... Sang askara disembunyikan di dalam gelapnya Jenggala. Di balik benteng Niskala dan dilindungi seorang ksatria dirandra. Yuwaraja yang akan merebut kembali antapura dan kanagara yang menjadi miliknya. Yang mengembalikan antakara yang telah lama hilang. Menjadi jawaban atas setiap triasih dan ambrastha Abimana. Yang membuat lengkara menjadi amerta....
...– anonim...
...***...
Seekor kuda berlari dengan sangat cepat menuju ke sebuah hutan yang lebat. Ketukan kakinya memecah keheningan malam. Di atas punggungnya terdapat seorang wanita yang sedang menggendong seorang bayi laki laki yang sedang menangis dan seorang balita berumur lima tahun yang duduk di depannya. Wanita itu berusaha menenangkan anaknya dan sesekali menoleh ke belakang,memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Dia memacu kudanya supaya berlari lebih cepat. Sinar rembulan yang cerah menyambut mereka begitu keluar dari hutan.
Wanita itu segera memperlambat lari kudanya ketika melihat sebuah bangunan besar. Seorang wanita paruh baya terlihat berdiri di depan gedung itu,yang memang sedang menantikan kehadirannya. Wanita itu menghentikan kudanya. Kakinya segera melangkah cepat ke arah wanita paruh baya itu.
"Kumohon jaga mereka," ucapnya seraya memberikan kedua anaknya kepada wanita paruh baya tadi.
Wanita paruh baya itu mengambil bayi yang masih menangis itu ke dalam gendongannya. " Aku akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjaga mereka. Jangan khawatir,mereka aman di sini."
Wanita itu memeluk putra sulungnya,lalu berganti mengusap kepala anaknya yang sedang menangis dengan lembut. Dari pancaran matanya mengisyaratkan bahwa dia tidak tega meninggalkan anak anaknya.
"Baik baik,Nak. Ibu akan selalu bersama kalian."
"Hosh... Hosh... Hosh...."
Seorang remaja laki-laki bangun dengan napas yang memburu. Jantungnya berdetak cepat. Butiran keringat memenuhi dahinya. Mimpi itu lagi. Ini sudah kesekian kalinya dia memimpikan hal yang sama selama beberapa tahun terakhir. Dia menggelengkan kepalanya, berusaha melupakan mimpi itu. Namun, mimpi itu masih menimbulkan pertanyaan di dalam kepalanya.
Siapa wanita itu? Siapa bayi dan anak laki-laki itu? siapa wanita paruh baya itu? Pertanyaan itu masih belum mendapatkan jawaban. Dia sudah berusaha untuk mengetahui maksud mimpi itu, tetapi hasilnya nihil. Dia tidak tahu apa maksud mimpi yang selama ini selalu hadir dalam tidurnya.
Namanya Regulus Salvador Shailendra. Usianya kini baru menginjak tujuh belas tahun. Selama beberapa tahun terakhir dia menghabiskan waktunya untuk mencari maksud dari mimpi itu. Mimpi itu pertama kali hadir saat dia berumur sebelas tahun. Awalnya dia menganggapnya hanya bunga tidur saja, namun lama-kelamaan mimpi itu mulai mengusiknya, walaupun tidak setiap hari hadir di mimpinya.
Puluhan buku dia baca. Ratusan informasi dia cari. Namun, tidak ada satu pun yang bisa menjelaskan mimpi itu. Salvador bahkan sampai frustasi, karena tidak kunjung tahu maksud mimpi itu. Harus kemana lagi dia mencari informasi. Kenapa tidak ada satu pun titik terang? Atau mungkin belum saatnya dia tahu?
Kring....
Lamunannya buyar begitu saja saat sebuah jam beker berbunyi dengan nyaring. Salvador menoleh ke arah jam yang berada di meja samping tempat tidurnya. Pukul enam pagi. Dia mematikan jam beker itu, turun dari kasur dan langsung bergegas menuju ke kamar mandi, sebentar lagi dia harus berangkat ke sekolahnya. Setelah beberapa menit digunakannya untuk mandi dan berganti baju, akhirnya dia siap untuk berangkat.
Pakaian sekolah terpasang rapi di badannya. Kemeja dan celana yang berwarna hitam dengan jas berwarna navi. Juga dasi yang berwarna senada dengan jasnya. Rambut hitamnya juga disisir rapi dengan gaya two block.
Dilihatnya jam yang berada di meja. Pukul enam lebih tiga puluh menit. Masih ada waktu tiga puluh menit sebelum bel berbunyi. Mungkin cukup untuk berlatih, pikirnya. Salvador beralih melihat ke arah sebuah pensil yang berada di meja belajarnya. Tangannya terangkat ke arah buku itu, dia berusaha untuk konsentrasi. Tetapi, tidak terjadi apa-apa dengan pensil itu. Pandangannya berubah menjadi sendu.
Dia kemudian mencoba dengan mengayunkan kedua tangannya. Lagi-lagi tidak terjadi apa pun. Semua cara dia coba, mulai dari menghentakkan kakinya ke lantai hingga mencoba terbang. Bahkan, dia mencoba untuk berubah menjadi sesuatu, terdengar konyol memang. Salvador menghela napas, memandang kedua tangannya dengan sendu.
Teng... Teng... Teng....
Salvador terlonjak kaget. Pandangannya langsung beralih ke arah jam. Pukul tujuh tepat. Karena terlalu fokus dia sampai tidak menyadari bahwa sudah tiga puluh menit dia berlatih. Salvador langsung mengambil tasnya yang berada di kursi meja belajar dan langsung bergegas keluar kamar. Kaki panjang berlari dengan cepat menuju ke arah lift yang kebetulan kosong. Dia langsung menekan tombol lantai satu. Lift tertutup dan bergerak turun.
Ting....
Setelah lift berhenti di lantai satu, Salvador langsung bergegas keluar dari lift. Dia berlari sekencang-kencangnya melewati lapangan basket. Rambutnya yang semula rapi kini berubah menjadi berantakan karena tertiup angin. Asrama tempatnya tinggal dan sekolah hanya terpisah oleh lapangan basket saja. Dia dengan cekatan langsung masuk ke dalam lift yang hampir tertutup.
Salvador tidak sendirian, ada 3 murid laki-laki yang juga berada di dalam lift. Kebetulan juga kelas mereka berada di lantai yang sama. Ketiga murid itu menatap ke arah Salvador, mereka terkejut melihat aksi nekat Salvador tadi. Berbeda dengan Salvador yang terlihat tidak peduli. Dia melihat dengan gusar ke arah pintu lift yang tertutup. Ini kali pertamanya dia masuk saat bel sudah berbunyi. Perasaannya tidak tenang. Jam pertama hari ini diisi oleh guru yang terkenal killer seantero sekolah. Jika dia sampai telat, habis sudah riwayatnya.
Ting....
Pintu lift terbuka. Salvador langsung berlari kembali ke arah kelasnya. Helaan napas lega dia hembuskan ketika tahu bahwa belum ada guru yang masuk. Kaki panjangnya langsung berjalan menuju ke arah mejanya yang berada di barisan kedua urutan ketiga.
"Tumben telat?" tanya seorang remaja laki-laki yang duduk di sebelah kanan mejanya. Vernon Leandro.
Dirinya sempat terheran melihat sahabatnya yang baru datang itu. Pasalnya, selama hampir sepuluh tahun bersahabat dengan Salvador, baru kali ini dia melihat Salvador terlambat. Dia tahu bahwa Salvador adalah orang dengan kedisiplinan tinggi, bahkan dulu dia sampai pernah berkata bahwa mustahil Salvador terlambat. Dan hari ini dia melihat sendiri sahabatnya itu terlambat. Sangat sulit dipercaya!
Salvador hanya mengusap tengkuknya sembari menyengir. "Namanya juga manusia, wajar kalau khilaf."
Pembicaraan mereka terpaksa berhenti ketika sebuah suara tiba-tiba terdengar.
"Selamat pagi anak-anak," ucap seorang guru laki-laki yang baru saja masuk ke dalam kelas.
"Pagi," sahut semua murid.
"Baiklah, mari kita mulai pelajarannya. Buka buku kalian."
Typo\=maaf
Felaz Academy, sebuah akademi yang dibuat khusus untuk para pemilik kemampuan. Mereka yang mempunyai kekuatan luar biasa akan diajarkan tentang banyak hal di sini. Mulai dari yang dasar hingga akhir. Para muridnya juga berasal dari berbagai kalangan. Mulai dari pangeran, putri, hingga anak panglima. Gedung Academy ini dibuat dengan bentuk persegi panjang dengan empat lantai. Academy laki-laki dan perempuan berada di tempat berbeda.
Di tengah-tengah gedung dibuat sebuah taman yang ditumbuhi berbagai macam jenis bunga yang indah. Fasilitasnya juga dibuat selengkap mungkin agar dapat menunjang kebutuhan para murid. Terdapat puluhan kelas dengan masing-masing kelas terdiri dari empat puluh murid. Selain itu, terdapat juga sebuah asrama untuk tempat tinggal para murid yang berada tepat di sebelah gedung utama. Terdiri dari sepuluh lantai dengan ratusan kamar.
Gedung dan asrama ini dibuat di tengah hutan belantara. Di sekelilingnya dibangun tembok raksasa untuk menghindari serangan hewan buas, juga terdapat tameng kasat mata yang bertujuan untuk mencegah murid yang ingin kabur. Para murid akan dilatih di sini saat usia mereka menginjak tujuh tahun. Ada banyak tes yang akan dilakukan untuk menguji sampai mana kemampuan mereka.
Ada lima tingkatan dari Academy ini. Tingkatan pertama, tingkatan untuk para pemula. Di sini mereka akan dibimbing untuk mengetahui kekuatan apa yang mereka miliki. Tingkatan ke-dua, di sini mereka akan diajarkan untuk mengendalikan kekuatan mereka. Tingkatan ke-tiga, dimana mereka akan dilatih supaya kekuatan mereka bisa bertambah. Tingkatan ke-empat, mereka akan dilatih dan diuji untuk bertarung.
Tingkatan ke-lima, ini adalah tingkatan khusus untuk para penerus tahta. Mereka akan diuji dengan masuk ke dalam hutan belantara dan bertarung dengan para hewan. Namun, itu masih berada di dalam pengawasan Academy. Jika mereka berhasil, maka mereka akan dinyatakan lulus. Namun, jika gagal mereka akan mengulang kembali tahun depan. Selain diajarkan tentang kekuatan dan bertarung, para murid juga diajarkan cara menggunakan senjata, berbicara depan umun hingga cara bertahan hidup di situasi darurat.
Seperti hari-hari sebelumnya, kini para murid sedang berlatih menggunakan senjata di halaman belakang Academy. Suara senjata yang saling beradu terdengar menggema. Masing-masing murid membawa senjatanya. Ada tombak, pedang hingga panah. Di badan mereka juga terpasang rompi supaya tidak terluka.
Tring....
Salvador menangkis serangan lawannya menggunakan pedang di tangannya. Dia mengayunkan pedang ke arah lawan. Tubuhnya bergerak lincah di bawah terik matahari. Keduanya sudah berlatih sejak dua puluh menit yang lalu. Keringat bercucuran dari dahi hingga membasahi wajah keduanya. Mereka sangat fokus berlatih. Salvador memiringkan tubuhnya ke samping saat lawannya menyerang. Dia kembali memberikan serangan ke lawannya.
Suara peluit terdengar menggema, membuat semua murid yang sedang berlatih berhenti. Pandangan mereka langsung menuju ke arah seorang pria yang meniup peluit tadi. Tubuhnya berdiri dengan gagah di depan pintu masuk bagian belakang Academy.
"Latihannya cukup sampai di sini. Kita lanjutkan minggu depan," ucapnya dengan suara yang tegas.
Semua murid mengangguk. Mereka langsung pergi menuju asrama untuk membersihkan diri. Namun, berbeda dengan Salvador. Dia berjalan menuju ke arah sungai yang tidak jauh dari lapangan. Dia berjongkok di pinggir sungai dan mulai mencuci muka. Rasa segar langsung terasa di wajahnya. Walaupun sungai itu adalah sungai buatan, tapi air sungai itu begitu jernih. Bahkan, banyak yang menyangka sungai itu asli saat pertama kali melihatnya.
"Hai, Salvador!"
Sapaan riang itu langsung membuat pemilik nama menoleh. Tiga orang remaja seumurannya berjalan mendekat.
"Kau tidak ke asrama?" tanya orang yang memberikan sapaan tadi. Kavindra Tolucan, salah satu sahabat Salvador selain Vernon.
"Sebentar lagi," jawab Salvador.
"Eh, kau tahu? Si biru ini tadi dikalahkan berkali-kali oleh adik kelas. Seharusnya kau melihat bagaimana wajah kesalnya tadi." Kavindra tertawa keras. Terlihat sangat puas saat mengingat kejadian yang dialami temannya beberapa waktu lalu.
Namun, tawanya seketika berhenti ketika air menerpa wajahnya. Baju, muka dan rambutnya basah. Wajahnya yang semula riang langsung berubah menjadi muram. Kini giliran Vernon dan Salvador yang tertawa melihat keadaan Kavindra yang basah kuyup.
"Maaf, itu tadi sengaja," ucap dalang dibalik penyiraman air itu. Perceus Kenae.
"Hey! Apa kau tidak melihat keadaanku? Semudah itu kau berkata maaf?" ucap Kavindra tidak terima.
"Itu karena kau yang memulai."
"Aku hanya bercerita kepada Salvador."
"Yang salah itu saat kau tertawa dengan puas tadi."
"Dasar, biru!"
"Dasar, pemarah!"
Salvador dan Vernon yang menyaksikan pertengkaran itu hanya menggelengkan kepala. Sudah biasa menyaksikan keduanya bertengkar seperti ini. Sifat keduanya memang sangat bertolak belakang. Kavindra yang ceria, jahil, dan mudah marah serta Kenae yang tenang, selalu serius dan tidak suka mencari masalah.
Tapi, walaupun begitu keduanya lah yang selalu mencairkan suasana. Persahabatan tidak akan lengkap tanpa ada perbedaan, bukan? Ditambah dengan Salvador yang cuek dan suka menyendiri, serta Vernon yang selalu menjadi penengah. Bagi mereka perbedaan itu indah, karena dengan adanya perbedaan mereka bisa saling memahami dan saling melengkapi satu sama lain.
"Diamlah, biru!"
"Jangan panggil aku biru!"
Sungguh, Kenae sangat tidak suka dipanggil 'biru'. Entah bagaimana mulanya, sehingga Kavindra memanggilnya biru. Itu terjadi selama sepuluh tahun mereka bersahabat. Saat ditanya alasannya, Kavindra hanya menjawab, "Karena mata dan rambutmu berwarna biru. Maka dari itu aku memanggilmu biru."
"Hey, sudahlah. Lebih baik kita kembali ke asrama dan berganti baju. Apa kalian tidak merasa gerah?" Vernon langsung melerai keduanya sebelum keadaan semakin runyam.
"Ayo, kembali ke asrama. Aku ingin segera ke kantin. Perutku terasa sangat lapar," ucap Salvador. Dia berdiri dan berjalan terlebih dahulu menuju ke asrama.
Kenae dan Kavindra langsung diam. Ke-tiganya kemudian berjalan menyusul Salvador ke asrama. Memisahkan Kenae dan Kavindra yang bertengkar itu sangat mudah, tidak membuang banyak tenaga. Tapi, jika Kavindra bertengkar dengan Salvador, maka Vernon dan Kenae akan bekerja ekstra untuk memisahkan keduanya. Kavindra dan Salvador sama-sama tipe orang yang tidak mau mengalah.
Pertengkaran keduanya bermula karena masalah sepele, yaitu berebut makanan ringan. Vernon dan Kenae saat itu sampai kewalahan untuk memisahkan keduanya. Alhasil, pertengkaran mereka menjadi pusat perhatian dan diketahui oleh pengurus asrama. Keduanya pun dijatuhi hukuman. Maka dari itu, Vernon dan Kenae selalu waspada saat Kavindra dan Salvador sudah menunjukkan tanda-tanda pertempuran.
Typo \= maaf
***
Setelah pergi ke asrama, mandi dan berganti baju, kini ke-empatnya pergi menuju kantin. Rasa lapar sudah mendominasi sejak tadi. Ini sudah waktu makan siang, namun ke-empatnya lebih memilih ke kantin daripada ke dapur asrama. Mereka ingin membeli makanan ringan daripada makan nasi.
"Bagaimana dengan latihanmu?" tanya Kenae kepada Salvador.
"Tidak ada perubahan," jawab Salvador dengan lesu, "mungkin aku memang ditakdirkan tidak memiliki kekuatan," lanjutnya.
"Hey, kau jangan sedih, dong. Aku yakin kau pasti memiliki kekuatan." Kavindra memberikan semangat kepada Salvador.
"Tapi, kau lihat, kan? Selama tujuh belas tahun aku hidup, aku tidak tahu apa kekuatan yang aku miliki hingga detik ini. Tidak ada yang spesial dari diriku."
"Kau spesial. Sangat-sangat spesial. Kau sudah ditakdirkan. Mungkin saat ini kau belum tahu apa kekuatanmu, tapi percayalah suatu hari kau akan tahu siapa dirimu sebenarnya. Tidak mungkin seorang-"
Ucapan Kavindra terhenti ketika sebuah anak panah melesat dengan cepat menuju ke arah Salvador. Salvador yang terkejut dengan serangan mendadak itu langsung menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Tidak ada waktu baginya untuk menghindar. Dia memejamkan keduanya matanya, dahinya mengkerut, bersiap jika anak panah itu mengenainya.
Hingga beberapa detik berlalu, dia tidak merasakan apa pun. Salvador mencoba menurunkan kedua tangannya secara perlahan dan melihat apa yang terjadi. Matanya melotot terkejut saat melihat anak panah itu hanya berjarak beberapa centi darinya. Pusaran air yang tidak begitu besar mengelilingi anak panah itu. Salvador menoleh ke arah sumber pusaran air itu.
Beruntung Kenae tadi dengan cekatan langsung menahan anak panah itu. Jika tidak, maka bisa dipastikan anak panah itu akan mengenai Salvador. Keane mengarahkan pusaran air itu ke arah tiang beton yang tidak jauh darinya. Anak panah itu langsung terbelah menjadi dua begitu menabrak tiang beton.
Vernon dan Kavindra masih terdiam. Mereka masih syok dengan kejadian yang terjadi dalam waktu singkat itu. Bukan hanya mereka berdua, para murid yang menjadi saksi kejadian itu pun juga terdiam seperti patung. Kejadian yang tidak disangka-sangka dan terjadi dalam waktu yang singkat.
Kenae melihat lurus ke depan. Mata biru safirnya menyorot tajam ke arah seseorang yang berjalan mendekat. Tepukan tangan terdengar dari orang itu, juga senyuman mengejek yang ditampilkan olehnya. Di bahunya tersampir sebuah panah, bisa dipastikan bahwa dia yang meluncurkan anak panah itu.
"Wah... Wah...." Orang itu menggelengkan kepalanya.
"Kemampuanmu boleh juga," ucap orang itu.
"Kau lagi!" Kavindra yang sudah tersadar dari rasa syoknya langsung menyorot tajam ke arah orang itu.
"Kau tidak ada bosannya, ya. Apa masalahmu hingga terus mengganggu Salvador?"
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa laki-laki di depan mereka ini suka sekali mencari masalah. Tiada hari darinya tanpa mengganggu Salvador. Entah apa masalah di antara mereka berdua. Mereka juga tidak tahu alasan dibalik perilaku laki-laki itu.
"Apa maumu, Gasendra Danantya?" Kini, giliran Kenae yang bertanya. Suara datar terdengar dari setiap katanya.
Laki-laki yang dikenal dengan nama Gasendra itu hanya mengangkat bahunya. Tidak ada rasa takut darinya terhadap aura menusuk yang dikeluarkan Kenae.
"Tidak ada. Aku hanya ingin bermain-main saja dengannya."
"Apa kau tidak sadar jika baru saja membahayakan nyawa seseorang?"
Gasendra terkekeh. "Aku hanya bercanda tadi."
Kavindra yang mendengar itu menggeram marah. Bisa-bisanya Gasendra mengatakan hal itu dengan santai, padahal dia baru saja bermain-main dengan nyawa seseorang. "Apa kau sudah gila, hah? Kau tidak lihat, anak panahmu bisa saja melukai Salvador jika Keane tidak menahannya. Kau bilang itu hanya bercanda?"
"Wow.... Tidak usah emosi begitu, bung. Lagipula temanmu tidak apa-apa, kan."
"Kau keterlaluan!"
Kavindra melangkah maju, mendekat ke arah Gasendra. Sungguh, dia geram sekali dengan sikap Gasendra yang semakin hari semakin semena-mena. Vernon yang mendapat sinyal bahaya segera menghentikan Kavindra. Dia langsung menarik Kavindra dan Salvador pergi dari sana. Untuk Kenae dia tidak begitu khawatir. Kenae itu cukup pandai mengendalikan emosi, jadi tidak masalah jika dia tinggal.
Vernon harus mengamankan Kavindra dan Salvador terlebih dahulu. Bisa bahaya jika Kavindra sudah mengamuk. Bisa-bisa satu Academy dibakar habis olehnya. Dan, jika dia tidak segera membawa Salvador pergi dari sana, Gasendra bisa saja melakukan hal-hal yang lebih berbahaya untuk Salvador atau bahkan mengancam nyawanya.
Kenae mendekat ke arah Gasendra. Tatapan matanya masih menyorot tajam. "Ku peringatkan kau, jangan pernah mengganggu sahabatku lagi. Jika tidak, maka kau akan menerima akibatnya."
Setelah mengucapkan itu, Kenae langsung pergi meninggalkan Gasendra. Dia bukan tipe orang yang suka bermain-main dengan ucapannya. Jika dia bilang A, maka tetap A. Jika dia mengatakan sesuatu, maka dia akan menepatinya. Gasendra berbalik. Matanya melihat punggung Kenae yang perlahan menjauh. Senyuman miring tercetak di bibirnya.
***
Vernon, Salvador, Kavindra dan Kenae duduk dengan nyaman di salah satu kursi kantin. Bungkus makanan berserakan di atas meja mereka. Bermacam-macam makanan mereka beli. Kantin ini memang menyediakan banyak makanan ringan untuk para murid. Jika para murid sedang tidak ingin makan makanan berat, maka mereka akan langsung menuju ke kantin. Bisa dibilang lebih mirip supermarket daripada kantin.
"Apa kalian pernah mendengar tentang kerajaan Hielo?" tanya Kavindra memulai percakapan.
"Kerajaan Hielo? Aku tidak pernah mendengarnya," ucap Salvador.
"Aku hanya pernah mendengar namanya saja, tapi aku tidak tahu apa dan bagaimana kerajaan itu," sahut Vernon.
"Yang kudengar kerajaan itu adalah kerajaan es. Tempatnya di arah tenggara. Untuk tempat pastinya aku tidak tahu dimana," ucap Kenae.
"Kerajaan es?" tanya Vernon.
"Ya, tapi aku hanya tahu itu saja dari ayahku."
"Kenapa dengan kerajaan Hielo?" tanya Salvador penasaran.
Kavindra meneguk minumannya sebelum berbicara. "Dulu Kerajaan itu adalah Kerajaan yang makmur. Pemimpinnya adalah orang yang baik dan sangat mementingkan rakyatnya. Rakyat hidup dalam keadaan yang sangat sejahtera. Namun, semua itu berubah saat terjadi bentrokan di dalam istana. Pemerintahan diambil alih. Sejak saat itu rakyat hidup dalam kesengsaraan. Pemimpinnya hanya mementingkan tahta, kekuasaan dan harta saja. Banyak rakyat yang dibiarkan mati kelaparan."
"Kemana pemimpin sebelumnya?" tanya Vernon.
"Aku tidak tahu," jawab Kavindra. Tangannya mengambil salah satu bungkus makanan, membukanya dan memakan isinya.
"Kehidupan politik itu selalu rumit."
"Ya. Kehidupan politik selalu diwarnai dengan perselisihan dan perebutan kekuasaan. Bahkan, tidak jarang hukum rimba diterapkan. Siapa yang paling kuat dialah yang akan memimpin. Oleh karena itu, aku bersyukur tidak menjadi pewaris tahta."
"Kau tahu darimana cerita itu?" tanya Salvador.
"Aku tidak sengaja mendengarnya."
"Tunggu, jadi kau menguping pembicaraan orang?" tanya Kenae disertai dengan tatapan menyelidik.
Kavindra melempari Kenae dengan kulit kacang yang bertumpuk di atas meja. "Hey! Aku tidak menguping. Aku hanya tidak sengaja mendengar. TI-DAK SE-NGA-JA. Kenapa kau selalu menuduh ku, heh?"
"Kalian!"
Perhatian ke-empatnya teralihkan kepada seorang yang menatap tajam ke arah mereka. Tubuh mereka terdiam kaku. Dia adalah Axelle, ketua seksi kebersihan di Academy dan asrama. Dia terkenal sangat tegas jika berkaitan dengan kebersihan. Jika ada seorang murid yang tertangkap membuang sampah sembarangan, maka dia tidak segan-segan untuk memberikan hukuman.
Ke-empatnya menelan ludah. Tatapan Axelle benar-benar sangat mengerikan. Tanpa disuruh, mereka langsung membersihkan bungkus makanan dan kulit kacang yang berserakan dengan tergesa-gesa. Jika dalam kondisi seperti ini, sudah bisa dipastikan jika Axelle akan memberikan mereka hukuman.
Salvador mengelap meja menggunakan kain yang dia pinjam dari penjaga kantin hingga bersih. Kenae menyapu area sekitar tempat duduk mereka, sementara Kavindra dan Vernon langsung membuang sampah yang sudah mereka kumpulkan ke tempat sampah. Kejadian itu disaksikan oleh seluruh murid yang berada di kantin. Kejadian itu menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Kapan lagi mereka bisa melihat ke-empatnya dihukum seperti itu. Apalagi ada Salvador -yang terkenal sebagai murid teladan- yang ikut andil di kejadian itu.
Setelah semuanya bersih, mereka berdiri dihadapan Axelle dengan pandangan takut. Dalam hati mereka berdoa, semoga Axelle tidak jadi menghukum mereka. Axelle menelisik setiap sudut tempat duduk mereka, memastikan tidak ada satu pun sampah sekecil apa pun yang tertinggal. Pandangan matanya kembali melihat ke arah ke-empatnya.
"Jangan pernah ulangi lagi," ucap Axelle. Dia kemudian berjalan menjauh dari ke-empatnya.
Ke-empatnya menghela napas lega. Tuhan mengabulkan doa mereka. Syukur Axelle tidak menghukum mereka hari ini. Mungkin suasana hatinya sedang sangat baik, hingga tidak memberikan hukuman kepada murid yang melanggar aturan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!