NovelToon NovelToon

PENDEKAR BELENGGU NIRWANA

BURONAN BANDIT

"Siapa di sana?!" teriak seorang anak berkisar umur 12 tahun dengan nada menyentak.

Anak itu bernama Yu Wuxian. Wuxian tiba-tiba waspada terhadap sesuatu yang bergerak hebat di balik semak-semak. Namun, ketika Wuxian berteriak keras, sesuatu yang bergerak di balik semak-semak pun tiba-tiba berhenti.

Karena tak mendengar adanya sahutan dari sesuatu yang dicurigainya, Wuxian pun memberanikan diri untuk memeriksanya. Wuxian tersontak ketika melihat seorang anak seumuran dengannya terbaring lemah dengan tubuh berdarah-darah. Namun, tiba-tiba anak itu membuka matanya, lalu mengarahkan pisau ke arah Wuxian dengan sikap waspada.

Wuxian sedikit terkejut ketika melihat benda tajam itu menodong ke arahnya. Akan tetapi, Wuxian berusaha memasang sikap setenang mungkin untuk menghadapinya.

"Kau terluka. Begini saja, kau taruh pisaumu lebih dulu. Kemudian, aku akan mengobati lukamu. Setelah kau lebih baik, kau bisa membunuhku," ujar Wuxian yang sengaja membujuknya dengan perkataan tidak logisnya.

Anak itu mulai melemahkan kewaspadaannya. Ia menundukkan kepalanya, memikirkan tentang perkataan yang Wuxian baru saja katakan. Namun, ia tetap menodongkan pisau ke arah Wuxian.

Ketika ia akhirnya mengerti dengan apa yang Wuxian maksud, ia reflek mengangkat wajahnya. Tatapannya mulai tajam. Mungkin, yang sedang dipikirkannya saat ini yakni, perkataan Wuxian terkesan konyol dan tidak masuk akal.

"Cepat cari! Kita harus menemukannya dan membunuhnya!!!" perintah seseorang yang terdengar hingga ke telinga Wuxian dan anak yang terluka itu. "Apa kau sudah menemukannya?!" sentaknya kepada seseorang yang tampaknya bawahannya.

"Tuan, sepertinya kita kehilangan jejaknya," lapornya.

"Sampah! Tidak berguna!!! Dia hanyalah seorang anak-anak yang bahkan telah terluka. Dia pasti tidak akan bersembunyi jauh. Dia pasti bersembunyi di sekitar sini. Jika kalian tidak bisa menemukannya, lupakan tentang upah 500 uang perak. Kita bahkan akan kembali dengan kepala terpisah," ujarnya mulai panik.

"Tuan, kenapa kau menerima perintah semacam ini? Kita semua tahu, meskipun kita berhasil membunuhnya dan mendapatkan uang 500 perak, mereka pasti tetap tidak akan mengampuni nyawa kami. Mereka pasti akan memberantas habis siapa pun yang akan menjadi saksi mata, termasuk kita yang melakukannya. Kita tidak akan selamat, meskipun berhasil membunuhnya," ujar bawahannya.

"Aku tahu betul tentang hal ini. Kau pikir, aku ini bodoh, apa?! Lalu, kau ingin aku menolak perintah ini dengan terang-terangan di hadapannya? Gila! Aku lebih dungu jika menolak perintah ini di hadapannya. Jika aku menolak perintah ini, kita semua pasti tidak memiliki kesempatan bernapas sampai hari ini. Kita hanya perlu membuatnya seakan-akan mengerjakannya," jelasnya.

"Lalu, kenapa kita benar-benar melukainya?" tanya bawahannya.

"Karena... meskipun kita tidak mendapat perintah darinya, anak itu harus mati bagaimanapun caranya. Dia ancaman terbesar baginya, tapi bukan berarti bukan ancaman besar bagi kami. Kau tahu, kenapa kita diperintahkan untuk membunuhnya dan membawa kepalanya sebagai persembahan? Itu karena dia telah merasa terancam dengan kehadiran anak ini. Begitupula kita. Jika kita tidak berhasil membunuhnya, maka, dia akan menjadi ancaman baru bagi kita. Jadi, kita harus menemukannya dan memenggal kepalanya," jelasnya panjang kali lebar.

"Lalu, apa langkah kita selanjutnya jika berhasil membunuhnya?" tanya bawahannya yang mulai penasaran.

"Kita harus pergi dari Negara ini," ungkapnya.

"Lapor, Tuan." Tiba-tiba datang lagi seorang bawahan lainnya yang ingin melaporkan sesuatu kepada atasannya.

"Apa kau sudah menemukannya?" tanyanya.

Bawahan itu menggeleng-gelengkan kepala. "Kami sudah menggeledah seluruh tempat di sekitar sini, tapi kami belum berhasil menemukannya," ungkapnya.

"Tidak berguna! Mati saja kalian semua!!!" Pimpinan itu pun mulai emosi, karena anak buahnya tak ada satu pun yang berhasil menemukan seorang anak yang tengah dicari olehnya.

"Namun... kami menemukan seorang anak lain," ujarnya.

"Untuk apa kau memberitahuku hal ini?! Tunggu... ." Pimpinan itu berpikir sejenak tentang apa yang baru saja dikatakan oleh bawahannya. "Bisa dipertimbangkan. Cepat bawa anak itu kemari!!!" perintahnya dengan tegas.

Bawahan itun pun segera beranjak dari tempatnya, untuk menjalankan perintah dari sang pimpinan bandit. Sedangkan bawahan lainnya yang sedari tadi tengah bercakap-cakap dengan sang pimpinan bandit pun hanya bisa menyimpan rasa penasaran atas apa yang diperintahkan oleh pemimpinnya.

Untuk menghilangkan rasa penasarannya, ia pun menanyakan alasan di balik perintah itu kepada sang pimpinan, "Tuan, apa yang akan kau rencanakan?" tanyanya.

Pimpinan itu pun melirik bawahannya dengan tatapan licik dan senyum setengah bibirnya. "Ada kambing hitam yang masuk ke dalam perangkap dengan sendirinya. Anak itu akan berguna bagi kita," ujarnya.

"Jangan bilang... kau akan mengganti kepalanya dengan kepala anak itu," tebaknya ragu-ragu.

"Kau bisa menebaknya dengan mudah sudah menjadi berkah bagimu mengikutiku selama ini. Namun, kali ini aku tidak memiliki pemikiran semacam itu. Dia hanya akan menjadi cadangan bagi kita. Sedangkan tujuan yang kita jalankan, tetap harus kita lakukan. Bagaimanapun, kita tetap harus menemukannya dan membunuhnya. Terlalu beresiko jika membiarkan sesuatu yang mengancam sepertinya dibiarkan berkeliaran," jelasnya.

"Tuan, aku telah membawakannya." Selang beberapa menit kemudian, bawahan tadi pun membawa seorang anak ke hadapan Sang pemimpin para bandit dengan kondisi tubuh yang diikat kencang agar tidak dapat kabur.

Anak yang mereka tangkap adalah Yu Wuxian. Ketika melihat sosok Wuxian, awalnya para bandit mengira bahwa dia ada anak yang tengah mereka cari. Sayangnya, bukan dia, karena para bandit mengenal dengan jelas wajah sang anak yang berhasil melarikan diri dari mereka.

Walaupun mereka salah tangkap, tetapi Wuxian tetap tak bisa lolos semudah itu dari cengkraman mereka.

"Lepaskan aku!!!" teriak Wuxian dengan tatapan mata nyalangnya.

"Anak kecil, kau cukup berani!!!"

Plak!!! Bandit yang menangkap Wuxian memukul keras wajah Wuxian hingga ujung bibirnya berdarah.

"Berhenti!" perintah sang pemimpin bandit yang menghentikan tindakan bawahannya.

"Lepaskan aku!!!" teriak Wuxian sekali lagi.

Pemimpin bandit itu berjalan ke arah Wuxian seraya menurunkan beberapa derajat tubuhnya ke hadapan wajah Wuxian. "Bawahanku benar, kau memang cukup berani. Namun, di samping aku menyukai orang pemberani, aku juga membenci mereka. Karena itu, aku ingin orang semacam kalian harus dimusnahkan!" cetusnya. "Tapi... untuk saat ini, aku tidak akan membunuhmu, karena kau masih berguna bagi kami. Bawa dia!" perintahnya.

"Baik!"

Para bandit itu tetap melanjutkan pencarian mereka, dengan membawa Wuxian bersama mereka.

"Tunggu!" Wuxian menghentikan mereka. Ketika Wuxian memberi aba-aba untuk berhenti, para bandit pun reflek menoleh ke arah Wuxian.

"Kenapa? Berani sekali anak kecil sepertimu menghentikan kami," ujar salah satu dari mereka.

"Aku menghentikan kalian untuk menyelamatkan kalian. Sebaiknya kita jangan mengambil jalan di depan sana, karena di sana banyak sekali jebakan pemburu," ujar Wuxian.

"Benarkah? Kenapa kami harus percaya kepada anak kecil sepertimu?" tanya salah seorang bandit yang tidak percaya karena curiga.

"Aku tidak perduli kalian percaya atau tidak, karena itulah kenyataannya. Aku sering sekali ke tempat ini, karena itu aku lebih familiar. Di depan sana memanh banyak sekali jebakan yang dipasang lara pemburu. Jika kalian ingin terus maju, silakan saja. Jangan salahkan aku yang sudah mengingatkan," ucap Wuxian dengan santainya.

"Benarkah? Kalau begitu, kita ambil jalur lain," ujar Pemimpin bandit.

"Tuan, untuk apa kita percaya dengan ucapannya?" tanya bawahan yang selalu berada di sampingnya.

"Lalu, kau ingin mengacuhkannya dan membuat kita semua terperangkap ke dalam perangkap yang dipasang pemburu? Kita tidak punya banyak waktu, lebih baik jangan mengacau!" sentaknya dengan tegas.

"Benar, kalian harus percaya dengan perkataanku. Lagian, aku juga ikut bersama kalian. Jika sesuatu terjadi kalian seperti terperangkap ke dalam perangkap pemburu, bukankah aku juga akan ikut terperangkap?" Wuxian mencoba menguatkan perkataannya.

"Perkataannya cukup masuk akal. Baik, kalau begitu, kita ambil rute lain," ujar sang Pemimpin bandit. "Jalan mana yang paling aman?" tanyanya kepada Wuxian.

"Sana!" serunya. Wuxian menunjuk ke arah jam 9.

"Baik, kita ambil rute itu," ucap sang Pemimpin para bandit.

Para bandit itu pun berjalan ke arah rute yang ditunjukkan oleh Wuxian yang juga masih menjadi sandera mereka. Tiba-tiba...

BRUKK!!!

TERJEBAK

Banyak bandit yang masuk ke dalam jebakan yang dipasang oleh pemburu. Ketika menyadari rencananya berhasil, Wuxian pun mengambil kesempatan itu untuk mendorong bandit di sampingnya ke sebuah lubang yang ada di hadapannya.

Melihat hal itu, pemimpin bandit pun bergegas ingin menangkap Wuxian. Akan tetapi, ia yang malah menyandung seutas tali dan membuatnya terjaring menggantung di pohon.

Ketika semua bandit berhasil masuk ke dalam jebakan pemburu, Wuxian pun mengambil kesempatan itu untuk melarikan diri. Wuxian berlari menuju tempat ia bertemu dengan seorang anak yang dia temukan terluka parah.

“Kau… bisakah kau membuka ikatanku dengan pisau di tanganmu?” pinta Wuxian.

Anak itu tak berkata apa pun dan langsung membantu Wuxian melepaskan ikatan yang melilit tubuhnya.

“Ayo!” ajak Wuxian sembari mencekal lengan anak itu. Namun, anak itu mematung di tempat dan sengaja tak beranjak dari tempatnya.

Wuxian pun reflek menghentikan langkahnya dan berbalik menatap wajah anak itu.

“Jika kau tidak ikut denganku, mereka pasti akan menemukanmu. Percayalah padaku. Aku akan membawamu ke tempat yang lebih aman.” Wuxian berusaha meyakinkan anak itu.

Akhirnya, anak itu pun mulai beranjak dari tempatnya dan mengikuti Wuxian di belakangnya. Karena terluka, anak itu berjalan sedikit lebih lama dari Wuxian.

Wuxian berhenti sejenak, lalu menurunkan tubuhnya di hadapan anak itu.

“Ayo! Aku akan menggendongmu,” ujar Wuxian.

Anak itu sedikit terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Wuxian. Ia hanya mematung di tempat sembari menatap punggung kecil Wuxian.

‘Kenapa dengannya? Kenapa dia ingin menggendongku? Aneh sekali. Dan kenapa… dia mau menyelamatkanku?’ batin anak itu.

Wuxian menolehkan kepalanya ke belakang, melirik wajah anak seumurannya yang tampak ling lung.

“Jangan banyak berpikir. Aku menggendongmu karena kau berjalan sangat lama. Kita harus cepat pergi dari sini, atau para bandit itu berhasil menemukanmu,” kata Wuxian.

‘Bagaimana dia tahu jika para bandit itu ingin membunuhku?’ batinnya terus bertanya-tanya dengan curiga.

“Baiklah. Jika kau tidak ingin ikut bersamaku ke tempat yang lebih aman, aku akan meninggalkanmu sendiri di sini dan biarkan mereka membunuhmu.” Wuxian membujuk dengan cara menakut-nakuti.

Anak itu akhirnya tidak ingin berpikir lebih banyak lagi. Ia pun naik ke punggung Wuxian. Wuxian tersenyum kecil menyadari hal itu. Kemudian, mereka berdua pun melanjutkan langkahnya.

“Siapa namamu?” tanya Wuxian.

Anak itu hanya membisu, karena sengaja tak ingin menjawab pertanyaan dari Wuxian.

“Kau cukup pendiam juga rupanya. Kau pasti tidak punya teman… aku juga. Mungkin mereka sangat tidak menyukaiku, karena itu tidak ingin berteman denganku. Kau… apa kau ingin menjadi temanku? Tunggu, apa terkesan aneh jika aku ingin menjadi temanmu? Tampaknya, kau bukan anak biasa. Kau pasti dari keluarga terpandang. Para bandit itu pasti ingin menjadikanmu sandera dan mengancam keluargamu agar menyerahkan sejumlah uang yang mereka inginkan sebagai pertukaran,” kata Wuxian.

Wuxian seakan-akan berbicara sendirian, karena anak itu sama sekali tak membuka mulutnya lagi. Ia hanya terus membatin dalam hati, menyahuti perkataan Wuxian dalam hatinya.

Wuxian pun melanjutkan perkataannya. “Jika kau tidak ingin berbicara denganku, cukup dengarkan saja apa yang kubicarakan. Aku sangat senang karena sekarang memiliki seseorang yang bisa mendengarkan ceritaku. Lukamu pasti sakit. Di gunung tadi, aku memetik beberapa tumbuhan herbal yang dapat membuat luka cepat mengering. Nanti, aku akan membantumu mengobati lukamu. Akhirnya kita sampai.”

Wuxian menurunkan anak itu di suatu tempat. Ya, sebuah desa kecil tempat Wuxian tinggal di sana.

“Ini desa tempatku tinggal.” Wuxian menejelaskan.

Sedangkan anak itu tengah beradaptasi memperhatikan sekelilingnya.

“Aku akan membawamu ke rumahku,” ujar Wuxian.

Wuxian mengajak anak itu ke tempat tinggalnya. Namun, Wuxian tidak berani melewati jalan utama. Karena sudah pasti ia akan dihujani banyak pertanyaan ketika membawa seorang anak asing yang terluka parah.

Wuxian cukup mengenal desa tempat tinggalnya. Ia membawa anak itu melewati jalan yang lebih sepi untuk menuju rumahnya. Wuxian datang lewat kebun di belakang rumahnya. Tepat pada saat itu, Wuxian tak menyadari jika ibunya ada di sana dan sedang menanam sayuran. Ketika melihat Wuxian, ibu Wuxian yang galak pun langsung meneriaki namanya.

“Hei, Yu Wuxian! Ke mana saja kamu?! Matahari sudah hampir tenggelam dan kau baru pulang. Main… saja kerjaannya.” Ibunya mulai mengomeli Wuxian habis-habisan.

Wuxian terkejut tatkala mendengar ibunya pertama kali meneriakkan namanya dengan lantang. Ia mengambil jalan sepi bukan hanya menghindari para penduduk desa saja, tetapi ia juga ingin menghindar dari ibunya. Karena… dia tidak menginginkan situasinya saat ini.

“Hehe. Ibu, aku … .”

“Kau masih ingat memanggilku Ibu? Dasar anak bendel. Sini! cepat!!!” perintahnya dengan nada menyentak.

‘Sudahlah, tamat riwayatku kali ini,’ batin Wuxian.

Dengan hati-hati, ia berjalan mendatangi ibunya yang berdiri tegak dengan celurit di tangannya.

“Aaaaa!!! Ibu, Ibu, aku tahu. Maaf, maaf, aku tidak akan mengulanginya lagi,” rintih Wuxian yang kesakitan karena ibunya menarik telinganya, hingga membuat telinga Wuxian panas.

“Ke mana saja kau? Bukan hanya pulang menjelang malam, tapi 2 hari ini kau tidak pulang,” tanyanya. Ia pun akhirnya melepaskan telinga Wuxian dan membiarkan Wuxian mengelus-elus telinganya yang terasa panas.

“Aku mengumpulkan banyak tanaman herba di gunung,” jawab Wuxian.

“Tanaman herba? Kalau begitu, di mana semua itu? Mana yang kau kumpulkan?” tanya ibu Wuxian.

Wuxian benar-benar tak bisa berkata-kata lagi. Ia bingung harus memberi jawaban seperti apa kepada ibunya, karena saat ini ia tak membawa banyak tanaman herba, dan sedikit sisa yang dipetiknya sengaja dia sembunyikan untuk mengobati luka teman asingnya.

“Aku… aku meninggalkannya,” jawab Wuxian ragu-ragu disertai rasa takut.

“Dasar anak nakal! Jika bermain-main, jawab bermain-main saja. Tidak perlu berbohong memetik tumbuhan herba di gunung,” pungkasnya.

“Aku benar-benar… .”

“Kau! Kau sudah terbiasa tidur di luar,” potongnya. “Jadi, jangan harap masuk ke dalam rumah. Tidak ada tempat untukmu hari ini. Bukan hanya bermain-main saja, tapi berani-beraninya membawa anak yang entah dari mana asal-usulnya. Memang pembawa sial! Tidur di jalan atau di kandang kuda terserah dirimu. Ibu muak memiliki anak tidak berguna sepertimu! Pergi!” usirnya.

Huang Chao menatap Wuxian dengan perasaan iba. Sedangkan Wuxian hanya bisa menundukkan kepalanya karena ia sama sekali tak berani melawan perkataan ibunya, apalagi memberikan pembelaan atas kesalahannya.

"Kenapa kau masih di sini? apa kau tidak dengar apa yang baru saja kukatakan? pergi! apa kau ingin melawan perintah dari Ibu, hah?! cepat pergi?!!" usirnya dengan lantang tanpa memikirkan perasaan Wuxian sedikit pun.

PEMBANTAIAN SADIS

“Ibu … .”

“Pergi! Cepat!!! Jangan buat aku memaksamu,” perintahnya dengan nada lantang.

Wuxian tak menjawab perkataan ibunya. Ia hanya bisa menuruti perintah ibunya, yaitu menghilang dari hadapannya. Meski hati Wuxian terasa sakit karena perkataan tajam ibunya, ia tetap harus menahannya.

Bukan hanya sekali ibunya bersikap seperti itu kepadanya. Ibunya bagai tak pernah menginginkannya di dunia. Namun, Wuxian tetap percaya bahwa ibunya sangat menyayanginya, meskipun caranya sedikit berbeda dengan ibu lain umumnya.

“Ayo!” Wuxian mengajak anak itu pergi bersamanya dengan pandangan mata menunduk ke bawah.

Anak itu tak beranjak dari tempatnya. Ia hanya menatap wajah Wuxian dengan tatapan sendu.

Wuxian akhirnya mengangkat wajahnya. Ia melirik ke arah samping, menatap wajah anak itu dengan tatapan dingin.

“Kau tidak perlu memandangku dengan cara itu. Tidak perlu mengasihaniku. Aku terbiasa mendengar perkataan semacam itu dari ibuku,” ucap Wuxian seraya melukis senyum hambar di bibirnya.

‘Anak bodoh! Bagaimana bisa perkataan semacam itu kau anggap biasa? Jika orang lain yang mengatakannya, kita memang bisa menahannya. Tapi jika Ibu sendiri yang mengatakannya, rasanya berkali lipat sakitnya,’ batin anak itu.

Wuxian terus berbicara kepada anak itu. Sedangkan anak itu terus membungkan mulutnya sendiri. Ia hanya mendengarkan semua yang diceritakan Wuxian kepadanya, meskipun ia merasa apa yang dibicarakan Wuxian sangat sepele dan membosankan.

Wuxian pun melanjutkan langkahnya. Sedangkan anak yang bersamanya pun hanya mengikuti  Wuxian dari belakangnya.

Wuxian berhenti tepat di depan kandang kuda milik keluarganya. Ia tak memiliki tempat tujuan lain untuk bermalam, selain tempat itu.

Anak yang ikut bersama Wuxian memandangi kandang kuda yang dia pikir, mungkin Wuxian akan mengajaknya beramalam di sana.

“Tidak perlu khawatir. Aku rutin membersihkan kandang ini,” ujar Wuxian. “Dia Xiao Mao, temanku.” Wuxian memperkenalkan seekor kuda kepada anak itu. “Dia cukup pintar dan mengerti bahasaku, tapi hanya bahasaku saja. Jika itu orang lain, dia malas mendengarkannya. Dia juga tidak pernah buang kotoran sembarangan. Aku menyediakan tempat untuk dia membuang kotoran. Jadi, kau tidak perlu khawatir. Meski ini kandang kuda, tapi cukup bersih,” jelas Wuxian.

Wuxian merapikan tempat dan mengambil tumpukan jerami untuk alas mereka agar lebih bersih.

‘Dia tidak pernah berhenti bicara. Dari awal bertemu, sampai sekarang, dia sangat betah membicarakan hal-hal semacam ini,’ batin anak itu.

Wuxian terus berbicara kepada anak itu. Sedangkan anak itu terus membungkan mulutnya sendiri. Ia hanya mendengarkan semua yang diceritakan Wuxian kepadanya, meskipun ia merasa apa yang dibicarakan Wuxian sangat sepele dan membosankan.

“Berani sekali anak itu! Awalnya, aku tidak ingin membunuhnya, tapi jika sudah seperti ini, aku tidak akan melepaskannya!!!” cetus Pemimpin bandit yang mulai membara karena kemarahannya.

Para bandit telah berhasil meloloskan diri dari jebakan pemburu. Mereka tetap tidak menyerah untuk menemukan terget mereka yang kabur. Di samping mereka yang telah dibodohi oleh Wuxian, membuat mereka semakin ingin menemukannya. Mereka merasa terinjak-injak karena berhasil dibodohi oleh seorang anak kecil.

“Tuan, kami menemukan sebuah desa kecil di sekitar sini,” ucap salah seorang bawahan yang melapor kepada pemimpin para bandit.

“Sebuah desa kecil? Kerja bagus! Lihat saja, aku akan segera membalaskan dendamku,” cetusnya.

“Tuan, aku yakin anak yang menipu kita tinggal di desa itu,” tebak salah sau bawahannya.

“Aku juga memikirkan hal yang sama. Semuanya, kita bersiap-siap menuju desa itu dan membalas penghinaan yang kita dapat. Hancurkan!!!” serunya dengan lantang.

“Aaaaa!!! Tolong! Tolong aku!!!”

“Panas… cepat… cepat padamkan api!!!”

“Aaaa!!!”

SREKK!!! JLEB!!!

Api berkobar hebat di sebuah desa kecil yang tak lain adalah desa tempat tinggal Yu Wuxian. Banyak penduduk desa yang mencoba menyelamatkan nyawa mereka masing-masing. Sayangnya, mereka tanpa daya.

Desa telah terkepung api yang sangat besar dan menutupi jalan keluar mereka. Bukan hanya itu saja, sebagian dari mereka yang berhasil lolos tidak akan pernah lolos, karena siapa pun yang berhasil keluar telah dinanti untuk dibantai.

Siapa lagi pelakunya jika bukan para bandit ganas yang telah berubah menjadi iblis berwajah manusia?

Mereka menyiram minyak, melingkari desa kecil itu dan membakarnya hingga membuat api menjalar, melahap habis sesuatu yang disentuhnya. Apalagi semua rumah desa itu terbuat dari kayu dengan kualitas rendah yang mudah sekali terbakar.

“Tuan, kami telah menyelesaikannya. Kami pastikan tidak ada yang berhasil lolos dari sini,” lapor bawahan pemimpin bandit.

“Bagus! Bagus!!! Dasar dua bocah tengil kurang ajar! Berani sekali mereka meremehkanku. Kita telah berhasil menyingkirkan satu ancaman, sekaligus membalaskan dendam kita atas penghinaan mereka. Ayo! Kita harus merayakannya,” ucapnya dengan girang segirang-girangnya.

Ia meninggalkan desa itu seraya bersenandung dan diikuti oleh para bandit bawahannya.

“500 uang perak menanti kita! Mari kita merayakan momen ini!!!” serunya.

Di sisi lain, ketika anak yang bersama Wuxian melihat penampakan langit merah di sekitar desa tempat tinggal Wuxian pun mulai berasumsi kuat jika sesuatu yang besar telah terjadi di sana. Ia mulai panik dan melirik Wuxian yang telah terlelap nyaman menyandar di sampingnya.

“Apa yang sedang terjadi? Kenapa langit malam berubah menjadi semu kemerahan? Apakah mungkin… terjadi kebarakan di sana?! Tidak! Dia tidak boleh sampai tahu hal ini. Anak bodoh ini pasti akan melakukan tindakan bodoh yang sia-sia dan membahayakan nyawanya. Haruskah… aku biarkan saja dia tertidur?” gumamnya sembari melirik Wuxian yang tertidur sangat pulas.

Ia tak ingin membangunkan Wuxian, karena Wuxian akan melakukan hal bodoh jika sampai mengetahuinya. Ia menebak jika Wuxian sampai tahu apa yang terjadi dengan desa tempat tinggalnya, tanpa pikir panjang, ia pasti akan berlari ke sana dan menerobos segala sesusatu yang membahayakannya. Wuxian pasti akan melakukan tindakan bodoh dan sia-sia, hanya untuk menyelamatkan keluarganya.

"Maaf karena aku menyermbunyikan hal ini darimu. Aku melakukan semua ini demi kebaikanmu. Anak sepertimu pasti akan melakukan tindakan bodoh jika mengetahui tragedi yang menimpa desamu. Sebagai gantinya, aku pasti akan menjagamu mulai saat ini. Jangan terlalu membenciku karena hal ini," ujar Huang Chao sembari menatap Wuxian yang tengah terbaring dengan pulas.

Anak itu hanya bisa menutup matanya dan berpura-pura tidak tahu apa yang tengah terjadi. Ia bangkit dari tempatnya, memperhatikan langit merah yang semakin pekat kemerahannya. Tidak ada harapan untuk menghindari nasib yang telah terjadi. Semua sudah kehendak takdir. Anak itu berusaha berpikir positif meskipun ia tak bisa menghalau rasa bersalahnya karena telah menyeret Wuxian ke dalam masalahnya.

Ia berusaha memejamkan matanya kembali, berharap ia dapat kembali tidur malam itu. Namun,kekhawatiran disertai rasa bersalahnya terhadap Wuxian, terngiang-ngiang di kepalanya dan membuat rasa kantuknya lenyap tak datang kembali.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!