"Aku akan rindu sekali dengan Jerman." ucap Mily.
"Siapa yang telah pergi, pasti akan kembali. Begitu juga dengan kita." kata Raya.
"Huuh. Aku tidak tahu apakah aku bisa kembali lagi ke Jerman. Oh ya, Vanya. Sepulang ke Indonesia, apa yang akan kamu lakukan?" ucap Mily.
"Kalau aku, tentu aku akan menjadi jaksa yang hebat dan jujur. Aku akan mengenakan jubah jaksa, menangkap pelaku dan berbicara lantang di pengadilan." sahut Raya.
"Akan kutunggu. Aku juga tidak sabar mengenakan jubah dan duduk di kursi hakim, mengetuk palu." kata Mily.
"Kalian hebat. Pasti kalian akan sering keluar masuk ruang sidang." ucap Vanya.
"E-eh? Kamu kan juga. Kamu lebih hebat dari kita. Pasti kamu akan memenangkan kasus yang banyak dalam waktu yang singkat, lalu kamu hisa membentuk firma hukum sendiri." kata Mily.
"Entahlah. Aku tidak yakin." ucap Vanya dengan lirih.
"Loh, kenapa? Kamu kan pintar." kata Raya.
"Kalian tahu? Aku pikir ayahku menyuruhku segera pulang karena dia sudah rindu padaku. Tapi ternyata.. dia ingin menjodohkanku dengan laki-laki pilihannya sendiri." jawab Vanya.
"Apa?! Ini sungguh tidak adil. Mentang-mentang kamu anak perempuan satu-satunya, ayahmu bisa seenaknya menjodohkanmu." bentak Mily.
"Betul. Bahkan kamu belum memulai karirmu sebagai pengacara. Jangan pulang, Vanya. Tetaplah di Jerman." sahut Raya.
"Itu yang kupikirkan. Tapi kalian ingat 4 tahun yang lalu? Aku bahkan tidak bisa hadir di samping mama saat detik detik terakhirnya. Aku harus pulang." jawab Vanya.
"Baiklah, Vanya. Kalau itu keputusanmu untuk pulang, lalu menikah dengan orang yang tidak dikenal. Kita bisa menerimanya, lagipula, tidak mungkin juga kan ayahmu menjodohkan kamu dengan pria yang buruk?" kata Mily.
"Aaa.. terima kasih. Aku terharu. Sangat terharu." ucap Vanya lalu memeluk erat kedua temannya itu.
Hanya Mily dan Raya lah teman yang masih bertahan dengan Vanya. Mereka bagaikan saksi hidup Vanya yang tahu setiap lika-liku perjalanan hidup Vanya.
———
BANDARA SOEKARNO-HATTA
"Non Vanyaa!! Di sini." teriak Jalu yang merupakan supir kepercayaan ayah Vanya.
"Ayah tidak datang?" tanya Vanya.
"Tidak, non. Tapi dia sudah menunggu non di rumah. Sini non saya bawain kopernya." jawab Jalu.
"Terima kasih ya, Jalu." ucap Vanya.
"Sama-sama non." balas Jalu.
Jalu mengantar Vanya ke mobil sekaligus membawa barang bawaannya.
"Non, ngomong-ngomong non kamu menikah ya?" tanya Jalu.
"Rupanya berita itu sudah menyebar ya, Lu. Sampai kamu saja tahu." jawab Vanya.
"Hehehe iya non." balas Jalu.
"Gimana kabar? Baik? Semua sehat-sehat saja kan?" tanya Vanya mengalihkan.
"Iya non. Semua juga lagi pada ngumpul. Tuan Fery sama istri anaknya, tuan Redy sama istrinya lagi pada main ke rumah." jawab Jalu.
Fery dan Redy merupakan kakak laki-laki Vanya.
"Tumben. Biasanya kalau aku pulang mereka tidak datang." kata Vanya.
"Lagi ada tamu, non. Makanya pada ngumpul. Tamu penting sih kayaknya." balas Jalu.
"Ohh."
———
KEDIAMAN AYAH VANYA
Vanya keluar dari mobil dan kakinya menyentuh halaman rumah yang sudah lama dia tinggal pergi. Vanya menarik napas dalam-dalam dan membuangnya. Cerita baru dimulai. gumamnya.
Vanya memegang gagang pintu rumahnya dan mendorong pelan. Lagi-lagi dia menarik napasnya. Ditemukan ayah, kedua kakak beserta keluarganya sedang bercengkerama di ruang tamu. Eh tunggu. Siapa dua orang itu? Apa jangan-jangan salah satu dari mereka itu orangnya? Orang yang akan menikah denganku. Tidak mungkin kan yang sudah ubanan itu? batin Vanya.
"Welcome home, Vanya. Ayah rindu sekali padamu." Suara ayah Vanya menghentikan lamunan Vanya. Ayah Vanya memeluk dirinya dengan erat seolah-olah benar kalau dia rindu dengan Vanya.
"Aku juga rindu sama ayah. Bagaimana kabar ayah?" tanya Vanya membalas pelukan ayahnya.
"Baik. Sangat baik. Ayo duduk biar Minah yang beresin barang kamu." kata ayah Vanya sambil membawa Vanya duduk di sofa.
Minah adalah ART kepercayaan mama Vanya sejak dulu.
"Kenalin, ini dokter pribadi ayah sekaligus teman ayah namanya Edward dan ini anaknya, namanya Lucas." kata ayah Vanya.
"Saya Vanya. Senang bertemu dengan kalian." ucap Vanya.
"Oh jadi ini putri kamu satu-satunya. Cantik ya." balas Edward.
Hah? Apa ini? Jangan bilang dia yang akan menikah dengan aku? Jangan bilang.. dia laki laki pilihan ayah? Gabisa, gabisa. Aku harus menghentikan semua ini sebelum terlambat. batin Vanya.
"Hmm.. ayah.." Vanya memotong pembicaraan ayahnya dan temannya.
"Ada apa, Vanya? Oh ya, kamu tahu GH Group? Itu milik teman ayah dan akan dilanjutkan oleh anaknya ini." ucap ayah Vanya.
GH Group adalah sebuah rumah sakit terbesar di ibukota.
"Oh ya. Aku tau kok. Tapi mereka datang ke sini untuk apa ya? Kalau tidak ada urusannya sama aku, aku naik ya ke kamar. Mau istirahat, aku capek." balas Vanya.
"Eh tunggu jangan dulu." Ayah Vanya mencegah Vanya untuk pergi meninggalkan ruang tamu.
"Begini, Vanya. GH Group butuh seorang penerus." kata Edward.
"Bukannya sudah ada penerusnya? Dia kan yang akan menerus GH Group." balas Vanya.
"Betul. Tetapi seorang penerus GH Group dalam waktu 10 tahun atau 2 periode masa jabatannya harus memiliki seorang penerus. Anak om ini sudah memasuki tahun ke 9 masa jabatannya dan sampai saat ini belum bisa memiliki seorang penerus. Bagaimana om bisa menyerahkan GH Group?" kata Edward.
"Oh begitu rupanya. Maaf, tapi di sini bukan tempat yang tepat untuk menyelesaikan masalah om." ucap Vanya.
"Vanya!" Ayah Vanya membentak dirinya.
"Kenapa ayah? Apa Vanya salah?" tanya Vanya.
Edward berdiri. "Om membutuhkan kamu, Vanya." Setelah mengatakan hal itu, Edward pun membungkukkan tubuhnya seolah memohon dengan sangat kepada Vanya.
Ayah Vanya ikut berdiri. "Ah kamu tidak perlu seperti ini. Ini sangat berlebihan." katanya.
"Kamu sudah tahu, Vanya. Ayah sudah memberitahumu. Tentu kamu akan menikah dengannya." kata ayah Vanya.
"Oh begitu? Jadi benar? Jadi benar kalau ayah menyuruh Vanya pulang karena Vanya harus menikah dengan laki-laki pilihan ayah?" ucap Vanya meninggi.
"Kamu kan juga sudah menyelesaikan studimu di Jerman. Untuk apa lagi kamu di Jerman?" balas ayah Vanya.
Tiba tiba sesosok Lucas yang sedari tadi diam, berdiri.
"Permisi. Sepertinya di sini aku yang lebih membutuhkan Vanya, jadi lebih baik biar aku saja yang bicara dengannya." sahut Lucas.
"Vanya, boleh ikut denganku?" sambung Lucas.
Bersambung...
Terima kasih sudah membaca novel Laki-laki Pilihan Ayah. Berikan dukunganmu kepada Author dengan memberikan like, tips, komentar, dan vote. Jangan lupa tambahkan novel ini ke favorite Anda agar mengetahui up episode terbaru.
Tiba tiba sesosok Lucas yang sedari tadi diam, berdiri.
"Permisi. Sepertinya di sini aku yang lebih membutuhkan Vanya, jadi lebih baik biar aku saja yang bicara dengannya." sahut Lucas.
"Vanya, boleh ikut denganku?" sambung Lucas.
Rupanya Vanya hanya mampu menatap wajah pemilik suara yang baru saja berbicara itu. Vanya terus menatap wajah Lucas tiada henti. Begitu juga dengan Lucas, dia menatap wajah wanita yang akan menyelamatkan dirinya dari "jurang kehancuran".
Lucas merasakan hal yang aneh ketika menatap wajah Vanya. Dia begitu menyesal kenapa tidak bertemu dengan Vanya lebih awal, kenapa tidak pernah melihat wajah cantik Vanya lebih awal. Ya, menurut Lucas, Vanya termasuk wanita yang berparas cantik dan cantiknya belum pernah dia temui.
Segera Lucas menyadarkan dirinya lalu menarik tangan Vanya dan berjalan ke luar. Sedangkan Vanya? Dia hanya mengikuti kemana laki-laki itu akan menarik tangannya.
Lucas membawa Vanya ke luar rumah, tepatnya mobil Lucas yang terparkir di halaman rumah Vanya. Rambut Vanya terkibas-kibas akibat adanya angin karena mereka kini sedang berada di luar.
Secara spontan Lucas pun menyelipkan rambut Vanya ke belakang daun telinganya. Tepat setelah Lucas melakukan itu, suasana di antara mereka menjadi canggung.
Kenapa aku melakukan itu?! Kenapa aku harus menyelipkan rambutnya?! batin Lucas.
Kenapa dia melakukan itu?! Kenapa dia menyentuhku di pertemuan pertama kita?! batin Vanya.
"Hhmm. Di luar banyak angin, mari kita masuk ke dalam mobil." ajak Lucas yang sekaligus memecahkan keheningan di antara mereka.
Lucas pun membukakan pintu mobil untuk Vanya namun seketika dia berpikir kenapa dia harus membukakan pintu? Vanya tentu punya tangan dan bisa membukanya sendiri.
Kini mereka berdua sudah berada di dalam 1 mobil, Lucas di kursi pengemudi, Vanya di kursi penumpang. Lucas mengeluarkan sebuah amplop besar dari laci dasbornya.
Ah.. ternyata adegan di dalam drama kini menjadi nyata. Pasti amplop itu berisi surat perjanjian atau kontrak pernikahan. Huh, klise sekali. batin Vanya.
Lucas memberikan amplop itu kepada Vanya. Namun sepertinya Vanya salah, di depan amplop itu ada logo rumah sakit milik ayah Lucas.
"I..ini apa?" tanya Vanya dengan gugupnya.
"Rekam medis ayahmu." jawab Lucas.
"Bukalah." sambung Lucas.
Vanya membuka amplop besar itu dan melihat isinya. Ternyata benar, isinya bukanlah surat perjanjian atau kontrak pernikahan yang Vanya bayangkan sebelumnya. Isinya merupakan rekam medis ayahnya sendiri.
Di dalam kertas itu Vanya melihat bahwa ayahnya mengidap penyakit asma yang tidak kunjung membaik. Vanya tidak habis pikir, selama ini ayahnya merahasiakan penyakitnya dari Vanya.
"Jadi sekarang kamu ingin mengancamku dengan ini?" tanya Vanya.
"Aku tidak mengancammu. Tidak sama sekali. Mungkin ini hal yang perlu kamu ketahui. Jangan sampai kejadian yang sama terulang kembali." jawab Lucas dengan tegasnya.
"Apa maksudmu?" tanya Vanya.
"Perlu kuperjelas? Kematian ibumu." jawab Lucas.
Sontak air mata Vanya jatuh membasahi pipinya. Kepalanya mulai terasa sakit. Vanya segera keluar dari mobil Lucas dan berjalan cepat masuk ke dalam rumah.
Sesampainya di dalam, Vanya terus berjalan melewati para manusia yang masih berada di ruang tamu. Dia memasuki kamarnya, menutup pintu kamarnya rapat-rapat, mencari botol obat di dalam tasnya.
Ya, rupanya kematian mamanya 5 tahun yang lalu meninggalkan luka yang teramat dalam bagi Vanya. Sampai-sampai dirinya harus bolak-balik psikiater untuk berusaha menyembuhkannya. Karena setiap mengingat kejadian itu, kepala Vanya terasa sakit seperti memar yang berdenyut.
Bagaimana tidak, kehilangan seorang ibu tidaklah mudah bagi seorang anak. Ditambah Vanya yang saat itu tidak bisa berada di samping mamanya ketika menghembuskan napas terakhir.
"Vanya! Kamu kenapa Vanya? Buka pintunya, Vanya!" ucap ayah Vanya dari luar.
"Vanya! Jawab ayah, Vanya." sambungnya.
"Vanya, buka pintunya kalau tidak kakak dobrak." kata Fery.
"Ah, tidak. Aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin beristirahat." ucap Vanya dari dalam.
"Benar Vanya kamu tidak apa-apa?" tanya Fery.
"Iya, kak. Pergilah, kalian mengganggu istirahatku." jawab Vanya.
"Maaf, paman sepertinya aku membuat kesalahan." kata Lucas.
"Ah tidak usah dipikirkan. Dia hanya perlu beristirahat." balas ayah Vanya.
"Pertemuan pertama memang tidak langsung berhasil. Mungkin kita butuh pertemuan kedua, ketiga dan seterusnya." kata Edward.
"Hahaha iya. Sepertinya putriku masih membutuhkan waktu." balas Hary (ayah Vanya).
"Tapi Vanya benar tidak apa-apa kan, paman?" celetuk Lucas.
"Iya, Lucas. Dia hanya butuh istirahat saja." jawab Hary.
"Baiklah kalau begitu kita akan bertemu lagi nanti ketika Vanya sudah membaik." kata Lucas.
"Tentu saja." balas Hary.
Lucas dan ayahnya pamit pulang dari rumah Hary. Begitu juga dengan Fery dan Redy. Sejak dari kepulangan mereka sampai waktunya makan malam, Vanya belum keluar dari kamarnya.
Dia masih duduk di lantai, meratapi isi amplop tersebut. Biasanya di dalam drama, pemeran utama wanita akan meratapi isi amplop yang berisi surat perjanjian tapi kini Vanya meratapi rekam medis ayahnya.
"Mama.. apa mama mendengarku? Aku harap mama mendengarku daripada melihatku sekarang. Menurut mama, apa aku benar benar harus menjalankan pernikahan bodoh ini? Mama tahu betul kalau aku tidak suka hidupku dikendalikan. Aku benci situasi ini." lirih Vanya.
Tok tok tok. "Non Vanya, waktunya makan malam. Tuan sudah menunggu non di meja." ucap Minah sang ART.
"I.. iya bi." Vanya segera menghapus air mata yang mengalir di pipinya lalu bangkit berdiri dan turun ke bawah.
Vanya kini berada di meja yang sama dengan ayahnya. Hanya mereka berdua saja yang menempati rumah itu karena kedua kakak Vanya sudah berkeluarga dan memilih tinggal terpisah.
Suasana di meja makan itu sangat canggung. Hubungan Vanya dan ayahnya tidak sebaik saat ada orang.
"Menikahlah dengan Lucas. Jangan menjadi anak yang suka membantah." ucap ayah Vanya dengan dingin
"Bagaimana kalau aku menjadi anak yang suka membantah? Apa yang ayah akan lakukan?" balas Vanya.
Ayah Vanya meletakkan sendok makannya di atas meja. "Mamamu di atas sana akan sedih melihatmu." jawab ayah Vanya.
"Bagaimana kalau mama akan senang jika aku membantah ayah?" balas Vanya.
"Vanya! Sampai kapan kamu akan menyusahkan ayah? Tidak bisakah kamu membantu ayah sedikit saja? Ayah mohon. Jangan menyusahkan ayah lagi." ucap ayah Vanya.
"Apa.. aku.. akan menyusahkan ayah kalau aku tidak menikah dengan Lucas?" ucap Vanya dengan lirih.
"Tentu saja. Apa kurangnya Lucas? Dia handal menjadi dokter bedah, mapan, secara fisik juga sempurna. Dia juga akan menjadi pewaris tunggal GH Group." kata ayah Vanya.
"Kalau begitu, atur pertemuan kami lagi." ucap Vanya lalu pergi meninggalkan meja makan.
Bersambung...
Terima kasih sudah membaca novel Laki-laki Pilihan Ayah. Berikan dukunganmu kepada Author dengan memberikan like, tips, komentar, dan vote. Jangan lupa tambahkan novel ini ke favorite Anda agar mengetahui up episode terbaru.
"Apa.. aku.. akan menyusahkan ayah kalau aku tidak menikah dengan Lucas?" ucap Vanya dengan lirih.
"Tentu saja. Apa kurangnya Lucas? Dia handal menjadi dokter bedah, mapan, secara fisik juga sempurna. Dia juga akan menjadi pewaris tunggal GH Group." kata ayah Vanya.
"Kalau begitu, atur pertemuan kami lagi." ucap Vanya lalu pergi meninggalkan meja makan.
Vanya kembali ke kamarnya dan menyalakan ponselnya yang belum dia sentuh ketika tiba di Jakarta.
Notifikasi bergiliran masuk. Kalau tidak dari Mily pasti dari Raya. Hanya 2 orang itu yang akan mengirim pesan spam ke Vanya.
Mily.
Apa kamu sudah bertemu dengan laki-laki itu? Bagaimana? Apa dia tampan? Berapa umurnya? Apa dia masih melajang? Atau sudah punya anak? Vanya tolong cepat balas pesanku.
Raya.
Apa kamu benar-benar dijodohkan?
Vanya tersenyum ketika melihat pesan yang masuk dari kedua temannya itu. 2 orang teman yang memiliki sifat dan karakter yang bertolak belakang. Aku bersyukur masih memiliki kalian. gumam Vanya.
Vanya.
Ya, benar. Aku dijodohkan oleh seorang laki-laki yang tidak aku kenal. Untuk wujud rupanya, kalian bisa melihatnya di pernikahan kami nanti.
Setelah membalas pesan temannya, Vanya tidur untuk mempersiapkan diri di hari esok.
———
KEESOKAN HARINYA.
Vanya terbangun ketika sinar matahari masuk melalui celah gordynnya. Dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Dia berpikir untuk melanjutkan tidurnya lagi karena kini dirinya seorang pengangguran. Tidak ada yang harus dilakukan.
Tok tok tok. "Non Vanya, tuan sudah menunggu non di bawah untuk sarapan." ucap Minah.
Baru saja Vanya memejamkan mata, Bi Minah sudah menyuruhnya turun untuk sarapan. Arghh, sungguh.
"Iya Bi."
Vanya segera mencuci mukanya sebelum turun untuk sarapan.
"Hari ini Lucas ada banyak jadwal operasi. Dia tidak bisa datang ke sini." ucap ayah Vanya dengan dingin.
"Baiklah. Bisa besok." jawab Vanya.
"Apa katamu? Kamu sebaiknya datang menemui dia. Bawakan makan siang untuknya." ucap ayah Vanya dengan nada meninggi.
"Katanya jadwal dia penuh?" balas Vanya.
"Setidaknya tidak saat jam makan siang." ucap ayah Vanya.
"Ya, baiklah." jawab Vanya.
Ayah Vanya pergi meninggalkan meja makan.
"Bi Minah." panggil Vanya.
"Ya, non. Ada apa non?" jawab Minah.
"Ayah rutin minum obatnya kan?" tanya Vanya.
"Iya, non. Rutin kok, non." jawab Minah.
"Oh, baiklah. Bi nanti tolong buatin bekal makan siang ya bi." kata Vanya.
"Baik, non."
Vanya pun meninggalkan meja makan dan kembali ke kamarnya. Vanya menyalakan ponselnya dan melihat teman-temannya itu sedang berjuang menjadi jaksa dan hakim.
Aku iri. Kalau bukan karena perjodohan bodoh ini aku pasti juga sedang berjuang menjadi pengacara. gumam Vanya.
5 jam berlalu. Vanya bersiap diri ke rumah sakit tempat di mana Lucas bekerja. Rumah sakit yang sekaligus dipimpin Lucas. Tidak lupa tangan Vanya memegang paperbag yang berisi bekal makan untuk Lucas.
"Permisi, saya ingin bertemu dengan Lucas." ucap Vanya.
"Dokter Lucas maksudnya?" tanya perawat yang bertugas di meja.
"Ah iya. Katanya hari ini dia penuh jadwal operasi. Apa masih bisa bertemu?" balas Vanya.
"Ya, betul. Hari ini Dokter Lucas penuh jadwal operasi. Kamu bisa menunggu di kursi tunggu sementara kami akan menghubungi departemen dokter Lucas bekerja." jawab perawat.
"Baiklah." kata Vanya.
"Atas nama siapa?" tanya perawat.
"Vanya. Bilang saja Vanya ingin bertemu." jawab Vanya.
"Baiklah, Bu Vanya. Mohon menunggu." ucap perawat.
Sambil menunggu di kursi tunggu, Vanya tidak henti-hentinya memanyunkan bibirnya, menatap jam yang melingkar di tangannya.
Demi pernikahan bodoh ini, aku rela melakukan hal bodoh. Huh. batin Vanya.
———
Edward (ayah Lucas) bersama rekan dokter lainnya turun ke lobi untuk pergi makan siang.
"Ke mana tujuan kita untuk makan siang, dokter Edward?" kata rekannya.
"Sepertinya menu iga sapi cocok untuk kita siang ini." jawab rekan yang lain.
"Ah betul. Mari kita eh?" jawab Edward lalu terputus ketika melihat sosok Vanya duduk di kursi tunggu.
"Calon menantuku!" pekik Edward lalu menghampiri Vanya.
"Vanya? Sedang apa kamu di sini?" ucap Edward.
"Ah, paman. Aku sedang menunggu....." jawab Vanya terpotong.
"Menunggu? Siapa yang membuat calon menantuku ini menunggu? Katakan pada paman. Apa mereka yang menyuruhmu menunggu?" ucap Edward dengan nada meninggi sambil menunjuk perawat.
"Ah bukan paman. Bukan begitu. Aku sedang menunggu Lucas. Katanya jadwal dia sedang penuh dengan operasi." jawab Vanya.
"Oh begitu. Iya benar tetapi...." kata Edward terputus ketika rekan kerja yang dia tinggal menghampirinya.
"Dokter Edward? Siapa dia?" tanya rekannya.
"Oh ini calon menantuku." jawab Edward.
"Halo, nama saya Vanya. Senang bertemu dengan kalian." sahut Vanya.
"Dokter Edward sungguh luar biasa. Tidak hanya berbakat di atas meja operasi tetapi dia juga berbakat mencari menantu." kata rekannya.
"Benar. Dia sangat cantik." kata rekan yang lain.
"Ahah terima kasih. Tapi maaf saya tidak bisa bergabung makan siang hari ini." ucap Edward.
"Hahah ya tidak apa apa. Kalau begitu, kami pergi dulu." balas rekannya.
Selepas kepergian rekannya, Edward mengajak Vanya untuk ke ruangannya.
"Lucas! Datang ke ruanganku cepat! Vanya datang ingin menemuimu! Cepat!" ucap Edward di telepon.
"Paman, kalau Lucas masih harus mengoperasi pasien tidak apa-apa. Mungkin lain waktu kita bisa bertemu." kata Vanya.
"Ah tidak mungkin, Vanya. Ini kan jam makan siang. Tidak ada dokter yang mengoperasi pasien." balas Edward.
———
"Jam berapa jadwal operasiku berikutnya?" tanya Lucas kepada perawat.
"Jam 1 siang, dok." jawab perawat.
"Saya akan ke ruangan pimpinan Edward." ucap Lucas lalu pergi menuju ruangan Edward.
"Vanya." ucap Lucas ketika masuk ke dalam ruangan Edward.
"Beritahu orangmu di bawah untuk tidak membuat Vanya menunggu. Jangan sampai kejadian tadi terulang kembali." kata Edward.
"Ya, ayah. Vanya, kamu ingin menemuiku?" ucap Lucas.
"Pergi. Carilah tempat yang bisa membuat calon menantuku nyaman." kata Edward.
Segera Lucas menarik tangan Vanya dan membawanya pergi dari ruangan Edward. Setelah memasuki lift, rupanya tangan Lucas masih menggenggam tangan Vanya. Dengan sigap, Vanya melepasnya.
"Pertemuan pertama kamu menyentuh rambutku. Pertemuan kedua kamu menyentuh tanganku. Apa kamu tidak mengetahui perihal kesopanan? Aku rasa kita tidak sedekat itu sampai kamu bisa menyentuhku." ucap Vanya.
"Ya, aku tidak mengetahui kesopanan yang kamu maksud. Berhati-hatilah. Pertemuan ketiga aku akan menyentuhmu lagi." balas Lucas.
Bulu kuduk Vanya bergidik. Seram sekali mendengar perkataan Lucas barusan. Lucas seperti laki-laki mesum.
"Lagipula.." ucap Lucas sambil menghadap Vanya.
"Bukannya kita dekat? Sangat dekat." sambung Lucas sambil berjalan maju sedangkan Vanya terus berjalan mundur.
"Kita kan akan segera menikah." bisik Lucas di telinga Vanya.
Tingg.. Lift terbuka. Sampailah mereka di atap rumah sakit milik Lucas. Keluarlah Lucas dari dalan lift. Huhh aku hampir kehabisan napas karena dia!! batin Vanya.
Hah.. kenapa dia memilih tempat terbuka lagi? Bagaimana kalau rambutku berterbangan lagi? batin Vanya saat melihat dirinya tiba di atap.
Bersambung...
Terima kasih sudah membaca novel Laki-laki Pilihan Ayah. Berikan dukunganmu kepada Author dengan memberikan like, tips, komentar, dan vote. Jangan lupa tambahkan novel ini ke favorite Anda agar mengetahui up episode terbaru.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!