...****************...
...Hallo, Man teman. Ketemu sama eska'er lagi. Ini karya eska'er yang kelima, ya. Semoga disukai para pembaca, mengikuti sampai ending. Jangan lupa tekan tanda favorit dan rating bintang lima, ya. Makasih🙏...
...Selamat membaca.......
...****************...
Aisyah tersenyum manis melihat wajah teduh sang suami. Tidak menyangka sama sekali jika kini statusnya sudah berubah menjadi seorang istri sejak seminggu yang lalu. Saling mengenal beberapa bulan lewat seorang teman, ternyata Bayu serius ingin menjalin hubungan dengannya.
Awalnya, Aisyah tidak memberi tanggapan sama sekali karena belum berniat menjalin sebuah hubungan, tetapi Bayu tidak patah arang, hingga akhirnya Aisyah menerima maksud baiknya.
“Aku tidak pernah pacaran dan tidak ingin pacaran. Jika Mas memang serius, silakan datang pada bapakku untuk meminangku.”
Kalimat itu sebenarnya adalah upaya penolakan yang dilakukan oleh Aisyah, saat Bayu mengutarakan cinta padanya dan mengajaknya untuk pacaran. Akan tetapi, Bayu justru menanggapinya dengan serius. Siap tidak siap, Aisyah akhirnya menerima pinangan Bayu.
Perlahan ia bawa kakinya untuk melangkah mendekati sang suami setelah meletakkan secangkir kopi panas di atas meja. “Mas, bangun. Sudah jam enam.” Aisyah mengguncang lembut lengan sang suami.
“Aku masih ngantuk, bentar lagi.” Bayu menyahuti tanpa membuka mata. Sedikit pergerakan yang ia lakukan hanya untuk membenahi selimut yang sudah merosot dari tubuhnya. Ia tarik selimut itu hingga menutupi tubuh hingga sebatas leher.
Mencoba mengerti kelelahan sang suami akibat kejadian semalam, Aisyah memberi toleransi waktu pada suaminya. Lima belas menit lagi ia akan membangunkan sang suami kembali. Toh, sudah melaksanakan salat subuh tadi.
Aisyah beranjak untuk mempersiapkan diri. Hari ini ia akan kembali bekerja. Masa cutinya telah habis. Tidak banyak yang ia persiapkan. Hanya memakai pelembab, bedak tabur, juga lip glos. Ia tidak suka berdandan menor. Usai itu, ia mengganti baju dengan seragam yang sudah ia siapkan.
Tidak terasa, dua puluh menit sudah berlalu, ia gegas membangunkan suaminya kembali. “Mas, sudah hampir setengah tujuh. Buruan bangun, nanti aku terlambat,” pintanya lembut sembari mengusap lengan sang suami.
Bayu menggeliat. Matanya mengerjap untuk menyesuaikan dengan cahaya yang menembus netranya. Terlihat raut kesal dari wajah yang baru bangun itu, hingga netra hazel itu menangkap sosok sang istri yang tengah tersenyum. “Terus apa hubungannya denganku?” tanyanya dengan nada ketus. Tatapan mata itu begitu nyalang membuat Aisyah segera menundukkan wajah.
Aisyah sedikit kebingungan dengan pertanyaan yang terlontar dari sang suami. “Ehm ... Mas, nggak mau nganter aku berangkat kerja?” tanyanya ragu.
“CK! Merepotkan saja. Biasanya kamu juga naik bemo. Kenapa sekarang minta diantar segala?” Bayu bangkit dari kasur dengan kekesalan yang menggunung karena tidurnya terganggu. Ia masuk kerja jam delapan, seharusnya masih bisa tidur satu jam lagi.
Aisyah hanya bisa termangu mendengar omelan sang suami. Tiba-tiba saja dadanya terasa sesak. Kata ‘Merepotkan’ seperti sebuah batu besar yang menghimpit hati.
Apakah mengantarkan istri sendiri adalah sebuah kerepotan? Bukankah suami dan istri harus saling mengisi? Lalu, kenapa bisa muncul kata ‘merepotkan’ dalam sebuah hubungan suami istri? Semua pertanyaan itu berputar di otak Aisyah, hingga membuat matanya menjadi buram karena butiran bening yang berjejalan ingin memaksa ke luar dari maniknya yang indah.
Melihat Bayu sudah ke luar dari kamar mandi, ia segera menghalau butiran bening itu agar tak semakin deras menetes. “Maaf, jika aku merepotkan. Tapi aku pikir kalau aku diantar sama, Mas, kan, lebih hemat uang bemo. Toh tidak jauh juga. Naik motor paling hanya sepuluh menit, kalau naik bemo masih harus ngetem di pertigaan lima belas menit,” terang Aisyah. Ia berharap dengan menjelaskan itu suaminya bisa mengerti maksudnya.
Uang amplop yang didapat dari pernikahan sudah kian menipis karena dipakai untuk menutupi kekurangan biaya pernikahan kemarin. Kini mereka harus berhemat untuk biaya hidup satu bulan ke depan juga untuk membayar kamar kos bulan depan.
Aisyah hanyalah karyawan outsourcing, di mana jika ia tidak masuk kerja otomatis ia juga tidak mendapatkan gaji. Sedangkan Bayu hanyalah seorang mekanik di sebuah bengkel motor kecil. Jadi, pendapatannya juga tidak pasti, tergantung berapa banyak ia melakukan perbaikan pada motor yang diservis di bengkel tempatnya bekerja.
Bayu berdecak kesal mendengar penuturan istrinya. “Kalau kayak gini, aku jadi mesti bolak-balik. Sama aja, boros di bensin.”
Aisyah tidak lagi menjawab melihat Bayu yang sudah kepalang emosi. “Belajar mandiri, dong, Dek! Jangan ngrepoti aku terus. Meski cewek, kamu juga harus bisa semuanya, biar bisa diandalkan,” omelnya lagi.
“Maaf.” Satu kata itu yang hanya bisa Aisyah ucapkan untuk menimpali omelan sang suami. Dadanya kian terasa sesak. Tidak pernah terbayang olehnya jika Bayu bisa bersikap seperti itu.
“Ayok, buruan! Jangan lelet!” Bayu segera menyalakan mesin motor bebeknya. Meski mengomel, ia tetap mengantar Aisyah.
Tidak ada lagi perdebatan yang terdengar setelah motor melaju. Aisyah hanya menundukkan wajah. Tidak ada senyum yang terukir di wajah manisnya, yang ada, butiran bening itu tetap memaksa untuk merembas ke luar membasahi pipi. Aisyah menangis dalam diam. Menggigit bibir agar tidak ke luar isakan.
“Apakah seperti ini wujud dari sebuah pernikahan? Aku kira, dengan adanya pernikahan akan semakin mengeratkan cinta kasih suami-istri karena telah menjadi satu,” monolognya dalam hati.
Bayangan pernikahan begitu indah di benaknya kala itu. Apalagi pengantin baru. Pasti semua akan terasa manis saat sang suami memperlakukannya dengan baik. Menjadikannya ratu dalam biduk rumah tangga yang mereka jalani.
Ternyata semua tidak seindah bayangannya. Baru seminggu berlalu ia sudah dipukul telak oleh kenyataan. Menghempaskannya ke dasar jurang kesadaran, bahwa semua itu hanya mimpinya belaka.
Tidak ingin sang suami melihatnya menangis, ia segera menghapus air mata. Ia tegarkan hati agar tidak lagi merasakan perih. Sesak yang mengimpit ia urai dengan berkali-kali membuang napas dengan kasar.
Sepuluh menit kemudian Aisyah sudah sampai di tempat ia bekerja. Tempat ia mengais rezeki selama tiga tahun terakhir. “Ais, kerja dulu, Mas.” Ia raih tangan sang suami untuk ia kecup punggung tangannya.
“Ya, sudah. Aku balik.” Bayu gegas memutar arah motornya. Ia ingin melanjutkan lagi tidur yang sempat terganggu. Aisyah menatap pilu kepergian sang suami, hingga suara seseorang mengalihkan atensinya.
“Wah ... ada pengantin baru, nih,” goda seorang wanita yang menghampirinya. Aisyah hanya membalas godaan temannya dengan sebuah senyuman. “Gimana rasanya belah duren?” Lagi Aisyah hanya menanggapi dengan senyuman.
“CK! Senyum mulu yang barusan dapat jatah.”
Aisyah memukul pelan lengan sang teman dengan mata yang sedikit melotot ke arah lawan bicaranya. “Ayok masuk, Mbak! Ngapain bahas gituan di sini?”
“Jadi mau bahasnya di dalam aja, nih? Boleh. Aku siap mendengarkan. Tapi, harus cerita yang detail, ya!”
Aisyah tidak menggubris perkataan temannya. Ia seret sang teman agar segera masuk ke ruangan yang mereka tempati untuk bekerja. Sepanjang kaki melangkah, mereka terpaksa harus menjeda langkah untuk menerima ucapan selamat dari teman yang kebetulan tidak bisa hadir di acara pernikahan Aisyah.
Tiba-tiba netranya menangkap sebuah adegan yang membuat dadanya kembali merasa sesak. Sepasang anak manusia yang tengah bergandengan tangan dengan mesra. Terlihat begitu bahagia dengan tawa yang mereka suguhkan.
...****************...
...To be continued...
Jangan lupa like, komentar dan gift, ya 🙏
...****************...
Hati Aisyah dilanda rasa nyeri. Bukannya dia iri, melainkan dirinya mengingat sikap manis Bayu sebelum mereka resmi menjadi suami istri. Setelah menikah, seharusnya kemesraan mereka seperti sepasang kekasih itu. Namun, usia pernikahan baru seminggu, perlakuan Bayu tidak semanis dulu.
"Lihat apaan, si?" Witri Anggraini—teman kerja Aisyah harus berbalik lagi, saat menyadari jika ternyata tubuh Aisyah tertinggal jauh dari langkahnya.
Aisyah tersentak, perhatiannya beralih kepada Witri. "Nggak lihat apa-apa, kok. Tadi cuma inget sesuatu aja," jawabnya sambil mengulas senyuman.
"Ya, udah. Ayo, masuk! Sebentar lagi jam kerja udah dimulai. Nanti kamu nggak keburu ceritain tentang malam pertama kamu sama aku."
Aisyah mendengus sambil melengos pergi. Ia tidak ingin membahas hal itu, jadi sebisa mungkin ia harus menghindarinya.
"Aish ... udah ditungguin, kok, malah ditinggal." Witri berusaha mengejar Aisyah yang meninggalkannya begitu saja. Setelah langkah Aisyah terkejar, mereka pun berjalan berdampingan menuju tempat kerja mereka.
***
"Eh, pengantin baru dah masuk kerja. Gimana-gimana? Ceritain, dong, rasanya malam pertama!" Sesampainya di ruangan kerja, Aisyah kembali diberondong pertanyaan yang serupa oleh temannya yang lain. Witri yang mengekor di belakangnya pun jadi tertawa kecil melihat Aisyah yang salah tingkah.
"Sabar, ya, Aish! Mulai sekarang kamu harus biasain diri buat dibully. Kayak aku dulu, pas awal nikah kayak gitu," kata Witri sambil menepuk pundak Aisyah lalu berjalan menuju meja kerjanya.
"Ya, udah. Tanyanya ke Mbak Witri aja! Dia lebih berpengalaman daripada aku," celetuk Aisyah yang juga berjalan ke arah meja kerjanya.
"Yah, kalau Witri, sih, udah basi. Nggak seru lagi."
"Sialan!" Witri melemparkan sebuah kertas yang sudah ia remas ke arah rekan kerjanya yang bernama Dadan, yang bekerja sebagai staff lapangan. Di ruangan kerja tersebut hanya ada empat orang yang menempati, yang terdiri dari supervisor, staff lapangan, staff admin gudang, dan staff admin produksi. Namun, teman Aisyah yang baru datang hanya Dadan dan Witri.
Suara gelak tawa dari ruangan tersebut tiba-tiba reda, manakala kedatangan seseorang yang dihormati oleh mereka. Dia adalah Arseno Pratama—Supervisor Produksi. Lelaki berusia 40 tahun itu datang bersama staff admin produksi yang bernama Pratiwi.
"Selamat pagi, Pak." Dadan, Witri, dan Aisyah kompak menyapa atasannya.
"Pagi," jawab Arseno dengan senyum tipis yang membingkai wajah kalemnya. Pandangannya beralih kepada Aisyah, "kamu udah masuk, Aish?" tanyanya.
"Sudah, Pak," jawab Aisyah sambil mengulas senyuman.
"Oh, iya." Arseno berjalan menuju meja kerjanya. Lalu mengambil sebuah kado yang disimpan di bawah meja, yang sudah ia siapkan sebelumya, "ini buat kamu. Maaf, waktu itu saya nggak bisa hadir. Ada urusan keluarga," imbuhnya sambil menyodorkan sebuah kotak yang dibungkus kertas kado bercorak batik kepada Aisyah.
"Terima kasih, Pak. Nggak apa-apa, kok. Malahan nggak perlu repot-repot kayak gini juga," ucap Aisyah. Sedikit canggung saat menerimanya, tetapi kalau ditolak, sayang juga.
"Nggak apa-apa. Semoga rumah tangga kamu SAMAWA, ya."
"Aamiin." Dengan cepat Aisyah meng-aminkan do'a yang terlontar dari mulut Arseno.
"Mbak Aisyah, ini ada satu lagi titipan kado." Pratiwi yang sejak tadi berdiri di belakang Arseno, langsung menggantikan posisi atasannya yang beranjak pergi.
"Wah, gede banget, Wi! Ini dari siapa?" Aisyah menerima kado berukuran agak besar, lalu berucap terima kasih.
"Sama-sama, Mbak. Itu dari anak-anak produksi. Mereka yang nggak bisa datang ke acara pernikahan, katanya patungan," jelas Witri.
"Oh, gitu. Bilangin makasih juga sama mereka, ya. Maaf, aku nggak bisa balas apa-apa."
"Iya, Mbak. Nanti aku bilangin."
Aisyah sedikit terharu dengan kepedulian rekan-rekan kerjanya tersebut. Walaupun Aisyah terbilang masih baru menjadi pegawai di perusahaan itu, teman-temannya tidak pernah pandang bulu.
***
Hari ini pekerjaan Aisyah sedikit lebih berat. Setelah seminggu cuti, pekerjaannya jadi lebih banyak. Memang ada seorang temannya yang membantu menghandle pekerjaan tersebut, tetapi tetap saja masih menumpuk.
Saat jam pulang kerja telah tiba, Aisyah pulang dengan membawa dua buah kado pemberian dari temannya. Dia yang memutuskan untuk naik angkutan umum merasa sedikit kerepotan, tetapi Aisyah tidak keberatan.
Aisyah memilih kerepotan di dalam angkutan umum, daripada harus merepotkan sang suami seperti tadi pagi. Kata "merepotkan" yang terlontar dari mulut suaminya saat diminta untuk mengantarnya bekerja, masih berdengung di telinganya. Lebih baik begini saja, Aisyah tidak ingin membuat suaminya kembali murka.
Sesampainya di rumah, ternyata Bayu belum pulang. Mungkin bengkel sedang ramai, jika seperti itu, biasanya Bayu akan pulang sampai menjelang malam.
Aisyah bergegas membersihkan diri, sebelum dirinya menyiapkan makanan untuk suaminya pulang nanti. Setelah semuanya rapi, dia pun membuka kado pemberian dari teman kantornya tadi.
Aisyah sedikit terkejut dengan kado pernikahan yang diberikan oleh teman sekantornya tersebut. Sebuah tas kerja merek Sushi Martin, sepatu kets merek Flabeo, dan satu set perabotan rumah tangga merek Tukkerware. Baginya semua itu adalah barang mahal yang jarang sekali bisa dibeli olehnya. Namun, Aisyah sangat bersyukur, karena sudah lama menginginkan barang-barang tersebut.
Selepas Magrib, Bayu baru pulang. Wajahnya terlihat kusut dengan bau khas oli yang menempel di bajunya. Ia segera membersihkan badan, sedangkan Aisyah menyiapkan makanan.
"Mas, makan dulu!" Aisyah menyusul suaminya yang sedang berganti baju di kamar.
"Kamu tadi belanja, Dek?" Pertanyaan itu yang langsung terlontar dari mulut Bayu. Pandangannya tertuju pada barang-barang baru yang bertumpuk di atas kasur. Aisyah lupa membereskannya, karena buru-buru keluar, saat mendengar suara ketukan pintu.
Pandangan Aisyah pun mengikuti arah pandang suaminya. Sebelum ia menjawab, sang suami kembali bersuara, "Kamu itu boros banget, sih, Dek. Itu, kan, barang-barang mahal semua. Barang-barangnya juga nggak penting buat keperluan kita. Mulai sekarang kamu itu harus hemat. Penghasilanku nggak akan cukup kalau harus memenuhi gaya hidup kamu yang boros kayak gini."
Aisyah tertegun sejenak. Belum juga Aisyah menjelaskan, tetapi Bayu sudah menuduhnya mempunyai hobi menghabiskan uang. "Tapi itu pemberian teman kerjaku, Mas. Katanya kado pernikahan," jelas Aisyah.
Terdiam sejenak. Bayu sepertinya malu karena salah menyimpulkan. "Oh, hadiah. Baguslah." Bayu menjawab datar, "aku mau makan dulu." Tanpa meminta maaf atas kesalahpahamannya barusan, Bayu pergi begitu saja meninggalkan Aisyah.
Aisyah hanya bisa menghela napasnya. Dia harus terbiasa dengan sikap Bayu. Mungkin memang sikap dasarnya seperti itu. Kata orang, setelah menikah, sikap asli setiap pasangan pasti akan terbongkar. Dan inilah fungsi pernikahan yang menyatukan dua perbedaan.
Namun, tetap saja Aisyah masih tidak menyangka, jika suaminya akan secepat itu berubah sikap kepadanya. Aisyah harus menerima semua itu, karena di balik sikap cuek Bayu, masih ada kebaikan yang pernah Aisyah rasakan dari lelaki itu. Bayu adalah lelaki yang bertanggung jawab dan setia. Dia tahu itu karena pernah mengujinya. Setelah Bayu mengutarakan maksudnya untuk mengajaknya menikah, Aisyah benar-benar mencari tahu tentang sosok Bayu. Tentang keluarganya, sikapnya, dan bahkan mantan-mantannya.
Satu hal yang Aisyah suka dari suaminya, lelaki itu belum pernah berpacaran sebelumnya. Itu artinya, Bayu adalah tipe orang yang serius dalam menjalin hubungan. Tidak ingin berpacaran dan langsung mengajak ke pelaminan.
...****************...
...To be continued...
Jangan lupa like, komentar dan gift, ya 🙏
...****************...
"Tadi banyak yang benerin motor, Mas? Tumben pulangnya abis Magrib." Aisyah bertanya saat keduanya tengah menikmati makan malam.
"Hm ... lumayan," jawab Bayu. Lalu memasukkan kembali makanan ke dalam mulutnya.
"Alhamdulillah," ucap Aisyah.
"Nanti aku kasih uang buat belanja."
"Iya, sekalian antar belanja, ya! Stok bahan makanan udah abis."
"Besok juga bisa," jawab Bayu cuek.
"Tapi buat bikin sarapan besok pagi juga nggak ada, Mas. Ayolah, sebentar aja! Lagian kontrakan kita deket sama pasar." Aisyah bersikap sedikit manja. Berharap suaminya ada belas kasihan kepadanya.
Bayu menjeda makannya sejenak mendengar Aisyah yang seolah memaksanya, lalu menyimpan sendok di atas piring dengan sedikit keras. Suara denting piring yang berbenturan dengan sendok yang dibanting, membuat Aisyah sampai berjingkat saking terkejutnya.
"Kamu, tuh, nggak ngerti banget, sih! Aku baru pulang kerja disuruh nganter kamu belanja. Aku capek, kerjaanku tadi banyak, dan sekarang mau istirahat."
Aisyah kembali termangu mendengar omelan Bayu. Hampir saja ia menumpahkan cairan bening yang sudah menumpuk di sudut matanya. Beruntung masih bisa dia tahan. Aisyah memang seperti itu, ia memang mudah menangis jika ada orang yang membentak dirinya. Sedangkal itu air matanya.
"Ma—maaf, Mas. Tadi aku kerepotan membawa kado. Jadi nggak bisa belanja dulu," terang Aisyah sedikit takut.
Embusan napas kasar pun terlontar ke udara. Bayu yang menyadari istrinya ketakutan, merasa sedikit menyesal. "Maaf, Mas kelepasan," sesal Bayu dengan nada lebih pelan.
Aisyah tersenyum pelik, tetapi perkataan maaf itu justru menjadi pemicu air matanya keluar tanpa permisi. Ia segera beranjak lalu pergi, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang begitu menyayat hati. Tak lupa ia sapu dengan kasar air mata yang sudah terlanjur mengalir di pipi.
Aisyah pergi ke kamarnya. Duduk termenung di tepi tempat tidur. Tak lama suaminya pun menyusul.
"Besok nggak perlu masak untuk sarapan. Kita beli saja," kata Bayu sambil merebahkan tubuhnya di sisi tempat tidur yang bersebrangan dengan tempat Aisyah berada.
"Kalau masak bisa lebih hemat, Mas. Aku takut uang simpanan kita nggak akan cukup sampai aku gajian, kalau kita selalu makan di luar."
"Cuma besok aja. Aku benar-benar capek hari ini. Lagian cuma beli sarapan doang." Bayu berbicara sambil memejamkan mata. Satu tangan ia simpan di atas keningnya.
"Apa kamu lupa. Biasanya aku suka bekal buat makan siang juga." Aisyah berkata tanpa melihat lawan bicaranya.
Sejenak hening. Aisyah yang heran kenapa suaminya tidak merespon akhirnya menoleh ke belakang. Bayu tampak bergeming dengan napas yang terdengar teratur. Aisyah mendengus kesal ketika tahu suaminya ternyata sudah tidur.
"Malah tidur," decak Aisyah. Namun, ia juga kasihan melihat suaminya yang memang terlihat kelelahan. Mungkin dirinya yang terlalu keterlaluan. Suaminya lelah pulang kerja, malah disuruh mengantar berbelanja.
"Apa aku berangkat sendiri aja, ya! Biasanya juga emang sendirian, soalnya pasarnya juga deket dari kontrakan. Ini masih jam 7, masih sore. Aku pinjem motornya Mas Bayu aja, deh." Aisyah bergumam, ia berinisiatif untuk pergi berbelanja sendiri. Seperti apa yang sering dia lakukan sebelum dirinya menjadi seorang istri.
Kehidupan mandiri memang sudah terbiasa dilakukan oleh Aisyah sebelum menikah. Namun, setelah statusnya berubah, entah kenapa Aisyah merasa berhak untuk dimanja. Dia sudah membayangkan masa-masa indah yang akan didapatkannya setelah menikah. Dijadikan ratu oleh suaminya, seperti di cerita-cerita novel yang sering dia baca. Pada kenyataannya, semua itu hanya ada dalam angannya saja. Kisah hidupnya tak semanis novela.
***
Pukul 20.30 WIB Aisyah sudah kembali ke kontrakan. Ia membeli banyak bahan makanan untuk cadangan beberapa hari ke depan. Dengan begitu, ia bisa lebih hemat dalam mengatur keuangan.
"Kamu dari mana?"
Suara itu membuat Aisyah tersentak. Ia yang baru saja memasukkan motor Bayu ke dalam kontrakan langsung mendongak. Ditatapnya wajah suaminya dengan heran. Bukannya tadi suaminya itu sudah tidur?
"Mas, kok, udah bangun? Bukannya tadi tidur?" Aisyah balik bertanya.
"Ditanya malah balik nanya. Kamu dari mana?" Bayu mengulangi pertanyaannya. Kedua matanya menghunus tajam seperti elang yang ingin menerkam buruannya.
"Aku abis dari pasar. Katanya kamu capek, makanya aku pergi sendirian. Maaf, aku pinjem motornya nggak bilang. Mas tidurnya pules banget tadi," terang Aisyah sambil memindahkan barang belanjaannya dari motor ke atas meja.
"Aku, kan, udah bilang besok. Kamu jadi istri ngeyel banget, si. Nggak dengerin perintah suami."
Lagi, Aisyah harus mendapatkan omelan dari Bayu. Ia merasa serba salah jadi seorang istri. "Mas ini gimana? Tadi aku minta diantar nggak mau. Sekarang aku pergi sendiri, Mas masih marah," seru Aisyah, sedikit menekan rasa kesalnya.
"Aku bilang besok, ya, besok. Ini udah malam. Kalau kamu kenapa-kenapa bagaimana?"
Di balik raut kebingungan Aisyah, terselip sebuah senyuman kecil yang tertahan. Dia sedikit tersanjung, karena ternyata suaminya masih peduli kepadanya.
"Jadi Mas peduli sama aku?" tanya Aisyah sedikit tersipu.
"Ya iyalah, kamu itu istri aku," jawab Bayu.
Aisyah tersenyum mengembang, tetapi terlihat aneh oleh suaminya. "Kenapa senyum-senyum?" tanya Bayu heran.
"Aku suka kamu perhatian kayak gitu, Mas," ucap Aisyah manja.
Bayu mengerutkan kening seraya mencebikkan bibir. "Lebay," ujarnya lalu melengos pergi menuju kamar.
Aisyah pun mengekori suaminya. "Kalau kamu peduli sama aku, besok anterin aku berangkat kerja lagi, ya," pintanya saat mereka sudah berada di dalam kamar. Bayu yang masih ngantuk langsung merebahkan badan.
"Jangan manja, deh. Aku, kan, udah bilang cuma sekali aja nganterin kerjanya. Tadi juga bisa pulang sendiri," seru Bayu memejamkan kedua matanya lagi.
"Katanya peduli." Aisyah berdecak. Suram di wajahnya menunjukkan rasa kecewa yang teramat dalam.
"Berangkat kerja sama pulang kerja itu masih siang, Aisyah. Jadi aku nggak terlalu khawatir kalau kamu berangkat sendirian. Lagian dari dulu juga begitu. Naik angkot lebih aman menurut aku," tutur Bayu. Kedua matanya kembali terbuka. Sembari berbaring miring, ia menopang kepalanya dengan sebelah telapak tangan.
"Kalau naik motor bisa hemat ongkos, Mas. Dan aku juga kepingin seperti pasangan menikah yang lainnya. Para istri dimanjain sama suaminya, dianterin ke mana-mana, diajak jalan-jalan walaupun cuma berbelanja." Pandangan Aisyah menerawang jauh ke depan. Membayangkan betapa bahagianya jika hal tersebut bisa ia rasakan.
"Halah, itu palingan cerita dari novel yang sering kamu baca. Iya, kan?"
Aisyah mendengus dan menatap wajah suaminya yang terlihat meremehkan. Memang, iya. Aisyah seringkali membaca novel kisah cinta. Yang ceritanya akan berakhir bahagia dalam ikatan pernikahan yang harmonis dan penuh cinta. Namun, apa salahnya jika dia berandai-andai mempunyai kisah pernikahan yang manis dan harmonis seperti itu. Ia bahkan rela menjalani hidup sederhana, yang penting bahagia.
"Gini aja, deh. Kalau kamu mau dimanja sama suami, kamu juga harus pandai manjain suami juga." Bayu kembali berkata dengan senyuman penuh arti tercetak di sudut bibirnya.
"Manjain gimana? Jangan bilang ...!" Aisyah mengernyit curiga. Ia hapal dengan seringai aneh itu.
"Kamu udah bangunin aku, sekarang harus tanggung jawab. Sini!" Aisyah tidak bisa menolak ketika tangan kekar Bayu menarik tubuhnya hingga tubuh mereka saling bersentuhan. Katanya lelah, tetapi langsung semangat saat meminta jatah.
...****************...
...To be continued...
Jangan lupa like, komentar dan gift, ya 🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!