Marvin Leonardo, saat kecil dia sering dipanggil Marvin, namun setelah dewasa dia mengubah identitasnya menjadi Adam Alvarez, karena nama di masa kecilnya mengingatkan dia pada kisah kelam saat dia masih berusia 10 tahun.
Malam itu adalah malam yang paling tidak bisa dia lupakan, karena malam itu dia melihat ibunya sangat terpukul melihat Tuan Rama Leonardo membawa seorang wanita beserta anak perempuan kecil ke dalam mansion, rupanya diam-diam Tuan Rama telah menikah lagi, bahkan telah memiliki seorang anak dari hasil hubungan gelap mereka.
"Siapa mereka, Mas?" Bu Rena menujuk Sonya dan anak kecil bernama Nadine.
"Dia adalah istri dan anakku, kami sudah menikah 6 tahun yang lalu." Tuan Rama mengatakannya tanpa ada rasa penyesalan.
Bu Rena tercengang mendengarnya, membuat emosinya meledak. "Jadi selama ini kamu khianatin aku? Tega sekali kamu Mas Rama!"
Saking emosinya, Bu Rena hampir saja mau menyerang Sonya. "Dasar wanita murahan, tega sekali kamu merebut suamiku."
Namun dengan sigap Tuan Rama menahan tangan Bu Rena, dia malah berbalik menampar istri pertamanya.
Plakkk...
Marvin terkejut melihatnya, dia langsung berlari menghampiri mamanya. "Mama!"
Marvin tidak terima mamanya ditampar oleh sang ayah, karena ini bukan pertama kalinya, Tuan Rama sering melakukan kekerasan pada Bu Rena, dan Marvin selalu sigap untuk melindungi sang mama walaupun akhirnya dia juga harus mendapatkan penyiksaan dari Tuan Rama. Mungkin karena Tuan Rama sudah dibutakan oleh cinta, makanya dia tega melakukan hal kejam seperti itu.
Nadine, gadis berusia 6 tahun itu sangat ketakutan sekali melihat pemandangan mengerikan seperti itu, dia berdiri di belakang Sonya. Sementara Sonya menyeringai licik, namun dia pura-pura lugu.
"Kenapa papa tega menampar mama?" Anak berusia 10 tahun itu mengatakannya dengan emosi kepada sang ayah.
"Berani sekali kamu membentak ayahmu heuh!" Tuan Rama tak terima dibentak seperti itu oleh anaknya.
Plakk...
Plakk...
Plakk...
Tuan Rama menampar wajah Marvin beberapa kali sampai hidungnya berdarah.
"Shh... arrrggghhh..." Marvin mengerang kesakitan. Dia kehilangan keseimbangan tubuhnya, lalu tubuhnya ambruk ke lantai, tepat di depan Bu Rena.
Bu Rena langsung memeluk Marvin sambil menangis, dia tidak tega melihat Marvin terluka seperti itu. "Astaga, Marvin."
"Kamu selalu memihak mamamu, itu yang membuat papa tidak suka. Aku tidak akan mengakui kamu anakku lagi, Marvin." Tuan Rama rupanya lebih menyayangi Nadine karena Nadine adalah anak yang sangat penurut, terlebih dia adalah anak dari wanita yang sangat dia cintai.
Tuan Rama merasa bersalah karena telah memperlihatkan kekejamannya di depan anak kesayangannya. Dia mendekati Nadine yang sedang bersembunyi di belakang istri keduanya. Dia mengusap lembut pucuk kepala Nadine. "Maafkan papa, Nadine sayang. Mereka memang pantas mendapatkan hukuman seperti itu."
Nadine dengan ketakutan menganggukkan kepalanya, dia tidak berani melawan, karena sekali saja dia berbuat kesalahan maka dia akan disiksa oleh Sonya, tanpa sepengetahuan Tuan Rama.
Sonya pura-pura peduli pada istri pertama suaminya, "Kasian mereka lho, Mas."
"Gak apa-apa sayang, kamu jangan terlalu baik, mereka pantas mendapatkannya, mereka tidak mau menuruti semua keinginanku." Kemudian Tuan Rama menatap dengan sangar kepada Marvin dan Bu Rena, "Mulai detik ini juga kalian pergi dari mansion ini!"
Bu Rena menghampus air matanya, dia membantu Marvin berdiri, dia rasa lebih baik dia pergi dari mansion ini, padahal sebenarnya dulu dia dan suaminya berjuang bersama merintis perusahaan Leon Grup, hingga bisa sebesar sekarang. Namun setelah sukses suaminya malah lupa diri. "Baiklah, ayo kita pergi, Marvin"
"Aku bersumpah suatu saat nanti hidup kamu akan hancur, Rama. Dan kamu akan berada di dalam hidup yang penuh dengan penyesalan." Bu Rena mengatakannya dengan menatap tajam pada suaminya.
Tuan Rama terpancing kembali emosinya, dia melayangkan tangannya untuk menampar Bu Rena kembali, beruntung Marvin segera menahan tangan sang ayah.
"Jangan pernah berani menyakiti mamaku lagi!" Marvin menatap tajam pada ayahnya, kemudian pandangannya beralih ke Nadine. Dia sangat membenci gadis kecil itu, sampai dia mengepalkan tangannya
Tuan Rama memanggil tiga bodyguard untuk menghadapnya, "Cepat seret mereka ke jalan, jangan pernah biarkan mereka menginjakkan kaki lagi di mansion ini."
...****************...
Malam itu hujan turun begitu deras, Marvin dan Bu Rena berteduh di depan sebuah toko kuno yang sudah tutup, Marvin melihat mamanya menangis, matanya berkaca-kaca, tidak tega melihat mamanya menangis seperti itu.
Marvin mengepalkan tangannya, dia bersumpah suatu saat nanti dia akan membuat ayahnya menangis seperti itu.
Bu Rena menghapus air matanya, dia tidak boleh terlihat sedih di depan Marvin. Kemudian dia mengobati luka di wajah Marvin dengan salep luka.
"Malam ini kita akan kemana, Ma?" tanya Marvin, dia berusaha untuk tidak meringis, walaupun luka di wajahnya sangat terasa sakit sekali.
"Mama, tidak tau sayang. Malam ini kita tidur saja disini ya." Bu Rena memang tidak membawa uang satu persen pun karena suaminya mengusirnya begitu saja tanpa mengizinkan dia untuk membawa pakaian atau uang yang dia punya.
Suara guntur menggelegar di angkasa, dan cahaya kilat memancar di atas langit, hujan tak kunjung reda, jalanan begitu sepi, ibu dan anak itu hanya tidur di depan toko beralaskan dus yang telah usang.
Tiga bulan kemudian...
Sudah tiga bulan Marvin dan Bu Rena tinggal di kampung, bahkan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka, Bu Rena harus berjualan keliling kampung, untuk mencari sesuap nasi.
Walaupun hidup sederhana, tinggal di rumah kumuh, mereka lebih bahagia, dibandingkan harus tinggal di Mansion Leonardo, disana hidup penuh penderitaan.
"Mama... mama..." Marvin berlari dengan penuh gembira, karena hari ini dia mendapatkan nilai ulangan matematika 100, dia ingin menunjukannya pada sang mama.
Namun rupanya di rumah telah kedatangan seorang tamu, Bu Rena memiliki seorang adik, pria itu bernama Om Theo. Hubungan kakak dan adik itu mulai merenggang karena Bu Rena tidak suka jika adiknya harus memiliki bisnis di dunia gemerlap.
"Kurang ajar sekali si bajingan Rama itu, beraninya dia mengusir mbak Rena dan Marvin. Akan aku beri pelajaran sama dia." Om Theo mengatakannya dengan emosi.
"Jangan Theo, mbak udah nyaman hidup seperti ini. Mbak udah gak peduli lagi tentang pria itu." Bu Rena mengatakannya dengan nada memohon.
"Tapi dia sudah keterlaluan, mbak. Bahkan mbak ikut andil dalam membangun perusahaan Leon Grup itu."
"Mbak gak peduli soal perusahaan, mbak mohon sama kamu untuk tidak ikut campur urusan mbak." Bu Rena hanya menginginkan hidup tenang dan nyaman bersama Marvin walaupun dalam keadaan yang sangat sederhana.
Om Theo hanya menghela nafas, dia terpaksa mengalah, "Ya udah, kalau begitu ayo mbak dan Marvin ikut sama aku, kita tinggal bareng di rumah aku."
"Maafkan mbak, Theo. Mbak sudah nyaman tinggal disini. Mbak hanya ingin hidup tenang bersama Marvin."
"Ayah sebenarnya sayang sama mbak, dulu dia hanya tidak suka dengan hubungan mbak sama mas Rama. Saya rasa mbak yang lebih berhak mendapatkan warisan ayah."
Bu Rena menggelengkan kepala, "Kamu simpan aja untuk Marvin dewasa nanti, saat ini mbak hanya ingin menenangkan diri disini."
Om Theo terpaksa menganggukkan kepalanya.
...****************...
Sementara itu di Mansion Leonardo, saat ini sedang diadakan pesta dengan begitu meriah, rupanya sang anak tersayang, Nadine Leonardo telah berulang tahun hari ini.
Banyak sekali para tamu undangan yang hadir disana, karena Tuan Rama mengundang kerabat dan rekan-rekan bisnisnya.
"Anak anda cantik sekali, Tuan Rama. Bagaimana kalau Nadine jodohkan saja dengan anakku, Damar." ucap Tuan Dafa kepada rekan bisnisnya itu.
Tuan Rama terkekeh, "Tentu saja, saya juga ingin besanan dengan anda."
Nadine, anak berusia 6 tahun itu belum mengerti apa-apa, dia hanya saja tidak nyaman dengan pesta hari ini, apalagi dia menggunakan gaun yang membuatnya gerah.
Sonya menyeringai mendengarnya, akhirnya impian dia tercapai, akhirnya dia menjadi nyonya Leonardo, dan dia akan menjadi besan dari pengusaha kaya raya.
"Ma, Nadine gerah. Nadine boleh ganti baju gak?" Nadine mengeluh pada Sonya.
Sonya menatap geram pada Nadine, dia mencubit punggung Nadine, "Anak bodoh. Sudah, jangan banyak protes, mau mama hukum heuh?"
"Shh.... arrrggghhh, ampun Ma, sakit Ma." Nadine meringis kesakitan merasakan sakit dibagian punggungnya.
"Kamu kenapa Nadine?"
Mereka dikejutkan dengan suara Tuan Rama, Tuan Rama pasti akan marah jika anak kesayangannya disakiti oleh siapapun.
"Oh ini mas, aku lagi membenarkan resleting di punggung Nadine." Sonya pura-pura membenarkan resleting di gaun Nadine bagian belakang. "iya kan sayang?" tanyanya pada Nadine.
"I-iya, benar Pa." Nadine terpaksa menganggukkan kepala.
Tuan Rama terkekeh, "Oh gitu, kirain kamu lagi kesakitan, sayang."
Kemudian mereka melihat ada Asisten Dareen datang ke pesta ulang tahun itu.
"Maaf Tuan, ada hal penting yang harus saya bicarakan dengan anda." ucap Asisten Dareen kepada Tuan Rama.
"Oke baiklah, kita berbicara di ruang kerja saja."
Sonya sangat penasaran sekali hal penting apa yang ingin dibicarakan oleh suaminya dengan Asisten Dareen, dia memilih untuk mengikuti mereka.
Sonya berdiri di depan ruang kerja, dia menempelkan kupingnya ke daun pintu untuk menguping pembicaraan mereka.
"Pengacara Dicky memberikan kabar pada saya, sebentar lagi anda akan resmi bercerai dengan Nyonya Rena, Tuan."
"Hm bagus lah kalau begitu, saya tidak membutuhkan dia lagi."
"Tapi Tuan, seperti yang anda ketahui, Leon Grup itu di bangun oleh anda dan istri pertama anda, itu artinya jika kalian bercerai, maka harus ada pembagian harta gono gini, Tuan." Asisten Dareen mencoba mengingatkan.
Tuan Rama menghela nafas mendengarnya, namun dia berpikir lagi bagaimanapun juga Marvin adalah anaknya, jadi dia rasa tidak ada salahnya dia memberikan sebagai hartanya untuk mantan istrinya, untuk mencukupi kebutuhan Bu Rena dan Marvin. Itung-itung untuk menebus kesalahannya pada mereka. "Ya sudah kamu atur saja sampai beres."
Sonya mencebik kesal, dia sangat tidak terima dengan keputusan suaminya, dia segera pergi dari sana, mencari tempat yang sepi.
"Shittt, gak bisa dibiarkan, aku harus bertindak." Sonya berdiri di depan kolam renang, di bagian belakang mansion. Dia terus berjalan mondar-mandir.
Kemudian Sonya teringat dengan seseorang, dia segera menelpon orang itu. "Halo Erza."
"Kenapa sayang?" tanya Erza begitu mengangkat telepon dari Sonya. "Kapan kita harus bertemu lagi? Aku sangat rindu sekali sama kamu."
"Nanti aku akan atur jadwal pertemuan kita, sekarang ini kita sedang berada di situasi genting."
"Maksud kamu?"
"Si tua bangka itu ingin memberikan sebagian hartanya untuk istri pertamanya, karena itu kita harus bertindak. Lebih baik kamu bunuh si Rena dan anaknya."
"Hm... oke sayang, kamu tenang saja, dalam urusan membunuh itu hal yang gampang."
Marvin setiap pulang sekolah selalu membantu mamanya untuk berjualan makanan ringan, dengan cara berkeliling kampung. Dia sama sekali tidak malu, walaupun sering di ejek oleh teman sekelasnya.
"Dasar anak miskin!"
"Anak miskin!"
Di sekolah, banyak anak laki-laki yang terus saja menghina Marvin, karena mereka pernah melihat Marvin berjualan keliling, Marvin berusaha untuk bersabar, dia memilih untuk diam, dari pada harus melawan.
Walaupun kini pandangan teman-teman sekelasnya tertuju padanya, seakan memandanginya dengan penuh hina.
"Aku dengar Marvin tidak memiliki ayah, apa mungkin ibunya seorang pela-cur haha..." Ledek seorang anak laki-laki berbadan gendut. Anak itu bernama Anton.
Marvin tidak bisa menahan emosi jika ada yang berani menghina ibunya, dia langsung berdiri, pandangannya begitu tajam pada Anton, lalu berjalan dengan cepat ke arahnya.
Bugh...
Marvin meninju wajah Anton dengan keras, sampai Anton yang sedang duduk di atas meja terjungkal ke lantai.
Tak ada kata pengampunan untuk seseorang yang telah berani menghina orang yang paling berharga untuknya.
Bugh...
Bugh...
Marvin terus menghajar Anton, membuat anak itu babak belur.
Para anak laki-laki lainnya yang ikut menghina Marvin, mereka mendadak diam. Mereka sangat ketakutan sekali melihat Marvin yang sedang menghajar Anton, seperti kerasukan setan.
"Marvin! Hentikan!"
Pak Guru Andi, dia terkejut saat memasuki kelas, dia melihat Marvin yang sedang menghajar Anton.
Marvin terpaksa menghentikan aksinya, dia berdiri dengan nafas terengah-engah, lalu menatap tajam pada anak-anak yang telah menghina dirinya. Dari tatapannya seperti iblis, mungkin karena di dalam jiwanya telah dirasuki kemarahan yang terpendam.
Pak Andi membantu Anton berdiri, anak itu merintih memegang wajahnya yang dibuat babak belur oleh Marvin.
Plakk!
Tanpa di duga, Pak Andi menampar keras wajah Marvin.
"Apa kamu tau siapa Anton? Dia ini anak dari donatur di sekolah ini. Berani sekali kamu menghajarnya." Pak Andi memaki-maki Marvin.
Marvin memegang wajahnya, dia hanya diam, dia tidak mungkin melawan gurunya.
...****************...
Namun rupanya masalah ini telah menjadi masalah besar, Marvin dikeluarkan dari sekolah, mungkin karena dia hidup miskin membuat semua orang memandang rendah padanya. Makanya tanpa memberikan kesempatan padanya, dia dikeluarkan begitu saja.
Bu Rena pergi ke sekolah Marvin, dia memohon-mohon kepada ayahnya Anton, Pak Tomi, agar tidak mengeluarkan Marvin dari sekolah.
"Saya mohon, tolong jangan keluarkan Marvin dari sekolah. Saya pastikan kejadian ini tidak akan terulang lagi, saya mohon, Pak." Bu Rena memohon ampun kepada Pak Tomi, selaku investor di sekolah dasar tempat Marvin sekolah.
"Maaf, gak bisa. Anak anda sudah keterlaluan. Gara-gara anak gak tau diri itu, anak saya babak belur." Keputusan Pak Tomi sudah bulat untuk mengeluarkan Marvin.
Bu Rena masih tidak menyerah, baginya masa depan Marvin sangat penting, sampai dia rela bersujud di hadapan Pak Tomi. "Saya mohon, Pak. Tolong jangan keluarkan anak saya."
Marvin tidak terima melihat mamanya harus bersujud seperti itu, dia membantu mamanya berdiri. "Jangan pernah melakukan hal ini lagi, Ma. Jangan pernah merendahkan diri lagi demi Marvin." Marvin mengatakannya sambil menangis.
"Tapi Marvin..."
Marvin menarik tangan Bu Rena, membawanya keluar dari sana.
"Disini masih ada Sekolah Dasar yang lain, Ma. Marvin janji, Marvin tidak akan berbuat ulah lagi. Marvin tidak akan membuat mama kecewa lagi."
Hati Bu Rena meringis mendengarnya, dia mengusap lembut wajah Marvin yang lebam, anak seusia Marvin mengapa harus menderita seperti ini, padahal keinginan mereka sangat sederhana, hanya ingin hidup dengan nyaman.
"Ma,"
"Kenapa, sayang?"
"Kita salah apa? Kenapa kita harus hidup menderita seperti ini?"
Mata Bu Rena berkaca-kaca mendengarnya, "Kita gak salah, Marvin. Hanya saja keberuntungan belum berpihak kepada kita."
"Kalau begitu Marvin akan mencari keberuntungan itu, Marvin akan ingin menjadi orang yang sukses. Dan Marvin akan selalu membuat mama bahagia."
Bu Rena sangat tersentuh dengan perkataan Marvin, tanpa terasa dia meneteskan air matanya, Bu Rena segera menghapus air matanya kembali, dia harap begitu, dia ingin bisa hidup lebih lama lagi bersama Marvin, melihat Marvin tumbuh dewasa, dan menjadi pria yang sukses. Dan berharap bisa melihat siapa pendamping hidup Marvin setelah dewasa nanti.
...****************...
Berbeda dengan kehidupan Nadine Leonardo, disekolah dia begitu di puja oleh teman sekelasnya dia diperlakukan bak seorang putri, karena Tuan Rama adalah pemilik di Sekolah Harapan.
Nadine merasakan ada seseorang yang sedang memperhatikannya di luar gerbang sekolah, membuatnya tidak nyaman, dia segera berjalan ke arah gerbang sekolah.
Namun sayangnya orang itu terburu-buru sekali untuk pergi dari sana, membuat Nadine kebingungan menatap punggung orang itu, rupanya orang itu seorang wanita dewasa, mungkin usianya sekitar 30 tahunan. Sayangnya Nadine tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas.
Hampir tiap hari dia selalu merasa ada yang memperhatikannya, setiap dia berada di sekolah.
Walaupun hidup bergelimang harta, apapun yang dia inginkan selalu terpenuhi, bahkan sangat dimanja oleh papanya, namun Nadine tidak merasa bahagia, dia harus ditekan menjadi anak penurut oleh mamanya. Dan harus terlihat menjadi anak yang sempurna, menjadi anak yang patuh, dan mamanya menekan dia untuk selalu mendapatkan rangking satu, agar suaminya merasa bangga memiliki anak seperti Nadine.
Nadine selalu teringat pada kejadian 3 bulan yang lalu, dia sangat merasa bersalah kepada istri pertama papanya dan Marvin, gara-gara kehadirannya menyebabkan mereka di usir oleh sang papa. Namun anak seusia Nadine tidak bisa berbuat apa-apa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!