NovelToon NovelToon

MUNCULNYA PRIA GENIUS

1. Awal Mula

Di labotarium penelitian, ribuan ilmuan sedang sibuk melakukan pengujian terhadap kera. Mereka ingin membuktikan jika kera bisa bertumbuh besar jika di suntikkan ramuan yang sudah di racik.

"Masukan heksana, tambah sedikit larutan basa. Jangan lupa ramuan sebagai kuncinya." Titah ilmuan paling tua yang memimpin penelitian ini. Dia hanya berdiri dengan santai sambil menunjuk ke sana sini. Namanya adalah Walvin, sudah hampir 50 tahun menjabat sebagai ketua ilmuan.

Disaat semua ilmuan sibuk, salsah satu ilmuan berlari ke arah Walvin untuk memberi kabar. "Ketua! Ada masalah di ruang sebelah. Larutannya terus saja naik dan tidak mau berhenti walau apinya sudah di matikan." ucap Argon menjadi panik.

"Baiklah, aku ke sana dulu. Semua orang tetap bekerja di sini dan jaga kera itu. Jangan sampai dia kabur." perintah Walvin sebelum pergi keluar ruangan.

Semua ilmuan yang berada di ruangan itu menjadi lega. Mereka yang tadinya serius bekerja kini bisa istirahat setelah Walvin pergi.

"Aku tidak mengerti dengan ketua. Dia sudah sangat tua seharusnya memilih untuk istirahat dan tidak perlu bekerja lagi di sini. Tetapi masih tetap ada." ucap Banda, ilmuan baru yang baru masuk beberapa minggu.

"Iya. Kita hanya di pekerjakan hal yang mudah saja. Berurusan dengan kera. Dia pikir ini pekerjaan yang sulit? Semua bahan yang kita gunakan tidak ada yang berbahaya. Heksana, hanya itu saja?" ucap Sindi, satu-satunya ilmuan perempuan yang sudah lama bekerja tetapi masih berada di lap khusus pemula.

Mereka semua pun menghela nafas kasar berharap ada keajaiban pada diri mereka. Ruang pemula ini membuat mereka semua bosan. Hanya sedikit larutan yang bisa mereka gunakan. Tetapi, tiba-tiba kera yang mereka kurung lepas. Kera itu lalu melompat dan mengacaukan labotarium pemula. Banda berusaha menangkapnya bersama teman-teman, sementara Sindi mengamankan larutannya yang selesai.

Sindi tiba-tiba terjatuh membuat larutan di tangannya lepas. Larutan itu membasahi lantai dan mengenai si kera. Kera mulai beraksi tidak normal seperti kesakitan sampai akhirnya menabrak kelelawar yang berada di jaring hingga kelelawar itu terjatuh sempurna ke larutan yang berwarna kuning. Larutan yang dibuat pemula tadi. Larutan itu mendidih dan kelelawar sudah tidak terlihat.

"Bagaimana ini? Kelelawarnya masuk ke dalam larutan itu." ucap Sindi yang panik. Dia merasa bingung jika sampai ketua mengetahuinya.

"Tenang, ketua tidak ada di sini. Kita hanya perlu diam dan tidak memberitahunya." ucap Banda menenangkan semua temannya yang panik.

Banda lalu menangkap kera dan mengikatnya kembali seperti semula. Semua ilmuan pemula itu berpikir jika masalahnya akan reda sampai di situ. Tanpa mereka ketahuan, kelelawar yang sudah di jatuhkan kedalam larutan adalah kelelawar yang sedang masa uji untuk mengubah rantai makanannya.

Ketua kembali dan melihat hasil persentasi ilmuan pemula. Dia lalu mengangguk merasa bangga dengan tim pemula ini yang selalu di banggakannya di ruang rapat.

"Kerja bagus. Besok kita bawa larutan ini ke tempat penyimpanan agar bisa di gunakan dalam obat jika di perlukan." ucap ketua dengan penuh percaya diri.

"Baik, ketua." jawab mereka serentak walau berusaha menutupi rasa gugupnya.

Walvin berjalan keluar, tetapi dia tiba-tiba berhenti ketika merasa ada yang ganjal. Walvin pun berbalik dan memeriksa keranya yang masih terikat. Tidak mau memikirkannya lebih lama lagi yang hanya akan membuatnya pusing, Walvin segera meninggalkan tempat itu dan kembali ke ruangannya.

Hari berlalu begitu saja. Kini sudah tiga bulan sejak kejadian itu. Di sebuah rumah yang nan sederhana, seseorang perempuan yang tingginya 155 cm memukul laki-laki yang bertubuh tegap dengan bantal guling.

"Hei, cepat bangun dan pergi bantu ibu. Kenapa kakak selalu suka bermalas-malasan di rumah padahal tidak sakit!" teriak Putri yang merasa kesal di pagi hari ulah Barra yang tidak mau bangun.

Barra hanya seorang pengangguran, dirinya juga hanya lulusan SMA karena tak mau melanjutkannya ke perguruan tinggi merasa buang waktu saja walau mendapat beasiswa. Barra lebih suka rebahan pagi hari, siang hari, dan malam hari. Jarang sekali dia keluar rumah kecuali terpaksa ingin membantu ibunya yang berjualan pakaian di pasar. Ibunya Barra punya toko kecil, peninggalan almarhum ayah Barra.

"Iya, iya. Berhenti terus memukulku. Aku bisa mati mendadak kalau begitu terus." sahut Barra yang terbangun.

"Syukurlah kalau kau mati. Hidup saja menyusahkan, lebih kalau mati." jawab Putri yang acuh tak acuh.

"Hei, Putri! Jaga bicaramu, aku ini abangmu. Kau harus patuh denganku sesuai perkataan ibu. Dengar kan?" ucap Barra sambil menunjuk adik kecilnya.

"Kenapa? Kau hanya pengangguran, tidak ada yang bisa di harapkan dari dirimu. Setiap hari kerjaannya hanya rebahan. Sadar diri, tidak ada perempuan yang akan menjadi istrimu nanti. Dasar pemalas!" ejek Putri yang berlari keluar dari kamar Barra.

"Dasar, adik kecil! Kau hanya melihat abangmu ini sebelah mata. Kalau nanti kau sakit, siapa yang akan mengambilkanmu obat? Aku yang meracik obar untukmu. Obat semakin mahal, kau pikir kita bisa membelinya, ha!" teriak Barra yang mulai mengungkit.

Barra lalu melempar bantal guling yang di gunakan adiknya memukulnya. Setelah itu, berjalan keluar dari kamarnya menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri, Barra menuju pasar dimana ibunya berada.

Ketika di tengah perjalanan, Barra melihat hal aneh. Beberapa orang terlihat memegang perutnya dan bahkan terdapat orang yang pingsan. Karena terkejut dan penasaran, Barra mencoba mengamati orang itu dari dekat tetapi tidak terlalu dekat. Semua orang mulai berkerumun dan menyentuh orang itu berusaha membantunya.

"Bibirnya pucat, lebih pucat dari mayat. Rambutnya terlihat rontok dan sepertinya perutnya yang sakit. Kuku kakinya juga terlihat aneh, penyakit apa ini?" tanya Barra yang merasa heran. Biasanya, tidak terdapat tanda seperti ini jika hanya sakit perut saja.

"Oh, ya ampun. Di sana lebih banyak lagi yang pingsan!" teriak orang-orang sambil melihat ke seberang jalan.

Barra mulai teringat dengan ibunya. Dia berlari dengan cepat menyusul ibunya yang sedang bekerja. Ketika sampai di sana, Barra masih bisa bernafas lega ketika melihat ibunya sibuk menawarkan barang dagangannya.

"Silakan di pilih, Bu. Ini baju yang berkualitas, aku jamin." ucap Ibu Barra yang tersenyum ramah.

"Bagaimana, Bu? Banyak pelanggan hari ini?" tanya Barra yang langsung duduk di kursi.

"Kau baru datang? Apa di bangunkan lagi oleh Sindi? Kenapa kau semakin lama semakin suka sekali tidur. Tidak bisa apa, bantu ibu pagi sekali membuka toko. Tadi ibu sampai kesiangan." tegur ibu Barra.

"Iya, maaf." ucap Barra yang tidak merasa bersalah sama sekali. Sudah biasa baginya mendapat marah dari ibunya seperti ini.

2. Penyakit Mulai Menyebar

Barra pulang bersama ibunya setelah seharian bekelana di pasar. Ketika sampai rumah, Barra melihat adik perempuannya sedang bersantai sambil menonton tivi.

"Wah, kau sepertinya benar-benar enak tinggal di rumah. Jadi seperti ini pekerjaanmu, sementara kamu memaksa abangmu pergi membantu ibu?" ucap Barra sambil melipat tangannya di depan dada.

"Bang, jangan berisik. Lihat deh apa yang di bahas dalam tivi." perintah Putri sambil membesarkan suara tivi.

"Permirsa, hari ini tepat pukul 07 pagi rumah sakit di kota kebanjiran pasien. Banyak pasien yang datang terus menerus membuat pihak rumah sakit kewalahan. Di tambah penyakit yang di derita pasien sangat aneh. Semuanya merasakan sakit perut, tetapi rambut mereka sampai rontok dan wajahnya pucat sekali. Beberapa dokter mengatakan jika ini adalah penyakit langkah dan akan bekerja sama dengan para ilmuan sains untuk membantunya memecahkan jenis penyakit ini." jelas reporter dalam berita.

"Ibu juga melihat banyak orang di pasar tiba-tiba pingsan saat dia memegang perutnya. Beberapa orang menolongnya dan langsung membawanya ke rumah sakit." ucap Ibu Barra.

"Bang, menurut abang ini penyakit apa? obat apa yang bisa menyembuhkannya?" tanya Putri yang menoleh menatap Barra.

"Entahlah, dari yang aku lihat mungkin bisa obat sakit perut. Perutnya kan sakit?" jawab Barra yang hanya menduga-duga.

"Abang ini, di tanya malah bercanda. Tidak mungkin hanya perutnya yang bermasalah, buktinya rambutnya sampai rontok." jelas Putri yang protes.

"Lalu, kenapa kau bertanya padaku? Aku bukan dokter." titah Barra yang merebut remot tivi dari tangan adiknya.

"Aku tahu, tetapi abang ini pintar meracik obat dari tanaman herbal. Mungkin abang bisa menjadi seorang ilmuan genius karena membantu menemukan obat dari penyakit langkah ini. Kita bisa mendadak kaya. Para ilmuan mendapat gaji cukup tinggi loh bang. Selain itu, nama abang juga pasti terkenal." ucap Putri yang memasang wajah bahagianya.

Barra tidak peduli sama sekali. Dia tetap fokus menonton drama kesukaannya. Putri yang melihatnya, menjadi kesal. Ibu mereka hanya tersenyum melihat tingkah dua anaknya yang tetap akur meski sering saling menyerang.

Sementara itu, di labotarium sedang kacau. Peneliti profesional pun di panggil untuk melakukan penyelidikan. Sementara ilmuan pemula tidak di libatkan dalam masalah besar ini.

"Ketua benar-benar memandang rendah kita. Buktinya, hanya kita yang tidak di libatkan dalam masalah besar ini. Menurutmu apa kita bisa terus berada di sini jika selalu tidak terlihat oleh mata ketua?" tanya Banda kepada teman-teman satu timnya di ruangan khusus pemula.

"Entah mengapa, aku merasa aneh dengan kejadian ini. Seolah masalah besar yang melanda ini ada hubungannya denganku." ucap Sindi yang melamun.

"Hei, Sindi. Kenapa kau berpikir seperti itu. Pikirkan kondisi kita ke depannya. Kita tidak akan maju-maju dan terus menjadi ilmuan pemula. Ayo kita pikirkan apa yang harus kita lakukan agar ketua bisa melirik kita?" tanya Banda yang memaksa semua temannya berpikir.

"Bagaimana kalau kita cari obat dari penyakit langkah ini. Kita yang harus menemukannya lebih dulu daripada semua orang. Aku yakin, pak ketua bakal memuji kita habis-habisan." pinta salah satu teman Banda.

"Good job. Kalau begitu, kita mulai mendatangi rumah sakit dan melihat ciri-ciri orang yang terserang penyakit ini. Setelah itu, baru kita menemukan obatnya." usul Banda yang membuat satu timnya setuju. Sindi pun mengangguk perlahan, sependapat dengan Banda.

Malam harinya, Barra sedang jalan-jalan di sekitar tempat tinggalnya. Dia lalu mendatangi tanaman herbal Rosmarin yang berada di pinggir jalan sebelum lorong rumahnya. Aroma bunga Rosmarin ini yang selalu menarik Barra. Aromanya yang khas sangat membuat pikiran Barra seolah jernih kembali.

Bunga Rosmarin adalah bunga langkah yang di kelolah oleh penduduk desa kecil tempat tinggal Barra. Mereka mengambil bunga Rosmarin dari luar negeri dan menanamnya di lahan luas ini. Barra pun merasa senang bunga Rosmarin ditanam di dekat tempat tinggalnya. Terkadang jika Barra stres dan ketika angin datang membawa aroma bunga Rosmarin, pikiran Barra semakin tenang. Stresnya langsung menghilang.

"Ini bunga yang paling bagus yang pernah aku lihat. Bagaimana jika aku mengambil satu dan menanamnya di rumah. Aku harus meminta kepada pemiliknya besok." ujar Barra yang melanjutkan kembali langkahnya.

Tiba-tiba di depan mata Barra, terlihat sebuah mobil yang berhenti di tengah jalan. Tidak berselang lama, turun seorang pengemudi yang terlihat kesakitan sambil memegang perutnya.

"Tolong aku!" teriaknya dengan suara perlahan.

Barra berlari ingin menghampirinya dan menolongnya. Tetapi, dari seberang jalan seseorang berlari ke arah orang itu dan membawanya masuk kembali ke dalam mobil.

Mobilpun melaju dengan cepat tanpa mempedulikan posisi Barra yang sudah hampir sampai menolong orang itu. "Apa ini? Apa dia akan membawa orang itu ke rumah sakit?" tanya Barra yang merasa bingung.

Barra lalu kembali ke dalam rumahnya dan di sambut oleh adiknya di depan pintu. "Kenapa kau berada di luar, ha? Ini sangat dingin dan sudah larut malam. Seharusnya kau kembali dan tidur di kamar." perintah Barra yang melepas sepatunya.

"Bang, tolong bantu aku. Besok, temani aku ke kota. Pacarku, dia terserang penyakit ini dan di bawa ke rumah sakit. Aku tidak bisa pergi menjenguknya karena ibu bisa marah besar padaku jika tahu. Tetapi jika abang ikut denganku, maka ibu tidak akan curiga." ucap Putri sambil memohon-mohon.

"Kau terlihat khawatir sekali dengan kondisi pacarmu. Tenang saja, dia bakal sembuh jika sudah berada di rumah sakit." balas Barra sambil membuka pintu. Tangan Barra langsung di raih Putri dengan cepat sebelum dia masuk ke dalam rumah.

"Bang, penyakit ini sangat berbahaya. Bagaimana kalau pacarku meninggal dan aku belum sempat menjenguknya? Aku merasa takut dan akan sangat menyesal. Jadi, tolong bantu aku kali ini saja. Bantu aku, Bang. Aku mohon!" ucap Putri yang sampai berlutut di depan kaki Barra.

"Baiklah, besok pagi kita berangkat. Sepulang dari sana baru aku ke pasar membantu ibu." ujar Barra yang terpaksa menerima permintaan adiknya. Dia tidak punya pilihan lain. Naluri seorang kakak bergerak cepat membujuk Barra. Padahal, mereka tidak tahu saja ini adalah awal bencana bagi keluarga Barra.

Diam-diam dari balik pintu, ibu Barra rupanya menguping semua pembicaraan kedua anaknya. Dia lalu bergegas kembali ke dalam kamarnya dengan tatapan sendu. Pikirannya begitu kacau. Hatinya merasa gelisah, entah apa yang membuatnya.

Ketika dirinya semakin tidak tenang, ibu Barra lalu keluar dari kamarnya dan memeriksa tiap kamar anaknya, memastikan mereka sudah tertidur nyenyak.

3. Petaka

Ketika matahari sudah terbit, ibu Barra sibuk memasak di dapur. Terlihat Putri yang bolak balik membangunkan abangnya belum tak kunjung bangun.

"Kenapa repot-repot membangunkannya, Barra memang suka bangun kesiangan." tegur Ibu Barra yang melihat Putri masuk bolak balik ke kamar Barra.

"Aku dan abang mau pergi ke suatu tempat, bu." jawab Putri dengan gugup.

"Ke mana?" tanya Ibu Barra walau dia sudah tahu.

"Ibu tidak perlu tahu, nanti abang marah. Tenang saja, bu. Putri dan abang Barra bakal tidak lama. Setelah urusanku selesai, aku dan abang Barra akan langsung pulang dan tidak kemana-mana lagi." ujar Putri sambil memeluk ibunya untuk meyakinkannya.

"Baiklah, hati-hati di jalan. Nanti kalau sudah pulang, sebaiknya Barra tidak perlu menemani ibu menjual di pasar. Dia pasti lelah, jadi biarkan istirahat." perintah ibu Barra.

"Baik, bu. Akan Putri laksanakan." teriak Putri sambil memberi hormat dengan ibunya.

Setelah selesai bersiap dan sarapan, Barra dan Putri berangkat. Mereka masing-masing membawa tas ransel. Putri dan Barra memilih menaiki bus sampai di kota. Butuh waktu 3 jam perjalanan hingga akhirnya mereka sampai di rumah sakit yang di tuju.

Ketika baru menginjakkan kaki di rumah sakit, keadaan ricuh sedang terjadi. Beberapa orang di lilit dengan tali oleh dokter. Polisi dan tentara juga ikut membantu.

"Bang, kamar pacarku ada di sana. Aku ke sana dulu, dia pasti sudah menunggu." ucap Putri yang tidak memperhatikan sekeliling dan langsung masuk ke dalam kamar rawat pacarnya. Sementara Barra masih bingung dengan keadaan yang di lihatnya.

Dua orang ilmuan datang membantu, mereka menyuntikan cairan yang bisa menenangkan orang yang di ikat itu. "Semua sudah aman. Tetapi ini tidak akan bertahan lama. Sebaiknya tempatkan mereka di ruang tertentu dan jangan sampai bersentuhan dengan manusia yang sehat." perintah Banda yang di utus untuk menangani masalah di rumah sakit ini sebagai perwakilan para ilmuan pemula.

"Aku sarankan agar semua orang yang sudah bersentuhan dengan pasien tanpa menggunakan pengaman, lebih baik di karantina terlebih dulu. Karena mereka pasti akan terinfeksi beberapa hari ke depan." jelas Sindi yang memberi tahu semua dokter yang ada.

"Infeksi? Pasien?" Barra masih belum mengerti dan berusaha mencerna perkataan dua ilmuan itu. Tiba-tiba mata Barra membulat. Dia dengan cepat berlari mencari adik perempuannya.

"Jangan sampai Putri bersentuhan dengannya. Ini bisa gawat, dia juga akan terinfeksi penyakit aneh ini." ucap Barra yang terus berlari sambil membuat tiap pintu kamar untuk menemukan adiknya.

Dan ketika berhasil menemukan Putri, dia sudah terlanjur bersentuhan dengan pacarnya.

"Bang, kenalkan ini pacarku. Nah, sayang. Ini abangku." titah Putri yang langsung bangkit sambil melepas gengaman tangan pacarnya.

"Hai, abangnya Putri!" sapa pacar Putri sambil tersenyum.

Barra tidak tahu harus melakukan apa. Dia sempat ingin menarik adiknya keluar dan tidak dekat dengan pacar adiknya, tetapi Putri sudah terlanjut bersentuhan. Jika dirinya menarik tangan adiknya juga, maka akan di pastikan dirinya juga terkontaminasi.

"Tidak boleh, aku tidak boleh terinfeksi. Aku yang akan menyembuhkan adikku nanti." guman Barra yang belari keluar tanpa mengatakan apapun.

"Sepertinya, abangmu tidak menyukaiku." sahut pacar Putri yang melihat tingkah Barra.

"Itu tidak mungkin. Abangku orangnya sangat baik, kau dengannya belum kenal saja." jawab Putri kembali sambil duduk di tempatnya.

Barra mencari dua ilmuan tadi untuk mencari tahu informasi lebih banyak lagi. Ketika berada di tangga, dia berhasil menemukan Sindi dan Banda. "Kalian di sini, aku mau bicara." ucap Barra yang mengatur nafasnya tepat berhenti di depan Sindi dan Banda.

"Mundur, jangan dekat dengan kami." perintah Sindi yang dengan cepat menjauh dari Barra.

"Tenang, aku belum menyentuh atau tersentuh oleh pasien yang terserang penyakit. Aku hanya datang ke sini ingin berbicara dengan kalian masalah penyakit ini. Kalian seorang ilmuan kan?" tanya Barra sambil menatap satu persatu orang di depannya.

"Darimana kau tahu?" tanya Sindi yang mengeritkan alisnya.

"Apa kau pernah melihatku di tivi? Ah, aku tidak menyangka sudah sangat terkenal walau belum melakukan apa-apa." puji Banda pada dirinya sendiri.

"Tidak. Aku hanya tahu lewat baju yang kalian pakai. Tertulis juga gelar kalian di sana. Jadi aku paham." ucap Barra sambil menujuk baju Sindi.

"Ah, iya itu benar. Lalu, apa yang ingin kau tanyakan?" tanya Banda yang langsung mengalihkan pembicaraan agar jawabannya tadi bisa di lupakan oleh mereka.

"Penyakit aneh yang muncul, kenapa bisa menular hanya dengan sentuhan dan berapa waktu yang di butuhkan sampai penyakit itu di rasakan oleh orang yang tertular?" tanya Barra to the point.

"Sejauh ini, kami belum memastikannya karena banyak orang yang tertular lebih cepat dan ada yang lambat." jawab Banda.

"Sepertinya itu sesuai dengan kekebalan tubuh seseorang." Sahut Barra yang paham. Sindi dan Banda menjadi terkejut. Barra sepertinya tahu lebih banyak dari mereka duga.

"Kau seorang dokter, ahli gizi, atau ilmuan juga?" tanya Sindi yang memperhatikan penampilan Barra.

"Tidak semuanya. Tetapi, kenapa kalian mengikat orang tadi. Setauku pasien yang terserang tidak akan memangsa manusia kan?" tanya Barra dengan sangat hati-hati.

"Kau melihatnya?" tanya Banda terus memperhatikan gerak gerik Barra.

"Mereka tidak mau menurut pada kami dan selalu ingin pergi keluar. Mereka menghabiskan makanannya dengan cepat dan makan terlalu banyak. Tetapi masih laper. Jika tidak di beri, mereka akan marah dan ingin mencari makanan di luar. Karena itu, kami menahannya." jelas Sindi memberitahu.

"Jika kau menemukan ada orang yang sudah bersentuhan dengan pasien, segera hubungi kami. Kami menyediakan tempat khusus dengan mereka sampai obatnya di temukan. Jangan lupa, pakai alat pengaman seperti sarung tangan ketika bersentuhan dengan mereka. Baju pelindung juga boleh jika merasa di butuhkan." jelas Banda.

"Apa kalian punya baju pelindung dan sarung tangan yang tersedia?" tanya Barra.

Sindi lalu menarik tasnya dan mengeluarkan apa yang di minta Barra. Barra pun mengambilnya dan segera pergi mencari adiknya. Dia memakai sarung tangan dan baju pelindung untuk berjaga-jaga.

"Bang, apa yang kau pakai? Lepaskan!" teriak Putri yang mengira jika Barra jijik bertemu dengan pacarnya sampai memakai pakaian pelindung saja.

"Ayo pulang!" panggil Barra dengan suara tegas lalu keluar menunggu adiknya.

"Sepertinya abangmu mengira jika penyakitku ini tertular sampai memakai pakaian pelindung sana. Nanti kau tidak perlu datang ke sini lagi mengunjungiku." ucap pacar Putri yang merasa kecewa.

"Aku minta maaf mewakili abangku. Nanti aku beritahu dia." ucap Putri yang keluar dengan cepat. Putri lalu memukul abangnya ketika berada di luar kamar pacarnya.

"Dasar abang, masih saja suka merendahkan orang. Lihat wajah pacarku yang tampak cemberut. Kau ini membuatku malu saja." jelas Putri memarahi Barra sambil memukul lengan Barra. Beruntung Barra sudah memakai pakaian pelindung.

"Putri, hentikan. Kau bisa membuatku tertular juga." ucap Barra yang membuat adiknya melotot. Dia sama sekali tidak mengerti dengan perkataan abangnya.

"Abang?" sahut Putri dengan suara perlahan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!