"Enggak apa-apa, Mak. Kalau Jaya sudah ada jodohnya segera nikahkan saja mereka. Takutnya nanti malah timbul fitnah" Jamilah mengikhlaskan kalau dirinya harus dilangkahi. Meski stigma jelek dalam lingkungannya, tapi apalah daya ia tidak bisa melawan semesta.
"Baik jika kamu ikhlas Jamilah, suruh bawa besok keluarga calon suami mu, Jaya" Putus Emak pada Jamilah dan Jayanti.
Dan hari itu telah tiba. Adik perempuan Jamilah yang pertama, yang usianya hanya terpaut dua tahun saja kini sudah resmi diperistri oleh seorang pengusaha kaya asal Jiran, Malaysia.
Semua keluarga begitu senang, bahagia walau ada terselip rasa sedih yang dirasakan Emak dan Bapak Jamilah. Sebab putri pertama mereka, Jamilah harus dilangkahi adiknya, Jayanti. Dengan syarat pelangkah 100 gram emas dua puluh empat karat berupa perhiasan kalung dan liontin nya.
Selang dua tahun, adik kedua Jamilah yang bernama Juleha pun sudah resmi dipersunting oleh pujaan hatinya, Wandi. Seorang Bos besar di kota Jakarta. Tentunya setelah berhasil melewati perdebatan sengit antara Emak dan Bapak serta Juleha. Juleha pun sama memberikan pelangkah pada Jamilah masih berupa 100 gram emas dua puluh empat karat berupa gelap tangan.
Kemudian hanya selang satu tahun saja dari pernikahan Juleha, Juju adik ke tiga Jamilah pun sudah resmi menikah dengan seorang pengusaha asal Surabaya yang merupakan kenalan dari suaminya Jayanti.
Sama dengan sebelum sebelumnya. Juju pun bisa menikah setelah mampu melewati perdebatan sengit antara dirinya, Emak dan Bapak. Karena lagi lagi Jamilah, Kakak mereka harus dilangkahi. Juju juga memberikan pelangkah 100 gram emas dua puluh empat karat berupa dua buah cincin.
Kini ketiga anak perempuan yang sudah menikah itu dibawa oleh suaminya masing-masing, menetap di kota kelahiran dari para suami mereka.
.
.
.
Di rumah sederhana itu kini hanya ada Emak, Bapak, Jamilah, Julia adik Jamilah yang ke empat yang masih duduk di kelas dua SMA, serta adik bontot Jamilah yang masih duduk di kelas satu SMP dan itu anak laki-laki.
"Bagaimana ini Pak, nasib Jamilah?. Sudah tiga kali dilangkahi. Apa masih ada jodoh untuk anak pertama kita?." Emak mana yang tidak merasa sedih, cemas, khawatir, takut, gelisah melihat kenyataan anak pertama mereka belum menikah diusianya yang kini menginjak 34 tahun.
"Kita hanya bisa pasrah sama Gusti Alloh, Mak. Jodoh, maut, rezeki semuanya rahasia Gusti Alloh. Kita hanya perlu berikhtiar saja untuk mengusahakan jodoh yang terbaik untuk Jamilah." Bapak lebih bisa menyembunyikan rasa dihatinya yang begitu sama persis dengan apa yang dirasakan oleh Emak. Bapak ingin kuat untuk istri dan ketiga anak yang masih tinggal bersamanya.
"Tapi mulut para tetangga udah kaya cabe Pak, kuping Emak terasa panas setiap kali mereka membicarakan Jamilah sebagai wanita pelangkah, yang rela dilangkahi hanya demi ratusan gram emas. Padahal kita tahu, semua itu diberikan atas sukarela dan kemampuan adik-adik Jamilah." Emak mulai terisak, cepat-cepat ia susut air matanya karena takut jika Jamilah, Julia dan Jaka melihat dirinya yang sedang bersedih sebab rumah mereka yang sangat sederhana.
Jamilah setiap harinya selalu mendengar secara sengaja atau enggak mengenai keluh kesah Emak pada Bapak soal jodoh dirinya. Jamilah pun hanya bisa pasrah pada Gusti Alloh.
Jamilah cukup berbesar hati untuk menerima jika saat ini dirinya wanita yang sudah berumur tapi masih belum menikah. Jamilah harus rela untuk tebal kuping dan tebal muka saat bersosialisasi dengan lingkungan rumah atau sekolah.
"Mak, Pak, Jamilah pergi ngajar ya." Jamilah menyalami tangan Emak dan Bapak secara bergantian dengan begitu takzim.
Pekerjaan Jamilah sejak lima tahun lalu sebagai seorang tenaga pengajar SD di kampung tempat tinggalnya. Berbekal hasil tes CPNS yang tinggi membuatnya diterima menjadi guru tetap di sana.
Berbeda dengan ketiga adik Jamilah yang berani merantau ke ibu kota untuk mengadu nasib, mengais rezeki di sana dan bersyukurnya perjuangan mereka berujung manis saat mereka bisa menikah dengan pengusaha atau pun bos besar.
"Doakan Jamilah supaya ngajarnya lancar, tidak ada kendala apa pun hari ini." Ucapnya masih berdiri di depan Emak dan Bapak dengan tentengan bekal makan siangnya.
"Iya Milah, hati-hati. Bapak sama Emak selalu mendoakan mu." Bapak Jamilah menyerahkan kunci motor pada Jamilah, setelah disodorkan oleh Jaka si anak bontot, karena kunci motor masih tergeletak di atas meja makan.
"Bantu-bantu Emak dan Bapak, Ja. Mumpung masih libur." Jamilah yang sudah menyalakan motornya.
"Iya Kak" Balas Jaka pelan sambil mengangguk.
"Aku jalan Mak, Pak. Assalamualaikum." Jamilah mengucapkan salam dengan cukup kencang sebab suara mesin motornya yang sangat berisik. Maklum motor tua dan sudah lama tidak dibawanya ke bengkel.
"Wa'alaikumsalam" Jawab Emak, Bapak dan Jaka serempak.
.
.
.
"Ibu Jamilah sudah tahu belum?, hari ini sekolah kita kedatangan murid baru, pindahan dari ibu kota." Ibu Wiwin yang merupakan rekan sejawat Jamilah memberitahunya dengan sedikit berbisik.
"Oh ya, hari ini Bu Wiwin?. Tanya Jamilah menyakinkan lagi sambil merapikan buku yang akan dibawanya ke dalam kelas.
"Katanya iya hari ini. Katanya juga sih anaknya nakal, bandel, susah kalau dibilangan, pokoknya minus banget muridnya." Ibu Wiwin mengangkat bahu tinggi-tinggi dengan senyum yang dipaksakan.
"Sekolah kita mah sekolah buangan anak-anak yang begitu. Padahal di kampung kita aja enggak ada anak murid yang begitu." Lanjut Ibu Wiwin kembali mengangkat bahu.
"Mungkin di sekolah kita memiliki kualitas guru-guru terbaik dari sekolah yang ada. Sampai di percaya untuk bisa membatu anak murid yang memiliki kepintaran di atas rata-rata." Ucapan Jamilah begitu halus, yang bisa dimengerti Wiwin itu merupakan sindiran halus.
"Iya enak kalau udah seperti Ibu Jamilah, udah jadi pegawai tetap. Kalau pun harus capek mendidik murid yang seperti itu. Lah kalau kalau saya masih honorer rasa-rasanya kurang sebanding untuk mendidik anak-anak pintar tersebut." Ibu Wiwin selalu saja mempermasalahkan guru honorer yang masih disandangnya. Padahal bukan Ibu Wiwin saja yang masih menjadi guru honorer, masih ada banyak lagi. Justru hanya beberapa guru saja yang sudah sudah menjadi guru tetap. Dan rasanya kurang elok jika seorang pengajar harus berbicara seperti itu. Meski itu dalam bentuk menyampaikan masalah hatinya.
"Sama saja Bu Wiwin, kita sebagai tenaga pengajar memiliki kewajiban untuk membantu anak didik kita menjadi lebih baik lagi." Jamilah tidak pernah terpancing dengan ucapan Bu Wiwin yang terkadang bisa masuk tanpa permisi kedalam hatinya
.
.
.
Jamilah saat ini sedang mengajar di kelas 5A untuk mata pelajaran matematika. Keadaan kelas begitu ramai karena banyaknya anak yang mengangkat tangan karena belum mengerti materi perkalian dua angka. Jamilah pun dengan senang hati mengulang kembali materinya.
Suasana mulai hening, saat kepala sekolah Bapak Ginanjar mengetuk pintu dan membukanya lebar.
Kedua pasang mata anak manusia beradu pandang untuk persekian detik hingga akhirnya Jamilah tahu jika yang berdiri dihadapan nya saat ini adalah anak murid baru yang tadi pagi dibicarakan oleh Ibu Wiwin.
Pak Ginanjar pun memperkenalkan murid baru tersebut dan meminta Jamilah untuk membantu untuk mendapatkan nilai akademis yang bagus selama bersekolah di sini. Selanjutnya Pak Ginanjar pun menyerahkan murid baru tersebut pada Jamilah.
"Coba sekarang perkenalkan nama lengkap mu siapa?. Karena tadi Bapak kepala sekolah hanya memperkenalkan nama pendek mu saja." Jamilah memulai pendekatan dengan anak didiknya.
Dengan wajah datar, tanpa senyum dan begitu tegas tapi salutnya tidak ada sedikitpun rasa grogi, gugup atau rasa takut yang terpancar dari wajah tampannya.
"Perkenalkan nama ku, Alexander Moreno Wijaya Santoso."
"Terima kasih Alexander" Balas Jamilah.
Riuh tepuk tangan murid lain menyambut kedatangan teman baru mereka setelah Jamilah mempersilakannya duduk di bangku depan bersama Tari.
Setengah jam masih tenang, Alexander menulis materi yang sedang di tulis Jamilah di papan tulis.
Empat puluh lima menit masih aman dan Alexander sudah selesai menyalin semuanya.
Dan tepat pada satu jam Alexander berada di dalam kelas, setengah siswa lain sudah berkerumun di meja Alexander. Mereka melihat hape keluaran terbaru dari merek ternama yang hanya bisa mereka lihat dari iklan TV.
Jari-jari Alexander begitu lihai dalam memainkan tombol kanan kiri, atas bawah, menyerang, melompat dan menghindar dari sebuah serangan atau rencana yang sedang disusunnya.
Decak kagum pun keluar dari mulut mereka yang hanya bisa menyaksikan Game Online di tempat rental-rental yang meminta bayaran tinggi untuk ukuran mereka yang tinggal di perkampungan.
Semua pasang mata yang tersisa pun tertuju pada murid yang baru saja masuk tapi sudah membuat ulah seperti ini. Hal pertama yang terjadi di sekolah selama Jamilah mengajar.
"Ehem...." Suara deheman Jamilah sangat berpengaruh bagi setengah siswa yang tadi berkerumun. Mereka membubarkan diri dan kembali duduk di tempat masing-masing.
Namun Alexander malah masih asyik dengan Game yang baru dimulai bersama teman-teman online nya.
"Alexander" Suara lembut Jamilah tidak mampu mengalihkan tatapan Alexander dari hapenya.
Alex Malah semakin serius bermainnya, seolah ia sedang berada di dalam kamarnya. Tenang, tidak ada yang berani mengganggunya.
"Alexander" Volume suara Jamilah sedikit meningkat namun tetap saja tidak mempu mengalihkan Alexander dari gamenya.
Jamilah menepuk pelan pundak Alexander, hanya mampu mengalihkannya tidak sampai satu detik.
Jamilah kembali menepuk sedikit kencang pundak Alexander dan itu cukup berhasil. Tapi sayang pada saat yang bersamaan Alexander membanting hape mahal tesebut tanpa rasa sayang karena sudah menghancurkan hape yang menjadi miliknya.
Jamilah cukup kaget dengan aksi Alexander yang sangat ekstrim menurutnya untuk emosi seorang anak.
"Aku yakin setelah ini, Kau yang akan dikeluarkan dari sekolah ini karena sudah merusak barang berharga milik ku." Ucap Alexander begitu tegas namun juga sangat arogan, penuh intimidasi yang bernada sedikit ancaman.
"Baik, Ibu akan lihat apa yang kamu katakan pada ibu hari ini akan seperti apa esok hari atau mungkin saat kita pulang sekolah?." Jawab Jamilah dengan hati yang terus-menerus berdoa untuk kelancaran setiap masalahnya.
Masih ada waktu satu jam sebelum mata pelajaran hari ini berakhir. Selesai mengajar di kelas 5A kini Jamilah mengajar di kelas 3B.
Berita si murid baru sudah menyebar dengan cepat dikalangan siswa-siswi sekolah itu. Termasuk dikelasnya yang sekarang. Bisik-bisik itu sampai juga pada kuping Jamilah.
"Katanya, murid itu anak orang paling kaya raya di Jakarta."
"Iya katanya juga, itu Bapaknya yang punya Mall besar di Jakarta."
"Iya yang punya konter hape-hape mahal gitu, sama yang kaya tadi, yang udah dibantingnya."
Jamilah menatap intens pada ketiga anak murid yang sedang bergosip disaat yang lain sedang mengerjakan tugas darinya.
"Kalian sudah selesai?. Coba kerjakan di depan?." Jamilah menyodorkan spidol pada salah satu dari mereka.
"Belum Ibu guru, aku belum selesai." Jawabnya seketika mau menangis.
"Kamu?." Jamilah menyodorkan spidol itu ke anak yang lainnya.
Anak itu pun menggeleng lalu menunduk.
"Kamu?." Jamilah juga menyodorkan pada akan terakhir dari ketiganya yang bergosip.
Anak itu juga menggeleng lalu menunduk.
"Ibu harap selama mata pelajaran, baik mata pelajaran Ibu atau guru-guru yang lain. Kalian harus fokus pada pelajaran, tidak diperbolehkan untuk bergosip apa pun. Terkecuali mata pelajaran. Kalian semua paham!." Jamilah menatap wajah polos murid-muridnya satu persatu, yang ternyata sudah sangat pintar untuk menanggapi sesuatu dengan cepat jika itu bukan menyangkut pelajaran.
"Iya Ibu guru!." Jawab serempak semua murid kelas 3B.
.
.
.
Jamilah sengaja menunda kepulangannya karena takutnya ia akan dipanggil oleh kepala sekolah atas masalah murid baru.
Satu jam sudah Jamilah menunggu, hingga akhirnya ia memutuskan untuk pulang setelah ia pastikan tidak ada orang lain lagi di sekolah. Bahkan penjaga sekolah pun, Pak Ridwan sudah mengecek semuanya sudah kosong.
"Hati-hati di jalan, Ibu Jamilah!." Ucap Pak Ridwan saat menutup pintu gerbang lalu menguncinya.
"Iya Pak Ridwan. Assalamualaikum." Pamit Jamilah dengan salam.
"Wa'alaikumsalam Ibu Jamilah." Balas Pak Ridwan yang selama ini sudah menaruh hati pada Jamilah.
"Sudah baik, cantik, sholehah, istri idaman pokoknya." Lirih Pak Ridwan sambil meletakkan kunci ditempatnya.
.
.
.
Jarak yang ditempuh Jamilah dari sekolah ke rumah tidak sampai satu jam, paling lama empat puluh lima menit, paling cepat setengah jam atau dua puluh menit. Tergantung pada kecepatan saat ia membawa sepeda motornya.
"Assalamualaikum, Mak...Pak..." Jamilah langsung masuk rumah dan mencari keberadaan kedua orang tuanya setelah motor yang dibawanya terparkir di samping rumah.
"Wa'alaikumsalam, Milah. Tumben pulangnya lama?." Balas Emak dari arah dapur dan membawa tempe goreng di dalam piring lalu meletakkannya di atas meja.
Jamilah menyalami tangan Emak agak lama, lalu duduk di kursi yang ada di sana.
"Bapak Mana?, enggak kelihatan?." Jamilah mengambil satu potong tempe lalu memakannya.
"Bapak sama Jaka sedang ke masjid." Jawab Emak lalu kembali ke dapur, menyeduh kopi untuk Bapak nanti kalau udah pulang.
"Oh pantesan udah jam empat ya." Jamilah melihat jam dan kembali mengambil satu potong tempe goreng.
Jamilah langsung masuk ke kamar yang tidak luas tapi cukup untuk dirinya sendiri memiliki privasi.
Jamilah melepas hijab segiempat berwana coklat lalu menggantungnya. Menggantinya dengan hijab instan dan kembali ke ruangan yang multifungsi. Bisa untuk menerima tamu, bisa untuk bersantai dengan keluarga sekaligus bisa digunakan untuk tempat mereka makan.
"Kak Jami kenapa pulangnya lama, tumben banget?." Julia membawa tumpukan buku LKS lalu duduk disebelah Jamilah.
Sedangkan Bapak, Emak dan Jaka sedang mendengarkan ceramah dari salah satu pemuka agama melalu saluran televisi.
"Iya tadi Kakak memeriksa beberapa buku paket yang akan dipinjamkan pada anak-anak." Jawab Jamilah sambil mengambil satu LKS dan membuka halamannya satu persatu.
"Oh aku kira, Kak. Aku kira ada apa-apa sama Kakak di sekolah atau di jalan sama motor butut Kakak itu." Julia melahap tempe goreng yang hanya tinggal satu potong itu.
Jamilah diam dengan tebakan Julia yang memang benar ada apa-apa dengan dirinya hari ini. Yang disebabkan oleh murid barunya itu. Tapi ia belum ingin membaginya dengan Emak dan Bapak, sampai ia mendapatkan hasilnya besok atau kapan itu.
.
.
.
Saat ini di lain tempat, tepatnya di rumah Bapak Ginanjar. Kakek dari Alexander datang berkunjung guna membicarakan kenakalan yang dilakukan oleh salah satu cucu kesayangannya.
"Atas nama Alexander, saya mohon maaf atas kejadian hari ini di sekolah. Saya tidak akan pernah menyalahkan pihak sekolah atau guru yang mengajar Alexander. Karena saya sangat tahu track record cucu saya seperti apa disekolah sebelumnya." Ada perasaan bersalah dalam hati Kakek Utomo kala melihat Alexander yang tumbuh seperti sekarang ini. Tapi apa yang ia bisa lakukan?. Ia hanya sedang berusaha menata kembali Alexander yang sudah sangat jauh melenceng dari segi emosi dan kebiasaan anak seusianya.
"Iya Pak Utomo, saja juga mohon maaf kalau belum bisa melakukan apa pun untuk membantu cucu, Pak Utomo. Tapi secepatnya saya dan guru-guru yang lain akan mencoba membuat metode untuk membantu Alexander sudah lebih bisa diajak bicara dan bisa lebih baik dalam bersikap dan dalam mata pelajaran." Bapak Ginanjar sangat tahu dengan kekuasaan yang dimiliki Kakek Alexander itu dan ia ingin membuat nama baik sekolahnya dimata Pak Utomo Santoso supaya memiliki nilai plus dikalangan sekolah yang lain dengan masuknya Alexander Moreno Wijaya Santoso.
"Iya Pak Ginanjar saya paham, pasti tidak akan mudah mengubah Alexander dalam waktu yang kurang dari satu hari. Masih sangat butuh waktu yang banyak untuk memulihkan Alexander supaya bisa minimal sama dengan kebanyak anak seusianya. Syukur-syukur jika bisa lebih, saya akan merasa sangat senang dan berhutang budi dengan sekolah Pak Ginanjar." Ingin Kakek Utomo bisa mengandalkan dan menggantungkan asa pada sekolah yang dipilihnya ini.
Dalam satu tahun saja, Alexander bisa berganti sekolah sepuluh sampai lima belas sekolah, dan itu pun malah semakin memperparah kelakuan dan sifat Alexander.
Hingga Kakek Utomo memindahkannya ke perkampungan yang jauh dari mana-mana. Dengan harapan bisa mengubah pribadi Alexander yang lebih baik lagi.
.
.
.
Pagi ini Jamilah berangkat setengah jam lebih pagi dari biasanya. Saat dalam perjalanan, Jamilah bertemu dengan beberapa ibu-ibu yang akan pergi ke ladang.
"Ko berangkatnya pagi sekali, Ibu Jamilah?. Takut ya bertemu dengan teman-teman yang sudah menikah dan memiliki anak." Nyinyir salah satu dari ibu tersebut.
Menghormati mereka yang lebih tua, Jamilah menghentikan sepeda motor tanpa mematikan mesinnya.
"Iya saya berangkat lebih pagi, pagi ini. Karena ada urusan di sekolah." Jamilah tetap merendah dihadapan semuanya.
"Oh dikirain ada apa?." Tatapan malas yang ditunjukkan Ibu yang lainnya.
"Tidak ada ibu-ibu. Kalau begitu saya permisi, mau jalan lagi." Jamilah menjalankan lagi motornya setelah mengucap salam.
Ibu-ibu itu sampai di ladang pun masih membicarakan Jamilah yang dikatai mereka memiliki kutukan makanya ia sampai dilangkahi sebanyak tiga kali. Atau mungkin sudah dijadikan tumbal oleh ketiga adiknya, supaya usaha suami-suami mereka tetap lancar dan bagus. Makanya Jamilah meminta pelangkah 100 gram emas pun mereka menyanggupinya.
.
.
.
"Bagaimana Ibu Jamilah dengan permintaan saya ini?." Tanya Pak Ginanjar di dalam ruangannya.
Ternyata urusan yang dibilang Jamilah adalah tentang Alexander, si anak baru. Pak Ginanjar sendiri yang meminta dirinya untuk datang lebih pagi supaya bisa mendiskusikan langkah apa yang kira-kira bisa dipakai untuk mencegah Alexander berbuat nakal lagi.
Jamilah dinilai dan dimata Bapak Ginanjar pun merupakan sosok guru yang tegas, disiplin, bijaksana, lemah lembut dan bisa dengan mudah dekat dengan anak-anak. Maka tidak ada salahnya jika ia membicarakan masalah ini guna bisa mengangkat nama baik sekolah nantinya.
"Saya akan melakukan semaksimal mungkin apa yang bisa saya lakukan untuk membantu Alexander, dengan cara saya sendiri tapi masih dalam pengawasan pihak sekolah dan Bapak Ginanjar tentunya." Jamilah percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika kita sudah berusaha dan berikhtiar serta berdoa dengan maksimal. Begitu juga dengan jodoh yang sampai saat ini belum ditemuinya, mungkin semesta ingin mempertemukan mereka diwaktu dan tempat yang tepat sesuai dengan kehendak Gusti Alloh.
.
.
.
Memasuki jam pertama, Jamilah masuk kedalam kelas 5A dan membawa tumpukan buku paket yang akan dipinjamkan pada murid-muridnya.
"Assalamualaikum, selamat pagi anak-anak."
"Wa'alaikumsalam, selamat pagi Ibu guru."
Jamilah tidak melihat Alexander duduk di depan bersama Tari. Ia malah menemukan Alexander duduk di bangku paling belakang bersama murid yang cukup bisa diandalkan di kelas 5A ini.
Usai mengabsen semua siswa-siswa, Jamilah membagikan buku paket dan meminta anak-anaknya membuka halaman tujuh disitu ada materi pembagian.
Jamilah menjelaskan sebentar lalu meminta anak-anaknya bertanya jika memang belum mengerti supaya ia bisa mengulanginya.
"Sekarang tolong kerjakan soal no satu sampai dengan no lima. Lalu dikumpulkan dimeja Ibu." Jamilah memberikan tugas setelah tidak ada siswa-siswi yang bertanya karena belum mengerti.
"Baik Ibu guru." Mereka pun langsung mulai mengerjakan soal-soal yang diberikan Jamilah.
Jamilah berkeliling melihat satu persatu siswa-siswi yang mengerjakan tugas, jangan sampai mereka ada yang tidak mengerti tapi malu untuk bertanya. Sampai ia sampai di bangku Alexander, buku tulisnya masih bersih tidak ada coretan apa pun.
"Apa ada yang tidak kamu mengerti?." Tanya Jamilah pelan, takutnya Alexander merasa malu karena tidak bisa mengerjakan.
Alexander tidak menjawab, ia malah memainkan pensilnya.
"Kalau belum mengerti, ibu bisa menjelaskannya pada mu." Jamilah menawarkan diri untuk mengulang kembali materinya.
Lagi-lagi Alexander hanya diam tanpa melihat Jamilah yang berdiri tepat disampingnya.
"Alexander kenapa tugas dari ibu tidak dikerjakan?. Jamilah sedikit menaikkan volume suaranya, hingga ada beberapa siswa yang menoleh kearahnya.
"Alexander, kalau ibu bertanya itu kamu harus menjawabnya. Jangan diam seperti ini. Supaya ibu bisa membantu mu."
"Aku tidak suka belajar pembagian, aku tidak suka membagi apa pun dengan siapa pun, jadi aku tidak mau mengerjakannya."
Jamilah menatap bingung pada Alexander yang memilih untuk keluar dari dalam kelas saat jam pelajarannya.
"Memang kenapa dengan pembagian?, apa hubungannya dengan orang lain?." Gumamnya lirih, Jamilah merapikan buku dan memasukkannya ke dalam tas Alexander.
"Bagi yang sudah selesai mengerjakan, kalian boleh mengumpulkannya ke meja Ibu, kalian lanjut lagi pelajari halaman selanjutnya ya?." Pesan Jamilah pada anak-anak sebelum ia keluar mencari Alexander.
Ibu Wiwin sudah melambaikan tangan dari arah pintu kelas yang terbuka.
Jamilah berjalan keluar dan menemui Ibu Wiwin, mereka berbicara cukup pelan di depan kelas Jamilah.
"Murid baru itu lari ke arah kebun belakang, aku udah pinta Pak Ridwan untuk mengawasinya, jadi kamu bisa tenang ngajar sampai jam istirahat. Kalau boleh minta mah aku jangan sampai ngajar di kelas 5A deh, dari pada harus seperti Ibu Jamilah." Ibu Wiwin menunjuk kebun belakang sekolah dan sedikit mengeluarkan pendapatnya.
Jamilah hanya tersenyum menanggapi perkataan Ibu Wiwin, tapi ia tetap ingin memastikan kalau Alexander tidak melakukan hal yang dapat melukai dirinya sendiri.
"Terima kasih Ibu Wiwin, aku ingin memastikan Alexander. Kalau boleh titip anak-anak sebentar ya?." Dengan wajah yang penuh permohonan.
"Iya baik-baik, Ibu Jamilah. Tapi janji sebentar ya?." Ibu Wiwin melihat pergelangan tangan dimana saat ini mendekati waktu istirahat.
"Iya hanya sebentar." Jamilah segera bergegas ke kebun belakang guna melihat apa yang dilakukan Alexander di sana.
Melihat ada Pak Ridwan, Jamilah merasa senang jadi keadaan Alexander bisa dipantau.
Jamilah mengikuti arah telunjuk Pak Ridwan, Alexander sedang bersembunyi dibalik semak-semak pembatas antara sekolah dan rumah-rumah warga.
"Tolong Pak Ridwan jaga, jam istirahat saya kembali lagi." Ucap Jamilah seraya mengulas senyum.
"Iya, Ibu Jamilah. Saya akan menjaganya dari sini." Lalu Jamilah pergi dari sana setelah mengucapkan terima kasih.
Sedikit berjalan tergesa-gesa karena tidak ingin membuat Ibu Wiwin menunggu dirinya terlalu lama. Oh untung saja ada Pak Ghani, guru olahraga yang sedang menemani Ibu Wiwin.
"Terima kasih Ibu Wiwin sudah menjaga anak-anak." Ucap Jamilah sesampainya di depan Ibu Wiwin dan Pak Ghani.
"Hanya Bu Wiwin saja Ibu Jamilah, yang mendapatkan kata terima kasih, saya enggak?." Goda Pak Ghani. Semua orang tahu kalau Pak Ghani juga sempat menaruh hati Jamilah sebelum pada akhirnya ia memilih wanita lain untuk dijadikannya istri.
"Iya, Pak Ghani. Terima kasih." Jamilah kembali masuk ke dalam kelas, setelah kepergian Ibu Wiwin dan Pak Ghani dari depan kelasnya.
Mengatur nafas yang ngos-ngosan sambil duduk, merapikan semua buku tulis yang dikumpulkan sembari melihat semua nama yang mengerjakan. Dari murid sebanyak 28 orang di dalam kelas 5A, hanya satu orang yang tidak mengerjakan tugas yang diberikannya, Alexander.
Waktu istirahat tiba, Jamilah masuk keruangan guru dengan membawa buku tulis lalu meletakkannya di atas meja. Ada beberapa guru yang lain yang baru juga sampai di ruangan setelah mengajar di dalam kelas.
Jamilah belum ingin memakan bekal makan siangnya, sebelum ia berhasil membawa Alexander masuk ke dalam kelas. Makanya Jamilah hanya meneguk air putih saja sebelum ia kembali ke kebun belakang.
"Anak baru itu berulah lagi ya, Ibu Jamilah?." Tanya Pak Hasan, sesama guru di sana.
"Ya seperti itu lah Pak Hasan, mungkin hanya ingin lebih diperhatikan saja." Jawab Jamilah bijak, sebab setiap anak semuanya unik, memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.
"Iya tadi semua anak-anak di kelas saya melihat murid baru itu lari ke arah kebun." Pak Hasan memberitahunya.
"Iya Pak Hasan, terima kasih. Ini saya mau nyusul ke sana." Jawab Jamilah segera keluar dari dalam ruangan sebelum Pak Hasan datang mendekat ke arah meja nya.
.
.
.
Pak Ridwan belum ingin pergi dari sana meski Jamilah sudah datang dan mendekati Alexander saat ini.
"Sekarang sudah waktunya istirahat. Ayo kita makan atau mungkin kamu mau membeli sesuatu yang bisa dimakan?." Ibu Jamilah jongkok di depan Alexander yang duduk bersila di atas rumput.
Alexander hanya melihat tangannya yang sudah kotor karena menggali tanah yang basah akibat hujan semalam.
"Kalau kamu belum mau mengerjakan tugas yang ibu berikan, tidak apa. Ibu tidak akan memaksa mu saat ini. Kita ganti pelajaran yang lain saja untuk mu." Jamilah begitu lemah lembut serta menggunakan hati untuk berbicara atau berinteraksi dengan Alexander.
Alexander tidak merespon sedikitpun, bahkan ia sangat acuh, tidak butuh untuk diperhatikan. Seolah tidak melihat adanya Jamilah di sana.
"Tapi sekarang kita kembali ke kelas supaya perut mu tidak lapar saat pelajaran selanjutnya." Jamilah berusaha meraih tangan Alexander, namun mendapatkan penolakan dengan menepis tangan Jamilah.
"Baik, maaf. Kalau mau tidak dipegang Ibu, sebaiknya kamu turuti apa yang ibu katakan saat ini padamu." Suara lembut itu kini terasa sedikit lebih tegas.
"Ayo berdiri!. Masuk kedalam kelas!. Cuci kedua tanganmu!, lalu makan sesuatu untuk mengisi perut mu, supaya bertenaga saat mengikuti pelajaran selanjutnya." Jamilah bangkit dan merapikan rok panjangnya yang sedikit terangkat. Menatap sebentar ke arah Alexander sebelum Alexander berlari meninggalkan dirinya.
"Hufh sabar....sabar...sabar..." Jamilah mengelus dada sambil menarik nafas dalam lalu berjalan meninggalkan kebun.
Jamilah hanya tersenyum saat melewati Pak Ridwan yang masih berdiri ditempat semula.
"Istri idaman banget, kalau Ibu Jamilah mau sama aku, aku enggak bakalan nolak. Pasti aku sangat beruntung sekali mendapatkan istri sholehah. Tapi sayang Ibu Jamilah sangat tidak beruntung mendapatkan aku yang seperti remahan rengginang ini." Pak Ridwan memegang dada yang selalu berdebar kencang saat berada atau melihat Jamilah walah dari kejauhan.
Kalau Pak Ghani, Pak Ridwan dan Pak Hasan saja menyukai sosok Jamilah, kenapa Jamilah susah sekali mendapatkan jodoh salah satu dari mereka?.
.
.
.
Alexander mendapati bukunya sudah rapi di dalam tas setelah mencuci tangannya dengan sangat bersih. Ia hanya duduk sendiri di bangku belakang, paling pojok pula. Entah apa yang ada pikirannya saat ini, makan sesuatu pun tidak, seperti yang sudah dibilang Jamilah.
Siswa-siswi yang lain tidak ada yang berani mendekat, mereka takut jika Alexander akan melukai mereka. Walau pun belum ada indikasi jika Alexander suka bermain fisik atau kekerasan pada hari kedua Alexander bersekolah.
Bel sudah berbunyi, tanda waktu istirahat sudah habis. Kini waktunya semua murid dari kelas satu sampai kelas enam masuk ke dalam kelas masing-masing. Guna melanjutkan mata pelajaran yang tersisa.
Ibu Wiwin yang siang ini kebagian mengajar di kelas 5A. Padahal ia sangat menghindari untuk mengisi mata pelajaran di kelas itu, sebab alasannya hanya satu, karena si anak baru.
"Kenapa aku juga yang dapat di kelas ini?, kenapa enggak guru yang lain aja yang ngajar di kelas ini?." Ibu Wiwin sedikit menggerutu di depan kelas, ia menarik nafas dan merapikan kerah bajunya.
"Bismillah, semoga saja si anak baru enggak bikin ulah." Doa nya.
Suasana hening di dalam kelas, saat Ibu Wiwin datang dan langsung membawakan materi Bahasa Indonesia.
Sorot tajam mata Ibu Wiwin sudah tertuju pada sosok Alexander yang tampan bila dibandingkan dengan semua siswa yang asli penduduk kampung. Tapi itu tertutup dengan sifat dan kelakuannya yang sangat menyebalkan itu, bagi Ibu Wiwin.
"Buka buku paket kalian!. Lihat halaman 57, kalian baca dan kerjakan soal esai dari no satu sampai no sepuluh. Kalau sudah selesai bawa kesini nanti Ibu langsung kasih nilai." Ibu Wiwin kembali duduk di atas kursi yang ada di samping papan tulis.
"Iya, Ibu guru." Jawab mereka serempak dan sangat bersemangat, sebab setahunya pelajaran yang paling diminati dan paling mudah ya Bahasa Indonesia.
Saru orang yang paling pintar dikelas itu sudah maju ke depan dan langsung mendapatkan nilai sempurna, 10.
Lima orang maju ke depan dan mendapatkan nilai yang bervariasi, ada yang mendapatkan nilai dari 7 sampai 9.
Sepuluh orang yang maju ke depan, mereka pun mendapatkan nilai yang beraneka ragam, mulai dari nilai 8 sampai 10.
Tersisa dua belas orang lagi yang belum menyelesaikan, Ibu Wiwin memberikan peringatan bagi yang belum selesai. Untuk dapat mengerjakan dalam waktu lima belas menit lagi.
"Iya, Ibu guru" Jawab mereka yang belum mengerjakan, kecuali Alexander yang tidak pernah bicara sedikit pun.
Sampailah pada waktu yang ditentukan, mereka maju ke depan dan mendapatkan nilai juga, kembali bervariasi nilai yang didapatkan antara 7 sampai 10.
Ibu Wiwin menautkan kedua alisnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, saat mengetahui dari list absen semua murid hanya Alexander yang tidak mendapatkan nilai, lebih tepatnya tidak mengerjakan tugas yang diberikan olehnya.
"Alexander!. Ibu tunggu tugas mu sekarang juga!." Ibu Wiwin bangkit dan menatap tajam pada sosok anak diam saja tidak segera melakukan apa yang diminta oleh gurunya.
Alexander menatap dengan berani pada guru yang jaraknya lumayan jauh dari bangku tempatnya duduk. Tidak ada rasa takut atau pun segan yang diperlihatkan Alexander saat ini pada wanita yang mengenakan pakaian warna coklat itu. Justru ia begitu menantang dengan sang guru, ia tidak peduli jika nantinya ia akan dikeluarkan lagi dari sekolah atau mendapatkan hukuman. Yang jelas ia tidak ingin mengerjakan apa yang diperintahkan orang lain padanya.
"Alexander!." Semua anak-anak melihat kearah belakang dimana Alexander duduk begitu santainya tidak merasa gentar dengan suara Ibu Wiwin. Tapi tidak ada yang berani bicara apa pun, mereka hanya menjadi pendengar yang baik untuk kedua kubu.
Susana tegang nan mencekam yang terjadi di ruangan kelas 5A, lebih menakutkan dari kuburan atau rumah tua yang sudah lama tidak dihuni.
Jamilah datang membawa buku tulis matematika semua anak kelas 5A yang sudah dinilainya, yang tentunya ia juga tidak mendapatkan nilai dari Alexander.
Jamilah melihat dari luar melalui kaca dinding kelas, semua mata anak sedang tertuju pada sosok yang diyakini Jamilah adalah Alexander.
"Apalagi yang dilakukan anak itu?." Jamilah masih berdiri dan melihat untuk beberapa saat, saat dirinya dipanggil oleh Tari.
"Ibu guru Jamilah!."
"Assalamu'alaikum anak-anak... Ibu Wiwin..."
"Wa'alaikumsalam Ibu Guru..." Jawab semuanya bersama-sama
"Saya mau mengantarkan buku tulis matematika anak-anak yang sudah saya nilai." Jamilah meletakkannya di meja tepat di depan Ibu Wiwin.
Ibu Wiwin segera menunjuk pada absen Alexander yang kosong. Jamilah hanya mengangguk lemah, sebagai jawabnya dari pertanyaan yang diberikan lewat kode oleh Ibu Wiwin.
"Alexander!, karena kamu tidak mengerjakan tugas Ibu, maka ibu hukum kamu dengan mengerjakan semua LKS 1, dan hari Senin kamu berikan pada Ibu." Entah kenapa Wiwin begitu tersulut emosi kala tahu bahwa pelajaran Jamilah pun Alexander tidak mengerjakan?.
"Kamu harus diberi pelajaran!." Gumamnya lirih namun masih bisa didengar oleh anak-anak yang duduk paling depan yang dekat dengan mejanya.
Jamilah menatap tidak percaya pada teman sejawatnya itu, itu bukan Ibu Wiwin yang dikenalnya selama ini?.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!