Kanaya namanya, seorang gadis beranjak remaja yang ditinggalkan ibunya pergi untuk selamanya, sejak ia duduk dibangku TK B.
Ia hidup bertiga dengan ayah, dan kakak nya yang menjadi janda di usia belia.
Kakak Kanaya bernama Citra, menikah saat ia masih duduk dibangku kelas 8. Ia menikah muda karena ia salah pergaulan.
Citra menikah sembilan tahun yang lalu, sebelum Bu Mirna meninggal. Namun pernikahan itu hanya seumur jagung, karena masih sama-sama dibawah umur antara citra dan suaminya. Jadi masih belum bisa mengendalikan ego nya masing-masing. Suami Citra waktu itu juga masih pengangguran.
Setelah perceraian Citra, keadaan Bu Mirna semakin kritis. Semangat untuk hidupnya melemah, karena beban pikiran tentang anak sulungnya yang membuat ia semakin drop.
Penyakit nya terus menggerogoti tubuh Bu Mirna sehingga nyawanya tak tertolong lagi. Sempat seminggu Bu Mirna koma sebelum akhirnya ia meninggal kan anak-anak dan suaminya untuk selama-lamanya.
Setelah kematian Bu Mirna, mereka bertiga tinggal bersama. Suami Bu Mirna yang bernama pak Jaka meneruskan usaha yang ia bangun bersama Bu Mirna yaitu jual nasi pecel didepan rumahnya.
Sebelum Bu Mirna meninggal warung itu sangat ramai pengunjung karena memang masakan Bu Mirna rasanya enak dan ada khas tersendiri dari warung-warung yang lain.
Pak Jaka pun mengelola warung itu sendiri bersama ke dua karyawan nya yang memang sudah bekerja sebelum Bu Mirna meninggal.
Sedangkan anak sulung pak Jaka yaitu Citra tak mau ikut mengelola warung itu karena ia merasa malu dan gengsi. Akhirnya Citra pergi merantau ke ibukota ikut sepupunya yang sudah bertahun-tahun hidup dan kerja di ibukota.
Pak Jaka dirumah berdua dengan gadis kecil yang cantik yaitu Kanaya. Kanaya berbeda sekali dengan kakak nya. Ia sangat menyayangi bapak nya. Dan dia termasuk gadis kecil yang ringan tangan.
Diusia nya yang terbilang masih anak-anak Kanaya sudah bisa membantu bapak nya dengan mencuci baju nya sendiri.
Waktu pun terus berjalan gadis kecil itu sudah beranjak dewasa. Seiring berjalannya waktu warung nasi yang di kelola pak Jaka semakin hari semakin sepi.
Sehingga satu persatu karyawan pak Jaka di istirahat kan, karena hasil dari warung tak cukup untuk membayar dua karyawan nya itu.
Namun warung pak Jaka masih buka, walaupun yang dijual hanya seadanya. Karena modal terpakai untuk biaya makan sehari-hari.
Kehidupan Kanaya jauh dari kata mewah, baju yang ia pakai setiap hari adalah pemberian dari sisa-sisa sepupunya. Sedangkan Citra yang saat itu kerja di ibukota tak pernah mempedulikan adik perempuan satu-satunya. Ia bekerja untuk kesenangan nya sendiri.
Kini Kanaya sudah kelas 6, sebentar lagi ia masuk SMP. Namun pak Jaka tak punya biaya untuk menyekolahkan anak bungsu nya itu.
"Pak, ibu guru tanya. Naya mau melanjutkan sekolah dimana." ucap Naya ke bapaknya.
Pak Jaka pun bingung harus menjawab apa. Selain tak ada biaya untuk Naya sekolah, ia juga tak punya kendaraan untuk mengantar jemput Naya sekolah.
Karena jarak rumah Naya dan sekolahan sangat jauh. Dan harus ditempuh dengan sepeda motor.
"Nay, bapak tak ada uang untuk beli motor. Kamu mau naik apa kalau sekolah? sedangkan jarak rumah ke sekolah SMP yang ada di desa ini kan lumayan jauh" Jawab pak Jaka.
"Terus Nay harus gimana pak?," tanya Naya sambil memakai sepatu nya.
"Gimana kalau Nay tidak melanjutkan sekolah? Naya meneruskan usaha warung makan ini aja. Biar bapak pergi merantau, agar bapak bisa membelikan apa yang Nay mau." Bujuk pak Jaka pada Kanaya.
"Tapi pak...," Kanaya diam dan menundukkan kepala nya.
"Gimana nanti Naya ngomong sama Bu guru, pak?," lanjut Kanaya dengan menatap wajah pak Jaka yang lesu.
"Seandainya kakakmu mau membantu membiayai kamu sekolah, Nay. Mungkin bapak tidak akan bingung seperti ini," ucap pak Jaka dalam hati.
Lalu Naya berpamitan untuk pergi ke sekolah, karena Naya takut terlambat sampai di sekolah nya
Pak Jaka melakukan rutinitas yaitu membuka warung nasi nya. Walaupun pembeli menurun namun pak Jaka tak pernah patah semangat untuk membukanya.
Ada satu dua pelanggan tetap pak Jaka yang mampir untuk sekedar minum kopi di warungnya. Dan ada satu pelanggan dari dulu dari jaman Bu Mirna masih hidup, pak Anggara namanya. Pak Anggara adalah anggota TNI. Usia pak Anggara lebih tua dari pak Jaka, namun untuk wajah pak Anggara lebih kelihatan muda dari pak Jaka.
"Pak Jaka kopi satu ya," pak Anggara memesan secangkir kopi.
"Iya, pak. Ditunggu ya," pak Jaka berlalu ke dapur untuk membuat kan kopi yang di pesan oleh pak Anggara.
"Kanaya, sekolah pak?," tanya pak Anggara dari dalam warung, karena memang pak Anggara sudah kenal dan tau pada Kanaya mulai ia masih kecil.
"Iya, pak. Baru aja dia berangkat." jawab pak Jaka keluar dari dapur dengan membawa secangkir kopi hitam dan meletakkan didepan pak Anggara yang sedang duduk.
"Darimana pak?," tanya pak Jaka.
"Ini, dari desa sebelah. Mendampingi penyuluhan bantuan untuk warga yang kurang mampu," jawab Pak Anggara selaku Bintara Pembina Desa.
"Ini pak, ada oleh-oleh buat Kanaya. Kemarin dari kota, ada rapat mendadak di batalyon. Trus mampir di toko buku, karena ponakan minta dibelikan buku. Jadi teringat Kanaya, yang sebentar lagi kan ia masuk SMP." Pak Anggara mengulurkan tas kresek dengan sablon nama toko buku yang cukup terkenal di kota itu.
"Pak Anggara repot-repot saja, jadi tidak enak saya, pak. Mulai dari Kanaya kecil, pak Anggara selalu perhatian sama dia, segala kebutuhan nya selalu bapak beri," ucap pak Jaka sambil mengambil kresek yang di ulurkan pak Anggara.
"Tidak apa-apa, pak. Kanaya sudah saya anggap seperti anak saya sendiri." Diusia pak Anggara yang lebih tua dari pak Jaka, dia belum pernah menikah sama sekali sampai saat ini. Entah punya masalah apa tentang masa lalu pak Anggara, sehingga sampai saat ini ia masih membujang di usia yang sudah tidak muda lagi.
"Kenapa wajah pak Jaka keliatan lesu, Pak? pak Jaka ada masalah?," tanya pak Anggara saat melihat wajah pak Jaka seperti banyak beban pikiran.
"Itu tadi, pak. Mengenai soal Kanaya yang akan masuk SMP. Jarak antara rumah dan SMP di desa ini kan lumayan jauh pak, sedangkan saya tak punya kendaraan untuk antar jemput Kanaya nantinya. Mungkin Kanaya tak melanjutkan sekolahnya, pak. Mending dia meneruskan usaha warung ini dan saya mau pergi merantau ke kota untuk mengangkat perekonomian keluarga kami," jawab pak Jaka dengan memijit kedua pelipis nya.
Berapa hari pak Anggara tak ada mampir ke warung pak Jaka. Padahal kedatang pak Anggara adalah pemasukan yang pasti bagi pak Jaka.
Malam ini Naya sedang mengerjakan tugas sekolah nya, dan pak Jaka lupa memberikan bungkusan dari pak Anggara.
"Nay, lagi apa kamu nak?," pak Jaka duduk disamping Naya yang sedang menulis.
"Lagi bikin PR, pak." Naya mengangkat kepala nya melihat bapaknya yang sedang berdiri di depan nya.
"Itu apa, pak," Naya menunjuk tas kresek yang di bawa pak Jaka.
"Ini ada oleh-oleh dari pak Anggara, jangan lupa kalau beliau kesini bilang terimakasih ya, Nay." Pak Jaka menyodorkan tas kresek itu. Pak Jaka selalu mengajari Naya sopan santun. Karena ia takut salah mendidik Naya seperti Citra kakaknya.
Lalu Naya mengambil bungkusan itu.
"ini apa isi nya ya, pak?," tanya Naya penasaran.
"Bapak juga nggak tau, Nay. Bapak belum membuka nya," jawab pak Jaka sambil mengambil kaleng kue yang dipake sebagai tempat tembakau. Lalu iya melinting tembakau itu diatas kertas rokok yang satu sisinya terasa manis. Dan ia menyulutkan api pada lintingan tembakau tadi.
Naya langsung membukanya, ternyata isinya beberapa pack buku tulis dan alat-alat sekolah lainnya.
"Isi nya buku tulis dan alat-alat sekolah, pak." Ucap Naya dengan lesu.
"Dapat hadiah tapi kok muka nya cemberut gitu, Nay?," tanya pak Jaka sambil menghisap rokok yang iya bikin sendiri.
"Trus ini mau di buat apa, pak? Sedangkan Naya tak melanjutkan sekolah," wajah Naya penuh kekecewaan.
"Sabar ya, Nay. Nanti bapak coba minta bantuan sama mbak mu." ucap pak Jaka sambil menghempaskan asap rokok dari hidung nya.
"Semoga saja mbak citra bisa membantu kita ya, pak. Biar Naya bisa melanjutkan sekolah," harapan satu-satunya Naya saat ini adalah Citra kakak perempuan nya yang sedang bekerja merantau di ibukota.
Entah sudah berapa lama Citra tak pernah memberi kabar ke bapaknya di kampung. Padahal ada rindu di hati pak Jaka pada anak sulungnya itu.
Malam semakin larut, dan Naya pun tertidur setelah ia menyelesaikan tugas sekolah nya.
Pak Jaka masih menikmati isapan isapan rokok tembakau yang ia buat sendiri. Sambil memikirkan bagaimana cara agar Naya tidak putus sekolah.
Suara jangkrik yang ada di sawah samping rumah nya sebagai teman pak Jaka malam ini.
Keesokan paginya, pak Jaka bangun sebelum subuh. Untuk memasak jualan nya, walaupun kadang jualannya habis dimakan sendiri karena yang mampir ke warung nya hanya satu dua orang saja.
Namun tak ada kata putus asa di dirinya, setelah adzan subuh berkumandang. Pak Jaka membangun kan Naya untuk diajak sholat subuh berjamaah.
Walau hidup serba kekurangan tapi pak Jaka mengajarkan untuk selalu bersyukur pada sang pencipta dengan cara sholat lima waktu dengan tepat waktu.
Naya bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Lalu ia mengambil mukena yang tergantung di ruangan yang disekat dengan papan kayu untuk dijadikan tempat khusus untuk sholat.
"Pak, apa bapak sudah menghubungi mbak Citra?," tanya Sarah sambil melipat sajadah yang telah ia pakai untuk sholat.
"Belum Nay, bapak semalam ketiduran. Biar nanti siang bapak menghubungi mbak mu." Ucap pak Jaka memberi perasaan lega pada Naya.
"Kalau gitu, Naya mau nyuci baju dulu pak." Naya mengambil semua baju kotor miliknya dan milik pak Jaka.
Pak Jaka hanya mengangguk dan berlalu kearah dapur. Untuk menyelesaikan semua tugas nya.
Setelah selesai mencuci, tak lupa Naya juga menyapu rumah nya sebelum ia berangkat sekolah.
Warung pun dibuka oleh pak Jaka setelah Naya berangkat ke sekolah.
Sambil menunggu pembeli pak Jaka duduk di bangku depan warung nya. Ia melihat orang yang berlalu lalang dijalan depan rumah nya.
Tak lama ada tukang ojek yang biasa mangkal disitu datang dan dia duduk di samping pak Jaka, sambil mengambil kaleng yang berisi tembakau dan ia melinting nya diatas kertas rokok.
"Pak, kopi hitam satu ya. Jangan manis-manis karena saya sudah manis." Ucapnya dengan meringis.
"Siap, Jamal. Tunggu ya, tak buatkan dulu." Pak Jaka berlalu kedalam untuk membuat kan pesanan Jamal.
"Ini, Mal. Nggak sarapan sekalian mal?," tawar pak Jaka.
"Masih belum narik sama sekali, pak." Jawab Jamal dengan menyeruput kopi hitam nya.
"Sepi ya, Mal?," tanya pak Jaka.
"Iya, pak. beberapa hari ini sepi. Paling banyak kadang cuma tiga kali narik saja," Jamal curhat pada pak Jaka.
"Sabar, Mal." ucap pak Jaka sambil memukul kecil pundak Jamal. Jamal sudah dianggap anak sendiri oleh pak Jaka karena dia seumuran dengan Citra anak sulung pak Jaka.
"Pak Jaka, nasi pecel dibungkus lima ya," Sri memesan nasi pecel.
"Kok banyak Sri?, mau dibawa ke sawah?," tanya pak Jaka sambil membungkus nasi pecel.
"Iya, pak. Di buat makan orang yang lagi nanam padi di sawah." Jawab Sri.
"Dikasih ikan apa ini Sri?," tanya pak Jaka.
"Pakai telur dadar aja, pak Jaka. Biar harga nya murah," ucap Sri sambil tersenyum sambil ditutup dengan telapak tangan nya.
"Ini Sri, totalnya tiga pulu lima ribu," pak Jaka menyodorkan satu kresek yang berisi lima bungkus nasi pecel.
"Ini uang nya empat puluh ribu ya, pak. Yang lima ribu kerupuk aja," Sri mengambil kerupuk yang tergantung di rak atas.
"Terimakasih ya Sri," ucap pak Jaka saat Sri menerima bungkusan kresek itu.
"Alhamdulillah...," ucap syukur pak Jaka.
Lalu pak Jaka kembali duduk di samping Jamal yang sedang meminum kopi nya.
"Alhamdulillah dapat pelaris ya, pak." Ucap Jamal.
"Iya Mal, bisa buat saku sekolah nya Naya." pak Jaka menyesap rokok yang ia bikin sendiri.
"O ya, Mal. Kamu punya nomor telepon Citra yang baru? soalnya yang lama sudah tidak bisa di hubungi lagi." Tanya pak Jaka pada Jamal. Mungkin saja Jamal tahu, karena Jamal teman sekolah Citra dulu. Dan kemarin-kemarin Jamal dan Citra juga sering teleponan.
"Sudah lama Citra tak menelpon Jamal, pak. Coba nanti Jamal lihat di akun sosial media milik Citra. Siapa tahu Jamal bisa menghubungi nya lewat akun sosial media nya," jawab Jamal.
Terlihat pak Jaka berharap besar pada Citra, sehingga sebisa mungkin pak Jaka harus menghubungi Citra.
"Pak Jaka kangen ya sama Citra?," tanya Jamal.
Pak Jaka hanya diam saja tak menjawab pertanyaan Jamal. Ia menatap kosong ke depan sambil menghisap rokok yang terselip di jari nya.
"Mal, antar aku kepasar," perempuan paruh baya memanggil Jamal.
"Alhamdulillah...." ucap Jamal sambil mengusap wajahnya.
"Iya Bu,,,, tunggu disitu," Jamal bergegas menghidupkan motor nya dan menghampiri perempuan itu. Sebelum berangkat ia menyempatkan menutup rapat kopi yang tersisa separuh di cangkir nya.
Matahari yang cerah, embun yang menetes dari dedaunan ditambah dengan kicauan burung yang bersahutan membuat pagi ini sangat indah.
Naya membuka jendela untuk mengganti sirkulasi udara dalam kamar nya.
Setiap pagi ia melakukan rutinitasnya. Setelah selesai semuanya Naya langsung berangkat sekolah.
"Gimana, bapak sudah telepon mbak Citra?," tanya Naya sambil mengikat tali sepatu nya.
"Kemarin bapak sudah mencoba menghubungi mbak mu, Nay. Tapi tidak bisa, mungkin nomernya ganti, Nay," terlihat ada ke putus asa an pada wajah lelaki yang berumur itu.
"Tapi kemarin bapak sudah coba tanya Jamal, siapa tau mereka saling bertukar kabar. Namun sayang, Jamal juga tidak tahu nomer mbak mu yang baru. Tapi Jamal berjanji mau di lihat kan sebooknya, apa itu namanya Nay? sebook, sebook entahlah bapak tidak tahu namanya, pokoknya tempat nya di hp dan biasanya ada foto-fotonya gitu, kata jamal," pak Jaka mencoba mengeja apa yang dikatakan Jamal kemarin.
"Itu namanya Facebook, pak." Naya menjelaskan dengan tersenyum lebar. Lucu kala Naya mendengar dan melihat ekspresi bapaknya yang mengingat-ingat kata Facebook.
"Nah, itu yang di katakan Jamal kemarin," lalu keduanya saling tertawa. Terlihat kedua generasi beda usia itu sangat bahagia di tengah kesulitan yang mereka hadapi.
Naya berpamitan kepada bapak nya, untuk berangkat sekolah.
Pak Jaka membuka warungnya, ada harapan besar pagi ini pada warung itu.
Seperti biasa ia duduk didepan warung dengan sesekali menyesap rokok dan menghembuskan nya lewat lubang hidungnya.
"Tumben jam segini Jamal belum datang?," gumam pak Jaka sambil menyeruput kopi hitam nya.
Ia penasaran dengan kabar yang diperoleh Jamal tentang Citra anak sulung nya itu.
Namun sudah agak siang Jamal juga belum muncul.
"Mungkin ojek nya sedang ramai," gumam pak Jaka sendiri.
Lalu ada motor matic yang di parkir di depan warung, tapi wajah pengendaranya tak terlihat. Karena dia memakai helm teropong yang berkaca gelap.
Tapi diketahui dari pakaiannya ia seorang abdi negara. Iya, dia adalah seorang satuan TNI.
Pak Jaka bergegas berdiri dari duduknya, berancang-ancang masuk kedalam warung. Siapa tau pak TNI itu mau pesan makan.
Namun langkah itu diurungkan, karena saat helm teropong di buka. Ternyata dia adalah pak Anggara.
"Oalah pak Anggara ternyata?," ucap pak Jaka. " Tak kira siapa, pak. Motor nya ganti ya pak?," tanya pak Jaka, karena bukan motor yang biasa nya yang di pakai pak Anggara.
Belum sempat pak Anggara menjawab pertanyaan pak Jaka. Tiba-tiba ada satu anggota TNI yang pakaian lengkap seperti pak Anggara membawa motor pak Anggara.
"Masuk sini, Bay. Sarapan dulu." ajak pak Anggara pada teman nya itu. Teman pak Anggara ini terlihat lebih mudah jauh dari pak Anggara. Lebih pantas disebut anak pak Anggara.
Bayu pun masuk, dan duduk dibangku panjang yang di depan nya ada meja buat makan.
"Kamu mau sarapan apa, Bayu?," tanya pak Anggara.
"Apa saja, pak," jawab Bayu dengan tegas.
"Pak Jaka nasi pecel dua dan teh hangat nya juga dua," pak Anggara memesan sarapan untuk dirinya dan teman nya.
"Baik, pak." Jawab pak Jaka.
Pak Jaka pun membawa sesuai pesanan pak Anggara, dan meletakkan di depan masing-masing.
Saat pak Jaka meletakkan piring yang ber isi nasi pecel di depan Bayu. Pak Jaka di buat kagum oleh pesona Bayu.
Karena Bayu terlihat sangat gagah dan tampan, postur tubuhnya sangat bagus, sangat pantas menjadi anggota TNI.
"Pasti Bayu bangga mempunyai orang tua yang bisa menyekolahkannya sampai ia menjadi anggota TNI," gumam pak Jaka dalam hati sambil terus menatap Bayu.
Sampai Bayu yang melihat pak Jaka, jadi bingung sendiri.
"Pak, Pak? Bapak tidak apa-apa?," tanya Bayu.
Dan pak Jaka masih belum merespon apa yang dikatakan Bayu.
Pak Anggara yang melihat itu pun langsung bertindak. Pak Anggara langsung memegangi pundak pak Jaka, sambil di goyang-goyang.
Lalu pak Jaka tersadar dari lamunannya.
"Mmm...maafkan aku, pak." pak Jaka meminta maaf.
"Tidak apa-apa, pak. Apa ada yang salah di wajahku?," tanya Bayu sambil menunjuk muka nya sendiri dengan jari telunjuk nya.
"Tidak ada yang salah nak Bayu. Bapak hanya bangga melihat anak tampan, gagah sopan dan anggota TNI seperti nak Bayu. Pasti kedua orang tua nak Bayu bangga melihat nak Bayu." ucap pak Jaka.
"Seandainya aku juga bisa menyekolahkan anak-anak ku sampai tinggi, mungkin mereka akan bangga padaku," lanjut pak Jaka dengan mata berkaca-kaca.
"Sabar ya, pak." Hanya itu yang bisa di ucapkan Bayu. Karena bayi termasuk tipe pendiam yang tak punya banyak kosakata di otak nya.
Lalu mereka berdua pun melanjutkan sarapannya, terlihat kedua anggota TNI itu lahap memakan nya sampai tak tersisa nasi sedikit pun.
"Berapa semua nya, pak Jaka?," tanya pak Anggara.
"Gratis, pak." Jawab pak Jaka.
"Loh kok gratis," ucap Bayu reflek.
"Tidak apa-apa pak Anggara, ini tidak ada artinya apa-apa dibanding dengan kebaikan bapak selama ini kepada Naya anak saya." Tolak pak Jaka saat pak Anggara menyodorkan uang.
Namun pak Anggara sangat mengerti dengan keadaan keuangan pak Jaka saat ini. Ia selipkan uang itu di bawah piring kotor sisa pak Anggara makan.
Pak Anggara keluar dari warung dan menuju motor matic yang ia parkir di depan warung pak Jaka.
Dan pak Jaka mengikuti pak Anggara dari belakang. Untuk memberi penghormatan terimakasih kepada pak Anggara.
Saat mereka sedang ada diluar, tiba-tiba Naya pulang sekolah dengan jalan kaki. Memang setiap harinya Naya pulang dan pergi ke sekolah dengan jalan kaki.
"Assalamualaikum," ucap Naya memberi salam. Lalu Naya bersalaman satu persatu. Pada semua orang yang ada di situ termasuk pak Anggara dan Bayu.
"Sudah pulang Nay?," tanya pak Anggara.
"Iya pak, gurunya rapat jadi pulang cepat." ucap Naya dengan mencopot tali sepatu.
"Oh ya pak Jaka, kebetulan Naya sudah datang. Saya kesini membawakan sepeda buat Naya. Biar bisa buat sekolah. Jadi Naya, kamu harus tetap melanjutkan sekolah ya?," ucap pak Anggara dengan melihat Naya.
"Tapi, pak? Apa ini tidak berlebihan?," tanya Naya tidak enak hati.
"Bapak terlalu baik pada Naya, Naya takut tidak bisa membalas semua kebaikan bapak." lanjut Naya.
Pak Anggara kasian melihat hidup Naya yang serba kekurangan dari ia kecil dan Naya tak pernah merasakan rasanya kasih sayang seseorang ibu. Itu lah yang saat ini membuat pak Anggara terketuk jiwa nya untuk selalu membantu Naya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!