkan diri.

“Sekarang pakailah seragammu dan kembali bekerja,” ucap Andres kemudian.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!