Seorang gadis cantik dengan kulit putih bersih memakai dress selutut dan rambut kecoklatan tergerai berdiri dengan wajah sangat terkejut ketika seorang laki-laki tampan itu berjalan masuk ke dalam rumah hampir melewati dirinya. Laura Tan, gadis Keturunan indo Australia yang sedang berkunjung ke rumah adiknya.
Sedangkan pria dewasa yang sedang di lihatnya adalah Eliezer yang selalu tampil menawan, merupakan seorang CEO sebuah perusahaan lumayan besar, kekasih dari pemilik rumah tersebut, Aisyah. Sungguh dia pun tak kalah terkejut melihat Laura ada di sana.
"Kau! Sedang apa kau disini?" tanya El dengan sangat heran, terlebih lagi ini adalah rumah Aisyah, wajah tampannya mendadak terlihat rumit.
"Ini rumah adikku." jawab gadis bernama Laura tersebut belum habis terkejut, tapi berusaha terlihat baik-baik saja.
Eliezer mengusap kasar wajahnya, lalu menatap gadis itu lagi, sedikit menelaah kalimat yang diucapkannya.
"Aisyah tidak punya saudara!" ucap Eliezer, namun mencoba untuk mendengar walau terkesan tidak peduli.
"Aisyah adikku, aku adalah kakaknya."
Eliezer semakin tak bisa berpikir, mana mungkin gadis yang beberapa waktu lalu tak sengaja tidur dengannya adalah saudari dari Aisyah, kekasihnya. Rasanya dunia akan segera kiamat.
Begitupun dengan Laura, gadis itu benar-benar tak menyangka. Terjawab sudah apa yang menjadi kecurigaan Laura setelah malam itu. Bahwa kedatangannya ke rumah Aisyah bukanlah tanpa alasan, melainkan untuk memastikan siapa laki-laki yang dengan sesuka hati menyentuh dan menikmati tubuhnya tapi menyebut nama orang yang tak asing bagi Laura, yaitu Aisyah adiknya.
Kenyataan yang membuat air matanya terjatuh membasahi lantai yang dingin.
Terlebih lagi Eliezer berlalu tanpa peduli dengan Laura, langkahnya tampak hapal di rumah mewah itu, jelas sekali jika dia bukan orang asing bagi Aisyah.
...ΩΩΩ...
Aisyah adalah seorang janda muda, anak dari seorang pengusaha yang merupakan rekan bisnis Eliezer sejak lama.
Kecantikan Aisyah yang mendadak menjadi buah bibir ketika beberapa tahun lalu dia bercerai muda, membuat banyak pengusaha yang ingin mendekatinya. Beruntung Eliezer mendapatkan celah karena kedekatannya dengan ayah Aisyah. Sungguh Eliezer tak berhenti mengejarnya hingga akhirnya mendapatkan hati seorang Aisyah.
Dia memiliki seorang putri yang masih duduk di sekolah taman kanak-kanak. Baginya Kayla adalah anugerah titipan Tuhan yang tak terkira, tapi tidak bagi Ibu Eliezer, dia tidak suka.
Tak direstui, alasan sudah menjodohkan dengan seorang wanita anak pengusaha besar di Negaranya yang katanya juga sangat cantik.Tapi sebagaimana pun cantiknya Eliezer tidak mau tahu, tak ada yang bisa melunturkan cintanya pada Aisyah
Malam itu, Eliezer meninggalkan pesta perayaan sebuah restoran milik sahabat ibunya yang merupakan ajang perjodohan bagi dua keluarga, Eliezer memilih ke Klub menghabiskan banyak sekali minuman, pulang dengan keadaan mabuk dan tanpa sengaja di apartemen ia bertemu dengan seorang gadis yang terlihat sedang menyandar lemas, entah mengapa saat itu Eliezer melihat Aisyah di sana, mengajaknya masuk apartemen dengan paksa, sehingga terjadi percintaan panas di malam tersebut.
Dan Alangkah terkejutnya ketika pagi hari melihat wanita itu meringkuk dengan mata sembab. Ternyata dia bukan Aisyah, melainkan wanita yang baru saja ditemuinya di rumah Aisyah, mengaku sebagai saudari Aisyah.
"El" suara lembut itu menyapa ketika Eliezer muncul di ruang tengah. Wajah cantik dan senyum manis mengembang meluruhkan segala amarah, kesal, bahkan derita rasanya sembuh ketika menatap wajah cantiknya.
"Apa kabarmu Sayang, maaf aku baru datang setelah mengantar ibuku pulang ke Australia." Eliezer menatapnya lebih dekat menyalurkan rindu yang sulit di jelaskan.
"Tidak apa-apa El, aku juga sibuk mengurus Kayla."Jawab Aisyah lembut.
"Aku merindukanmu." ucap El lagi. "Ibu terlalu konyol menjodohkan aku dengan orang yang tidak aku kenal." dia berbicara serius, tentu dengan sepenuh hati Eliezer benar-benar mencintainya.
"Itu tidak konyol El, dia berusaha memilih gadis yang paling tepat untukmu, bukan seperti aku yang sudah pernah menikah." jawab Aisyah halus.
"Tidak bisakah kita berjuang bersama-sama Ay? Jujur saja aku sudah tidak bisa bertahan dengan kesendirian ini dan ingin mengakhiri kesendirianku bersamamu." ucapnya menatap wajah ayu Aisyah dekat sekali.
"Pikirkan lagi El. Apalah artinya aku hanya seorang janda, dan putriku tentu menjadi pertimbangan sendiri untukku menerima pernikahan ini, dia sudah cukup menderita dengan perceraian antara aku dan ayahnya dan aku tak mau menambah beban ketika harus mengalah dengan ibumu yang sudah jelas tidak mau menerima. Kasihan Kayla El, kau tak akan mampu menjadi penengah atas kerumitan yang jelas akan terjadi nantinya." jawabnya semakin membuat El serba salah.
"Bukankah jika kita menikah maka semua penghalang akan hilang dengan sendirinya?" ucap El lagi.
Hanya tarikan nafas tanpa jawaban, bibir merahnya tertutup, sungguh kebisuannya pun terlihat menggoda. Berada di sampingnya membuat El berat menahan rasa ingin memiliki, semua yang ada pada diri kekasihnya selalu menjadi objek khayalan di setiap malam-malam sepi. El bukanlah pria yang polos dan tidak tahu tentang wanita, dia seorang player tiba-tiba berubah setelah bertemu Aisyah.
"Baiklah, aku harus bekerja. Nanti malam aku akan datang lagi." melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, dia harus menyerah.
"Hati-hati El." memandang El dengan bening matanya indah sekali.
"Ya, Sayang." mengecup sedikit jari halus Aisyah.
Eliezer kembali melewati gadis berambut kecoklatan itu walau pada akhirnya mata mereka bertemu dengan segala rasa bergemuruh. Terutama untuk Laura, wajahnya pucat dengan air mata masih mengalir di wajah cantiknya, itu sedikit mengganggu perasaan El yang berusaha tak peduli.
"Kau ingin menikahi Aisyah?" tanya Laura dengan tangisnya.
Eliezer menoleh ke belakang dimana Aisyah berada, ia benar-benar takut jika Aisyah sampai mengetahui tentang mereka berdua.
Eliezer menarik tangan Laura meskipun Laura berhasil melepaskan.
"Ku rasa, kau memang sengaja datang ke rumah ini." tebak Eliezer.
"Karena aku yakin, wanita yang kau sebut saat menikmati tubuhku adalah Aisyah adikku! Apakah aku harus diam saja?" jawabnya dengan linangan air mata, kecewa dan sedih sedang menguasai hati Laura.
El membuka kaca mata yang baru saja dipakainya, memperlihatkan bahwa dia serius. "Aku harap kau tidak mengatakan apapun kepada Aisyah."
"Aku tidak akan mengatakan apa-apa kepada adikku, tapi kau perlu tahu jika aku hamil!"
Sepertinya langit yang luas sedang runtuh di atas kepala Eliezer, gelap dan hancur.
"Kau bercanda." ucapnya dengan mata terpaku dan lemas seluruh tulang-tulangnya.
"Aku tidak bercanda, aku hamil!" ucap Laura dengan mengusap air matanya.
El tak mampu bergerak di posisinya. "Lalu bagaimana dengan Aisyah?" El bergumam sendiri, posisinya semakin serba salah.
Sadar jika bangkai tak mungkin selamanya bisa di tutupi. Hari-hari berikutnya El lebih sering mendatangi rumah Aisyah, alasan rindu dan hanya singgah sering kali dia ungkapkan. Padahal sebenarnya tidaklah seperti itu, melainkan dia sedang takut akan kehadiran Laura di rumah Aisyah, terlebih lagi wanita itu sedang mengandung anaknya.
"Jangan sampai Laura berbicara yang macam-macam kepada Aisyah."
El benar-benar tak bisa berhenti berpikir dan berpikir, bahkan satu malam terasa sulit di lewati dengan rasa khawatir yang tak terkira.
Hubungan yang hampir satu tahun terjalin bersama Aisyah bukanlah mudah bagi keduanya, perbedaan status membuat Aisyah terkadang mendapat celaan dari gadis yang juga menyukai El yang tampan dan mapan. Begitu pula sebaliknya El berulang kali harus bertarung dengan rasa cemburu karena banyak pria yang mendekati Aisyah, dan pernah sekali El harus bermusuhan dengan seorang rekan bisnis yang juga terobsesi dengan Aisyah.
Sayang rasanya jika harus berakhir. Dan entah mengapa beberapa hari terakhir El mendatangi Aisyah malah tak sekalipun ia bertemu atau mendapat kesempatan untuk bicara kepada wanita yang dianggapnya berbahaya itu.
Hingga di satu pagi Eliezer kembali mendatangi rumah Aisyah. Dan entah kebetulan atau keberuntungan, pagi itu Laura sedang ada di halaman rumah tersebut.
"Ikut aku!" El menarik tangan Laura, ketika baru saja keluar dari mobilnya, tentu dengan tak dapat menolak Laura masuk ke dalam mobil Eliezer.
"Kita akan kemana?" tanya Laura terlihat kesal.
"Kita ke apartemenku!" jawab El tak menoleh, setelah mobilnya melaju.
"Stop! Aku tidak mau ke apartemen." Laura membentak dan menarik-narik lengan El, bayangan saat di paksa oleh El kala itu masih begitu jelas. Bahkan tubuhnya sering gemetar ketika teringat saat pria bernama El melakukannya.
"Jangan konyol! Aku belum mau mati karena wanita seperti dirimu. Dan lagi, aku belum menikahi Aisyah." ucapnya sombong di akhir kata.
"Berhenti kataku!" Laura kembali emosi mendengar Eliezer akan menikah dengan Aisyah adiknya.
Eliezer menepikan mobilnya, tak mau mengambil resiko dan tentunya tak ingin mati sia-sia bersama wanita yang amat di bencinya saat ini.
"Tinggalkan adikku!" ucap Laura dengan nafas di dadanya naik turun. Berhasil membuat pria disampingnya menoleh cepat.
"Kau tidak punya hak mengaturku! Siak sekali aku sudah bertemu denganmu." geram Eliezer tak kalah kesal, kepalanya berdenyut pening hingga Eliezer memukul setir di hadapannya.
"Sial katamu? Tentu saja akulah yang sangat sial, kau sudah merusak hidupku, meniduri ku dengan paksa, menyakitiku, dan sekarang malah kau mengaggap bertemu denganku adalah sebuah kesialan? Lalu nyawa yang ada di dalam perutku ini apa?" Laura menunjuk perutnya sendiri.
"Aku tidak sengaja, aku menganggap mu Aisyah malam itu." ucap Eliezer sedikit pelan, menyadari kesalahannya sangat besar.
"Tidak sengaja?" sungguh Laura tidak bisa berkata apa-apa, tak habis pikir dengan laki-laki yang sampai saat ini bahkan tak tau namanya.
"Maksudku, sungguh aku tak bermaksud melakukan itu denganmu." Eliezer bersusah payah mencari cara bagaimana menjelaskan dengan wanita di sampingnya.
"Apapun alasanmu, bahkan tidak sengaja mu itu tidak mengembalikan apapun." Laura mulai menangis.
Eliezer menarik nafas, ia benar-benar tidak tega melihat gadis itu menangis. Jujur saja jika hatinya juga berkata Eliezer-lah yang salah.
Lama tak saling bicara, keduanya larut dalam pikiran masing-masing.
"Aku minta maaf!" ucap Eliezer menelan ludahnya dengan paksa, rasanya maaf itu sungguh berat walaupun dia sendiri tahu sudah melakukan kesalahan besar.
"Aku tidak mau memaafkan mu." jawab Laura membuang pandangannya keluar, air matanya masih menetes.
"Hei aku sudah minta maaf, jika maaf ku tidak diterima kau mau apa?" Eliezer kembali kesal, bahkan sudah menekan sikap egoisnya malah permintaan maafnya di tolak.
"Kau pikir maafmu berguna?" marah Laura kali ini.
"Lalu aku harus apa? Aku sudah minta maaf. Jika kau ingin aku menikahi mu, maka itu adalah hal yang sangat mustahil." tegasnya.
Laura menatap nanar kepada laki-laki menjengkelkan itu. "Aku tidak pernah berharap akan menikah denganmu, aku berdoa kepada Tuhan agar jangan sampai berjodoh dengan laki-laki seperti dirimu. Dan aku bersumpah! Tidak akan membiarkan laki-laki sepertimu menikah dengan adikku. Aku tidak akan pernah membiarkannya, ingat itu!"
Dengan air mata yang masih mengalir, Laura keluar dari mobil Reza dan berjalan tak tau arah, setengah berlari kemudian menghilang diantara kerumunan orang di jalan raya. Dapat dipastikan dia sangat kecewa, benci, dendam hingga terucap sumpah dari mulutnya.
Entah mengapa mendadak kekhawatiran yang begitu besar menyerang hatinya, jiwanya gelisah karena sumpah dan air mata seorang wanita yang sedang mengandung anaknya.
"Aaaaaaarghhhhhhh...!!!"
Eliezer berteriak sambil memukul-mukul setir sepuas hati, tak pernah terbayangkan di saat jatuh cinta dan hati sudah memilih, malah kerumitan itu singgah begitu lama, bahkan tidak tahu kapan berakhir.
Entahlah, ingin sekali tak peduli dengan semua ini, tetap menikah dengan Aisyah dan hidup bahagia, itu bisa saja dia lakukan, tapi sayangnya wanita cantik itu tidak mau. Terhalang restu membuatnya harus mengalah.
Benar! Banyak hal yang harus dipikirkan sebelum mengambil keputusan, tak hanya tentang dirinya tapi juga anaknya yang sudah jelas jika ibu dari Eliezer menginginkan dirinya menikah hanya dengan seorang gadis, sungguh itu menyakiti Aisyah.
...***...
Di rumah Aisyah sedang mencari-cari keberadaan Laura hingga berkeliling rumah.
"Athy apakah kau melihat kak Laura?"
Aisyah bertanya kepada salah satu asisten rumah tangganya.
"Tadi Non Laura pergi bersama Tuan El Nyonya." jawabnya yang memang sejak tadi Athy sedang sibuk menyiram dan merawat tanaman.
Aisyah menautkan alisnya, bagaimana bisa mereka pergi bersama, mengingat El bukanlah orang yang ramah kepada siapa saja. Lagipula di rumah itu tidak kekurangan kendaraan dan sopir jika Laura ingin pergi kemana-mana.
"Baiklah." Aisyah mengangguk lalu mengirim sebuah pesan untuk memastikan mungkin sebuah pilihan yang baik.
Benar saja, di seberang sana ponsel Eliezer bergetar, suara notifikasi pesan membuatnya berhenti sejenak.
"El, apakah Kak Laura bersamamu?" sebuah pesan yang membuat Eliezer sangat terkejut.
Dengan hati yang tak menentu Eliezer berbalik arah. Mau tak mau dia harus mencari wanita menjengkelkan tersebut tanpa membalas pesan Aisyah terlebih dahulu.
Jalanan padat merayap membuat kendaraan yang di kendarainya bejalan lambat, belum lagi pekerjaan menumpuk di kantornya sudah menciptakan beban terlebih dulu saat mengingatnya.
"Sial!" teriaknya di dalam mobil, berkali-kali mengacak rambutnya yang rapi.
"Mengapa hidupku jadi seperti ini, harus bertemu dengan gadis cengeng. Dia pasti tak akan menyerah untuk menggagalkan hubunganku dengan Aisyah." Eliezer menatap kiri dan kanan mencoba membuang kegelisahan yang tercipta akibat perbuatannya sendiri. Belum lagi isi pesan Aisyah yang membuat Eliezer semakin khawatir.
Laura sedang duduk melamun di satu tempat, menyendiri selalu menjadi pilihan terbaik saat hati sedang tidak baik-baik saja.
Dmitri, satu nama yang membuat hatinya semakin terasa nyeri membayangkan jika suatu saat dia akan mengetahui tentang peristiwa satu malam kelam bersama laki-laki kekasih adiknya sendiri.
"Aku harus bagaimana?" gumamnya pelan, sesekali mencengkeram bagian perutnya. "Harusnya kau tak pernah ada." ucapnya berbicara dengan perut yang masih rata.
Air matanya mengalir deras dengan dada yang teramat sesak. Rasanya dunia sedang gelap karena kehamilan yang tak diinginkan ini. Hari-harinya rusak karena pergulatan tak diinginkan dengan pria yang tak punya perasaan tersebut.
"Rasanya aku ingin mati."
Sementara di jalanan Eliezer masih sibuk mencari Laura dengan sangat kesal. "Dimana gadis bodoh itu?" gumam Eliezer menyetir pelan sambil melihat ke sekeliling jalanan.
Lama ia melihat kesana-kemari hingga lelah mata hitamnya memandang, tak juga menemukan gadis yang bernama Laura, hingga berhenti di sebuah persimpangan tempat wisata.
Eliezer mencoba masuk ke dalam hingga hampir di penghujung taman yang lumayan bagus, Eliezer melihat seorang wanita sedang duduk di bawah pohon. Eliezer turun dengan memakai kacamata dan mendekati wanita yang memandang jauh ke arah Danau.
"Ayo pulang!" ucap Eliezer setelah memastikan wanita berambut cokelat itu adalah Laura, saudari kekasihnya.
"Apa pedulimu?" ketusnya dengan tatapan marah.
"Aku tidak peduli, adikmu yang peduli!" kesal Eliezer memandang bebas sekeliling wisata baru itu, malas melihat wanita yang sedang di carinya.
Laura beranjak dari duduknya, tanpa menoleh ia langsung menuju jalan keluar.
"Pulang!" ucap Eliezer menunjuk mobilnya sambil meraih tangan Laura yang hampir melewati dirinya, wanita itu sengaja membuat El marah.
"Aku bisa pulang sendiri, kau tak perlu repot-repot." kesal Laura menarik tangannya walau percuma.
"Pulang bersamaku! Kau pergi dengan mobilku dan Aisyah tau itu. Akan lebih baik jika kau juga pulang bersamaku agar dia tidak curiga." jelas Eliezer dalam kekesalannya.
"Haha, kau takut?" Laura tertawa mengejek. "Baguslah, aku akan selalu membuatmu takut hingga kau melepaskan adikku." ucap Laura dengan pelan namun penuh ancaman.
Eliezer tak bisa menjawab, tentu saja dia takut. Eliezer tak mau kehilangan Aisyah yang sudah cukup lama ia perjuangkan hingga sampai di titik ini.
"Jangan harap aku akan membiarkanmu bahagia dengan adikku, setelah kau merusak hidupku." Laura semakin berani.
"Jangan macam-macam, apalagi ikut campur hubunganku dengan Aisyah, kau tahu aku bisa melakukan hal nekat padamu?" Eliezer balas mengancam.
"Hem, aku tidak yakin." Laura tersenyum sinis.
Eliezer meraih lengan Laura dan mengunci tubuhnya.
"Aku bisa berteriak minta tolong." Laura mencoba tersenyum.
"Silahkan saja jika ada yang mendengar." El membawa paksa Laura masuk ke dalam mobil, menutup pintu dan menguncinya.
"Aku mau turun!"
"Diam!"
Laura sedikit terkejut dengan suara berat itu berteriak, Laura benar-benar memilih diam. Dia berpikir jika pria di sampingnya itu tidak main-main.
"Aku akan membalas mu."
Eliezer sungguh tak peduli, yang terpenting baginya Laura sudah ada di mobil dan pulang bersamanya, tentu saja semua itu demi Aisyah. Kekasih hatinya tak perlu tahu malam kesalahan itu, dan akan lebih baik jika Laura segera pulang ke tempat asalnya.
Namun rasanya percuma berbicara kepada Laura, wanita disampingnya sangat keras kepala. Sepertinya tak ada bujukan atau nego agar bisa membuatnya menurut.
Hingga beberapa saat kemudian mereka sudah tiba kembali di rumah Aisyah. Laura turun lebih dulu tanpa peduli wajah El yang menahan kesal.
"Jauhi Aisyah!" pinta Laura sebelum melangkah.
"Jangan mengancam ku, aku bukan laki-laki lemah yang bisa diancam hanya karena kau pernah tidur denganku." El tersenyum remeh.
"Siapa yang pernah tidur dengan mu El?" Aisyah tiba-tiba sudah berada di belakang Eliezer.
Suara yang sangat membuat keduanya terkejut, saling memandang walau akhirnya mereka berusaha tersenyum dalam kegugupan, mencoba bersikap seperti biasa kepada Aisyah.
"Tadi aku, harus ke ATM mengecek uang yang di kirimkan Papa, dia menelpon saat aku masih tidur. Maaf aku jadi menumpang dengan pacarmu." jelas Laura berusaha setenang mungkin. Tak mau menerima pertanyaan lebih banyak dari Aisyah, Laura memilih berlalu cepat.
Aisyah masih memandangi El yang sejak tadi belum bicara. Mata indah Aisyah menajam tiba-tiba.
"Tadi dia buru-buru, aku saja tidak tahu namanya. Tapi dia mengatakan jika dia adalah kakakmu." jelas El mendekati Aisyah dengan sedikit gugup
"Yang ku dengar bukan itu El." Aisyah menatap wajah Eliezer dengan kecewa, mata indahnya mulai berkaca-kaca.
"Kami hanya berbicara_"
"Kalian saling mengenal." sambung Aisyah lagi masih terdengar kecewa.
"Tidak Ay, aku tidak mengenalnya." El mendekati Aisyah dan meraih tangannya.
Aisyah menarik nafas lebih dalam, berusaha berpikiran lebih jernih. 'Apakah kata-kata tidur denganmu layak di ucapkan dengan orang yang baru bertemu? tapi mengapa Kak Laura juga tak mengatakan apa-apa?'
El menatap wajah Aisyah yang tampak berpikir.
"Aku berangkat Sayang." El mengelus kepala Aisyah. kemudian berlalu cepat masuk ke dalam mobil.
'Tatapan keduanya bukan seperti orang yang baru saling mengenal, tidak mungkin El bersedia mengantar Kak Laura pergi jika baru pertama bertemu, El bukan orang seperti itu. Apakah mereka saling mengenal sebelumnya? Tapi dimana?"
Aisyah masih berusaha tersenyum lembut, menunggu mobil hitam El menjauh barulah kembali masuk.
"Athy." Aisyah memanggil seorang asisten rumah tangganya.
"Ya Nyonya." Asisten berusia tiga puluhan itu mendekat.
"Apa saja yang di katakan El kepada Kakak?" tanya Aisyah semakin penasaran setelah sempat mendengar mereka saling mengancam.
"Athy tidak tahu pasti Nyonya, tapi mereka seperti sedang bertengkar." jawab Athy menunduk.
Athy tak mungkin berbohong, ditambah lagi dengan apa yang baru saja didengarnya.
'Apakah El berkhianat? Lalu hubungan seperti apa yang mereka miliki? Jika benar, sungguh tega sekali El padaku. Apakah ada hubungannya dengan kedatangan Kak Laura?'
Aisyah mulai curiga.
"Sebaiknya Nyonya tanyakan kepada Nona Laura, jangan berpikiran macam-macam sebelum ada buktinya, itu tidak baik." Athy sedikit menasehati.
"Benar, atau aku salah dengar." Aisyah berusaha memenangkan hatinya sendiri. "Tapi beberapa hari terakhir El datang, mereka bahkan tak pernah bertemu." Aisyah kembali berpikir.
"Kita tidak tahu Nyonya. Tapi membatasi kepercayaan kepada seseorang itu perlu. karena tak semua orang bisa dipercaya termasuk orang terdekat." Athy berkata dengan hati-hati.
"Aku tahu Athy, bahkan suamiku adalah penghianat yang handal. Menikahi seorang janda dan menjadikan aku janda. Mengurus anak tak ber-ayah tapi membuat anaknya menjadi tak punya ayah. Orang terdekat lebih punya peluang untuk menikam dari pada orang luar yang kita anggap berbahaya." Aisyah kembali meneteskan air matanya, setelah perceraian yang menyakitkan tiga tahun lalu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!