...Jangan terburu-buru berburuk sangka, karena yang baik akan datang di waktu yang baik juga, tetap sengangat meski kadang kenyataan tak seperti apa yang kita bayangkan...
...🌺🌺🌺...
Sepasang pengantin tengah duduk berjejer di depan penghulu dan orang tua mempelai perempuan,
"Sudah siap?" tanya penghulu pada seorang pria yang tengah memakai baju serba putih khas pengantin dengan kalung bunga melati yang menggantung di lehernya,
Sang mempelai wanita tidak kalah cantiknya dengan kebaya putih dan jilbab panjang bagian belakangnya hingga menjuntai ke lantai.
DI belakang mereka sudah duduk berjejer para kerabat yang sengaja di undang untuk menjadi saksi pernikahan mereka, tidak terkecuali dengan kedua orang tua ustad Zaki yang memang kebetulan ada di Jawa sedangkan ustad Zaki sendiri terpaksa tidak bisa datang karena masih harus menjaga sang istri.
"Siap!" jawab ustad Farid dengan begitu lantang.
"Baiklah ikuti saya pak!" ucap pak penghulu sambil membimbing pak Suroso.
"Saya nikahkan engkau Farid Ramadhan bin Dadang dengan putri saya ayu anindita dengan mas kawin tersebut tunai!"
Dan dengan cepat ustad Farid menyahut ucapan pak Suroso.
"Saya terima nikah dan kawinnya Ayu Anindita binti Suroso dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!" ustad Zaki berhasil melafalkannya hanya dengan sekali tarikan nafas.
"Sahhhhh!" suara itu menggema di sebuah masjid yang berada di salah satu desa kecil yang ada di kabupaten Tulungagung.
"Alhamdulillah!"
Baik ustad Farid maupun sang mempelai perempuan segera mengatupkan kedua telapak tangannya ke wajah.
Lantunan doa dari penghulu mengiringi pernikahan mereka, dan di Aminin semua yang datang, pernikahan itu di sambut haru oleh semua yang datang.
Sungguh pernikahan yang tidak pernah terduga, tangis harus dari kedua orang tua gadis yang baru saja melepas masa kesendiriannya, mereka benar-benar tidak menyangka jika ternyata putrinya bisa berjodoh dengan putra temannya yang sudah lama tidak bertemu.
Beberapa tahun yang lalu, tepatnya saat ia memutuskan untuk pindah ke Tulungagung karena menikahi gadis Tulungagung, Suroso sempat berkata pada Dadang, sahabat karibnya sejak kecil, jika kelak ia memilik anak perempuan ingin rasanya menjodohkan putrinya dengan putra temannya itu.
Saat ia tinggal ke Tulungagung, sahabatnya itu sudah mempunyai satu anak laki-laki berusia tiga tahun bernama Farid.
Dan nyatanya bertahun-tahun berlalu, sempat terbesit keinginan untuk kembali mengunjungi sahabatnya dan melanjutkan rencananya karena ia sudah punya seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki, tapi kesibukannya membuat niatnya itu selalu tertunda.
Apalagi setelah menikah, orang tua pak Suroso meninggal jadi seperti tidak ada alasan baginya untuk berkunjung ke Bandung lagi.
Tapi nyatanya kalau sudah jodoh, sejauh apapun jaraknya Allah akan mempertemukan kembali dengan caranya yang indah bahkan tidak pernah kita duga.
Hingga setelah dua puluh lima tahun berlalu, mereka dipertemukan kembali dengan cara yang indah.
"Akhirnya kita benar-benar besanan, Dang!" ucap pak Suroso sambil memeluk sahabatnya itu,
"Iyo So, Alhamdulillah! Nggak nyangka kita benar-benar besanan!"
***
Namaku Ayu Anindita biasa di panggil Anin, aku terlahir dari keluarga petani di salah satu desa yang ada di Jawa timur tepatnya di kabupaten Tulungagung, walaupun begitu aku tidak seperti gadis desa pada umumnya yang penurut dan hobi di sawah atau memilih merantai ke kota dan puas dengan hanya lulus SMP atau SMA.
Bukan karena gengsi pergi ke sawah, tapi aku merasa aku tidak punya minat di sawah, aku bercita-cita sebagai pengusaha walaupun bapak dan ibuku petani ulung.
Bapak bukan petani yang kaya, tapi hasil sawahnya bisa ia gunakan untuk membiayai sekolahku sampai aku lulus kuliah. Aku sungguh sangat bersyukur karena bapak tidak memaksaku untuk putus sekolah seperti teman-teman sebayaku yang perempuan. Kebanyakan mereka sudah menikah dan jadi ibu rumah tangga, mereka memutuskan putus tidak melanjutkan hingga SMA atau kuliah.
Seperti gadis jawa kebanyakan, di usiaku yang ke dua puluh dua ini. Menurut mereka, usia dua puluh dua sudah cukup matang bagi anak gadis untuk membina rumah tangga.
Ya seperti yang kalian ketahui juga, bahkan anak perempuan seumuran aku sudah ada yang memiliki dua anak. Dan pastinya itu berhasil membuat resah orang tuaku, bapak dan ibuku.
Apalagi para tetangga yang sudah mulai membicarakan aku, menurut mereka tidak penting anak gadis berpendidikan tinggi, asalkan dia bisa masak, dan mengurus rumah itu sudah cukup.
Ya, dan aku dengan beraninya melawan arus. Beruntung sekali karena orang tuaku cukup demokratis. Mereka tidak memaksakan kehendaknya sendiri dalam menentukan masa depan anak-anak nya.
Kami tiga bersaudara, mas ku sudah lebih dulu menikah. Ia memilih menjadi petani dan hanya sekolah sampai SMA setelah itu menikah, menggarap sawah dan berternak sapi seperti kebanyakan laki-laki di kampung kami, sedangkan adikku perempuan, dia masih SMP. Dan aku berharap nanti bisa menjadi contoh yang baik untuk adikku, bahwa hidup tidak hanya melulu soal bisa masak dan berberes rumah, wanita juga harus mandiri, mereka punya kehidupan sendiri, punya keinginan sendiri.
Tapi nyatanya gempuran sana sini tidak cukup kuat untuk menahan benteng yang telah dibuat kedua orang tuaku, dan apa yang aku khawatirkan akhrinya tiba juga. Bapak dan ibuku mulai membicarakan soal jodoh begitu aku selesai wisuda.
"Nduk, bapak Karo ibukmu wes mutusne (Bapak dan ibumu sudah memutuskan)!"
Perasaanku saat ini benar-benar tidak karuan, aku sudah bisa menduga apa yang akan Meraka katakan. Aku sudah berjanji pada mereka, aku bersedia untuk di jodohkan setelah lulus kuliah dan mungkin sekarang mereka akan menagih janjiku.
"Saiki awakmu wes lulus, wes wayahe koyok seng tok janjekne neng ibuk Karo bapakmu Yen Kowe gelem tak rabekne ( Sekarang kamu sudah lulus, sudah saatnya seperti yang kamu janjikan pada ibu dan bapak kamu kalau kamu mau untuk di nikahkan)!"
Kali ini benar, mungkin aku tidak bisa mengelak lagi untuk menikah. Tapi aku masih punya pilihan, aku harus mencari suami yang siap menerima istrinya tidak hanya melulu di dalam rumah, jadi dia harus juga punya pendidikan yang minimal sama dengan ku.
Aku tidak mau setelah menikah nanti hanya berdiam diri di rumah, mengurus rumah, mengurus suami, mengurus anak dan menunggu suami pulang. Aku ingin tetap bisa berkarya, bisa menghasilkan uang sendiri.
"Nggih pak, buk. Anin siap menikah, tapi ada syaratnya!"
"Apa syaratnya nduk?" tanya bapak. Bapakku bukan orang yang begitu kolon hingga tidak mau mendengarkan pendapat anak.
"Njenengan nikahne Kulo kaleh tiyang jaler engkang gadah ilmu seng duwur, supoyo menjang saget mbimbing Kulo dados istri engkang sae dunia laan akhirate ( Kamu ( yang dalam bahasa kromo halus yang di tujukan pada orang yang lebih tua atau di hormati) nikahkan saya dengan seorang pria yang punya ilmu tinggi, supaya nanti bisa membimbing saya menjadi istri yang baik dunia dan akhirat)!"
Tentu cukup sulit mencari pria yang seperti itu di kampung kami, kebanyakan dari mereka para pria lebih memilih sekolah paling tinggi sampai SMA dan mengelola sawah, kalau pun ada yang sampai kuliah, mereka akan memilih keluar dari kampung dan memilih kehidupan di luar sana. Dan pastinya mencari jodoh dari luar juga.
"Baiklah, bapak akan coba cari. Jika nanti bapak menemukannya, awakmu kudu setuju ( Kamu harus setuju)!"
"Nggeh pak ( iya pak)!"
Aku bukan seorang yang pintar agama, aku bukan seorang yang religius tapi aku tetaplah punya cita-cita sukses dunia akhirat.
Aku berhijab, sama seperti kebanyakan orang berhijab lainnya, aku hanya berhijab saat bepergian kalau di rumah aku masih suka pakai celana pendek selutut atau daster tanpa lengan. Aku masih suka beralasan panas atau ribet saat bekerja jika memakai pakaian panjang.
Tapi kalau soal kewajiban ku yang lima waktu, insyaallah genap walaupun sering tidak fokus. Setidaknya aku melakukan kewajibanku.
Aku sedang merintis usaha saat ini, modal ilmu dari yang aku pelajari selama sekolah dan dan juga karena di kampungku bahannya cukup banyak. Usaha keripik singkong, talas, pisang.
Aku juga memperkerjakan tiga karyawan tetap, bukan karena aku sudah cukup banyak uang karena usahaku baru berjalan beberapa bulan ini dan hasilnya masih tipis. Tapi aku punya karyawan karena memang aku tidak bisa melakukannya sendiri.
Satu karyawan khusus memanen singkong, memetik pisang atau memanen talas, karena aku sengaja membeli dari ladang petani agar dapat untung tapi masalahnya aku tidak bisa memanen sendiri makanya aku butuh pekerja.
Pekerja yang kedua dan ke tiga, khusus untuk memasak dan mempacking, ya walaupun untuk resep aku yang buat karena kalau aku sendiri yang masak dan packing akan memakan waktu yang lumayan lama.
Dan Pekerjaannya hanya memasarkan, bukan seperti perusahaan-perusahaan besar yang tinggal pasang iklan dan banyak yang order.
Memang sama, aku juga pasang iklan tapi tidak begitu konsepnya, hidup itu penuh perjuangan. Sama seperti moto itu, hidup penuh perjuangan. Maka aku harus berjuang untuk dapatkan pelanggan. Aku menawarkan keripikku dari warung ke warung, dari rumah makan ke rumah makan, ke restauran -restauran.
Dan hasilnya, memuaskan? Cukup memuaskan. Dari seratus warung yang aku tawari, ada sepuluh warung yang mengijinkan aku menitipkan keripik, padahal mereka tanpa mengeluarkan modal.
Yahhhh, mau gimana lagi. Hidup kan memang penuh perjuangan.
Setidaknya dengan jualan itu, aku bisa memberi pekerjaan pada tiga orang, menopang kehidupan keluarga mereka, membayar listrik , bensin dan pulsa sendiri. Untuk selebihnya aku berharap suara saat nanti aku bisa membantu membiayai sekolah adikku.
Bersambung
Hai semua, siapa kira-kira yang bisa menebak. Ini kisahnya siapa ya? Ini sebenarnya kelanjutan dari kisah ustad Zaki dan Zahra, tapi kisah siapa yang ada di sini? Simak kelanjutannya ya, kalau suka langsung koment ya, jangan sungkan-sungkan, koment gratis kok!!!!! salam sayang dari author😘😘😘
Jangan lupa untuk memberikan Like dan komentar nya ya kasih vote juga yang banyak hadiahnya juga ya biar tambah semangat nulisnya ya
Follow akun Ig aku ya
Ig @tri.ani5249
...Happy reading 🥰🥰🥰...
POV Anin
Seperti yang di janjikan bapak, hari ini budhe dari Surabaya datang. Aku sudah sangat tahu apa tujuannya datang.
"Kata bapak kamu, kamu sudah lulus kuliah ya, nduk?" tanyanya dan aku langsung faham dengan pertanyaan itu akan mengarah kemana.
"Iya budhe, Alhamdulillah!" jawabnya sambil menunduk sedangkan tanganku tengah sibuk memainkan plastik yang berada di depanku, kebetulan aku tengah membantu mempacking kripik. Karyawan ku tengah libur.
"Bagaimana, apa kamu sudah siap kalau budhe kenalkan dengan seseorang?" tanyanya terlihat sungkan. Sebenarnya aku tidak masalah kalau hanya ingin di kenalkan, tapi untuk di terima aku tidak janji. Jika pria itu tidak sesuai dengan kriteria maka mungkin aku akan menolaknya.
"Kalau Anin siap-siap aja budhe, hanya saja Anin tidak bisa menjanjikan kalau Anin akan bisa menerimanya,"
"Loh kok gitu! Kamu itu perempuan, jangan suka pilih-pilih pasangan. Ojo ngasi (Jangan sampai) pilih-pilih bungkik ( cacak, atau bisa juga di artikan jelek , atau malah tidak layak)!"
"Insyaallah enggak budhe, pasangan itu adalah orang yang akan menemani kita sampai tua nanti, kalau bisa nggak usah Gonta ganti. Kita akan menghabiskan waktu lebih panjang dengan pasangan di bandingkan dengan orang tua kita, jadi kalau pilih pasangan setidaknya yang benar-benar srek untuk kita, budhe. Bukan hanya asal comot trus mintai di nikahkan cuma gara-gara tuntutan lingkungan!"
"Wes terah Ra rugi lek mu kulian, lek di omongi wong tuwo njawab ae ( Memang benar, nggak rugi kamu kuliah, kalau di bilangin orang tua jawab terus)!" jawab budhe dengan kesal dan aku hanya bisa menghela nafas. Bukan ingin menggurui atau ingin menjadi pembangkang, Tapi aku tidak ingin karena desakan dari orang tua dan tetangga membuat aku salah pilih memilih pasangan, setidaknya ia bisa membimbing aku ke jalan yang benar, bukan hanya soal tampan atau mapan, ketampanan bisa pudar dengan bertambahnya usia, kemapanan bisa di cari bersama. Jadi keputusanku, menjadi suami harus bisa jadi imam yang baik buat aku dan keluarga kecil kami kelak.
"Yo wes lah, terserah awakmu. (Ya sudah terserah kamu.)
Budhe mek pengen tutur lan ngarahne ben ponakan budhe Ki ora Sampek salah milih bojo, ( budhe hanya ingin menasehati dan mengarahkan supaya keponakan budhe tidak sampai salah pilih suami),
lek terah awakmu iso golek Dewe, Yo gek golek o (Kalau memang kamu bisa cari sendiri, ya carilah),
nangeng Yen awakmu sek mbutuhne budhemu, Yo tak golekne. (Tapi kalau kamu masih membutuhkan budhe mu ya aku Carikan).
Ora mungkin Yen budhemu Ki bakal mblondronhne, nggolekne wong seng orang nggenah, mesti wong seng apik, penggaweane Yo mesti. (Tidak mungkin jika budhe kamu akan menyesatkan, mencarikan orang yang tidak jelas, pasti orang yang baik, pekerjaannya juga pasti) " ucap budhe panjang lebar, memang selama ini budhe yang paling bersemangat mencarikan suami untukku. Bahkan saat aku masih SMA budhe sudah berkali-kali menyodorkan pria yang menurutnya pantas untuk menikah denganku.
Tidak heran jika putri-putri nya sudah menikah di usianya yang masih muda, bahkan ada yang baru lulus SMP dan sudah menikah. Sekarang sudah punya anak besar.
Ternyata kehidupan di kota besar tidak bisa merubah sifat dan pemikiran seseorang, hanya orang-orang yang terbuka pemikirannya yang bisa menerima segara perkembangan zaman. Segala pemikiran yang tidak perlu buru-buru menikah untuk menjadi bahagia.
"Enggeh budhe, Anin pikir-pikir dulu. Sekalian mau cari sendiri dulu budhe!" hanya itu yang terus bisa aku ucapkan. Nyatanya semua perkataannya tidak akan merubah keputusanku.
Jika memang aku harus menikah sekarang, maka aku harus memastikan dia pria yang pantas untuk menikah denganku, bukannya aku jual mahal atau gimana, tapi memang mau bagaimana lagi itu sudah menjadi prinsip ku.
Dan seperti yang ku duga, rupanya budhe sudah mengundang seorang pemuda dari Surabaya, katanya di tetangga budhe. Seorang tukang parkir di minimarket dekat rumahnya.
"Silahkan tehnya mas!" ucapku sambil meletakkan teh hangat di meja yang ada di dekatnya.
"Terimakasih dek!"
Aku pun memilih duduk di kursi kayu yang agak jauh darinya. Melihat penampilannya terlihat kalau dia cukup rapi, wangi juga, rambutnya juga di sisir rapi,
Tidak masalah jika dia tukang parkir,kesan pertama cukup mengesankan.
Tapi di menit ke sekian, ada hal yang membuatku kehilangan ketertarikan ku padanya,
"Jangan khawatir dek, nanti kalau kita sudah menikah,dek Anin mau minta apa saja,pasti mas kasih, mau mobil atau rumah? Nanti setelah kita nikah kita bisa langsung beli rumah sendiri! Kalau dek Anin mau jalan-jalan, sudah pasti mas akan anter!"
Rasanya langsung muak mendengar mulut besarnya, bukannya nggak percaya dia bisa mewujudkannya tapi rasanya tidak pantas membicarakan hal seperti itu di pertemuan pertama,
Aku langsung terdiam seribu bahasa dan membalas perkataan besarnya dengan senyum dan anggukan kepala.
Yang begini yang mau di jodohin sama aku ....
Bersambung
Jangan lupa untuk memberikan Like dan komentar nya ya kasih vote juga yang banyak hadiahnya juga ya biar tambah semangat nulisnya
Follow akun Ig aku ya
Ig @tri.ani5249
Happy reading 🥰🥰🥰
POV Anin
Gara-gara aku yang terus menolak jodoh yang di kirim budhe untukku, membuat budhe marah, bukan hanya marah padaku, tapi juga pada bapak dan ibuku.
Dan akhirnya hal itu berimbas juga padaku,
"Nduk, budhe mu muleh nek Surabaya mergo nesu Karo bapak lan ibuk, iso ora iso, dino ini awakmu kudu budhal nek Surabaya (Nduk, budhe kamu pulang ke Surabaya karena marah sama bapak dan ibuk, bisa atau tidak, hari ini juga kamu harus berangkat ke Surabaya)!"
Dan benar saja pasti seperti ini, aku tidak bisa mengelak lagi. Kau harus membujuk budhe agar tidak marah lagi pada bapak dan ibuk. Hanya budhe Narti saudara bapak, dan aku juga harus berbakti pada mereka.
"Nggeh pak, Kulo bidal teng Surabaya ****** sore, nitip sepur ( Iya pak, saya berangkat ke Surabaya nanti sore naik kereta) sekalian nanti Anin mampir ke Sidoarjo ya pak, buat ikut istigosah Akbar!"
"Yo wes nggak pa pa, seng penting ati-ati. Ora usah reno-reno (Tidak usah macam-macam)!"
"Enggeh pak!"
Dan hari itu juga aku berangkat ke Surabaya, aku tahu dengan aku datang ke Surabaya aku tidak akan lepas dari acara perjodohan yang di lakukan oleh Budhe Narti. Tapi meskipun begitu aku harus tetap menghormati beliau sebagai orang tua.
Akhrinya setelah melakukan perjalanan selama 5 jam dengan mengunakan kereta, kedatangannya langsung di sambut Danu, dia putra pertama budhe Narti. Sudah menikah tapi sayang istrinya pergi entah kemana dan sekarang ia harus membesarkan seorang diri putranya yang masih berusia sepuluh tahun.
"Makasih Yo mas Danu!" ucapku saat kami sudah sampai di depan rumah budhe.
"Iya sama-sama, sudah ya aku pulang dulu, kasihan Satria sendiri di rumah!"
"Mas Danu nggak tinggal sama budhe?" aku cukup kepo karena dulu terakhir kali aku ke rumah budhe, mas Danu masih tinggal satu rumah.
"Enggak, wes suwe! Yo wes Yo, aku pamit (Enggak sudah lama! Ya sudah ya, aku pamit)!"
"Iya, ati-ati yo mas, salam buat Satria. Besok ajak ke sini, bilangin kalau aku ada di sini!"
"Iyo pasti, cepetan masuk. Ibuk koyok e urong turu ( Cepetan masuk, ibuk kayaknya belum tidur)!"
Akhirnya aku pun masuk, rupanya mas Danu menungguku hingga aku benar-benar masuk. Mungkin ia cukup khawatir denganku, walaupun kami tinggal jauh tapi mas Danu termasuk mas yang cukup perhatian.
Dan seperti yang aku duga, kedatanganku langsung di sambut ceramahan panjang kali lebar kali tinggi oleh budhe dan aku akan menjadi pendengar setianya.
Padahal mata ini rasanya sudah sangat mengantuk, tubuh pun sudah sangat lelah. Sudah jam sepuluh malam dan ingin rasanya segera tidur dan bangun segar besok pagi, tapi kenyataannya tidak seindah itu.
"Pokoknya besok kamu harus mau, temannya budhe ada anak yang mau di kenalkan sama kamu!"
"Nggeh budhe, tapi di bicarakan besok saja ya, Anin nguaantuk puoooll, wes pokok nggak kenek di empet (Sudah pokoknya nggak bisa di tahan)!"
"Wes alasan ae lek di ajak omong wong tuwo ( Alasan aja kalau di ajak bicara orang tua)!"
"Ya Allah budhe, ini serius!"
"Yo wes lah, pokok besok ikut budhe!"
"Enggeh!"
Akhrinya terlepas juga dari budhe, segera ku rebahkan tubuh lelahku di kasur lantai yang ada di kamar yang ukurannya tidak lebih dari dua kali tiga meter.
Kriiiing kriiiing kriiiinggg
Ahhhh, rasanya baru beberapa menit saja aku memejamkan mata, alarm ponselku berbunyi.
Ya_, memang tidak selalu bisa bangun malam, tapi akhir-akhir ini sering aku paksakan untuk bangun.
Aku bukan wanita Sholehah yang selalu bisa bangun malam untuk sholat malam, tapi aku tengah belajar untuk menjadi wanita seperti itu. Kata orang jika aku ingin jodoh yang baik maka aku harus memperbaiki diri dulu. Jika aku menempelkan standart jodoh untukku seperti itu, bukankah semestinya aku juga seperti itu.
Karena aku bukan wanita Sholehah, aku tengah berproses semoga menjadi Istikomah.
Segera ku ambil wudhu meskipun terasa dingin, tapi kayin tidak sedingin di rumahku sendiri. Hawa di Surabaya lebih panas dari pada di Tulungagung kan.
Tidak banyak, hanya dua rakaat sholat tahajud dan pastinya aku tambal dengan doa yang sedikit memaksa pada Allah.
Ya Allah, siapapun yang telah engkau tulis di lauhul Mahfudz, jodoh untukku maka segera dekatkan padaku, segera ya Allah. Robbi hablii milladunka zaujan thoyyiban, wayakuuna shoohiban, lii fiddiini wa dunyaa wal aakhiroh.
Ya Robb, berikanlah kepadaku suami yang terbaik dari sisi-Mu, suami yang juga menjadi sahabatku dalam urusan agama, urusan dunia, dan akhirat."
Segera ku akhiri doaku, ini sudah hampir subuh dan rasanya mataku masih begitu berat. Aku ingin segera memejamkannya lagi.
"Mungkin tidur sejenak tidak pa pa!"
Tidak berniat beranjak dari tempatku, aku merebahkan tubuhku di atas sajadah dengan masih mengenakan mukena, rasa lelah ini nyatanya berhasil menyihirku hingga akhirnya hanya dalam hitungan detik nyawaku langsung berpindah ke alam mimpi.
Deg deg deg
Nafasku tersengal, keringat dingin mengucur tatkala aku membuka mata, rasanya seperti nyata. Segera aku terbangun,
"Astaghfirullah hal azim!"
Ku raih gelas berisi air putih yang tinggal sepahor di atas meja tidak jauh dari tempatku menggelar sajadah, segera ku teguk air itu hingga habis, berharap tenggorokanku yang kering sedikit berair.
"Bagaimana aku bisa mimpi seperti itu, kenapa.rasanya seperti nyata, dia siapa? Suaranya merdu sekali!"
Bahkan jantungku masih teras berdetak kencang meskipun aku sudah terbangun,
Ku kirik budhe, dia masih tertidur pulas di atas kasur, kemudian aku beralih pada jam yang menggantung di dinding, rupanya aku hanya tertidur sekitar sepuluh menit dan suarah lantunan ayat suci Al Qur'an sudah mulai berkumandang, sebentar lagi azan.
Segera ku buka mekenaku dan kembali ke kamar mandi untuk mengambil wudhu,
"Budhe, budhe bangun, shubuh!" sengaja aku membangunkan budhe agar kita bisa sholat di masjid yang ada di depan gang, aku takut jika harus keluar rumah sendiri tanpa budhe.
Bersambung
Jangan lupa untuk memberikan Like dan komentar nya ya kasih vote juga yang banyak hadiahnya juga ya biar tambah semangat nulisnya ya
Follow akun Ig aku ya
Ig @tri.ani5249
...Happy reading 🥰🥰🥰...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!