NovelToon NovelToon

The Melody Tells

Hujan di Bulan Agustus

Bulan Agustus di Australia bagian utara, amat berbeda dengan bulan Agustus di Indonesia. Jika di sana teriknya matahari tengah membakar kulit penduduknya, maka di sini, musim dingin tengah menunjukkan eksistensinya. 

Saat ini, hampir keseluruhan Kota Darwin telah dibasahi oleh banyaknya tetesan air yang turun sebab adanya hujan monsun. Angin kencang dan halilintar yang menyambar-nyambar, menjadi pertanda akan tibanya badai. Seolah tak cukup, atmosfer dingin pun menjadi penguat atas betapa mencekamnya suasana masa ini.

Di sana, di depan sebuah bangunan berukuran besar, seorang gadis tengah berdiri sendirian. Sebuah jaket tebal yang dilengkapi dengan beanie hat menyelimuti tubuh kurusnya yang kedinginan. Ia terdiam sambil berharap akan ada taksi yang mau berhenti untuk mengantarnya pulang.

Nyatanya, cuaca sedang tak baik-baik saja. Bureau of Meteorology, bahkan menyatakan, bahwa Kota Darwin akan kedatangan sebuah badai dengan kecepatan yang diperkirakan sebesar 37 knot. Di saat seperti ini, rasa-rasanya hampir mustahil menemukan kendaraan umum yang masih mau beroperasi.

Elle menatap ponselnya yang kehabisan baterai dengan pandangan sebal. Gadis itu tengah meneduhkan diri di bawah sebuah halte. Ia sungguh menyesal karena menolak ajakan guru pembimbing ekstrakulikulernya yang sempat menawarkan kepadanya sebuah tumpangan. Kini, lihatlah bagaimana mengerikannya pemandangan sekolahnya yang telah sepi.

Jarak rumah dan sekolah Elle, sebenarnya cukup jauh. Orang tua Elle, cukup sering mengantar remaja itu untuk pergi ke sekolah; namun atas inisiatifnya sendiri, kerap kali Elle lebih memilih untuk menumpang kendaraan temannya atau naik kendaraan umum demi tak menyusahkan kedua orang tuanya yang memang sibuk bekerja.

Untuk saat ini, Elle hanya berharap ada seseorang yang bisa menolongnya. Apalagi ia tahu, di tengah hari seperti ini, ayah dan ibunya sedang berada di fase benar-benar tak bisa diganggu. Ada pula keempat sahabatnya yang pasti tengah menikmati jatah pulang pagi mereka dengan bergelut di balik selimut masing-masing.

'JDAR!'

'JDAR!'

'JDAR!'

Petir menyambar puncak gedung sekolah Elle selama tiga kali berturut-turut. Ekspresi perempuan muda itu pun, kini sudah berubah menjadi tak karuan. Ia ketakutan karena hanya sendiri di tengah cuaca buruk seperti ini.

Elle sungguh mengutuk kegiatan ekstrakurikuler tata busananya yang tiba-tiba dihentikan karena kondisi atmosfer yang mengkhawatirkan. Sebenarnya, tadi, Elle mempunyai sekitar sebelas teman; namun keseluruhan dari mereka sudah pulang hingga menyisakan dirinya seorang. 

Elle pun mengutuk keteledorannya yang lupa mengisi ulang baterai handphone-nya semalam. Ia sungguh mengutuk kesialannya sendiri di hari ini.

"Kalau cuaca sedang tidak ada badai seperti ini, sungguh aku tidak masalah kalau harus berjalan kaki untuk sampai ke rumah," gumam Elle. Gadis itu menatap jam di pergelangan tangannya, lalu berdecak sebal. "Menunggu sama sekali bukan hal yang menyenangkan. Namun berada di sini saat cuaca buruk juga tidak aman," keluhnya.

Elle pun mengembuskan napasnya dengan pasrah sambil mengedarkan pandangannya ke sana dan ke mari. Sekolahnya ini, memang berada di lokasi yang tak terlalu padat dengan penduduk, sehingga wajar dalam keadaan seperti sekarang, suasana benar-benar menjadi sepi.

Elle menadahkan tangannya untuk menerima tetesan tirta yang berjatuhan dari dirgantara. Gadis itu kemudian meringis karena sadar bahwa kemungkinan besar, hujan tak akan mereda dalam waktu dekat ini. Ia, kemudian memandang ke sebuah rumah kecil yang berdiri kokoh di hadapan bangunan sekolahnya yang telah terkunci.

"Di sana terlihat aman," bisik Elle. Ia tersenyum ketika mendapatkan sebuah harapan dari sebuah rumah yang katanya sudah tiga tahun tak berpenghuni itu. Meskipun banyak temannya yang bilang bahwa rumah itu berhantu, namun Elle tak pernah percaya pada hal semacam itu. Perempuan berusia 17 tahun itu pun, bergegas saja mengeratkan jaket tebalnya, lalu berlari kecil menuju bangunan yang hanya berukuran 7 x 7 meter tersebut.

Mata Elle tampak berbinar ketika ia mendapati bahwa bangunan itu terbuka sedikit pintu masuknya. Ia telah menemukan tempat yang lebih aman sebagai tempatnya berlindung dari badai yang mungkin akan datang tak lama lagi. Akan tetapi, baru saja ia mau masuk, dalam sekelebat, sebuah tangan telah menariknya terlebih dahulu.

"Ah!" Elle memekik kaget, lalu menatap sosok yang menariknya itu. Rupanya, ia seorang pria bertubuh kekar dengan kulit kecoklatan khas lelaki Asia. Gadis tersebut bergidik ngeri ketika melihat sorot tajam dari sepasang mata beriris dark brown tersebut.

"K—kamu …—" Elle meneguk ludahnya kasar dengan kerongkongan tercekat ketika menyadari bahwa lelaki itu telah mengungkung tubuhnya yang kurus. Wajah mereka sangat dekat. Dalam sesaat Elle pun merasa tak asing dengan sosok yang sepertinya sedang mabuk itu.

"K—kamu mabuk?" tanya Elle, pelan. Ia menatap takut pada manusia yang penampilannya tampak sangar itu. Elle pun masih ingat kata orang-orang di sekitarnya, yang mengatakan bahwa dekat-dekat dengan seseorang yang berada di bawah pengaruh alkohol akan amat berbahaya. Mereka kehilangan kemampuan mengontrol dirinya sendiri, sehingga ada banyak kejahatan yang menanti untuk mereka lakukan.

Elle masih ingat ketika empat tahun lalu, kakaknya Devano datang kepadanya dalam kondisi kacau balau. Pria itu bilang kalau dirinya sedang mabuk, lalu menangis tersedu-sedu karena kisah cintanya yang menyedihkan. Elle yang saat itu tak paham, hanya diam sambil menatap bingung ke arah Devano. Ketika itu, satu hal yang paling dia ingat adalah aroma menyengat yang tercium dari mulut kakaknya itu; dan itu sama persis dengan aroma milik pria di hadapannya sekarang.

'Aku harus menjauh. Kakak ini, pasti sedang mabuk,' panik Elle. Gadis itu bergegas mendorong sang pria, namun gagal karena tenaganya yang kalah besar. 

Sang lelaki kembali menarik Elle, dan dalam sekejap, bibir keduanya telah menyatu. Remaja tersebut pun meronta karena menyadari alarm bahaya yang berbunyi semakin keras di instingnya. Namun, buah dari usahanya, nyatanya hanya sebuah kesia-siaan. Pada akhirnya, ia hanya bisa melewati saat-saat mengerikan itu dengan meloloskan banyak cairan bening dari matanya.

...««« KEDIAMAN ELLE »»»...

"Sir! Mrs!"

Seorang wanita paruh baya tampak kepanikan ketika berhadapan dengan dua majikannya yang tampak kelelahan sehabis pulang kerja. Bulir-bulir keringat menetes deras dari dahi perempuan yang berstatus sebagai asisten rumah tangga tersebut.

"Ada masalah, Shi Ren?" tanya seorang lelaki yang wajah tampannya tak tergerus oleh usia. Ia bersama seorang wanita di sampingnya pun memandang ke arah tangga, di mana putri mereka berdua biasanya terburu-buru turun ketika tahu kedua orang tuanya telah pulang.

"A—ada masalah. Nona Elle belum pulang. Padahal, seharusnya Nona sudah pulang sejak lima jam lalu," kata Shi Ren, panik. Wanita tua itu menunduk dalam dengan penuh penyesalan.

"Tenanglah. Elle, mungkin saja sedang bersama teman-temannya," tutur sang pria, dengan tenang. Mendengar itu, sontak saja, sosok wanita di samping pun menginjak kakinya dengan kejam.

"AXTON!"

"SHANEE!"

Axton meringis ngilu sambil menatap kakinya yang kesakitan. Sosok wanita bernama Shanee itu, menatapnya dengan tajam. Pria itu ingin protes, namun setelah melihat ekspresi istrinya itu, ia membatalkan niatnya dan lebih memilih untuk diam.

"Firasatku tak enak sedari tadi," jelas Shanee. Wanita paruh baya itu menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang dirapatkan.

"Shanee …." Axton yang melihat kekhawatiran istrinya pun mencoba menenangkan. Lelaki tersebut memeluk wanitanya dengan erat sambil mengelus-elus bahunya. "Elle akan baik-baik saja," tukasnya.

"Kita harus mencarinya!"

"Tentu!" 

Axton menatap ke arah jendela, di mana hujan masih tak mau berhenti dengan aktivitasnya. Dengan perlahan, ia membawa Shanee untuk mendudukkan diri di atas sofa. Pria itu tahu, sekuat apa pun wanitanya itu, ia akan lemah jika sudah berurusan dengan putri mereka, Ellea Jovanka Lin.

"Aku akan menghubungi teman-teman Elle. Lebih baik, kamu duduk di sini dulu. Tenangkan diri dan beristirahatlah …!" kata Axton. Pria itu mengembuskan napasnya, lalu beralih menatap Shi Ren yang tampak menunduk. "Siapkan makanan untuk kami," perintahnya.

"AKU TIDAK MAU MAKAN JIKA ELLE BELUM KEMBALI!" Shanee membentak. Wanita itu menatap pintu rumah dengan mata yang memerah, berharap putrinya segera pulang.

"Jangan bersikap kekanakan, Shanee …! Kamu bukan anak kecil lagi. Mogok makan tidak akan menyelesaikan masalah. Elle akan sedih jika kamu sakit karena mengkhawatirkan dia," balas Axton. Pria itu tetap mencoba untuk berkepala dingin.

"DIAM! Kamu tidak mengerti, Axton …!" Shanee meringis sambil menatap tajam suaminya. Sungguh, ia benci ketika lelakinya itu hampir tak pernah menampakkan emosinya di situasi apa pun. Bukannya pria juga manusia yang memiliki perasaan? Tapi kenapa ada banyak pria di dunia ini yang lebih suka menyembunyikan perasaannya, lalu merasa bahwa mereka kuat karena itu?

"Aku memang tidak mengerti. Kamu yang paling mengerti perasaanmu sendiri. Kamu lebih mengerti mengenai rasa daripada aku, karena itu kamu juga bisa melakukan banyak hal dengan lebih baik daripada aku," tegas Axton. Sudah berulang kali lelaki itu mengembuskan napasnya. "Ketika anakmu sedang dalam masalah, jadilah Shanee seperti Shanee yang kukenal. Kamu wanita yang bisa berpikir logis, Shanee …!" jelasnya.

Shanee tampak terdiam. Dengan napas yang mulai stabil, ia menatap ke arah jam. "Aku tak bisa diam jika putriku menghilang tanpa kabar," tuturnya. Axton yang mendengar itu pun tersenyum.

"Lakukan apa pun untuk menenangkan perasaanmu," kata Axton. Lelaki itu ikut mendudukkan dirinya di samping sang istri, sambil menatap ponsel pintarnya yang tertera nama-nama teman putrinya di sana.

"Kamu yang menyimpan seluruh nomor ponsel teman Elle. Aku hanya menyimpannya sebagian," tutur Axton. Shanee pun mengangguk dan segera mengambil ponselnya, lalu dengan cekatan menelepon satu persatu teman putrinya.

Langit senja berwarna jingga kemerah-merahan

Merah, seperti warna cinta

Langit siang berwarna biru

Seperti perasaanku, tanpamu

Yang dirundung pilu seusai kepergiamu

Oh, kekasihku …, sungguh aku merindukanmu

Shanee dan Axton mengerutkan keningnya aneh setelah mendengar syair itu. Nama pelantunnya adalah Aziel Brown, sepupu Gabriel Brown. Mereka berdua sama-sama teman terdekat Elle. Pelawak handal yang selalu bisa mencairkan suasana.

"Aziel …, syairmu? Astaga …!" Shanee membuka mulutnya dengan syok. Axton, bahkan terlihat lebih parah dari istrinya. Pria setengah baya itu mematung, tak menyangka kalau putrinya bisa mendapatkan teman semacam Aziel ini.

"Bukankah itu terdengar indah, Nona Bunga? Seperti kisah cinta putri-putri di negeri dongeng," katanya, dari seberang sana. Beruntung, kedua manusia yang mendengarnya tak menutup telepon saking memuakkannya ucapannya itu. 

"Elle ada bersamamu?"

"Oh, Nona Bunga …, maafkan pangeranmu ini yang tak bisa memberi apa yang kaucari. Cintamu tak bersamaku. Sudikah engkau mencari ke tempat lain? Mungkinkah tanpa kausadari, cintamu telah dicuri oleh dua penyihir jahat itu—Penyihir Every dan Penyihir Kathrina?"

Shanee menggeram, lalu segera menutup teleponnya dengan wajah yang tampak kegelian. Segera saja ia menghubungi teman terdekat Elle yang lain. Sasarannya, tentu saja Celine Every dan Joanne Kathrina, seperti kata Aziel.

Setelah diselidiki, kedua gadis muda itu, ternyata sedang bersama tanpa ada Elle di sana. Gabriel Brown pun juga sama seperti ketiga temannya yang lain yang tidak tahu di mana Elle berada. Shanee dan Axton yang mendengar jawaban itu pun tak puas.

"Kita hubungi teman-temannya yang lain. Wali kelas dan guru-gurunya pun juga. Oh—penjaga sekolahnya sekalian!" Axton memberi saran. Meskipun tadi ia terlihat sedemikian tenangnya, namun tak bisa dipungkiri, bahwa ia juga sama takutnya seperti Shanee. 'Di tengah cuaca buruk seperti ini, dia sendirian,' batinnya. Jiwa kebapakannya meronta.

"Kamu ingat, kemarin Elle bercerita kalau hari ini, dia ada kegiatan ekstrakurikuler. Kamu menyimpan nomor Mr. Jack?" Shanee menatap suaminya. Meskipun keduanya memang sibuk bekerja, namun mereka tak pernah lupa menyisihkan waktu untuk putri kecil mereka. Nyatanya, kegiatan yang terlihat remeh seperti saling bercerita, amat memengaruhi kedekatan ketiganya.

"Guru yang masih muda itu?" tanya Axton, tampak ragu. Setelah melihat anggukan dari kepala sang istri, ia pun bergegas menelepon sosok Mr. Jack itu.

"Halo! Di sini Mr. Jack—ada yang bisa saya bantu?"

"Sir—kami orang tua dari siswi bernama Elle. Apa Anda melihatnya? Bukankah Anda guru pembimbing ekstrakurikuler tata busana yang diikuti Elle hari ini?" Suara Shanee menginterupsi. Dari nada bicaranya, wanita itu terdengar tengah tergesa-gesa.

"Tadi Elle sempat bersama saya. Karena melihat tinggal kami berdua di sekolah, saya menawarinya sebuah tumpangan. Namun, mungkin karena tak nyaman, dia menolak tawaran saya. Ah—is she okay?" 

"Maaf jika kami mengganggu waktu Anda. Putri kami belum pulang sampai sekarang. Jika Anda mengetahui sesuatu, tolong kabari," ujar Shanee.

"Tentu. Saya berharap Elle baik-baik saja."

Setelah sambungan telepon tertutup Shanee dan Axton saling menatap. Kemudian, mereka meminta bantuan keempat sahabat Elle untuk menghubungi teman-teman yang lain selagi mereka turut melakukan hal yang sama. Sayang sekali, hasilnya nihil.

"Akan lebih baik jika aku mencarinya langsung," lirih Axton. Shanee pun menatapnya dengan sorot yang sulit dimengerti. 

"Di luar sedang badai, Axton …! Aku takut jika terjadi sesuatu denganmu di jalan nanti. Aku yakin Elle akan baik-baik saja," kata Shanee. Axton yang mendengar itu malah mengerutkan keningnya tak suka.

"Aku hanya ingin memastikan keadaan putriku secara langsung. Kamu tunggu di rumah. Siapa tahu Elle pulang." Shanee hanya diam ketika tahu ia sudah tak memiliki kesempatan untuk menghentikan suaminya. Lihatlah bagaimana keadaan berbalik sekarang.

"SIAAAL!"

Shanee tersentak sebab mendengar umpatan suaminya yang sudah pergi ke garasi tempat mobil mereka berada. Sontak saja, ia bergegas menghampiri lelaki itu. 

"Mobilnya mogok," jelas Axton, sedang badai semakin mengamuk di luar sana. Ia tak mungkin keluar rumah hanya dengan membawa badan dalam situasi seperti ini. Tetangga terdekatnya pun, sedang keluar kota sehingga ia tak bisa meminjam mobil darinya.

'JDAR!'

'JDAR!'

'JDAR!'

Halilintar terdengar menyambar-nyambar tiada henti. Kuatnya tiupan angin semakin menggila. Tak lama, terjadi pemadaman total di Kota Darwin dan sekitarnya. Pada akhirnya, memang tak ada harapan bagi keduanya untuk menyusul putri mereka.

Shanee dan Axton hanya bisa menunggu. Sangking cemasnya, mereka sampai melupakan makan mereka yang telah disiapkan oleh sang pelayan, Shi Ren. Badai baru berhenti ketika jam sembilan malam telah melintang, namun listrik dan sinyal benar-benar tak ada ketika itu. Ketika akan keluar demi memeriksa keadaan, kehadiran seseorang mengejutkan keduanya.

"Mom …, Dad …!"

Jatuh dan Bangkit

"ELLE!"

Shanee dan Axton memekik bersamaan dengan mata yang memerah—ingin menangis—melihat kedatangan putri kecil mereka. Tanpa aba-aba, keduanya langsung memeluk Elle begitu erat, seolah tak mau terpisahkan lagi untuk selamanya.

"Are you okay, Girl?" tanya Axton. Ia menatap badan putrinya dari atas ke bawah dengan cemas.

"Apa yang terjadi? Kamu terlihat sangat kacau, Elle …!" Shanee menggandeng putrinya untuk masuk ke dalam kediaman, lalu diikuti Axton di belakang. Lelaki itu menutup pintu.

"Mom …, aku takut sekali." Elle menutup wajahnya dengan air mata yang bercucuran. Seragamnya compang-camping, rambutnya berantakan, bahkan tubuhnya penuh lumpur. Gadis itu tampak sangat berantakan.

"Apa yang terjadi, Sayang?" Shanee bertanya dengan lembut sembari memeluk dan mengelus-elus kepala putrinya. Dibanding dengan sang ayah, sebenarnya, Elle lebih dekat dan lebih nyaman dengan sang ibu.

"Tadi …—"

Elle merasa kerongkongannya tercekat. Ia dilema ingin menceritakan apa yang baru saja dialaminya atau tidak. Namun, dengan pemikirannya yang sekarang, mengingat itu akan membuat orang tuanya khawatir, maka ia pun memutuskan untuk menyembunyikan permasalahan tersebut.

"Tadi ada pria penjahat yang menculikku. Beruntung sebelum dia sempat berbuat hal buruk kepadaku, aku berhasil kabur. Ketika berlari, aku sempat terjatuh hingga keadaanku jadi kotor seperti ini. Syukurlah, tadi aku menemukan tempat persembunyian yang aman untuk melindungiku dari penjahat dan badai yang mengamuk," jelas Elle. Ia mencoba untuk berbicara dengan normal; seakan yang terjadi, benar-benar seperti apa yang diceritakannya—meski sebenarnya, itu berkali-kali lebih buruk.

"Ada yang terluka?" tanya Shanee dan Axton berbarengan. Mendengar itu, Elle pun hanya tersenyum.

"Apakah kalian melihat ada luka di tubuhku?" tanya Elle. Namun, sebenarnya ia hanya ingin menunjukkan kepada dunia bahwa luka di tubuhnya itu memang tidaklah terlihat. Karena luka yang sesungguhnya dialaminya, itu bukanlah di luar, melainkan di dalam—di nuraninya, di mentalnya, di jiwanya yang masih muda.

"Oh—kalau begitu, kamu harus membersihkan diri terlebih dahulu. Setelah itu, kita bisa makan. Kamu pasti lapar, kan?" Shanee tersenyum sambil memegang pelan kepala putrinya.

Terlihat sebuah kerutan kecil di dahi Elle.

Kalau saja sesuatu yang buruk tidak baru saja dialaminya, maka ia sungguh-sungguh akan merasa lapar sekarang. Namun sayang, keadaan yang telah terjadi sangat berbeda dengan apa yang diharapkannya ataupun orang-orang terdekatnya. Meski Elle akui bahwa ia memang lapar, namun rasanya, menangis dan berkeluh kesah adalah hal yang paling ia butuhkan sekarang.

Tidak. Bukan berarti Elle tak ingin bangkit dari keterpurukan. Hanya saja, memang butuh waktu untuk itu, bukan? Seperti ulat yang juga membutuhkan proses sebelum dapat mengepakkan sayap indahnya sebagai kupu-kupu.

"I'm not hungry, Mom …!" ujar Elle dengan nada mengeluh. Kedua orang tuanya yang mendengar itu pun menampakkan ekspresi aneh.

"Bukankah—"

"Aku lelah, Dad …! Aku mau tidur saja." Elle menyela ucapan ayahnya dan bergegas masuk ke kamarnya di lantai atas dengan bantuan senter yang ia dapatkan di meja makan.

Shanee dan Axton pun saling menatap sebab heran dengan tingkah tak biasa putri mereka. Keduanya, tentu saja merasa khawatir dan mengerti ada hal yang janggal dengan Elle. Namun, ketidaktahuan membuat mereka lebih memilih untuk bungkam.

Di satu sisi, Elle yang telah sampai di kamarnya buru-buru menutup pintu dan menguncinya. Ia duduk di kasurnya dengan wajah yang tenggelam di lutut yang tertekuk. Seketika, air matanya pun turun dengan deras. Dengan susah payah gadis itu menahan suaranya agar tak keluar.

"Why? Kenapa ini harus terjadi?" Elle berbisik kepada dirinya sendiri. Gadis itu mengacak rambutnya dengan frustrasi. 'Apakah aku berharga jika hal seperti ini terjadi kepadaku?'

"Sial!" Elle merutuk sambil memukul-mukul kepalanya sendiri. 'Andai saja aku bertahan di halte itu, mungkin ini tak akan terjadi. Atau seharusnya, aku terima saja tawaran Mr. Jack, jadi aku bisa sampai di rumah dengan selamat—tidak seperti ini. Eh—tidak, tidak! Bagaimana jika ternyata dia juga punya niat buruk kepadaku?'

Berbagai pikiran negatif mulai hinggap di kepala Elle. Jika sanak saudaranya yang ada di negara lain sana tahu bahwa ia mengalami pemerkosaan, maka ia pasti akan dicaci habis-habisan. Meski banyak juga dukungan yang datang, namun bukan berarti tak akan ada orang yang menyalahkan dirinya bersama kedua orang tuanya atas terjadinya hal buruk ini.

Tentu saja Elle merasa hidupnya telah hancur. Sebagai perempuan, meski ia tahu bahwa ini bukan salahnya, tetap saja ia menyesali kejadian ini. Di masa depan, mungkin akan banyak orang yang menganggapnya bukan perempuan baik-baik karena sudah kehilangan keperawanannya sebelum menikah.

Seketika, Elle jadi merasa semakin tak berharga. Apakah harga dirinya hanya dinilai dari keperawanan saja? Apakah ia jadi tak pantas mendapatkan laki-laki baik karena itu?

Oma Elle pernah bilang, bahwa seburuk-buruknya laki-laki, maka ia akan tetap memilih perempuan baik-baik untuk menjadi istrinya. Mengingat itu, sontak, Elle pun jadi bertanya-tanya. Lantas, apakah hanya lelaki yang memiliki hak untuk itu? Apakah hanya laki-laki saja yang boleh mengharapkan pasangan sempurna dan sesuai dengan harapannya, sedangkan perempuan hanya bisa pasrah pada lelaki yang didapatkannya dan menganggap itu sebagai hal yang terbaik?

'Bagaimana jika suatu hari nanti suamiku membuangku?'

'Tidak! Tidak! Jika hal ini masih menghantuiku sampai dewasa nanti, lebih baik aku tidak menikah saja!'

Pikiran Elle menerawang. Konsekuensi lain dari kejadian ini adalah kehamilan. Gadis itu, tentu tak mau jika hal semacam itu sampai menghalangi masa depannya. Ia pun berpikir.

"Kontrasepsi, ya!" Elle memekik tertahan, lalu segera tersenyum karena yakin masalahnya bisa teratasi dengan hal itu. Namun kemudian, ia menangis lagi.

'Bagaimana jika ada yang tahu? Mom dan Dad pasti sedih jika tahu aku mengalami ini,' batin Elle. "Aku harus menyembunyikan ini," lirihnya.

Dalam sekejap, Elle merasa berputus asa. Ia jadi bingung harus melakukan apa untuk mengantisipasi dampak-dampak buruk di masa depan. Minum pil kontrasepsi, belum tentu ia tak akan hamil. Berusaha menyembunyikan, belum tentu tak akan ada orang yang tahu. Lagi pula, bukankah para orang tua memiliki feeling yang kuat mengenai anak mereka?

Elle kembali mengacak rambutnya. Gadis itu menoleh ke dinding, di mana medali-medali hasil kerja kerasnya terpasang. Di negaranya, pendidikan para murid, semestinya terjamin; namun sekolahnya yang swasta itu, kerap kali memiliki peraturan yang berbeda. Ah—bagaimana jika ia dikeluarkan dari sekolah dan kehilangan masa depannya?

Elle menggeleng kuat. Ia, lalu menatap ke meja di samping ranjangnya, di mana buah-buahan dan pisau tersaji lengkap di atas piring. Seketika, pikiran gilanya melintas.

'Jika aku mati, masalah-masalah itu, pasti tak akan menjadi kenyataan.'

Elle mengambil pisau, lalu bersiap menggoreskan ke lengannya, tapi wajah sedih kedua orang tuanya yang tiba-tiba melintas, membuatnya urung. Ia memang kecewa pada takdirnya, namun itu tak bisa menjadi alasannya untuk mengecewakan orang-orang terdekatnya.

Gadis berusia 17 tahun itu, lalu kembali mengingat masa kecilnya. Sejak dulu, ia selalu berangan-angan menjadi desainer busana yang bisa menciptakan selera modenya sendiri.

Tidak! Elle tak ingin mati di usia muda! Ia masih ingin melanjutkan kuliah di Paris dan mengambil jurusan fashion design di sana. Pasti akan indah bisa melihat menara Eiffel setiap hari. Bukankah katanya, Paris adalah kota yang romantis?

Hal-hal positif mulai hinggap di kepala Elle. Gadis itu, lalu tersenyum. Ia yakin, asal ia bisa menyembunyikan kebenaran ini, maka hal-hal buruk, pasti tak akan terjadi. Pikiran polosnya pun kembali mengatakan, bahwa suatu saat, ia pasti bisa melupakan masalah ini dan kembali bahagia seperti biasanya.

Setelah berpikir dengan keras, Elle pun merebahkan dirinya di atas kasur dan meninggalkan posisinya meringkuknya tadi. Tak pernah terlintas di benaknya, bahwa keesokan harinya, ia akan jatuh sakit dan itu akan menjadi masalah tersendiri di kemudian hari.

Bersandiwara

Tiga hari lalu, Elle jatuh sakit. Ia demam tinggi, lalu menolak dibawa ke rumah sakit, sehingga kedua orang tuanya harus merawatnya mandiri di rumah mereka sendiri.

Pagi hari ketika itu, Shanee dan Axton benar-benar terkejut ketika tahu bahwa Elle tidur tanpa membersihkan diri terlebih dahulu. Lebih terkejut lagi mereka, ketika tahu, suhu badan putri mereka—ketika diukur menggunakan termometer—mencapai 40 derajat celsius.

Selama tiga hari itu, Elle benar-benar tidak bisa keluar rumah. Rencananya untuk membeli levonorgestrel atau kontrasepsi darurat pun gagal total. Dengan ini, Elle harus tetap waspada mengingat adanya kemungkinan bahwa ia akan hamil. Apalagi, jika diingat-ingat, kala hal itu terjadi, Elle memang tengah berada di masa suburnya.

Hari itu, Elle pun berangkat kembali ke sekolahnya. Meskipun perasaannya memang hancur total, namun bukan berarti ia harus mengabaikan segalanya. Gadis itu yakin, suatu hari nanti lukanya pasti akan sembuh dengan sendirinya. Meskipun ia tahu bahwa itu akan menimbulkan bekas, setidaknya, ia tak akan lagi merasakan rasa sakitnya.

"ELLE, HEY!"

"A—apa?!" Elle terkesiap dan menatap gadis berambut ikal yang menatapnya dengan tajam.

"APA?! KAMU MELAMUN, ELLE?! Apa-apaan! Seperti bukan Elle yang kukenal saja." Gadis itu menyahut dengan kesal. Bibirnya yang melengkung ke atas semakin memberi kesan tidak ramah pada wajahnya, yang sebenarnya, secara alami memang sudah seperti itu.

"Jo! Berisik!" Celine berdecak sebal sambil menatap Joanne yang berhasil membuat ia bersama sahabat-sahabatnya yang lain menjadi pusat perhatian.

"Tuan Putri …, bagaimana keadaanmu setelah sakit berhari-hari? Aku harap, kamu baik-baik saja. Jika kamu sakit lagi, panggil aku—aku siap menjadi obatmu." Kata-kata Aziel dihadiahi Joanne dengan sebuah pukulan di kepalanya. Akibatnya, pemuda itu, kini pun meringis sambil memegangi bagian tubuhnya yang sakit. Ia menatap dengan ekspresi yang seolah-olah takut pada gadis tersebut.

"Teganya kamu menyakiti pangeran yang tampan ini," keluh Aziel.

"Adik, hentikan omong kosongmu itu. Sekarang, lihatlah bagaimana cara kakakmu menaklukkan seorang gadis." Di sisi lain, Gabriel tersenyum percaya diri, lalu mendekati Elle dan merangkulnya. Namun tanpa disangka, gadis itu malah menepisnya.

"M—menjauhlah, Riel …!" Elle memekik tertahan. Gadis itu memejamkan matanya dengan tubuh yang sedikit bergetar. Teman-temannya pun memandang itu dengan heran. Hari ini, gadis itu bertingkah tidak seperti biasanya.

"Elle, tenanglah …!" Celine memegang bahu Elle, tapi ternyata, gadis itu juga menolaknya. Sekali lagi, mereka dibuat terkejut dengan itu.

"A—aku …, aku sedang ingin sendiri. M—maksudku tolong biarkan aku. J—jangan ganggu aku. Kalian tetap boleh berada di dekatku, tapi …, tapi jangan sentuh aku," ucap Elle, terbata-bata. Gadis itu memalingkan wajahnya, tak mau menatap wajah para sahabatnya.

"Is there a problem, Honey?" Gabriel menatap Elle dengan ragu. Ia sadar, bahwa Elle terjadi sesuatu pada Elle yang membuat perempuan itu bertingkah tak biasa seperti hari ini.

Gabriel sangat yakin pada instingnya. Terlebih, pada faktanya, ia sudah mengenal Elle sangat lama bersama teman-teman yang lain juga. Sebelas tahun, tentu bukan waktu yang singkat untuk persahabatan mereka berlima.

"Tak masalah kalau kamu tidak ingin bercerita." Melihat Elle yang tak nyaman, Celine pun menengahi. Ia menghela napasnya, lalu memainkan ponselnya seperti biasa. Ia bertingkah seolah tak pernah terjadi apa pun.

"Ice Princess—dasar!" Aziel menggerutu. Lelaki itu, kemudian membuka minuman kaleng di genggamannya—meminumnya dalam beberapa kali teguk, lalu langsung meremaskan kemasan itu. Ia melemparkannya secara sembarangan, dan tanpa diduga, sampahnya itu mengenai seseorang.

"Ah!"

"Aziel! Aku sudah bilang, jangan suka membuang sampah sembarangan, kan?!" Gabriel berdecak, lalu menatap seseorang yang menjadi korban adik sepupunya itu. "Tapi bagus juga kalau dia yang kena," lirihnya sambil tertawa pelan.

"Jay yang malang," kata Aziel, sambil menyeringai. Ia pun melakukan gerakan tos dengan Gabriel. "Salah sendiri menyebalkan. Dasar penganggu!" gerutunya.

"Ah—kalian, ternyata!" Pemuda yang menjadi korban Aziel itu tersenyum cerah sambil melambaikan tangannya. Ia mengabaikan rasa sakit yang menyerang kepalanya. Dengan malu-malu, lelaki yang bernama Jay itu pun menatap Elle. "Hai, Ell …!"

Melihat tingkah sosok Jay Chou itu, Gabriel pun menatap tak suka ke arahnya. Aziel tampak ingin tertawa, sedang Joanne hanya mendengus bosan. Lain halnya dengan Celine yang tampak cuek seperti biasa.

"Aku senang melihat kamu baik-baik saja. Aku sempat mendengar kabar kamu menghilang ketika badai beberapa hari lalu, lalu setelah itu, kamu jatuh sakit. Aku benar-benar mengkhawatirkanmu," ungkap Jay. Ia tersenyum tulus, lalu mengangkat kedua tangannya untuk mengacak surai gadis pujaan hatinya tersebut.

"Don't touch me!" Elle memekik lalu menepis tangan Jay dengan kasar. Matanya tampak memerah, entah karena marah atau karena ingin menangis. Teman-temannya yang melihat itu pun tampak khawatir.

"PERGI! PERGI!" Kali ini, Elle tampak ketakutan. Semua orang yang melihat itu pun bingung, termasuk beberapa anak yang tak terlibat dalam masalah itu.

"A—ada apa? What's wrong? Aku melakukan kesalahan?" tanya Jay. Pria muda itu tampak kaget dengan reaksi Elle yang tak sesuai dugaannya. Gadis itu, seperti bukan Elle yang biasanya.

Jay sebenarnya tahu jika Elle kadang juga tak nyaman dengan keberadaannya. Namun ia benar-benar menyukai Elle dan ingin memperjuangkan perasaannya itu. Bahkan, akhir-akhir ini ia merasa kalau ada sedikit kemajuan untuk hubungan mereka.

"Pergi! Jangan sentuh aku!" Elle menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Gadis yang sedang terduduk di kursi taman itu pun menaikkan kakinya, lalu meringkuk.

"Elle, ada apa? Kamu baik-baik saja, kan?" Joanne bertanya dengan nada khawatir. Ia ingin memegang bahu sahabatnya untuk membantu menenangkan, namun malah ditepis oleh sang empu.

"BERAPA KALI AKU HARUS BILANG KALAU AKU BAIK-BAIK SAJA!"

"Elle?" Aziel dan Gabriel menatap Elle dengan pandangan yang berkecamuk. Mereka ingin menyentuh gadis tersebut dan membantunya untuk menenangkan diri, namun malah ditepis dengan lebih kasar lagi. Celine menatap semua itu dengan kening yang berkerut bingung.

'Apa yang terjadi kepadanya?' batin Celine, dalam diamnya.

Beberapa detik kemudian, tanpa diduga, Elle pun berlari. Mereka mengejarnya, dan ternyata, perempuan itu tengah menuju ke toilet. Joanne dan Celine pun memutuskan untuk menunggu.

"Apa dia begini karena menstruasi? Astaga!" Joanne menggaruk alisnya dengan ekspresi yang aneh. Celine pun hanya mengedikkan bahunya, seolah tak peduli. Namun, gadis itu yakin, ada sesuatu yang terjadi kepada Elle hingga membuat teman dekatnya itu berubah seperti tadi.

Di dalam toilet Elle menangis. Gadis itu meringkuk sambil menatap wajahnya di cermin. "Bukankah aku terlihat sangat menyedihkan," katanya, dengan suara yang terdengar seperti angin.

"Kenapa ini terjadi?" Elle menjambak rambutnya sendiri. Ia menampar pipinya dengan frustrasi. Remaja itu benar-benar kacau. Ia pun memutuskan untuk mengurung diri di dalam toilet hingga setengah jam lamanya.

'Astaga …, apa yang telah kulakukan? Jika bertingkah aneh seperti ini, mereka pasti curiga,' pikirnya.

"Aku tidak bisa seperti ini. Aku harus bertingkah wajar. Setelah itu, aku yakin semua akan baik-baik saja," lirih Elle. "Luka di sini, pasti akan sembuh dengan sendirinya. Aku perempuan kuat." Gadis itu tampak optimis, tanpa menyadari, bahwa ia belum bisa sekuat seperti apa yang dia harapkan.

"Sudah saatnya aku keluar," katanya, setelah menata diri. Elle pun membuka pintu toilet dan menemukan dua sahabatnya di sana.

"Ada apa, Elle? Kamu baik-baik saja?" tanya Joanne.

"Ah—aku …, a—aku hanya terbawa mimpi buruk," ungkap Elle. Celine yang mendengar itu pun mengerutkan keningnya tak paham, sedang Joanne hanya ber-oh ria. Elle pun hanya tersenyum, percaya bahwa kedua sahabatnya mempercayai ucapannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!