Malam itu hujan turun begitu deras, disertai dengan petir yang menyambar. Malam terasa gelap gulita, seorang wanita muda yang berumur sekitar 22 tahun menggendong seorang bayi.
Tubuh wanita itu basah kuyup akibat hujan, wanita itu mendekap bayi di dalam gendongannya erat, berusaha menghangatkan tubuh bayi tersebut.
Beberapa menit berjalan. Kini wanita itu berada di bawah jembatan, wanita itu mencari sesuatu, ia menoleh ke kiri dan ke kanan.
"Ah, ketemu," ucapnya melihat sebuah kardus besar.
Wanita itu mengambil kardus itu, menentengnya menuju sebuah gubuk kecil yang terbuat dari tempelan sampah-sampah.
"Maafkan ibu, Sayang," ucap wanita itu sembari mencium pipi merah sang bayi.
Sang bayi menatap sang ibu. Tak sekalipun bayi mungil itu menangis meski hujan deras membasahi tubuhnya. Dekapan hangat dari sang ibu menenangkannya.
Wanita itu menaruh bayinya ke dalam kardus. Ia kemudian pergi meninggalkan sang bayi sendirian di sana.
Sesaat setelah wanita itu pergi, terdengar tangisan keras dari bayi tersebut. Wanita itu terus berjalan cepat, tak sekalipun ia menoleh ke belakang melihat bayinya yang terus menangis.
"Maafkan ibu, Sayang," gumam wanita itu seraya menghapus air matanya yang mengalir membasahi kedua pipi.
***
"Ada tangisan bayi?" gumam seorang kakek tua di mana seluruh rambutnya sudah beruban dan giginya pun hanya tinggal beberapa saja.
Kakek itu keluar dari gubuk kecilnya, kemudian mencari asal suara tangisan dari bayi. Kakek itu berjalan tertatih - tatih.
"Astaga!" pekik kakek itu kaget saat melihat seorang bayi perempuan yang berada di dalam kardus. Kakek itu menemukan bayi itu tepat di sebelah gubuknya.
"Anak siapa ini?" tanya kakek itu sendirian, ia merunduk, mengambil bayi mungil itu yang sudah basah.
kakek itu bernama Abu.
Kakek Abu melihat ke sekeliling, mencari siapa gerangan yang tega membuang malaikat kecil yang tak berdosa itu.
Kakek Abu membawa bayi perempuan itu ke dalam gubuknya. Mengganti pakaian bayi itu yang sudah basah.
Oweek.. oweek.. oweek.
Bayi itu terus menangis karena kedinginan.
"Sabar, ya, Cu." gumam kakek Abu, sembari mengganti pakaian bayi itu.
Beberapa menit kemudian, kakek Abu selesai mengganti pakaian bayi itu. Kakek Abu menggendong bayi itu pelan, menggoyangkan tubuhnya sedikit agar bayi itu bisa tenang.
Beberapa menit berlalu, akhirnya bayi itu tenang, sudah terlelap tidur.
##########№########№########
"kakek akan memberi nama siapa ke kamu, ya?" gumam Kakek Abu menatap lembut wajah tidur sang malaikat kecil.
"Nia, kakek akan memberikan kamu nama Nia," ucap kakek Abu tersenyum.
6 Tahun kemudian.
"Kakek," teriak seorang anak perempuan, di tangan kanan anak perempuan itu terdapat plastik hitam yang berisi uang recehan, sedangkan ditangan kanan anak itu, ia memegang alat musik yang dibuat dari sampah daur ulang.
Anak perempuan itu adalah Nia, kini ia berumur 6 tahun.
"Jangan lari, nanti jatuh," ucap kakek Abu melihat Nia yang berlari menuju ke arahnya.
####
"Kakek, lihat, aku bawa uang banyak," titah Nia, ia tersenyum lebar, matanya berbinar-binar.
"Tadi banyak orang yang suka waktu Nia nyanyi, Kek. Jadi banyak yang kasih uang ke Nia," ujar Nia, semakin tersenyum.
"Syukurlah," jawab kakek Abu ikut bahagia melihat Nia tersenyum bahagia.
#####
Di punggung kakek Abu terdapat keranjang besar, tempat botol-botol plastik yang ia pungut di pembuangan tempat sampah.
"Kakek nggak perlu cari botol lagi, biar Nia aja yang cari uang. Lebih baik kakek istirahat saja," ucap Nia.
Kakek Abu tersenyum bangga mendengar celotehan dari suara kecil Nia.
"Terimakasih, ya, cu," ucap kakek Abu, mengelus lembut rambut Nia yang pendek.
####
"Ayo, kita pulang, Kek. Nia udah lapar," ucap Nia memegangi perutnya.
"Iya, ayo," jawab kakek Abu, suaranya terdengar serak, langkah kakinya semakin terseot-seot.
Nia menggenggam tangan kiri Kakek Abu.
####
Tiba-tiba saja, batuk kakek Abu kambuh.
"Tuh, 'kan, udah Nia bilangin lebih baik Kakek di rumah aja istirahat, biar Nia aja yang cari uang." Ucap Nia, mendongak. Melihat kakek abu yang terbatuk-batuk di perjalanan menuju ke rumah.
"Kakek sehat Nia, kakek masih kuat buat cari uang." Jawab kakek, sembari menutup mulutnya yang terus batuk.
Bibir Nia mengerucut, kesal karena kakeknya itu terus mengatakan baik-baik saja. Karena Nia tau bahwa kakeknya itu tengah menahan sakit yang tengah di derita.
####
Siang berganti malam, di dalam gubuk itu hanya lentera kecil yang menjadi penerang bagi Nia dan juga kakek Abu.
"Nia," panggil kakek serak.
Kakek Abu tengah berbaring, beralaskan tikar yang berlubang-lubang.
"Iya, Kek," jawab Nia.
"Sini," ucap kakek Abu, menyuruh Nia untuk mendekat ke arahnya.
Nia menghentikan tangannya yang menyusun uang recehan yang ia dapatkan dari hasil mengamen. Nia berjalan, mendekati Kakek Abu dan duduk tepat di samping kakek Abu.
###
"Apa, Kek?" tanya Nia.
Kakek Abu mengambil tangan kanan Nia, menggenggam tangan Nia dengan kedua tangannya.
"Nia..." belum sempat Kakek Abu menyelesaikan ucapannya, batuknya mulai kambuh.
Nia langsung bangkit, mengambilkan air minum untuk sang kakek.
"Terima kasih, Cucuku," ucap Kakek Abu setelah minum.
"Nia, kalau seandainya kakek sudah tidak ada. Kakek minta kepadamu, tersenyumlah selalu meski dunia sangat berat, pikirkan hatimu sebelum kamu memikirkan orang lain, hiduplah sesuai keinginanmu, kakek berharap kamu selalu bahagia, Cucuku. Meski kakek sudah tidak ada. Tapi, kakek akan terus berdo'a untuk kebahagiaanmu," ucap Kakek Abu, diselingi dengan batuknya.
###
"Apa yang Kakek bicarakan?" tanya Nia, menggenggam erat tangan Kakek Abu.
Kakek Abu menutup mulutnya dengan tangan kanannya, batuknya kembali kambuh, setelah tangannya di buka ada bercak darah di telapak tangan Kakek Abu.
"Kakek." Nia membulatkan matanya melihat ada darah di tangan kakeknya.
"Kakek tunggu di sini, Nia akan mencari bantuan dulu," ucap Nia khawatir. Nia sudah berdiri, berniat mencari pertolongan. Namun, Kakek Abu memegang pergelangan tangan Nia, Nia pun berhenti.
Kakek Abu menggelengkan kepalanya pelan.
"Tidak usah Nia, tetaplah di sini, di samping kakek," ucap Kakek abu dengan suaranya yang serak, sembari mencoba tersenyum.
"Tapi, Kek, Penyakit Kakek sudah semakin parah," ujar Nia khawatir.
"Tidak apa-apa, kakek baik-baik saja, Nia. Ingatlah pesan, Kakek." Kakek Abu mencoba tersenyum, meski tubuhnya merasakan sakit yang amat sangat pedih.
Air mata Nia jatuh membasahi pipinya. Pikiran Nia melayang ke mana-mana. Ia berpikir jika sebentar lagi sang kakek akan pergi meninggalkannya.
"Nia, maaf karena kakek tidak bisa memberikan kebahagiaan yang layak untukmu, maaf karena kakek tidak sekalipun mencegahmu untuk tidak mencari uang, maaf karena kakek tidak bisa menyekolahkanmu selayaknya anak-anak yang lain. Maaf, Nia, maafkan kakek, Cucuku yang cantik," ujar kakek dengan suaranya yang semakin serak dan terputus-putus.
Kakek Abu mengusap air mata Nia yang jatuh membasahi pipi cucunya itu.
"Kakek nggak perlu minta maaf." Nia semakin menangis.
Tangan kakek yang mengusap air mata Nia jatuh, wajahnya begitu pucat.
"Kakek? Kakek?" Nia menggoyang-goyangkan tubuh sang kakek, berharap jika perkiraannya akan salah.
"Kakek? Kakek, KAKEK," teriak Nia keras, Nia tau bahwa kakeknya itu sudah tidak ada.
Nia menangis histeris di samping sang kakek, memeluk kakeknya itu erat.
"Kakek."
Masa kecil adalah masa di mana seseorang tidak memikirkan bebannya hidup. Namun lain halnya dengan Nia, ia harus hidup sebatang kara sejak kepergian Kakek Abu.
Nia terus mengamen, mencukupi kehidupannya sendiri. Setiap pulang, Nia selalu teringat Kakek Abu, biasanya Kakek Abu akan mengelus kepalanya dan berkata "kamu sudah berkerja keras hari ini, Cucuku." Namun, kini sudah tidak ada lagi yang akan mengucapkan hal itu.
Nia mengambil sebuah kaleng. Ia mengguncang kaleng itu, menimbulkan bunyi berisik yang berasal dari uang receh yang selama ini ia tabung dari hasil ia mengamen. Nia membuka kaleng itu, ia mengeluarkan semua uang yang berada di dalam kaleng itu, ada banyak uang receh di dalam kaleng itu. Selama ini Kakek Abu tidak pernah mau menerima uang hasil Nia mengamen, Kakek abu selalu bilang "simpanlah sebagai tabunganmu, sebagai masa depanmu, Nia." Begitulah yang di ucapkan Kakek abu. Namun Nia terpaksa membuka celengannya itu, ia tidak mendapatkan uang sama sekali hari ini, Nia begitu lapar hingga harus membuka celengannya itu untuk membeli roti sebagai pengganjal perutnya yang sudah terasa perih.
Nia berjalan lunglai, seharian ini ia tidak makan, ia menuju sebuah warung kecil.
"Mau beli apa, Adek?" tanya ibu warung itu, melihat Nia yang tengah memegangi perutnya.
"Saya mau beli roti, Satu," jawab Nia, melihat wajah ibu pemilik warung itu.
Dengan sigap ibu warung itu mengambilkan 3 roti, lalu memasukkan ke dalam kantong plastik dan menyerahkannya kepada Nia.
#####
"Saya mau beli satu, kenapa di dalam plastik ini ada tiga?" tanya Nia, membuka kantong plastik itu.
"Ambil saja, itu ibu kasih dan kamu tidak perlu bayar," ujar ibu warung itu, tersenyum dengan perasaan iba melihat keadaan Nia yang tak terawat.
"terima kasih, Bu. Terima kasih banyak," ucap Nia, membungkukkan tubuhnya berkali-kali.
Nia melangkahkan kakinya pulang menuju ke rumahnya. Entah kenapa air matanya tiba-tiba jatuh membasahi kedua pipinya yang kotor.
###
Sesampainya di rumah.
Nia langsung membuka rotinya dan memakannya dengan lahap.
Satu roti sudah ia habiskan.
Ia menyimpan sisa dua roti itu untuk besok malam dan juga lusa.
Nia mengelus perutnya yang sudah terasa kenyang.
"Akhirnya, sekarang perutku tidak sakit lagi," gumam Nia, kemudian membaringkan tubuhnya di atas tikar.
Nia menatap langit-langit rumah kecilnya itu, ada banyak sarang laba-laba yang berayun-ayun di terpa angin malam.
"Kakek," gumam Nia, sesaat matanya langsung terpejam, meski dinginnya malam menusuk kulitnya. Namun Nia tetap terpejam, ia sudah terbiasa merasakan dinginnya malam. Bahkan ia pun sering kali tidur dengan baju yang basah akibat atap rumahnya yang bocor.
###
Malam berganti pagi.
Nia terbangun dari tidurnya, ia bergegas untuk bernyanyi di jalanan lagi.
Nia berangkat menuju jalan raya. Matahari mulai menampakkan sinarnya.
Dengan semangat, Nia melangkahkan kakinya menuju jalan raya.
Nia sampai di jalan raya saat matahari benar-benar terik menyinari bumi.
Dengan peluh keringat yang bercucuran, tak sekalipun Nia mengeluh. Meski umurnya masih kecil, Nia sadar bahwa ia harus mencari uang untuk makan.
Banyak mobil-mobil mewah yang berlalu lalang. Nia mengusap keringat yang mengucur membasahi lehernya.
#######
Lampu merah sudah menyala, banyak mobil-mobil yang berhenti, dengan langkah tergesa-gesa Nia mulai bernyanyi, satu-persatu Nia menghampiri mobil mewah yang berhenti.
"Terima kasih, Paman," ucap Nia, Nia menganggukkan kepalanya saat seorang laki-laki paruh baya memberikan uang koin di dalam kaleng yang selalu di bawa Nia saat bernyanyi di jalanan.
Lampu merah menggeser warnanya menjadi hijau. Itu menjadi tanda bahwa mobil-mobil mewah harus berjalan, Nia berlari kencang ke pinggir jalan.
Nia duduk di atas trotoar. Nia Menghitung uang receh yang ia dapat dari hasil ia mengamen.
"Syukurlah, setidaknya ini cukup untuk membeli satu roti," gumam Nia, sembari memasukkan kembali uang koin itu ke dalam kaleng.
Saat Nia memasukkan uang koinnya kedalam kaleng, terdengar suara langkah kaki seseorang yang melangkah mendekati Nia, Nia mendongakkan kepalanya saat bayangan orang itu menutupi tubuhnya dari sinar matahari.
###
Nia menyipitkan matanya, silau karena matahari yang begitu terik.
"Siapa?" tanya Nia masih menyipitkan matanya. Di hadapannya ada seorang laki-laki dan perempuan yang berpakaian cantik nan rapi.
"Hai," sapa perempuan itu, suaranya begitu lembut terdengar di telinga Nia.
Perempuan itu mengulurkan tangannya, entah kenapa Nia menerima uluran tangan perempuan itu. Perempuan itu membantu Nia berdiri.
"Kamu tinggal sama siapa?" tanya seorang perempuan cantik bak bidadari. Kini, Nia sudah jelas melihat wajah laki-laki dan perempuan itu. Keduanya memiliki paras rupawan.
"Aku tinggal sendirian," jawab Nia, seketika jawaban Nia membuat mata perempuan cantik itu terbelalak kaget, mendengar penuturan Nia. Namun sebisa mungkin wanita itu menetralisirkan raut wajahnya yang begitu kaget mendengar jawaban dari Nia.
Perempuan itu lalu tersenyum.
"Kamu mau jadi anak kami?" tanya perempuan cantik itu.
"Di rumah tante sama paman ada makanan enak, kamu bisa memakan makanan enak itu sepuasnya yang kamu mau," sambung perempuan cantik itu seraya tersenyum manis.
Nia terdiam sejenak, kemudian Nia menganggukkan kepalanya. Nia merasa damai menatap wajah perempuan itu.
######
Perempuan itu semakin melebarkan senyumannya. Mendongakkan kepalanya melihat laki-laki yang berada di sampingnya, yang tak lain adalah suaminya.
Suami perempuan itu menganggukkan kepalanya tersenyum.
Pasangan suami istri itu pun membawa Nia menuju mobilnya. Nia berjalan di tengah-tengah pasangan suami istri itu. Kedua tangannya sama-sama di genggam erat oleh pasangan suami istri itu.
"Mulai sekarang, panggil aku mama dan ini Papa," ujar perempuan itu, menunjuk ke arahnya sendiri dengan tangannya lalu beralih menunjuk sang suami.
Nia berada di dalam mobil mewah yang tak pernah ada di bayangannya selama ini akan menaiki mobil mewah yang setiap hari selalu ia lihat di jalanan.
"Coba panggil aku, mama," pinta perempuan cantik itu sambil tersenyum, matanya menunjukkan harapan.
"Mama?" ucap Nia.
Perempuan itu pun semakin tersenyum lebar.
"Mama Angel," ucap perempuan itu, menyebutkan namanya.
"Mama Angel." Nia mengikuti ucapan Mama Angel.
"Coba panggil aku, papa," suami dar Angel meminta yang sama kepada Nia.
"Papa," jawab Nia.
"Papa Galih," ucap Galih, suami dari Angel agar Nia mengikuti ucapannya.
"Papa Galih." Nia pun mengikuti.
Pasangan suami istri itu pun tersenyum bahagia, saling menatap satu sama lain.
"Nama kamu siapa?" tanya mama Angel.
"Nia," jawab Nia.
"Nia?" mama Angel memastikan.
Nia menganggukkan kepalanya.
####
Beberapa menit kemudian, mobil itu berhenti tepat di depan sebuah rumah besar.
Nia turun dari mobil. Matanya membulat lebar melihat rumah besar yang ada dihadapannya saat ini.
"Ini rumah kamu sekarang, kamu akan tinggal di sini," ucap mama Angel, mengelus lembut rambut Nia yang kasar.
"Benarkah?" tanya Nia, matanya berbinar-binar bahagia.
Mama Angel dan Papa Galih sama-sama menganggukkan kepalanya.
Nia benar-benar tidak percaya dengan apa yang ia alami saat ini. Semuanya terasa mimpi bagi Nia.
"Ayo, masuk," ajak Mama Angel. Menggandeng tangan Nia.
Mama Angel dan Papa Galih mengajak Nia masuk, di luar pintu rumah besar itu ada seorang penjaga laki-laki tegap yang berdiri, Nia menatap bergantian, melihat kedua penjaga itu.
Kedua penjaga itu pun membukakan pintu rumah.
Nia semakin kagum saat melihat isi di dalam rumah itu, lantai yang bersih dan kinclong. Tangga yang berkilauan, aksesoris-aksesoris cantik yang terpajang indah, membuat Nia tidak bisa menghentikan kekagumannya. Ini adalah kali pertama baginya melihat hal secantik ini.
"Indahnya." Tanpa sadar Nia membuka mulutnya lebar.
Mama Angel tersenyum melihat Nia.
"Sekarang, ini adalah rumah kamu," ucap Mama Angel, mengusap lembut rambut Nia yang kasar akibat tidak keramas berhari-hari.
"Papa, Mama," teriak seorang anak laki-laki, berlari kecil menghampiri Mama Angel dan Papa Galih.
Nia melihat anak laki-laki itu bergelayut manja di gendongan Papa Galih.
######
"Nia, kenalin. Ini Levi, sekarang dia adalah kakak kamu dan Levi kenalin ini Nia, dia akan menjadi adik kamu sekaligus menjadi bagian dari keluarga ini," ucap Papa Galih mengenalkan Levi dan Nia satu sama lain.
Papa Galih menurunkan Levi dari gendongannya.
"Ayo, berjabatan tangan," suruh Papa Galih.
Nia menjulurkan tangannya, Levi menatap jijik ke arah tangan Nia yang kotor, tatapan matanya begitu sinis melihat Nia.
"Enggak mau!" tolak Levi spontan.
"Apa maksud kamu Levi? Ayo, berjabatan tangan dengan Nia,!" suruh Papa Galih.
"Aku bilang enggak mau, Pa." Levi menolak lagi, menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Kenapa enggak mau? Ayo berjabatan tangan!" Mama Angel menyuruh Levi.
"Enggak mau. Lihat tangannya, kotor banget," ucap Levi, nada suaranya menunjukkan rasa jijik yang amat sangat.
Nia yang mengerti maksud Levi, mengusapkan tangan kanannya dengan baju yang sedang ia pakai. Setelah itu Nia menjulurkan tangannya lagi.
"Aku tetap tidak mau berjabatan tangan dengan kamu, tangan kamu pasti banyak kumannya." Levi begitu jijik melihat tingkah Nia.
#######
"Kenapa kamu tidak menghargai Nia? Siapa yang mengajarkan kamu seperti ini? Ayo berjabat tangan, kalau kamu tidak mau, maka papa akan memotong uang jajan kamu." Papa Galih terlihat kesal melihat tingkah Levi, anak pertamanya itu.
"Papa," teriak Levi keras.
"Apa? Kenapa? Kalau kamu nggak mau uang jajan kamu di potong. Sekarang, ayo cepat berjabat tangan!" suruh Papa Galih dengan nada yang sangat kesal.
Dengan terpaksa Levi berjabatan tangan dengan Nia.
Mama Angela dan Papa Galih tersenyum melihat Levi yang akhirnya mau berjabatan tangan dengan Nia.
Setelah berjabatan tangan, Levi mengusap tangan kanannya kasar dengan baju yang Levi kenakan, lalu menyilangkan kedua tangannya lagi di depan dada.
"Nia, sekarang mama dan Papa akan mengganti nama kamu," ucap Mama Angela.
"Mengganti nama?" Nia tertegun mendengar penuturan dari Mama Angela.
"Iya, sekarang nama kamu menjadi Bella Anggi Cahyono, di panggil Bella, bagaimana? kamu suka?" tanya mama Angela.
######
"Suka..."
Belum sempat Nia menyelesaikan apa yang Nia ingin ucapkan kepada Papa Galih dan juga Mama Angela.
Tiba-tiba saja...
"Aku tidak suka," teriak Levi.
"Kenapa?" tanya Mama Angela heran, melihat sikap Levi saat ini. Biasanya Levi adalah anak yang tidak pernah membantah. Namun, sekarang Levi selalu membantah perkataan Mama Angela dan Papa Galih.
"Aku tidak suka jika nama keluarga kita di sematkan dengan nama Nia," ucap Levi sarkas.
"Levi." Papa Galih berteriak keras.
Seketika Levi menundukkan kepalanya.
"Papa nggak suka kamu bersikap seperti ini, apakah selama ini papa dan Mama mengajarkan kamu bersikap sombong seperti ini? Pernahkah kami mengajarimu bersikap tidak sopan seperti ini?" Papa Galih menasehati Levi dengan tegas.
Levi menggelengkan kepalanya.
Papa galih menghembuskan nafasnya kasar.
"Jangan diulangi lagi," ucap Papa Galih dengan nada bicara Papa Galih terdengar sedikit lebih rendah.
"Iya, Papa, aku minta maaf," ucap Levi, menundukkan kepalanya.
"Maafkanlah Levi sayang, sebenarnya dia anak yang baik," ucap Mama Angel, mencoba meredakan amar suaminya.
###$$$
"Iya, tidak apa-apa," Jawab Papa Galih.
"Oh, iya, bagaimana? Kamu suka dengan nama baru kamu? Bella Anggi Cahyono, panggilannya Bella, kamu suka?" tanya Mama Angela lagi.
"Iya," jawab Nia mengangguk.
"Jadi inget, sekarang nama kamu Bella bukan Nia," ujar Mama Angela.
Bella menganggukkan kepalanya, mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Mama Angela.
Levi menatap sinis ke arah Bella, tatapan matanya sangat mengintimidasi, membuat Bella memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Tolong ya, Bella di mandiin, terus ganti juga bajunya," titah Mama Angela, menyuruh pelayan di rumahnya.
"Baik, Ibu," jawab pelayan itu, pelayan itu menghampiri Bella, memegang kedua bahu Bella pelan dari belakang.
Bella hanya terdiam, Bella mengikuti pelayan itu.
Bella di bawa ke dalam kamar mandi besar, di dalamnya terdapat bath-up besar, ada pula closet otomatis yang tutupnya terbuka sendiri ketika ada orang masuk.
Bella memundurkan tubuhnya ketika tutup closet itu terbuka sendiri, Bella kaget.
##$$$
"Jangan takut, itu memang terbuka sendiri jika ada orang yang masuk." Jelas seorang pembantu, seraya tersenyum ramah.
Bella mengangguk mengerti, di samping pembantu yang selalu tersenyum ramah itu, ada seorang pembantu yang menatap sinis ke arah Bella sejak Bella menginjakkan kaki di rumah itu.
Kedua pembantu itu mengisi bath-up, memberikan aroma essential dan memberikan sabun cair hingga membuat air itu berbusa.
Pembantu yang tersenyum ramah itu membuka seluruh baju Bella pelan, lalu membantu Bella memasuki bath-up.
Saat Bella di mandikan.
"Sakit." Bella meringis kesakitan.
"Ada apa? Apa aku menggosok tubuhmu terlalu kuat?" tanya seorang pembantu yang selalu tersenyum ramah itu, menghentikan tangannya yang sedari tadi menggosok tubuh Bella.
Bella menggelengkan kepalanya pelan.
Karena sebenarnya di bawah sana, pembantu yang tidak menyukai Bella mencubit punggung Bella kuat, Bella tidak mengadukan perbuatan pembantu itu. Bella menahan sakit di punggungnya.
Tiga puluh menit kemudian.
Bella sudah selesai, baju yang cantik, tubuh yang bersih.
Kedua pembantu itu membawa Bella kembali menemui Mama Angela dan Papa Galih.
Bella menundukkan kepalanya.
"Cantiknya," ucap Papa Galih sembari menutup laptopnya.
Mama Angela meletakkan buku majalah yang Mama Angela baca di atas meja.
"Iya, cantik sekali." Mama Angela juga mengatakan hal yang sama.
Mama Angela dan Papa Galih menghampiri Bella, mengusap lembut rambut Bella yang kini telah halus.
Bella tersenyum malu, baru kali ini Bella mendapatkan pujian seperti itu, baru kali ini pula Bella memakai pakaian cantik seperti ini.
"Apaan, sih?" Levi berdecak tak suka, melihat Bella yang mendapatkan perlakuan seperti itu.
"Cantik, 'kan?" tanya Mama Angel melihat ke arah Levi.
Levi mengangguk malas, sebenarnya Levi tak suka melihat penampilan Bella.
'jelek,' batin Levi, lalu pergi begitu saja, menaiki tangga menuju kamarnya.
Levi menghentak-hentakkan kakinya kuat saat menaiki tangga.
"Ada apa dengan Levi?" gumam Papa Galih geram melihat tingkah Levi.
"Maafin kelakuan Levi, ya, Bella. Levi memang enggak bisa berinteraksi dengan orang baru, tapi nanti lama-kelamaan Levi akan menyukaimu juga," ucap Papa Galih.
"Iya, nggak pa-pa," jawab Bella tersenyum.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!