"Apaaa!!" pekik dela.
"Dela ngga mau yah bun dijodohin, emang ini zaman siti nurbahay kali ah" Seru Dela kembali.
"Dia baik kok sayang, mapan lagi, bunda jamin kamu bakal betah nantinya," ujar bundanya yang bernama karin seraya mengusap sayang bahu dela.
"Tapi kan dela belum pernah bertemu dengannya bun". Ujar Dela dengan nada sendu.
Ini dia awal mula dimana kisah hidup Dela Putri Aditama, putri tunggal sepasang kekasih yaitu Karin Maharani yang berprofesi sebagai desainer ternama dan Adit Aditama yang merupakan CEO Tunggal Aditama Company.
Dela tidak pernah menyangka akan takdirnya di masa depan dengan adanya perjodohan ini.
Setelah perdebatan kecil antara Dela dan Karin waktu yang lalu.
Dela lebih banyak berdiam diri lebih tepatnya meratapi nasip yang menimpanya ini.
Disini lah Dela, tempat ternyaman untuk nya disaat ingin sendiri, Balkon kamarnya.
'Tuhan kalau memang dia jodoh ku, ku mohon beri warna kehidupan rumah tangga ku nanty'- batin Dela.
Tok tok!
"Sayang, ayo turun makan malam", teriak Karin di luar pintu kamar Dela.
"Iyah bun, sebentar" pekik Dela.
mendengar suara Karin tak ada, Dela bergegas untuk membersihkan diri terlebih dahulu.
Dela selesai dengan ritualnya di kamar mandi, bergegas turun untuk menjumpai kedua orang tuanya.
"Sini sayang, bunda udah buat makanan kesukaan mu" Ucap Karin seraya menarik kursi untuk diduduki putri tunggalnya itu.
"Makasih bunda yang Dela sayang," ucap Dela seraya menciumi pipi kanan Karin.
"Sama-sama sayang," jawab Karin dengan nada penuh kasih sayang.
"Ayah engga di cium juga nih?" nimbruk adit saat melihat interaksi anak dan ibu itu.
"Kan jatah ayah ada sama bunda," jawab Dela dengan tertawa kecil.
"Bunda kamu tuh suka malu-malu" tambah Adit yang disertai tawa pecah dari Dela.
"Bun, bunda ngga kasihan tuh sama ayah, kayak kurang belaian?," tanya Dela kepada Karin yang telah merah padam akan kelakuan anak dan suaminya yang kerap menjahilinya.
"Tapi tenang kok sayang, kalau di kamar... Awh!"
Belum sempat Adit menyelesaikan ucapannya, Karin lebih dahulu memukul jidat suaminya dengan centong nasi yang ia pegang.
"Mulut kamu tuh mas, minta di ulek kayaknya!" geram Karin dengan tingkah laku suaminya.
Dela yang melihat itu hanya dapat tertawa akan tingkah absurd kedua orang tuanya.
hening, menggambarkan suasana meja makan keluarga Aditama, yang terdengar hanya suara sendok yang bertempur.
"Dela!", panggil Adit setelah makan berlalu.
"Ada apa yah?" tanya Dela seraya melihat muka Adit yang berubah menjadi mode serius.
"Apa kau sudah mendengar tentang perjodohan dari bunda?" tanya balik Adit kala melihat raut bingung putrinya.
"Yah apa tidak bisa di batalkan", jawab Dela seraya menundukan kepalanya.
"Ini sudah perjanjian kami berempat dlu sayang, disaat kalian masih dikandungan", jelas Adit
"Tapi yah Dela benar-benar tidak pernah tau tentang calon suami dela itu" tegas Dela dia benar" geram akan perjodohan ini yang menurutnya tidak masuk akal.
"Kami tidak akan memaksa sayang, kalian akan kami waktu pendekatan, dan suka ngga suka nya itu belakang" jelas Adit.
"Berarti jika Dela tidak suka, bisa membatalkan perjodohan ini?" Tanya Dela akan penjelasan Adit.
"Kalian bakal tetap kami jodohkan " Tegas Adit
"Lalu mengapa ayah memberi waktu kalau ujung-ujungnya ini akan berlangsung" ujar Dela yang tak kalah Tegas dari Adit.
Hemmm....
Adit menghembuskan nafas panjang, akan sikap keras kepala anak semata wayang nya ini.
"Kamu bakal nerima ini kan Del?" Tanya Adit yang mungkin terakhir kali.
"apa keputusan Dela berguna, walau Dela menolak perjodohan ini tetap berlangsung kan!!" Ujar Dela seraya bangkit dari tempat duduk nya dengan menghentakkan kakinya.
"Apa ini baik untuknya mas?" Tanya Karin kepada Adit, yang sedari tadi hanya melihat suami dan anaknya.
"Ini sudah keputusan terakhir sayang, ini juga untuk kebaikannya!".
"Tapi melihatnya seperti itu, aku merasa ksihan mas", ucap Karin dengan nada sendu.
"Ini kan juga sudah perjanjian kita berempat dulu, dan masalah Dela lambat laun dia bakal kembali seperti biasanya", jelas Adit kepada sang istri.
"Baiklah!" Ucap Karin sambil memandang nanar kamar anaknya.
Tok!tok!tok!
Suara pintu menghentikan aktivitas melamun Dela. Segera Dela masuk kedalam kamar dan membuka pintu untuk melihat siapa yang mengetuk.
"Ada apa bun?" tanya Dela ketika melihat sang Bunda berdiri didepan pintu kamarnya.
Sedangkan Rani tersenyum geli melihat penampilan kacau sang anak kala Dela menampakkan wajahnya.
"Bunda boleh minta tolong?"
"Minta tolong apa?"
"Ikut bunda sama ayah keacara makan makal dirumah temannya." jelas bunda membuat Dela seketika memicingkan matanya curiga.
"Kamu kenapa?" tanya Rani bingung
"Gabiasanya bunda ajak aku kayak gini.... Atau jangan-jangan? Ujar Dela menggentungkan kalimatnya.
"Jangan-jangan apa? Udah, mending sekarang kamu siap-siap. Sebentar lagi kita pergi." Dan setelah itu Rani pergi meninggalkan putrinya yang masih diam karena curiga.
"DELAAA!!! CEPET SIAP-SIAP!!" teriak Rani dari lantai bawah membuat Dela mendengus kesal.
Pasti bundanya tau kalau dirinya masih diam berdiri didepan pintu. Segera ia masuk kamar dan bersiap-siap seperti apa yang bundanya perintahkan. Ntahlah, mungkin kali ini ia harus menyingkirkan pikiran buruk tentang bundanya yang tiba-tiba mengajaknya makan malam dirumah teman sang ayah.
Ntah kemana Dela sekarang akan dibawa pergi, yang pasti ayah dab bundanya membuat Dela heran karena sesari tadi mereka berdua tak berhenti tersenyum.
"Dela.... Kamu yang sopan yah didepan teman ayah, jaga sikap dan ucapan." pesan Rani seraya melihat putri cantiknya yang sedang duduk manis di belakang pengemudi.
"Benertuh apa kata bunda kamu. Ini bukan cuma sekedar temen, bisa dibilang udah kaya sodara sendiri. Jadi kamu harus baik-baik nanti disana." sang ayah menimpali.
Dela memutar bola matanya malas. Ia sudah mendengar itu ketika turun tangga menemui ayah dan bundanya, ia juga sudah mendengar itu ketika hendak masuk mobil, dan sekarang ia lagi-lagi mendengar pesan yang sama dari keduanya. Apakah mereka tak cukup bilang satu kali saja? Pikir Dela.
"Kamu dengerin apa kata ayah dan bunda kan nak?" ujar Adit bertanya.
"Iyah ayah..."
Dan sedikit menempuh jarak yang cukup jauh, akhirnya mereka sampai didepan rumah yang memiliki pagar menjulang tinggi. Dela yakin pemilik rumah ini pasti orang kaya. Dan benar saja ketika mereka memasuki garasi setelah diperintah oleh penjaga keamanan didepan, Dela bisa melihat dengan jelas depan halaman rumah tersebut. Sangat megah, mewah dab luas. Tak terbayang jika ia memasuki rumah bak istana itu.
"Ayooo sayang.... Nanti kamu liat-liat lagi. Sekarang kita masuk," kata Rani yang hanya diangguki oleh Dela.
"Hay akhirnya kalian datang... Aku kangen deh Ran sama kamu. Gimana kabar kalian? Baikkan?" sapa seorang wanita cantik seusia dengan bunda Dela ketika mereka tiba didepan pintu utama.
"Kamu bisa aja.... Aku dan semuanya baik." jawab Rani seraya terkekeh pelan.
"Udah jangan ngobrol diluar. Ayo silahkan masuk!" sakras seorang pria yang datang dibelakang wanita tadi.
Setelah memasuki rumah itu, mereka langsung diiringi oleh penghuni rumah kemeja makan. Dela yang jalannya lumayan lama tertinggal jauh dengan keempat manusia yang tengah asik mengobrol itu. Ketika tiba, rupanya wanita itu baru menyadari adanya Dela sekarang.
"Ini anak kamu Ran? Aku same lupa kalo dia dibawa..." Ucap wanita itu seraya terkekeh pelan lalu menghampiri Dela.
"Sini sayang duduk dulu, maaf tante tadi galiat kamu. Abis keasikan ngobrol sama bunda kamu sih." Ucapnya lagi.
Dela hanya mengangguk sambil tersenyum kecil lalu duduk di samping bundanya.
"Nama kamu siapa? Kenalin tante ini tante Jihan dan ini om Refan, orang tua calon suami kamu." Katanya memperkenalkan diri sambil tersenyum manis.
Uhuk-uhuk!!
Dela terbatuk tiba-tiba, ia merasa tertohok mendengar kalimat wanita didepannya ini yang ternyata bernama Jihan. Apa-apaan ini? Apa ia sedang dikerjai? Inikah yang dimaksud makan ma'am dirumah teman yang sudah seperti sodara? Argghh... Ingin rasanya Dela berteriak.
"Kamu gapapa? Ran kasih minum dulu anakmu itu loh..." Ujar Jihan pada Rani. Karena sekarang Jihan duduk disebrangnya.
Dela meminum air yang disodorkan oleh Rani seraya tersenyum kaku menatap Jihan disebrang meja makan
"Saya Dela tante..." Jawab Dela seusai meminum airnya. Ia masih mempertahankan senyuman terpaksanya. Hatinya mulai mengerutu kesal kepada kedua orang tuanya rupanya sudah diam-diam menipu dirinya.
"Kamu cantik banget sayang, gasalah tante jodohin kalian." Kata Jihan yang hanya ditanggapi senyuman canggung dari Dela.
"Anak tante belum datang, tunggu sebentar lagiyah, dia lagi diperjalanan." Jelas Jihan yang rupanya sangat antusias melihat Dela.
Pasalnya hanya Jihan yang sedari tadi terus berbicara. Sedangkan kedua orang tuanya hanya tersenyum-senyum sendiri seperti dimobil tadi.
"Maaf terlambat,"
Tiba-tiba terdengar Suara seorang lelaki membuat Dela mendongak menatap kesiempu. Mata mereka saling bertemu namun dengan pandangan yang berbeda. Dela memandang dengan sorot mata penasaran akan tetapi lelaki itu memandangnya dengan sorot mata tajam dan dingin.
"Ah! Ini dia calon suami kamu dateng.." Ujar Jihan.
Apa? Calon suami? Apakah dia benar calon suaminya? Pikir Dela seraya menghembuskan nafasnya lega.
"Kenalkan dia anak tante, tampankan? " ucap Jihan seraya tersenyum gembira.
"Namanya Alvano dimas marghenta. Putra tunggal dari keluarga tante. Dan kamu Alvano! Ini Dela calon istri kami." Sambungnya yang menatap keduanya bergantian.
"Alvano," ucap Alvano datar pada Dela setelah mengambil tempat duduk didepan meja sebrangnya tanpa berjabat tangan.
"Dela," balas Dela dengan senyuman ramahnya.
Melihat wajah tampan Alvano sama seperti melihat papahnya, mungkin sudah garisan tuhan mereka berdua sama persis dari kulitnya yang putih dengab hidung yang mancung, bibir merah tipis, mata birunya dan rambut hitamnya yang berjambul sedikit keatas, serta badan yang tegap, terselip sedikit rasa leganya karna calon suaminya tak seburuk apa yang Dela pikirkan. Tapi sayang sikapnya sangat dingin. Dan Dela masih belum menerima perjodohan ini.
"Yasudah, jika sudah berkenalan Mari kita semua makan malam bersama..." Refan suami dari Jihan mengintrupsi dan semuanya mengangguk lalu mulai menyantap makananya dengan keadaan hening.
Selesai makan malam semuanya berkumpul di ruang milik Refan dan Jihan. Dengan wajah serius Adit sang ayah Dela membuka suara, setelah berbincang serius dengan Refan tadi.
"Ekhmm.. Jadi langsung pada intinya. Kami berempat berniat menjodohkan kalian berdua. Mungkin kalian sudah tau? Mungkin juga dua-duanya menolak? Tapi kami berempat berharap kalian berdua mau menerimanya. Kerna semuanya sudah selesai kami urus"ujarnya membuat mata Dela melotot tapi tidak dengan Alvano, dia terlihat santai seperti tidak ada beban di pikirannya.
"Ayah.." Lirih Dela.
"Maaf ayah... Akukan udah nolak perjodohan ini?" Ujarnya sedikit berisik, khawatir jika keluarga Alvano tersinggung.
"Ayah sudah bilang. Mau tidak mau kamu harus mau, dan pernikahan kalian akan dilaksanakan dua minggu kedepan." Jelasnya membuat Dela lagi-lagi melotot tidak percaya.
"Iyah nak... kami ingin kalian bersama,. Dari tante dan bunda kamu mengandung kalian, kami sudah berjanji akan menikahkan kalian jika melahirkan seorang putra dan putei." Jihan bersuara seraya menatap mata Dela memohon.
"Tapi kalian menjodohkan kami karena janji yang udah bertahun-tahun lamanya kan? Ntah mungkin janji itu juga udah hilang." Jawab Dela.
"Kamu ini ada-ada aja, mana ada janji hilang. Kami menjodohkan kalian berdua bukan cuma ingin menepati janji aja, melainkan kami ingin bersaudara dengab menjadi sesama mertua Dan memiliki cucu yang sama," ucap Rani yang diangguki setuju dari Jihan.
"Terus gimana bisa secepat itu pernikahannya akan diadakan?"
"Tenang saja kami sudah membereskan semuanya. Mulai dari gaun dan cincin kami pun sudah menyiapkannya. Dua minggu lagi acaranya diadakan, jadi kami sekarang hanya melakukan perkenalan. Saya harap kalian bisa melakukan perkenalan di lain waktu setelah ini, pendekatan agar saling mengenal satu sama lain. Dua minggu sudah sangat cukup dan setelah itu kalian menikah." Kali ini Refan menjelaskan.
"Bagaiman? Apa kalian ada yang perlu ditanyakan? Atau dibicarakan lagi?" Tanya Adit pada Dela dan Alvano.
"Saya ingin berbicara dengan putri anda." Ucap Alvano yang baru mengeluarkan suaranya.
"Oh baiklah... Silahkan."
Alvano berdiri menuju taman belakang dihalaman rumah orang tuanya setalah meminta Dela dengan tantapannya agar mengikutinya. Dela yang mengerti lantas mengikuti langkah Alvano dari belakang. Ada sedikit rasa takut dihatinya Kala melihat Alvano berhenti dan berbalik menghadap dirinya, menatapnya dingin dan tajam.
"Bagaiman reaksi kamu saat tau akan dijodohkan?" Tanyanya datar.
Dela mengerutkan dahinya bingung mendengar pertanyaan dari Alvano.
"Marah, kecewa dan tentunya kesal. Kenapa bertanya seperti itu?"
"Kita sama. Saya menerima pernikahan ini hanya karena keinginan dan keegoisan kedua orang tua saya. Mungkin itu juga yang terjadi dengan kamu yang dipaksa menikah dengan orang yang tidak kamu kenal." Jelas Alvano membuang nafasnya gusar.
Dela masih diam menunggu ucapan apalagi yang akan Alvano lontarkan untuk dicernah dalam otaknya.
"Kita berdua tidak saling mengenal, dan saya mau kita membuat perjanjian hitam diatas putih."
"Perjanjian?" Bingung Dela.
"Saya memiliki kekasih."
Deg!
Dela membeku ditempatnya. Ia masih bingung harus melakukan dan berbuat apa sekarang.
"Dan saya amat sangat mencintai dia. Saya harap kamu tidak ikut campur urusan itu, terutama urusan pribadi saya. Jalani hari-hari kamu seperti biasanya, dan ingat disini kita hanya akan mengubah status. Kamu tidak perlu menjalani kewajiban sebagai seorang istri, dan saya gaakan meminta hak saya sebagai seorang suami." Sambung Alvano seraya menyerahkan kertas dan bolpoin dari dalam jasnya.
"Satu lagi jangan anggap kekasih saya sebagai selingkuhan atau simpanan saya. Dia lebih dulu dibanding kamu, dan kamu jangan sesekali merecoki hubungan kami hanya karna sakit hati melihat kami berdua."
Sudah cukup! Dela sudah muak mendengar ucapa Alvano. Belum Apa-apaan hatinya sudah merasa sakit. Bagaiman kelanjutan hidupnya nanti? Apa ia sanggup sakit hati setiap hari? Ia harap ia bisa melewatinya. Meski sejujurnya ini adalah keputusan yang sangat cepat, Dela akan menerima jalan takdirnya dengan sangat terpaksa karena ia juga mau melihat kedua orang tuanya bahagia, Dela dengan cepat mengambil kertas yang ada di genggaman Alvano, matanya sedari tadi ia tahan untuk tidak menangis. Tapi ketika melihat salah satu persyaratan yang diajukan, bendungan itu sudah tak tertahan lagi. Air matanya sudah menetes kekertas didepannya.
"Setelah 6 bulan kita pisah?" Tanya Dela dengan nada tak percaya. Ia menghapus kasar air matanya seraya menatap manik biru seseorang di depannya.
"Hm."
"Kenapa? Kamu pikir pernikahan ini mainan? Saya bisa menerima semua persyaratan yang kamu berikan. Tapi tidak untuk yang satu ini."
"Saya tidak perduli."
Dela memejamkan matanya seraya menghembuskan nafasnya lelah. Apalah daya, ia sudah pasrah sekarang. Langsung saja ia tanda tangani surat perjanjian itu dan memberikannya pada Alvano. Jika bukan karena kedua orang tuanya, Dela tak akan sudi menandatanganinya.
"Terimakasih atas kerjasamanya, Nona Dela Putri Aditama." Setelah mengatakan itu Alvano pergi meninggalkan Dela yang sekarang manangis meratapi nasibnya dimasa depan.
Sejak saat itu Dela benar-benar merasa hancur. Ia menatap dirinya sendiri dipantulan cermin didepannya. Penampilan dan wajahnya yang terlihat kacau beberapa hari ini. Perjanjian itu sangat mengganggu pikirannya, ia sangat terusik dengan suara Alvano yang tiba-tiba muncul dipendengarannya, membuat telinganya panas.
"Dela sayang...ayo turun kebawah! Kita makan malem dulu nak..."
Suara teriakan bundanya mengintrupsi. Ia segera merapikan penampilannya lalu turun kebawah untuk makan malam.
"Kamu sakit? Mukanya ko pucet banget." tanya Rani seraya memeriksa kening sang anak.
"Aku gapapa bun..." elak Dela menyingkirkan tangan sang bunda sambil tersenyum untuk meyakinkan.
"Serius? Bunda perhatiin sejak kamu dari rumah tante Jihan suka murung gitu."
Dela tidak mungkin memberiyahu bunda atau ayahnya soal perjanjian itu. Ia tak mau kedua orang tuanya kecewa telah menjodohkannya dengan seseorang yang dingin seperti Alvano, pilihan keduanya.
"Gimana gamurung, kalian nipu Dela. Bilang mau makan malem dirumah temen ayah, tapi ujung-ujungnya ngebahas lagi perjodohan gajelas ini." gerutu Dela yang hanya ditanggapi senyuman bersalah dari sang bunda.
"Abis kalo ayah atau bunda bilang, kamu udah pasti gabakal ikut."
"Tapi kan..."
"Sudah-sudah, ayo makan dulu!" Adit memotong pembicaraan Dela dan Rani. Lalu mereka berdua mengangguk patuh dan melanjutkan acara makan malamnya.
"Masuk," ucap Alvano ketika mendengar suara ketukan pintu di ruangan kerjanya.
Ia hanya melirik sekilah swajah seseorang yang baru saja masuk area ruangannya itu.
"Ada apa?" ketus Alvano pada sosok pria yang sudah dudik didepannya sambil tersenyum\-senyum itu, membuat ia bingung.
"Biasa dong bang, sensi aja lo!" balas pria itu tak kalah ketus.
"Hm," Alvano hanya bergumam lalu kembali fokus pada berkas laptop didepannya.
"Nikahan lo berapa hari lagi?"
"Dua hari."
"Terus hubungan lo sama cewe manja itu..."
"Dia angel, tuan Angga Adipati." ujar Alvano menatap tajam Angga, sahabatnya.
Orang yang disebut Angga tadi hanya menunjukan cengirannya, ketika Alvano berkata dengan nama lengkapnya artinya Alvano sudah benar\-benar kesal dan ia tidak akan lagi mengejek kekasih Alvano yang menurut Angga sangat manja itu.
"Oke, oke, gue tau. Terus hubungan lo gimana? Bentar lagi kan lo mau kawin." bingung Angga.
"Eh, maksud gue nikah." ralat Angga dengab cepat saat meningat ucapannya tadi.
"Ga gimana\-gimana."
Angga berdecak kesal mendengar jawaban Alvano. Ia merasa tidak puas hanya kalimat itu.
"Besok gue diminta gantiin papah buat ngurus masalah perusahaannya yang ada di kuala lumpur. Jadi gue gabisa dateng keacara nikahan lo." jelas Angga merasa tak enak hati.
"Oke."
Angga memutar bola matanya malas. Ia berharap sahabat satu\-satunya itu akan merendah atau setidaknya menginginkan dirinya datang. Tapi apa yang ia katakan rupanya salah, mau ia beritau tentang kepergiannya atau tidak, pasti itu tidak penting bagi seorang Alvano Dimas Marghenta.
"Yaudah kalo gitu, gue balik. Salamin buat calon istri lo dari gue, bilang kedia kalau udab mau cerai hubungin gue. Gue tunggu jandanya..."setelah mengatakan itu Angga langsung kabur dari ruangan Alvano. Ia terkekeh kecil ketika melihat wajah tak percaya Alvano akibat ucapannya.
Alvano tidak menggubris ucapan Angga. Ia tau sahabatnya itu hanya bergurau. Tapi Angga tak tahu jika mereka tidak akan lama untuk berumah tangga. Hanya ebam bulan, waktu singkat bukan? Tapi terasa lama bagi Alvano.
Dan yah, pernikahannya akan diadakan dua hari lagi. Alvano jadi malas jika harua memikirkan itu. Karna wanita itu, ia tak bisa menikah dengan Angel kekasihnya. Alvano benci wanita itu, dia sudah pastikan bahwa wanita itu tidak akan hidup tenang selama masih bersamanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!