NovelToon NovelToon

Mengandung Anak CEO Arogan

Bab 1 Perjuangan Hidup Gadis Yatim Piatu

... Salam kenal teman-teman. Ini cerita pertamaku di Noveltoon. Mohon dukungannya ya. ...

...Happy reading.......

...🌼🌼...

"Kak Am... rasanya lemes...." Gadis kecil kurus, berkulit pucat itu berkata pelan pada Ameera di belakang kursi rodanya.

"Adek mau masuk sekarang?"

"Hu um... ga jadi deh berjemurnya. Naja ngantuk...."

"Ya, nggak apa, istirahat dulu. Nanti Adek bisa minta Mbak Yuni antar keluar kalo bosen di kamar." Perempuan berambut panjang itu kembali mendorong kursi roda Naja masuk rumah dari pintu samping. Sengaja berpura tak melihat dua ibu tetangga yang berbisik-bisik, menunjuk juga melirik ke arahnya dan adik.

Di lingkungan ini beberapa tetangga yang tumpul hati menganggap dia dan dua adiknya layak dijauhi. Selain keadaan Naja, kondisi ekonomi mereka juga jadi penyebabnya. Tetangga takut direpotkan dan diutangi.

"Kak, kenapa Mbak Yuni? Bukan Bu Aya...? Bu Aya berenti ya? Ga mau jagain aku lagi...?" tanya Naja usai baring di tempat tidur. Sang kakak sulung menyeka keringat dingin di keningnya dengan handuk kecil.

"Bu Aya kebetulan sibuk, Dek." Ameera mengusap pelan rambut yang semakin menipis. Hatinya ngilu setiap melakukan ini, merasa belum bisa berbuat banyak untuk menyembuhkan Naja.

Yuni yang sudah setahun menjaga Naja telah menyerah. Wanita itu sempat minta gaji naik lagi dua kali lipat, seperti dua bulan lalu sebelum bilang tak bisa bekerja lagi. Memang sulit mencari sosok telaten mengurus Naja yang lebih banyak di tempat tidur, sementara Ameera harus bekerja melebihi batas normal karyawan lain, jika hanya habis untuk membayar pembantu berlipat-lipat besarnya ia belum mampu.

Gaji Ameera di restoran setengahnya habis untuk bayar hutang almarhum bapak. Itupun terus berbunga 25 persen dari sisa pinjaman pokoknya. Sisanya untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya berobat Naja, selain harus cuci darah dua kali seminggu.

"Apa Mbak Yuni baik, Kak?"

Gadis berkulit putih bersih itu mengangguk. "Menurut kak Am dia baik kok Dek. "

"Ohh... aku takut kayak Mbak Cicin dulu... suka mukul, suka nyubit...." Gadis 9 tahun itu bicara dengan nada lemah, matanya sudah terpejam.

"Jangan khawatir, nanti kakak minta tolong Mbok Arti nengok-nengok ke sini sambil nunggu Sami pulang. Kalau ada apa-apa Adek kan juga bisa telepon kak Am."

Tidak ada lagi sahutan dari Naja. Napasnya sudah teratur dengan sedikit dengkuran halus.

"Yang kuat, Dek. Semangat. Kakak juga akan makin melihatmu." Ameera mengecup keningnya sebelum menarik selimut hingga dada gadis kurus itu.

Naja bisa tertidur lagi begini, kapan saja saat lemas menyerang. Setelah kedua kakinya hilang fungsi, usai kecelakaan yang nyaris merenggut nyawanya menyusul sang bapak, ginjal Naja juga mulai tak sehat setahun belakangan.

\*\*\*

"Pantas saja Aya kagak betah, disuruh ngurus orang sakit tapi dibayar murah. Cihh! Mending kerja tempat laen! Banyak yang mau bayar mahal." Sindiran itu Ameera dengar saat menyapu selasar. Banyak daun kering gugur sampai halaman.

Sami sudah berangkat sekolah setengah enam tadi, sementara ia berangkat jam delapan nanti menunggu Yuni datang.

"Kite nih ye, kalo udeh miskin, kudu sadar! Coba tuh si adekye diurus sendiri, kagak usah sok gaya bayar pembokat!" sahut suara lain, amat khas di telinga Ameera.

"Jeng Mumun bener. Gayanya udah kayak orang kaya. Jangankan buat bayar orang, kudengar utang bapaknya sampai sekarang belum lunas. Paling bentar lagi ditagih sama Bondan."

"Biarin! Kita tetangga mah kagak bisa ngapa-ngapain."

"Jadi penonton aje ye, Jeng. Haa...."

Tawa tiga suara wanita dari balik tembok rumah sebelah membuat kuping Ameera merah.

"Woii! Pagi-pagi ngegosip aje, Bu-ibu," ucapnya sembari mendekati pagar. Tiga ibu di sebelah hening. Kebiasaan, pagi begini, setelah para suami berangkat kerja beberapa emak suka kumpul nunggu tukang sayur, sembari ngegosip tentunya.

"Bukan gosip kalau kenyataan, Mbak."

"Iye. Betul! Gosip ntu kalo berita bohong. Ini kan kejadian di depan mata." Mumun si pemilik rumah menambahi.

"Apapun alasannya tetep aja menggunjing orang itu ibarat makan bangkai. Bayangin aja gimana rasa makan daging orang yang sudah mati?"

Tiga tetangga itu mendesis-desis entah bicara apa. Ameera melanjutkan nyapu, lalu kembali masuk usai menyapa ramah si pedagang sayur yang baru berhenti.

\*\*\*

"Udah kerja aja. Gimana dengan adek lo?" Silvi mendekati Ameera saat ia baru masuk area bar. Perempuan berambut lurus pirang itu kerja shift kedua, sedangkan Ameera seperti biasa, meski bekerja sejak buka tak pulang karena masih lanjut hingga jam tutup.

"Naja baik. Sudah bisa kutinggal, Sil." Kemarin Ameera pulang cepat usai ditelepon karena adiknya drop.

"Yakin lo? Dia dirawat di rumah aja? Ga lo bawa ke rumah sakit, Ra?" Gelengan Ameera membuat Silvi terus memepetinya sembari menaikkan kedua alis. "Kok, gue khawatir ya, Ra. Adek lo itu gak sakit biasa loh, bisa-bisa koma kayak waktu itu lagi kalo lo lengah. Daripada mentingin kerjaan, mending lo-"

Silvi urung lanjutkan kalimat karena mendapat tatapan tajam dan dingin. Ameera berbalik meninggalkannya usai cuci tangan di wastafel.

"Sorry, Ra, bukan maksud gue gimana-gimana sih. Ga salah dong kalo gue nilai lo kayaknya lebih mentingin kerjaan dibanding fokus rawat Naja." Silvi tanpa rasa bersalah terus mengejar langkah Ameera yang akan mengambil pesanan makanan di bar dapur.

"Aku nggak hidup dari pandangan orang, Sil. Silakan aja nilai sesukanya. Yang tau masalahku kan cuma aku sendiri. Cukup ya," tekan Ameera sedikit dengan nada dingin.

Silvi malah terkikik. Entah lucu di bagian mana dari kalimat Ameera barusan. "Lo aneh. Sebagai temen, gue, ato kami di sini cuman bisa negur, Ra. Keputusan apapun kemudian ya terserah lo. Cuman ya kasian aja ama adek lo. Semoga gak jadi penyesalan deh."

"Maksudmu apa?"

Silvi menipiskan bibir. "Gue gak bisa jelasin, lo pikir aja sendiri penyesalan gimana."

Ameera menghela napas panjang, agar tak tambah terbebani atas tanggapan orang tentang hidupnya.

\*\*\*

"Ayo, semangat! Semangaat! Fokus!" Semakin malam kepala pelayan aktif menyalurkan semangat untuk puluhan waiter dan waitress yang hilir mudik mengambil dan mengantarkan pesanan, termasuk Ameera.

Meski ramping, betis gadis 24 tahun itu sudah biasa setengah lari bergerak. Ia bekerja sejak 5 tahun lalu di sini, dua bulan usai lulus SMA. Ia menganggap pekerjaan ini adalah keberuntungan, seorang gadis biasa tanpa prestasi bisa diterima dengan bayaran cukup tinggi, meski saat itu masih diterima sebagai pelayan Tim Kebersihan.

"Lihat gak, si tampan udah dateng tadi. Aih, tenaga gue tambah berlipat-lipat lihatnya."

"Gue juga. Fokus gue langsung pindah ke dia. Hmm, mukanya emang kayak malaikat turun dari langit," timpal satu rekan waitress yang Silvi ajak bicara. Mereka sedang bersamaan mengambil pesanan ke belakang.

"Sengaja tadi sedikit dekat. Wuihh, parfumnya memabukkan. Kebayang gimana rasanya dipelukiin," desah Silvi sedikit manja.

"Oh my Gosh... dia barusan lirik gue! Nyess! Napas gue rasa putus tau gak! Ampuuun matanya biru, tatapannya daleeem. Suami-able banget! Mimpi apa gue, Ca? Ya Tuhan ... gua pingin koprol sepuluh kali gegara tatapannya aja. Gimana kalau jadi laki gue ya...." Usai antar pesanan Silvi menahan diri lebih histeris lagi di belakang, dengan gemas memeluk dan mengecup nampan di tangannya.

"Kerja! Kerja!" Ameera menahan senyum melihat Silvi langsung tergeragap mendapat teguran sang manajer killer. Nampan yang nyaris jatuh membuat kening perempuan itu kepentok sudut meja.

Para perempuan di sini memang sedang menggilai pelanggan yang katanya tampan seperti dewa Yunani. Ameera belum tahu yang mana, sebab menurutnya semua pengusaha muda yang sering kumpul di restoran mereka punya tampang nyaris sempurna. Ia tak sempat perhatikan satu persatu.

Selain mengerjakan tugas sebaik ia bisa, pikiran Ameera kadang terbagi, mencuri-curi ngecek ponsel agar tak lengah kabar tentang dua adiknya di rumah.

Kebetulan di area eksklusif dibooking petinggi perusahaan besar ibukota. Semua jadi sibuk karena hampir ratusan karyawan datang menikmati pesta makan-makan kali ini.

"Ra, lu tolong antar ini ke meja 5, ya! Gue kebelet!" Seorang waiter menyodorkan nampan pada Ameera.

"Eh!" Tangan kiri Ameera terpaksa menerima baki yang di atasnya ada tiga gelas Ice Juice. Untung sudah terlatih, tak masalah jalan cepat dengan satu tangan memegang nampan berbobot lumayan, satu tangan lain mendorong trolley penuh.

Dari meja 5 ia bergerak menuju meja 9 yang tersusun dari beberapa meja memanjang. Puluhan eksekutif muda duduk memenuhi kursi di sisinya.

Kenapa secara kasat mata saja tahu kalau mereka itu para pengusaha muda? Ya, karena jelas ada perbedaan mana karyawan dan mana para petinggi. Dari gaya duduk dan gaya bicara yang tak sepenuhnya lepas dari sikap formal, belum lagi pesanan makanan dan minuman mereka hampir semua pasti premium. Salah satunya seperti Deep-Fried Swan Dumpling with Black Pepper Duck Meat, atau Caramalized butter prawns yang Ameera sajikan sekarang.

Dengan senyum ramah Ameera sajikan dan persilakan dinikmati. Tanpa ia sadari seseorang sejak lima detik tadi enggan melepas pandang darinya, hingga ia berbalik untuk mengambil pesanan selanjutnya.

Pria berjas abu itu lantas berbisik pada seorang rekan di sebelah, yang langsung mengangguk setelah refleks melirik punggung Ameera di sana.

\*\*\*

"Ini pesanan ke Luxury Apartemen. Ada asistennya yang akan menunggumu untuk akses masuk di sana." Pukul 10 malam, artinya 1 jam lagi waktu pulang, tapi Ameera tak bisa menolak perintah sang manajer.

Restoran ini memang memberi pelayanan lebih untuk para pelanggan setia, yang sudah royal menguras dompet demi cicipi makanan dan minuman istimewa pemanja lidah mereka. Bagaimana tidak, restoran mendapat pemasukan dua kali lipat harga pesanan tersebut.

Selama bekerja, Ameera merasa terbantu jika mendapat tugas begini. Artinya, seminggu ke depan gajinya aman, tak akan diambil untuk biaya makan dan uang saku Sami.

Sampai di kamar ia diantar seorang pria berkemeja putih. Ameera yakin itu asisten atau mungkin pengawal si pemilik apartemen.

"Silakan tunggu. Tuan masih di kamar," ucap lelaki itu datar usai menyampaikan kedatangannya pada seseorang di dalam kamar.

Perasaan Ameera sedikit tak nyaman, biasanya ia mengantar pesanan hanya ditaruh di meja tamu atau diterima seseorang lalu segera pergi setelah mendapatkan tip.

"Hei, ngapain diam di situ? Masuklah. Tolong taruh di meja ya. Uang tipmu di sana. Ambil saja." Lelaki bertubuh tinggi, berambut pendek hingga bagian atasnya berdiri menunjuk pintu kamar yang terbuka lebar, sebelum menuju pintu keluar.

"Baiklah."

Ameera kira pemilik kamar itu pria tadi. Dengan bodohnya ia mengira kamar ini kosong.

"M-maaf. Permisi." Mendengar itu, lelaki yang sedang melepas kaus hingga terlihat tubuh atletisnya menahan gerakan. "Saya permisi, Pak. Saya dari Perfecto Resto, baru saja diminta menaruh pesanan ini di meja."

Ameera gegas menyimpan tiga botol minuman berharga fantastis itu, mengambil uang tip yang ditindih bolpoin.

"Yakin kamu cuma antar pesanan...?" Ia tersentak, pertanyaan itu terdengar sangat dekat di telinga.

Sejak kapan lelaki tadi ada di balik punggungnya.

"Ya, Pak. Sa-saya permi-"

Belum sempat membalik badan, tubuh mungilnya sudah direngkuh dua lengan kokoh.

Kulit dengan otot keras dan padat tanpa baju itu membuat Ameera sesak seketika.

"Apa mau anda! Lepaskan saya!" Hanya itu kalimat terakhir Ameera sebelum lelaki asing bertindak seperti singa kehausan di padang gersang, yang melihat dirinya seolah mata air jernih penawar dahaga. Harus direguk hingga terpuaskan.

...Pliss, bantu tap vote dan komentar yap. Makasiih 🙏...

Bab 2 Ternoda dan Harga Diri

Air mata dan rintihan Ameera sama sekali tidak dipedulikan pria yang tengah memacunya. Entah dirasuki setan apa sosok berwajah bak Dewa itu begitu bertenaga dan bersemangat menyalurkan hasrat. Bukan hanya sekali, tetapi ini sudah ketigakalinya mencapai puncak, namun tenaganya seolah tidak berkurang dan belum juga puas.

Tidakkah pria itu tahu kalau Ameera sudah nyaris pingsan. Beberapa bagian tubuh gadis putih bersih bertebaran tanda merah, tulangnya pun seakan remuk karena dibolak-balik berbagai posisi.

Harta paling berharga yang sangat ia jaga telah direnggut paksa.

'Ogh, Tuhan ... aku minta mati saja ...,' jerit hati Ameera nelangsa. Ia kesulitan bergerak. Sementara pria di sebelahnya tampak baru kelelahan menjelang pagi, dan sekarang tertidur pulas.

Air mata Ameera tak berhenti berlelehan, walau tanpa suara. Sejak lama ia memang perempuan yang sulit menangis meski pukulan keras kerap dilayangkan ke tubuhnya. Sejak lama ia telah banyak mati rasa.

Suara ponsel membuatnya menoleh pada tas kecil teronggok di lantai sana. Tadi terjatuh di dekat pintu saat lelaki tinggi dan berdada lebar itu tiba-tiba menyergapnya.

"Samii... Najaa...." Dua raut wajah yang sangat Ameera cintai muncul dalam bayangan. Mereka pasti mengkhawatirkannya sekarang.

Kedua adik tercinta itulah yang membuatnya rela banting tulang, jatuh bangun berjuang hidup selama ini.

Ameera coba memiringkan badan. Tubuh dingin tanpa tertutup sehelai kain pun itu ia paksa bergerak bangun. Nyeri mendera terutama di bagian inti tubuhnya.

Jangankan jalan, berdiri pun ia tidak mampu. Sungguh sadis lelaki itu tadi memperlakukannya.

Ameera terpaksa merayap, bunyi ponsel tanpa henti dalam tas itu seakan memberi kekuatan. Benar saja, nomor Sami berulangkali telepon.

Menarik napas panjang sebelum menerima, Ameera tidak mau membuat remaja itu sedih.

"Ya, Sam? Ya, maaf kakak lupa bilang... Kakak harus lembur sampai pagi. Jangan khawatir. Ohh, syukurlah kalau Mbak Yuni mau nginap. Ya, buruan tidur, jangan sampai ngantuk nanti di sekolah." Ameera kembali menarik napas panjang mendengar adiknya di seberang bicara. Sami sepertinya sangat ingin berlama-lama.

"Ya. Kakak mungkin pulang agak siang. Sudah dulu. Kakak nggak bisa lama." Napasnya terlalu sesak merangkai banyak kata bohong Ameera pun buru-buru mematikan panggilan.

Sudahkah suaranya tadi terdengar baik-baik saja? Ah, Ameera harap begitu. Ia tak mau kedua adiknya sampai terluka karena memikirkan keadaannya sekarang.

***

"Kamu...? Kenapa ada di sini?" Suara serak itu membuat Ameera tersentak. Ia memang telah berpakaian usai membersihkan diri tadi, sengaja tetap di sini menunggu si pria bermata biru itu bangun.

Ameera menoleh, menatapnya datar dan dingin. "Anda memperkosa saya... Anda harus bertanggung jawab," tukasnya dengan suara gemetar.

"W-what?!" Lelaki berdada lebar dengan perut membentuk kotak-kotak delapan gundukan keras itu terduduk. Menatap bagian tubuh bawahnya yang tertutup selimut. Masih sedikit tegang dan tanpa dalaman.

"Are you f*ck*ng kidding me?" Ia sungguh tak percaya. Kepala yang terasa berat membuatnya gagal mengingat apapun.

Ameera menunjukkan darah perawannya di seprei. "Anda lihat sendiri. Saya masih perawan dan manusia seperti Anda sudah menghancurkan saya...."

"Tidak mungkin...! Mana mungkin!" Banyak kata umpatan keluar dari bibir seksi pria itu. Tergeragap melilit selimut di pinggang, ia beranjak dengan terhuyung.

"Astaga... apa-apaan ini?!" Ia menggeleng, mata mengabur dan kepala berdenyut pening melihat pakaian dalam dalamnya tersebar di lantai. Tanda telah dilepas dengan terburu-buru.

Lari tergesa ia ke kamar mandi setelah sedetik melirik Ameera jijik.

Setengah jam membersihkan diri masih membuat pria itu menahan mual. Sangat menjijikkan untuknya menyentuh perempuan murahan.

"Kamu siapa? Bagaimana bisa kamu ada di kamar saya? Kamu, atau mungkin kalian pasti menjebak saya!" tuduhnya sesudah kembali ke kamar.

Pria itu tampak makin gagah dan tampan dengan rambut basah. Tubuh tegap berotot padat berbalut kemeja putih. Pun celana bahan membungkus kaki jenjang berbulunya. Penampilan yang menggambarkan ia seorang eksekutif muda.

"Rom, siapa yang mengirim jal*ng ke kamar saya tadi malam?" Sekilas ia melirik Ameera yang memelototinya atas pernyataan itu. "Oh, begitu kah? Hm, cari tau juga apa yang saya minum di restoran itu sebelum pulang."

"Saya bukan jal*ng!" sela Ameera setelah pria itu mengakhiri panggilan, "Saya juga tidak pernah terpikir sedikit pun menjebak siapapun! Anda jangan bicara sembarangan!"

Pria itu tertawa mengejek. "Oh ya? Apa kamu hantu bisa begitu saja menembus dinding? Tersesat di sini untuk menyerahkan tubuhmu pada saya? Luar biasa!"

Bagaimana bisa lelaki itu lupa melihatnya masuk ke sini?

"Anda lupa? Saya bilang saya dari Perfecto Resto, diminta antar pesanan ke sini, tapi Anda menerkam saya seperti buaya kelaparan."

"Saya? Buaya? Hahaa." Lelaki bernama Ghazi Finn Cullen itu kembali tertawa. "Bukankah kamu yang datang menyerahkan diri? *****!"

"Jaga mulut Anda!" Masih posisi duduk di tepi ranjang karena kesakitan berdiri, Ameera kembali menunjuk bercak darah di seprei. "Demi Tuhan, Anda yang pertama menodai saya. Harta yang paling saya jaga untuk suami saya sudah Anda hancurkan!"

Finn menaikkan sebelah alis. "Siapa percaya itu darah perawan. Saya sama sekali tidak ingat apa yang terjadi. Yah, tidak salah lagi. Kau atau mungkin kalian, komplotan yang memberi sesuatu dalam minuman saya, lalu berpura-pura saya perk*sa. Percaya diri sekali. Wanita sepertimu bukan sekali dua kali mau menjebak saya. Kalian semua sudah jelas maunya uang bukan?"

Dari lemari Finn mengambil dua ikat tebal uang merah. "Oke. Kau akan terima bayaran. Anggap saja saya sedang mabuk, percaya kau benar perawan." Ia melemparkan begitu saja uang itu ke pangkuan Ameera. "Itu untuk cerita bodoh yang kau karang. Pergilah! Sebelum saya panggil orang mengusirmu!"

Bagaimana Ameera bisa pergi, untuk jalan saja ia tak yakin bisa. Bagian bawah tubuhnya terasa seperti masih tertusuk benda besar.

"Saya perempuan baik-baik, Pak. Saya tidak minta uang Anda ... harga diri saya sudah Anda renggut. Tidakkah sisi kemanusiaan Anda bertanggung jawab menikahi saya?" Mata Ameera berkaca-kaca, ia sudah berusaha menjaga diri hanya untuk suaminya kelak, siapapun itu, walau sebenarnya ada kekasih yang sampai kini belum siap menikahinya. Sekarang harapan itu sudah lenyap, maka dengan naif ia tetap berharap pria ini menikahinya.

"Apa?! Kamu sadar bicara apa? Kamu siapa merasa pantas dinikahi saya?!" Kulit muka Finn memerah. Keluarganya saja tidak ada yang berani menyuruhnya menikah, dan perempuan yang ia nilai rendahan dan murahan ini meminta dinikahi? Hah, sampai matahari terbit dari barat pun tidak akan Finn lakukan!

Finn kembali menghubungi seseorang. Dengan segera dua lelaki berbadan tegap datang, menyeret Ameera keluar dari kamar apartemen mewah itu.

***

"Adiknya bikin sibuk orang lain. Eh, dia malah enak-enakan pulang jam segini. Kerja apaan emang."

"Udah pastilah kagak bener, Bu. Apalagi coba."

"Nauzubillah! Dosanya bisa nular ke kita-kita ini kalau dibiarin!"

Ameera melangkah cepat masuk halaman. Seluruh tubuh masih sangat sakit, tapi ia berusaha tak merasakan hingga berhasil sampai di dalam rumah. Lehernya tertutup rapat sweater, dikancing hingga garis dagu, jadi tidak semakin mengundang cibiran dua tetangga di rumah sebelah.

Ia minum obat pereda nyeri sebelum membaringkan tubuh di kasur. Sementara, sampai kuat lagi bergerak untuk berangkat kerja.

Rumah sepi. Naja jadwal cuci darah hari ini, tadi ia yang hampir lupa sudah minta tolong Yuni ikut mengantarkan ke rumah sakit. Di sana prosesnya akan dibantu Saidah, adiknya Raihan yang seorang perawat. Raihan, teman Ameera sejak kecil, juga tetangga di belakang kompleks. Keluarga merekalah satu-satunya yang siaga membantu dan mau berteman baik di antara para tetangga terdekat lain.

"Uang," gumamnya menatap kosong pada dua gepok lembaran merah dalam tas. Lelaki itu tadi memasukkan paksa ke dalam tasnya sebelum ia diseret keluar.

"Inikah kamu sekarang, Ra...? Harga dirimu dibayar 200 juta?" Bibirnya tersenyum tipis, ada perih menyengat di rongga dada.

Uang itu akan segera habis untuk bayar sisa utang, sementara keperawanannya tidak akan kembali.

Jemari putih itu merogoh isi tas.

"Ghazi Finn Cullen ... nama belakangnya nggak asing ...." Ia membaca nama di kartu tanda penduduk yang dicuri saat Finn masih belum bangun.

Bukan hanya itu. Kartu nama sebuah perusahaan, foto keluarga Cullen, dan kontak bernama Opa dan Daddy berhasil Ameera ambil dari layar ponsel Finn yang tak terkunci.

Ameera refleks saja lakukan itu, tergerak oleh rasa takut kalau perbuatan Finn membuahkan janin di rahimnya. Sebelum ketakutannya sampai terjadi, ia tahu arah menuntut pertanggungjawaban lelaki itu besok.

[Beb?]

[Beb, kenapa gak jawab panggilanku?]

[Kamu di mana?]

[Sudah di kerjaan?]

[Masih di rumah?]

Pesan berturut-turut di antara puluhan panggilan tak terjawab Juna baru Ameera buka satu jam kemudian. Ia sengaja mengabaikan sejenak, sembari berpikir harus membuat keputusan apa.

Sekarang jam menunjukkan angka 9 lewat 5 menit, melalui pesan singkat ia minta izin manajer akan masuk shift kedua saja. Saat ini tubuhnya benar-benar tidak bisa dipaksakan.

[Aku lagi ada urusan, Jun. Masuk kerja shift kedua]

Tanpa pikir panjang ia langsung mengetik pesan selanjutnya. [Ntar malam aku pulang kerja kita ketemu ya. Ada yang mau kukatakan]

Begitu pesannya terbaca Juna langsung menelepon.

Ameera cepat me-reject lantas mematikan ponselnya.

"Sorry ya, Jun... aku udah nggak pantas...."

***

"Kak Am sakit? Kayak lemas gitu." Menjelang sore Sami pulang sekolah, tak berapa lama setelah Naja dan Yuni sampai rumah tadi.

Ameera merapatkan jaket. "Sedikit demam aja. Udah nggak papa kok, kakak sudah minum obat sama tidur hampir seharian. Gimana sekolahnya?"

Sami mengibas tangan ke udara. "Urusan sekolah jangan ditanya, Kak. Tenang. Percaya ma aku. Brebes beres lah pokoknya."

"Kakak senang kamu masih konsisten." Janji Sami akan serius sekolah ia buktikan. Terbawa rasa bersalah pada bapak yang pernah menghajarnya karena ketahuan bolos ke tempat game. Sehari setelah kemarahan itu bapak mengalami kecelakaan tunggal membonceng Naja. Bapak kritis 3 Minggu sebelum dijemput maut.

"Ya lah Kak. Sebelum lulus aku akan semangat sampai titik akhir. No cewek! No game!" ujarnya tegas.

"Cuma sampe lulus?" Pancing Ameera bercanda.

"Kan janjinya cuma sampe lulus. Habis itu paling aku kerja kayak kak Am, baru pikirkan kuliah atau ga." Sami melongok ke kamar Naja, adiknya sedang tertidur lelap.

"Hm, kakak ngikut aja sesuai maumu, Sam." Ameera beranjak dari duduk, akan ke dapur. Di sana Yuni tadi disuruhnya makan sore dulu sebelum pulang.

"Mumpung Dek Naja tidur. Aku mau ke toko depan sebentar, Kak." Di garasi Sami gegas keluarkan sepeda, katanya mau beli karton dan selotip.

"Mbak pulang tunggu Sami balik, ya."

"Iyo, Mbak Ameera. Saya ndak apa pulang agak sorean." Wanita berlogat jawa medok itu menyahut sambil mengulek sambal terasi, teman makan ikan goreng di meja.

"Makan yang banyak, Mbak. Aku mau siap-siap dulu."

"Iyo, Mbak. Matur nuwun."

***

"Ehem! Kayaknya ada yang aneh." Silvi sudah bersiap pulang, seragam restoran sudah berganti kaus biasa. Ia menatap Ameera yang baru datang.

Tatapan itu membuat Ameera mengusap tengkuk. Berharap area leher yang sudah didempul foundation tak memperlihatkan bekas bibir lelaki bermata biru semalam.

"Ada angin apa lo dandan tebal, Ra? Mau skalian kondangan?"

Senyum kecil Ameera tertarik. "Sorry ya, Sil, aku lagi nggak mood ngomong." Ia langsung ke ruang ganti bersiap bekerja. Sementara Silvi sampai berputar mengikuti arah gerakannya.

Ada yang aneh dalam pandangan Silvi, tapi ia tak menemukan di bagian mana penampilan Ameera yang berbeda hari ini.

Ponsel Ameera sengaja di-silent sampai jam pulang, walau sesekali ngecek pesan jika ada dari Sami atau Naja. Panggilan dan pesan Juna ia abaikan.

Lelaki berambut panjang ikat satu di belakang itu sudah menunggunya sejak setengah jam tadi. Begitu Ameera temui di selasar pintu keluar khusus karyawan, Juna tak berkedip menatap.

"Sudah lama? Maaf bikin kamu nunggu, Jun." Ameera memulai percakapan.

"Ada apa, Beb? Kenapa kamu-"

"Jun," sela Ameera sebelum waktu terbuang banyak, "maaf ya, aku mau kita balik berteman aja."

"Ameera, ada apa?" Juna meraih tangannya tapi langsung dilepas Ameera sambil tersenyum.

"Sudah, Juna. Sorry banget, aku nggak bisa lagi sama kamu."

"Kenapa?" Mata pria itu menatapnya nelangsa. "Aku butuh penjelasan, untuk bisa terima keputusanmu ini, Ra. Katakan ada apa?"

Ameera menarik napas panjang. " Aku... akan nikah sama orang lain."

"Apa?!"

***

Entahlah, ini sebuah keyakinan ataukah harapan bodoh. Ameera merasa wajib membuat pria bernama Ghazi Finn Cullen menikahinya secepat mungkin. Ia tak mau menanggung risiko yang akan disesalinya seumur hidup.

Pagi-pagi sebelum jadwal restoran buka hari ini, ia sudah melajukan motor bebeknya ke sebuah gedung berlantai 19 di pusat ibukota. Beruntung Yuni sekarang mau tinggal di rumah untuk standby jaga Naja sementara, walau gajinya harus ditambah.

Tak lama, Porsche hitam memasuki pelataran lobi. Dua penjaga langsung siaga menyambutnya.

Ameera yang menunggu di dalam setelah tadi bicara dengan penjaga segera berdiri. Benar saja dugaannya. Lelaki bermata biru juga takkan perempuan ini lupa tato naga di bahu kirinya itu keluar, mengenakan kacamata gelap hingga semakin menambah kadar ketampanannya.

"Hei berhenti!"

Sangat terlambat. Ameera sudah berdiri di depan lelaki tegap itu, menatapnya tanpa rasa takutan sedikit pun.

"Maaf, Pak perempuan ini sejak tadi menunggu Anda. Biar kaki singkirkan." Penjaga berkulit gelap sudah mencekal lengan Ameera.

"Sebentar!" Ameera menggeliat melepaskan diri. "Anda bisa usir saya, setelah apa yang saya katakan tidak mengetuk hati Anda, Pak. Ini tentang rahim saya. Tentang anak Anda!"

What?!

Apakah hubungan semalam sudah membuat perempuan ini hamil sekejap?

Finn berdecak, menggeleng kepala akan hal yang tidak penting sebelum melanjutkan langkah. Kode bahasa tubuhnya menyiratkan kalau perempuan gila itu harus segera disingkirkan dari hadapannya.

"Anda harus bertanggung jawab menikahi saya Ghazi Finn Cullen! Atau saya menyebarkan foto kita!"

Foto?

Teriakan Ameera itu membuat kaki Finn terhenti, rahangnya mengetat. Tanpa berbalik ia berkata dengan nada dingin pada pengawalnya, "antar perempuan itu ke ruangan saya!"

...Bantu tap jempol dan komentar ya teman-teman. Biar aku makin semangat ngetiknya 🤗...

Bab 3 Nikahi Aku!

"Menjauh, Ra... jangan peduliin aku? Jangan mendekat... jangan... aku gak guna... aku anak gak berguna... aku hidup kayak sampah, Ra! Aku sampah...!" Terngiang jelas kalimat terakhir Biya sebelum terjun bebas dari lantai dua gedung sekolah dulu membuat tubuh Ameera menegang.

Rasa bersalah tak bisa berbuat apa-apa menyelamatkan Biya. Membantu Biya. Kembali meremas hatinya hingga nyeri.

Ia sungguh tak mau ada Biya Biya lain seperti itu. Di-bully anak haram, sampai mematikan mentalnya.

"Pak-"

"Shut up! Kau boleh bicara sampai saya beri kesempatan!" tukas Finn cepat. Lelaki berjas hitam dengan bahan wool berkwalitas tinggi itu duduk pada kursi persis singgasana di balik meja kerja, matanya lantas lekat menatap layar laptop yang baru dinyalakan.

Ameera menghela napas, melirik jam. Ia berusaha duduk tenang meski wajahnya tak sabar ingin segera bicara.

Ruang kerja CEO PT Artha Graha Realty Tbk ini mendadak hening kemudian.

Jika dilihat ruang ini bukanlah seperti ruang kerja, tapi lebih cocok disebut rumah pribadi yang terdapat meja dan kursi kerja dekat jendela itu. Perabot lengkap, mulai dari kulkas, TV layar besar dengan dua set sofa di kiri ruang, selain tempat duduk Ameera sekarang. Pintu abu-abu di sudut sana, Ameera tebak itu mungkin akses menuju ruang tidur lelaki berkulit wajah licin tersebut.

Puluhan menit Ameera duduk dalam senyap, tak bisa menghindari isi kepala menilai seperti apa lelaki yang telah merusak hidupnya.

"Ehm! Uhuk! Uhukk!!" Pinggang sudah pegal duduk, tenggorokannya kering. Sampai kapan menunggu kesempatan bicara? Lelaki itu saja bahkan terlihat melupakan keberadaannya.

Dehaman dan batuk tidak berhasil menarik perhatian. Ameera memberanikan diri berdiri, menuju kursi di seberang meja kerja Finn.

"Pak, saya harus berangkat kerja. Saya mau bicara sekarang?" Bukannya menyahut atau meliriknya, Finn menghentikan ketikan pada keyboard, lalu mengambil ponsel di laci.

"Di, ke ruangan saya sekarang. Bawa berkas pelepasan lahan proyek Grandland." Ia menutup panggilan.

"Waktumu satu menit!"

"Apa?!"

Mata Finn bergerak, memberi tatapan bagai laser yang bisa mematikan. "Keluar sekarang."

Napas Ameera sesak. Panas. Seperti ada gumpalan api siap menyembur melalui mulutnya.

"Baik. Satu menit." Dengan cepat perempuan bersweater kuning keluarkan foto yang diabadikan dengan ponselnya dini hari itu, tepat di depan mata pria yang mau tak mau beralih fokus pada lembaran-lembaran tersebut. Ya, sebegitu lengkap senjata Ameera menuntut tanggung jawab pria ini. Ini hanya salah satunya masih ada ia simpan sebagai pamungkas.

"Kamu mengancam saya?"

"Bu-hm, mungkin iya. Kalau tetap Anda menolak menikahi saya, jangan salahkan."

Gerak mata Finn berpindah pada ukiran wajah oval, bibir mungil basah terpoles lipbalm pink pucat. "Kelihatannya kamu bukan orang bodoh-bodoh amat. Tapi kamu pasti buta? Tidak pernah melihat kaca, ya? Pergi, nilai dulu dirimu itu siapa, dan saya siapa. Mengerti?"

Kalimat pedas itu tak mengurungkan niat Ameera. "Saya tau siapa saya, Pak. Anda tidak perlu pedulikan saya. Pikirkan saja bagaimana dengan janin yang mungkin-"

"Ckk! Mungkin! Mungkin! Mungkin!! Saya sudah membayar harga perawanmu dua ratus juta. Masih kurang? Masih mau memeras saya dengan permintaan bodoh itu, hah?! Tidak peduli kamu hamil atau tidak. Yang jelas saya sudah membayar harga dirimu!"

Lelaki berkacamata yang baru masuk setelah dua kali mengetuk pintu tapi tak terdengar, seketika membelalak sekaligus ternganga. Ia bermaksud balik keluar memberi waktu Finn menyelesaikan permasalahannya dengan perempuan itu.

"Ardi!"

"Eh, ya, Pak?" Lelaki itu sontak berbalik sebelum kakinya sempat keluar, senyum canggung mencuat di bibirnya.

Jari Finn bergerak memberi kode pria berkacamata itu mendekat.

"Kamu pergi. Waktumu habis," tukasnya pada Ameera tanpa sedikitpun menoleh.

"Sudah direvisi ulang?" tanya Finn pada Ardi.

"Sudah, Pak." Pria tak begitu tinggi itu segera mendekat, menjelaskan. Semacam presentasi singkat yang sesekali dijeda pertanyaan kritis sang bos mudanya.

Ameera cukup terpana melihat cara Finn bicara. Memaparkan ide dengan begitu detail dan terdengar mudah dipahami. Mungkin jika buah malam lalu dirinya hamil benih pria ini, anaknya akan mewarisi kepintaran tersebut. Sedikit memperbaiki keturunan, walau dengan cara tragis.

'Nggak akan ada Biya lain... aku akan menjaganya, menyayanginya....' suara benak Ameera sembari tak sadar mengusap perutnya yang rata.

"Kau tidak mengerti bahasa manusia? Keberadaanmu di situ sangat mengganggu." Finn meminta Ardi berhenti sejenak, ia kembali mengusir Ameera sembari menunjuk pintu.

"Perlu Bapak tau, hidup atau mati, saya tetap perjuangkan nasib anak saya. Saya tidak mau hamil di luar nikah!"

"Ouch! Anak? Omong kosong!" Finn berdiri. "Keluar! Saya bisa memenjarakanmu yang berani-beraninya memeras saya."

"Bapak juga akan dipenjara karena sudah melakukan pemerkosaan!" tantang Ameera turut berdiri, tanpa takut membalas mata berkilat marah itu.

"Tidak ada pemerkosaan. Kamu yang lakukan saat saya tidak sadar, bukan!"

"Tentu bukan, Pak. Ini buktinya!" Ameera keluarkan ponsel yang waktu itu ada di atas meja, sedikit tertutup botol parfum. Ia ambil saat dalam posisi layar merekam arah tempat tidur Finn. "Lihat. Videonya ada di sini! Anda memaksa saya!"

Ponsel biasa yang tidak diketahui siapa pemiliknya itu Ameera nyalakan, memutar bagaimana awal Finn menarik dan melemparnya ke tempat tidur, hingga adegan panjang selanjutnya.

"Kau!!" Urat leher Finn menggembung keluar. Ia merasa telah dijebak perempuan itu.

"Sa-saya per-misi, Pak ...." Demi keamanan telinga dan mata, Ardi yang jadi berkeringat dingin memilih keluar. Namun, pamitnya sama sekali tak digubris dua orang yang bersitegang.

"Kalian memang berencana melakukan ini! Berapa kau dibayar! Berapa uang yang kau mau?! Katakan!" Andai Ameera laki-laki, pasti sudah Finn segera melemparnya ke jendela lantai 19 ini.

"Nikahi saya secepatnya, Pak. Itu saja syaratnya perbuatan Bapak tidak tersebar."

Pria itu melonggarkan dasi, mundur dan kembali duduk di kursinya.

"Saya punya kekasih seribu lipat lebih cantik darimu. Kamu cuma semut buruk rupa yang dengan mudah diinjak, remuk. Jadi jangan berharap macam-macam!" Finn membuka laci, lalu menulis cek dan mendorongnya ke depan Ameera.

"Ambil. Pergi jauh dari sekitar saya, atau kamu akan tinggal nama!"

Cek senilai dua kali lipat sebelumnya Ameera dorong kembali. "Sekarang Bapak ngancam saya? Maaf, ini bukan masalah uang, Pak. Ini masalah masa depan anak dalam kandungan saya. Dia butuh orang tua utuh walau harus terlahir dari cara yang salah!"

"Are you crazy?! Mana mungkin kamu hamil sekejap."

"Karena itu Bapak nikahi saya secepatnya. Demi rasa kemanusiaan Anda pada nasib anak yang mungkin akan ada di perut saya."

"Astagaaa...!" Wajah Finn memerah, mati-matian menahan diri tak membunuh seseorang saat ini juga. "Apa kamu begitu bodoh membiarkan dirimu hamil!" decaknya putus asa.

"Saya tidak akan berbuat apa-apa jika benar hamil, Pak. Dosa saya dan Anda pasti sudah terlalu banyak. Jika ditambah saya membunuh janin tak berdosa... ah, tidak, tidak." Ameera menggeleng kuat dengan wajah tegang. "Itu nggak akan terjadi. Anda tetap harus menikahi saya."

"Benar-benar!" Finn berdiri cepat menunjuk pintu. "Keluar! Lakukan apa saja maumu. Saya tidak takut!"

Bibir Ameera berkedut melihat kemarahan dahsyat di kulit wajah pria itu. Ia berdiri menahan kaki gemetar.

"Ambil! Ambil ini! Jangan sok tidak butuh uang, karena jelas sekali kamu murahan menjual diri dan mengancam saya demi uang."

Ameera menatap cek yang ia abaikan tadi, matanya menyipit. Ia tak butuh lagi karena hutang sudah dilunasi kemarin, tapi boleh juga cek itu sebagai bukti yang akan memberatkan Finn.

Ia menarik tissue, mengambil cek itu tanpa meninggalkan jejak jarinya. Finn mengerut kening melihat tingkahnya.

"Tunggu saja kabar baiknya, Pak Ghazi Finn Cullen," ujarnya sembari meninggalkan tempat itu dengan langkah tenang, meski... mati-matian menahan gemuruh takut dalam darahnya.

Siapalah Ameera, memang hanya semut buruk rupa di bawah kaki lelaki kaya raya itu, tetapi demi apapun seorang Ameera akan menjadi semut cerdik yang bisa mengalahkan lawan meski sebesar gajah sekalipun.

***

"Lo ditungguin si gondrong tuh." Bibir Silvi memanjang ke arah lelaki yang menatap Ameera sendu.

Juna menunggunya pulang kerja malam ini, usai seharian tadi pesan tak dibaca ataupun dibalas, apalagi puluhan panggilannya jelas Ameera abaikan.

"Kalian lagi berantem ya? Butuh ditemenin gak?" Silvi mengejar Ameera ke parkiran.

"Nggak usah, Sil. Kami pulang aja."

"Ra!"

"Eh, jan maksa gitu dong. Ntar tangannya copot lo mau tanggung jawab?" Tanpa diminta Silvi melepas cengkeraman Juna dari lengan Ameera.

"Gue ada urusan sama Ameera."

"Urusan ya urusan tapi gak nyakitin juga keles. Cowok bukan lo? Tampang aja kayak jagoan tapi beraninya sama cewek! Cemenn!" Sejak awal tahu Juna dekat dengan Ameera, Silvi ini yang paling menentang. Dalam pandangannya Ameera tidak cocok dengan orang seperti Juna, walaupun Chef tampangnya seperti preman. Tangan penuh tato, mata selalu menyala, dan jalannya seperti orang akan menantang berkelahi.

"Eh, ehh, aya naon ie teh? Neng Ameera enggak apa-apa?" Nah, menurut Silvi juga, si Engkus inilah yang cocok buat Ameera. Si cleaning servis yang rela kerja kapan saja selama dibutuhkan untuk disuruh-suruh. Sebelas dua belas dengan Ameera yang bekerja karena sangat butuh duit.

"Ehem, pangerannya Ameera dateng. Jagain cewek lo nih, Ngkus, diganggu preman kampung tuh!"

"Neng Ameera-"

"Engkus, Silvi, kalian pulang aja duluan. Aku nggak papa."

"Beneran, Neng? Ada apa-apa jangan segan minta bantuan Aa nya?"

"Co cweet, Aa Engkus emang cocok ama lo, Ra." Silvi tersenyum geli.

Tak ingin menjadi badut, Juna menarik tangan Ameera menjauh.

"Jun-"

"Aku anggap kita masih pacaran, Ra. Aku nggak terima apapun alasanmu mengakhiri hubungan." Juna memegang dua bahu Ameera supaya tidak menghindar tatapannya. "Kecuali... kamu benar-benar sudah jadi istri orang."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!