NovelToon NovelToon

Because You Are Mine

Bertemu Nadya

"Tante, Naira kemana ya? Kok, aku cari-cari gak ada?" Tanya Zora pada Tantenya.

Zora! Begitulah sapaan akrab Zoraya Khanza Ar-Rasyid, gadis berusia 20 tahun yang di kirim Ibu dan Bapak sambungnya dari Surabaya ke Jogja untuk menimba ilmu perguruan tinggi di sana. Dia tinggal bersama Tante Adelia, adik perempuan Ibu Citra. Ibunya Zora.

"Nay bilang, mau mengerjakan tugas di rumah temen, katanya" Jawab Tante Adelia sambil menuangkan air putih untuk Zora yang sedang sarapan.

"Oh!" Jawab Zora dengan mulut berisi makanan.

"Memangnya dia gak pamit sama kamu, Kak?" Tanya Tante Adelia sambil duduk menemani keponakannya makan.

"Nggak. Alaaah... Yang model gitu, mana mau pamit sama aku" Sungutnya kesal.

"Tante tau sendiri kan, Naira gak pernah nganggap aku Kakaknya. Dia malah lebih nganggap aku temen, yang dia pikir usiaku lebih muda darinya" Ketus Zora yang suka merasa sebal dengan sikap Naira.

Tante Adelia hanya tersenyum menanggapinya.

"Gak apa-apa. Kalian kan, cuma beda setahun aja" Ujarnya masih tersenyum.

"Tante, aku mau jalan-jalan dulu. Boleh, kan?" Zora minta izin pada Tantenya. Tanpa melanjutkan pembahasan tentang Naira, sepupu absurdnya.

"Memang mau kemana?" Tante Adelia balik bertanya.

"Biasa Tante, cari udara segar. Cari pemandangan seger juga, itu pun kalau ketemu cogan. Hehe..." Sahutnya nyengir.

"Ya sudah, pergi saja! Tapi syarat, jam 4 sudah di rumah ya!" Jawab Tante Adelia sambil menepuk bahu Zora.

Tante Adelia tidak pernah membedakan Zoraya dengan Naira. Baginya, anak kandung dan ponakan sama saja. Sama-sama anak yang harus di lindungi dan di jaganya. Sebab itulah ibu Citra, sang Kakak mempercayakan Zora padanya.

_________________

Zora menyusuri jalanan Malioboro. Dia masuk dari toko satu ke toko lainnya. Terkadang dia mampir ke pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai cinderamata disana. Begitu pula dengan pedagang yang menjajakan berbagai jajanan khas Jogja, juga tak luput dari kunjungan gadis itu.

Zora masuk lagi ke toko-toko pakaian, dia mencoba beberapa pakaian yang menarik hatinya. Sesekali, dia bertanya pada sang pedagang. Mulai dari harga, kualitas, atau hanya sekedar menanyakan stok warna dan bahan pakaian yang hendak di belinya.

Brukk!!

Tiba-tiba tubuh Zora membentur gadis yang ada di belakangnya. Saat dia hendak menyimpan kembali baju yang di ambilnya tadi, ke tempatnya semula.

"Ya, ampun... Maaf ya, Mbak! Aku gak sengaja" Zora menepuk pundak gadis yang di tabraknya. Dimana gadis itu memang tak terluka.

Gadis itu menoleh dan tersenyum.

"Gak pa... "

"Ogah banget, gue maafin lo!" Sambung sang gadis dengan nada galak sambil melipat kedua tangannya di depan.

"Nadya!!" Teriak Zora dengan girang.

"Ini Nadya, ya??"

"Ini Nadya, kan?! " Hebohnya lagi sambil mengguncang tubuh si gadis yang ada di hadapannya.

"Terus lo fikir gue Galgadot, hah? Mungkin sama kali ya, cantiknya gue sama Galgadot. Haha... " Sambut si gadis dan merangkul pundak Zora penuh kerinduan.

Nadya adalah anak pertama Oom Husein, adik Hasan Ar-Rasyid yang tak lain Ayah Zora. Seorang Ayah yang tak pernah ia temui, semenjak perceraian kedua orang tuanya beberapa tahun silam.

Zora seperti di jauhkan dari sang Ayah, oleh Ibunya. Karena Zora yang merupakan anak tunggal dan perebutan hak asuh tak terelakkan, ketika sidang perceraian terjadi kala itu. Dan betapa bahagianya sang Ibu yang mendapatkan hak asuhnya atas Zora.

Sejak saat itu, Ibu Citra seperti mengasingkan diri ke Tasik Malaya. Di sebuah pedesaan yang asri, beliau membesarkan Zora kecil seorang diri. Namun mereka tak luput dari pantauan sang Nenek dan Kakek Zora (orang tua Ibu Citra dan Tante Adelia) yang masih tinggal di Tasik. Hanya saja, Kakek dan Neneknya tinggal di daerah perkotaan.

Bila mereka rindu, mereka akan datang saling mengunjungi satu sama lain. Tak jarang pula, Zora kecil menginap di rumah sang Nenek, kala libur sekolah tiba.

Hingga 5 tahun kemudian. Ibu Citra bertemu Sarlan Sawijaya, pemilik perkebunan terluas di Surabaya. Setelah kurang lebih 6 bulan perkenalan, Ibu di pinang sang duda beranak tiga tersebut. Dan Zora kecil di boyong pula ke Surabaya, melanjutkan sekolah dasarnya yang baru duduk di kelas 4 kala itu. Hingga Zoraya menuntaskan pendidikan SMA nya.

Hingga hari ini, tak pernah satu pun kabar di terima Zora tentang Ayahnya. Dia hanya menyimpan wajah sang Ayah dalam ingatan. Dan meletakkan rindu dalam ruang hati yang teramat dalam.

Meskipun dia tak kekurangan kasih sayang dari Ayah sambungnya, namun tetap saja sosok Ayahnya tak pernah luput dari rindunya.

"Hei, kau menangis?" Nadya mendorong lembut tubuh Zora yang terdengar terisak.

"Ayahku apa kabar, Nad?" Isak Zora yang semakin tak mampu membendung kerinduannya.

"Ayah Hasan baik kok, Ray. Dia sehat, dan sangat sehat" Jawab Nadya sambil mengelus pundak sepupunya. Turut merasakan siksaan rindu yang tengah di rasakan Zora.

Nadya menggandeng Zora ke sebuah taman yang tak jauh dari jalanan Malioboro.

"Ayah Hasan sangat merindukanmu, Ray!" Ujar Nadya sambil duduk di samping Zoraya.

Nadya terbiasa memanggil 'Ayah Hasan' pada Pakdenya. Dan tak heran, kalau Nadya sangat mengetahui dengan pasti keadaan Pakdenya itu. Karena hubungan diantara mereka, layaknya hubungan Anak dan Ayah kandung.

"Aku juga, Nad. Aku gak pernah lupa sama Ayah, meski cuma sehari doang" Isak Zora lagi.

"Ngomong-ngomong, kamu ngapain di sini?" Tanya Nadya.

"Aku kuliah di sini dan aku tinggal di rumah tante Adelia. Kamu masih ingat kan, Tante Adelia?" Jawab Zora seraya menyeka ingus dari hidungnya yang meler karena menangis.

"Tante Adelia? Ingat dong! Kan dulu, beliau sering banget berkunjung kerumahmu saat Ibumu masih bersama Ayah Hasan." Nadya masih mengingat dengan baik sosok Tante Adelia.

"Sekarang Bu Citra masih di tasik, Ray?" Sambung Nadya. Gadis itu masih memanggil Ibu Zora seperti panggilannya dulu. Karena bagi Nadya, tak perlu ada hal yang harus berubah. Cuma sebatas panggilan, kan? Nadia berfikir itu bukanlah hal yang meresahkan.

"Enggak..." Zoraya menggeleng dan menunduk.

"Lima tahun lalu, Ibu nikah sama Bapak. Beliau orang Surabaya. Dan sebagian masa kecilku di habiskan di sana, hingga SMA..." Sambung Zora sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling, seolah mencari kenangan masa lalunya.

"....Dan ngelanjutin kuliah di sini" Zoraya melemparkan senyuman ke arah Nadya.

"Gue kaya buronan ya, Nad? Pindah-pindah tempat mulu. Hehe... " Zoraya tersenyum geli, memikirkan alur hidupnya.

"Gak apa-apa kali! Enak kan, lo jadi banyak pengalaman" Hibur Nadya.

"Apa kamu gak mau menemui Ayah Hasan, Ray?" Tanya Nadya dengan gaya bahasa yang berubah-ubah. Seolah dirinya tak memiliki jati diri.

"Ya, maulah! Aku kangeeen... Banget sama Ayah" Girang Zoraya.

"Gimana kalau kamu cuti kuliah dulu? Barang tiga sampai empat hari mungkin, untuk ke jakarta?" Nadya mengeluarkan ide cemerlangnya seraya menatap wajah Zora untuk memastikan persetujuannya.

Zoraya melirik girang ke arah Nadya, tanda setuju. Senyum manisnya melebar merekah, bak bunga mawar yang baru membuka kuncupnya.

Izin dari tante Adelia

Zoraya dan Nadya meninggalkan taman. Dan mereka sepakat untuk pulang ke rumah Tante Adelia.

Tak perlu menunggu lama, taksi online yang dipesan Zora pun tiba. Dan Mereka langsung menaikinya bersama.

"Oh ya, ngomong-ngomong kamu disini ngapain?" Zora baru sadar akan keberadaan sepupunya di Jogja. Dimana sepupunya, memang bukan asli penduduk sini.

"Woy!... Sadar... Woy...! Dari tadi, lo kemana aja?" Nadya terbahak dengan kepikunan sepupunya. Gadis itu mengibaskan tangannya beberapa kali di hadapan wajah Zora.

"Ya... Maaf! Gue kan, begitu histeris dengan kemunculan Galgadot Jakarta" Zora melirik kearah Nadya dengan mimik jenaka yang di tahan.

Dan akhirnya mereka pun tertawa bersama.

"Aku sih, ceritanya jalan-jalan. Rehat sejenak dari aktivitas. Tapi begitu lihat barang bagus, tetap aja kefikiran buat ngisi toko" Nadya nyengir menyudahi tawanya.

"Kamu punya toko baju, Nad?" Zora semakin antusias dengan percakapannya bersama Nadya.

"Iya. Dulu waktu masih kuliah, aku gak terlalu serius juga dengan toko ini. Entah mungkin, karena tokonya juga kecil-kecilan. Tapi setelah kuliah kelar, aku lebih fokus dan serius. Dan setelah di urus dengan benar, tokonya lumayan berkembang pesat. Sampai-sampai aku harus pindah tempat, demi mendapatkan kenyamanan para pelanggan" Nadya menjabarkan karirnya saat ini.

Nadya memang adik sepupu Zora, tapi usianya terpaut empat tahun lebih tua darinya. Maklum saja dulu, orang tua Zora sedikit kesulitan untuk mendapatkan momongan. Hingga Oom Husein mendapatkan buah hati lebih awal, yaitu Nadya. Padahal pernikahan mereka terpaut cukup jauh, yakni empat tahun.

"Wiiihh... Sekarang Ibu bos dong kamu, Nad?!" Seru Zora.

"Ya... Lumayan lah, buat ngoleksi jet pribadi" Pungkas Nadya. Dan di barengi gelak tawa kedua gadis itu yang memenuhi ruang taksi.

Perbincangan yang tiada jeda, mengarah kesana kemari sesuai alur yang terlintas dalam pikiran mereka. Saling bercerita tentang hidup mereka selama ini. Tak jarang, gelak tawa yang bikin pengeng saling bersahutan dari mulut kedua gadis itu.

Kalau bukan karena butuh uang, mungkin supir taksi ini sudah melempar kunci mobilnya kearah mereka. Dan menyuruh mereka untuk menyetir sendiri. Lalu, Pak Supir memilih kabur karena berisik.

Tapi kembali lagi, Pak Supir harus bersabar dengan segala tingkah penumpangnya. Sekalipun kelakuan kedua gadis yang duduk di jok belakang sangat rusuh. Beliau harus bisa memakluminya, supaya penumpangnya itu nyaman.

Tanpa di sadari, mereka telah sampai di depan rumah lumayan mewah nan luas. Zora turun lebih dulu, di susul Nadya. Mereka berjalan bersama, memasuki gerbang yang sudah di buka Pak Satpam.

" Tante, aku pulang...!!" Zora berseru riang sambil nyelonong masuk dengan di ikuti langkah Nadya.

"Udah pulang? Bagaimana? Seru kan, jalan-jalannya?" Sambut Tante Adelia tanpa menoleh. Fokusnya masih pada layar televisi yang super lebar.

"Seru doong!" Jawab Zora seraya melemparkan tasnya di sofa.

Tante Adelia melirik ke arah bayangan yang datang bersama Zora.

"Hei, ini siapa?" Sapa Tante Adelia dan berdiri menyambut tamu yang di bawa Zora.

Tante Adelia berfikir sejenak, mengingat-ingat wajah yang di rasa tak asing baginya.

"Anaknya Oom Husein. Tante sudah lupa, ya!?" Zora membuyarkan ingatan yang berusaha di kumpulkan Tante Adelia.

"Ya, ampuuun... Tante inget sekarang! ini Diana, kan? Eh siapa sih, lupa? Benar kan, Diana?!?" Tante Adelia sedikit kehilangan memorinya.

"Katanya, ingeet...!" Goda Zora.

"Nadya. Tante, apa kabar?" Sapa Nadya sopan, dan menyalami Tante Adelia.

"Iya. Nadya, ya?! Maaf, Tante salah sebut tadi. Maklum, kita lama gak ketemu" Tante Adelia menyambut hangat Nadya.

Semenjak perceraian ibu Citra dengan ayah Hasan, Tante Adelia tidak pernah merubah sikap dan pandangannya pada keluarga mantan Kakak Iparnya itu.

Bahkan Tante Adelia sering membujuk ibu Citra, untuk mempertemukan Zora dengan Ayahnya. Dimata Tante Adelia, sekesal apapun ibu Citra pada mantan suaminya, Zoraya tak pantas mendapat hukuman untuk tidak bertemu sang Ayah.

Namun lagi-lagi, setiap bujukan pasti berujung dengan perseteruan ringan. Tante Adelia dan ibu Citra bersikukuh dengan alasannya masing-masing. Dan semua, sama-sama berdalih demi kebaikan dan kebahagiaan Zora.!

"Iya, gak apa-apa, Tante" Nadya tersenyum sambil menepuk lembut tangan Tante Adelia yang masih menggenggamnya.

"Kalian pasti lapar, kan?! Ayo, kita makan bareng! Tante udah masak banyak lho, untuk makan siang!" Ajak Tante Adelia pada kedua gadis dihadapannya.

"Terima kasih, Tante! Tapi Nadya masih kenyang" Nadya berusaha menolak sehalus mungkin. Gadis itu tak bisa berbohong, rasa canggung menghinggapinya meski mereka dulu lumayan akrab. Tak jauh beda dengan hubungan Tante dan ponakannya. Mungkin karena lama tak bertemu, membuat Nadia berfikir canggung.

"Gak baik lho, nolak rezeki! Ya kan, Tante!?" Paksa Zora pada sepupunya.

Tante Adelia hanya tersenyum sambil mengangguk.

"Ayo, nanti keburu dingin lho!" Ajak Tante Adelia lagi.

"Gak perlu pura-pura! Laper, ya... Laper aja. Gratis, kok!" Seru Zora sambil mendorong tubuh Nadya ke arah ruang makan.

"Naira...! Ayo makan bareng, Nak!" Ajak Tante Adelia pada anak gadisnya, yang sedari tadi sibuk sendiri di kamarnya.

"Nairoot...! Aku abisin ya, pepes ikannya" Teriak Zora pada Naira.

"Silahkan, abisin!... Syarat, badan lo naik lima kilo!" Suara Naira terdengar dari anak tangga dan mengarah ke meja makan.

Seketika langkah Naira terhenti, ketika matanya membentur sosok Nadya.

"Kak Zo_rok, ini Kak Nadya kan, ya?!" Tanya Naira sambil menatap Nadya.

Begitulah cara mereka saling memanggil, tidak sesuai dengan akta lahir. Meski begitu, mereka takkan rela jika salah satu diantaranya

ada yang menyakiti dan terluka. Mereka akan saling menjaga dan saling membela satu sama lain. Seperti pengawal melindungi ratunya.

Sebab itulah, Tante Adelia tak pernah pusing dengan keributan yang sering ditimbulkan oleh keduanya.

"Hai...! Apa kabar, Naira?" Nadya berdiri dari kursinya sambil mengulurkan tangan.

Muach! muach!

Naira menyambut tangan Nadya sambil cupika-cupiki, khas anak alay.

Mereka memang cukup akrab. Mengingat dulu, kala orang tua Zora masih bersama. Tante Adelia sering berkunjung ke rumah Kakaknya. Begitu pula dengan Oom Husein. Jadi tak heran, jika anak-anak mereka pun sering bertemu dan main bersama. Disaat mereka kebetulan berkunjung bersamaan.

"Ayo, lanjut makannya! Nanti keburu di habisin orang sono..." Ujar Naira dengan bibir monyong ke arah Zora.

Yang di sebrang sana pun melotot kesal.

"Dasar Marmot!" Geram Zora dan melemparkan ayam goreng yang sudah di gigitnya ke arah Naira.

Yang dilempar pun tertawa. Dan...

plekk!!

Naira menangkap lemparan Zora dengan lincah.

Dan hap! Naira menyantapnya dengan lahap.

Tante Adelia hanya tersenyum sambil menggeleng, lalu menaruh nasi di piring Naira.

"Tante..." Sapa Zora ragu.

"Ya, ada apa?" Sahut Tante Adelia yang tetap mengunyah makanannya.

Zora melirik Nadya sejenak, berharap ada kekuatan di sana.

Yang di lirik pun mengangguk, meyakinkan.

"Tante... Boleh kan, aku ikut Nadya ke jakarta?" Pinta Zora memelas.

"Zora janji. Seminggu disana, dan langsung balik lagi ke sini" Sambungnya.

"Lagi pula... Aku gak mau, kalau harus terus-terusan ketinggalan mata kuliahku" Zora mencoba meyakinkan. Padahal Tante Adelia belum berkata 'tidak'. Bahkan sepatah katapun belum keluar dari mulut beliau.

Tante Adelia menelan makanannya, lalu meminum air putih di gelasnya. Mendengarkan Zora yang nyerocos kayak goreng ikan.

"Tante gak bisa ngebayangin, gimana rindunya kamu pada Ayahmu..." Ucapan Tante Adelia terpotong karena menelan makanannya.

"Pergilah! Temui Ayahmu! Sudah seharusnya kalian bertemu. Karena hubungan diantara kalian, takkan bisa di putuskan begitu saja. Sekalipun itu maut yang memisahkan kalian!" Tante Adelia mengelus rambut Zora.

"Sungguh?!? Terima kasih, Tante!" Teriak Zora kegirangan dan memeluk Tante Adelia. Menghujani wanita itu dengan ciuman manjanya.

"Janji, ya! Seminggu balik lagi!" Pinta Tante Adelia sambil melepaskan tangan Zora yang menjerat lehernya. Beliau hampir saja sekarat karena kelakuan Zora.

"Sebagai tanda terima kasihku, sesulit apapun kondisi disana, aku akan berusaha pulang dalam waktu seminggu..." Zora tidak ingin lebih memberatkan tanggung jawab Tantenya.

"Ya sudah, Tante percaya!" Tante Adelia memang sudah faham dengan prinsip yang di pegang keponakannya itu.

"Kapan kalian berangkat, Kak?" Tanya Naira yang sejak tadi hanya menyimak.

"Malam ini. Karena besok, aku harus mengurus toko yang sudah tiga hari aku tinggalkan" Nadya menjawab karena dia yang menentukan keberangkatan.

Naira mengangguk faham.

"Nay, bantu aku menyiapkan surat izin untuk Pak dosen! Dan pastikan, beliau menerimanya!" Pinta Zora.

"Nad, tiketku kamu pesanin, ya!" Perintahnya seenak jidat. Zora membagi tugas pada kedua sepupunya yang beda kubu tersebut.

"Eeeh... Habisin dulu makannya! Baru nanti siap-siap!" Cegah Tante Adelia.

"Dengan izin dari Tante, mendadak perutku jadi kenyang. Hehe..." Zora menepuk perut langsingnya.

Tante Adelia hanya menggeleng dan tersenyum.

"Duluan saja beres-beresnya, Kak Zo_rok! Nanti aku nyusul" Naira melanjutkan makannya.

"Awas ya, bohong!!" Ancam Zora.

Gadis itu berlari ke kamarnya di atas, di samping kamar Naira.

Zora memasukkan semua kebutuhannya dengan detail dan rapi. Pakaian yang tak muluk-muluk. Karena dia lebih suka mengenakan T-shirt. Kalau tidak, dia akan mengenakan u can see yang di balut jaket atau kemeja. Dan dia selalu memadukannya dengan celana jeans panjangnya.

Selalu dan pasti seperti itu. Begitulah Style Zora!

Bertemu ayah

Zoraya yang sudah tak sabar, berhasil mengemas barang-barangnya dengan rapi. Tentu saja, semua berkat bantuan dua body guardnya itu.

Naira memasukan surat izin yang di minta Zora ke dalam amplop. Dan Naira sendiri yang bakal menyerahkan surat tersebut pada sang Dosen. Usai dengan semua urusannya. Ketiganya keluar dari kamar Zora.

Nadya pamit, dan mengucapkan terima kasih atas jamuan dari Tante Adelia.

"Tante, aku pergi dulu! Dan aku gak akan ingkar janji untuk segera pulang" Pamit Zora pada Tantenya yang dianggapnya sebagai Dewi Penolong baginya.

"Kamu hati-hati, ya! Sampaikan salam Tante untuk Ayahmu!" Pesan Tante Adelia seraya memberikan punggung tangannya yang diminta Zora buat salim.

"Iya, Tante! Bye, Nay!" Zora melambaikan tangannya pada ibu dan anak secara bergantian. Ketika mereka sedang mengantarnya sampai halaman depan. Karena pak Edi, supir pribadi Tante Adelia yang akan mengantar Zoraya dan Nadya ke bandara.

Sebelum ke bandara, mereka mampir terlebih dahulu ke hotel tempat Nadya menginap. Proses packing disini lumayan lama. Mengingat barang belanjaan Nadya yang segunung.

Waktu yang di nantikan Zora pun tiba. Sekitar pukul tujuh, mereka bergegas menuju bandara. Padahal penerbangan mereka kurang lebih dua jam-an lagi. Namun Nadia harus rela duduk menunggu dengan jemu di bandara. Semua karena ketidak sabaran Zora.

_________________

Zora duduk di samping Nadya. Hatinya berdegup kencang, membayangkan pertemuannya nanti dengan sang Ayah.

Seperti apa, Ayah sekarang? Apa dia masih mengenaliku? Dan seperti apa, Ibu Tiriku?

Begitulah fikiran Zoraya memporak-porandakan kedamaiannya.

Tunggu...!

Tentang ibu tiri? Bukankah, aku bisa menanyakannya pada Nadya...?!

Zora melirik gadis di sampingnya.

"Nad..." Sapa Zora.

"Ya..." Nadya masih fokus dengan ponsel yang sudah dalam mode pesawat.

"Seperti apa, Ibu Tiriku?" Tanya Zora penasaran.

"Liat aja nanti!" Jawab Nadya tak memuaskan. Dan tak peduli dengan rasa penasaran yang jelas di tunjukan Zora.

"Kok gitu sih, Nad? Gak asyik, tau!" Zora memanyunkan bibirnya, merasa kecewa.

"Aku ingin memberimu sedikit kejutan! Sebagai balasan untukmu yang sudah memberi kejutan untuk Ayah Hasan" Nadya tersenyum dengan manisnya. Masa bodo dengan kedongkolan sepupunya.

Zora memalingkan wajahnya ke arah jendela pesawat. Dia sudah tak berselera untuk bicara dengan Nadya.

Nadya hanya tersenyum menggeleng, dan menyelipkan earphone di telinganya.

Tak ada lagi obrolan heboh diantara mereka. Bukan hanya karena kesal pada Nadia, Zora lebih fokus pada kegugupannya untuk bertemu sang Ayah. Kedua gadis itu pun terlelap dalam angan dan mimpi mereka masing-masing.

_________________

"Ray, ayo turun!" Nadya mengguncang tubuh gadis di sebelahnya.

"Gak bangun juga? Aku tinggal, ya!" Ancam Nadya.

Zora mengucek matanya dan berusaha mengumpulkan kesadarannya sambil celingukan.

"Sudah sampai, Nad?" Tanya Zora di bawah setengah sadarnya sambil menguap.

"Belum" Nadya menggodanya, gokil.

"Kok, belum?" Zora jadi bingung sendiri.

"Ya, inikan masih di bandara. Belum sampai di rumah Ayah Hasan. Wleee...!" Nadya merasa berhasil mengibul Zora.

"Sialan kau, Nad!" Geram Zora dan mencubit bokong sepupunya.

Nadya menelpon supir Ayahnya untuk mengangkut semua barang-barangnya dari bandara. Dan gadis itu hanya menyisakan tas selempangnya saja.

Taksi yang di pesan Nadya pun tiba. Dan mereka menaikinya bersama.

Nadya memang sengaja, membiarkan barang-barangnya pulang terlebih dulu. Karena dia akan mengantar Zora, ke rumah Pakdenya.

Tak ada pesan dan kabar apapun untuk Ayah Hasan dari Nadya. Dia sengaja, menyusun semuanya dengan rapi. Agar memberikan efek kejutan yang sempurna.

__________________

Taksi pun berhenti di halaman gerbang yang tertutup rapat benteng menjulang tinggi. Dua orang Satpam yang berjaga di depannya, memang tak asing dengan kedatangan Nadya. Hanya saja, pandangan yang bermakna pertanyaan, mengarah pada sosok Zora.

Mereka tak menggubris, siapa yang di bawa Nadya. Karena mereka yakin, Nadya tidak akan membawa sembarang orang di tengah malam seperti ini.

Salah satu satpam membuka pintu gerbang, lalu mempersilahkan mereka untuk masuk.

Zoraya mengedarkan pandangan pada halaman di sekitarnya. Halaman yang luas, rumah megah dan perkasa berdiri tegap, seperti selalu siap untuk melindungi penghuninya dari badai apapun. Beberapa mobil berjajar rapi, seperti sudah disiplin untuk tertib berbaris.

Nadya menarik tangan Zora yang sedang takjub dengan suasana di halaman rumah tersebut.

Ting! Tong!

Nadya menekan tombol bell.

Orang yang ada di dalam seperti sudah siap akan kedatangan tamu. Mungkin satpam di depan tadi, sudah terlebih dulu melapor pada pelayan di rumah.

"Non Nadya, tumben malam-malam kemari?" Sapa wanita yang berusia kurang lebih 40 tahunan.

Zora sempat berfikir, kalau ini Ibu Tirinya.

Tapi kenapa, pakaiannya begitu sederhana? Tidak sesuai, dengan rumah yang di huninya. Masa iya, seorang Nyonya Hasan Ar-Rasyid, harus memanggil Nadya dengan sebutan Nona??...

"Ayah Hasan belum tidur kan, Mbok?" Tanya Nadya yang sama sekali tak merespon pertanyaan wanita tersebut. Hanya senyum manis yang di lemparkannya, sebagai pengganti jawaban

"Belum Non, silahkan! Mbok panggilkan Tuan, ya!". Pamit perempuan tersebut dan ternyata seorang pelayan.

"Ada apa, Nadya? Tumben malam-malam begini kemari?" Pria yang berusia 52 tahun dan berkaca mata minus itu menyambut keponakannya. Dan...

Degg!!!

Pandangan mata Zora bertemu dengan mata sang Ayah yang sedikit sayu karena usianya. Kerinduan abadi yang selama ini menyelimuti hatinya, semakin menggulung, semakin tebal dan semakin kuat. Seorang Ayah yang bertahun-tahun di rindukannya, kini berdiri nyata di hadapannya.

Zora menggenggam kedua tangannya erat. tubuhnya bergetar hebat. Zora berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya. Karena saat ini dia begitu ketakutan. Takut Ayah yang ada dihadapannya perlahan sirna di telan gelap malam. Takut dia akan terjaga, dan melenyapkan bayangan sang Ayah. Seperti di mimpi-mimpinya yang telah lalu.

Zora memejamkan matanya kuat-kuat. Sekuat kepalan tangannya. Dan berharap, ini bukan mimpi yang menipunya lagi.

"Zora, putriku...! Putri kecil Ayah...!" Suaranya begitu parau memanggil putrinya.

Ayah Hasan tak mampu membendung air matanya yang keluar tiba-tiba. Tetesan air matanya, mendampingi langkahnya. Berjalan ke arah putri yang sudah sangat di rindukannya. Rindu yang tak terhitung berat timbangannya.

Zoraya membuka matanya, dan masih melihat Ayahnya yang nampak jelas. Dan kini, Ayahnya sudah mulai berjalan kearahnya. Bahkan semakin mendekat padannya.

Tanpa fikir panjang, Zora melangkahkan kakinya. Berlari kecil menghambur ke pelukan sang Ayah.

"Ayaah...!" Zora menangis tersedu dalam dekapan Ayahnya. Dan di sambut pelukan hangat oleh sang Ayah penuh rindu.

Berulang kali, Ayah Hasan mendaratkan kecupan rindu di ubun-ubun Zora.

Ayah Hasan masih enggan bicara, beliau hanya memeluk putrinya erat. Dan sangat takut putrinya itu terlepas dan kembali tak menemuinya lagi.

Nadya yang sedari tadi berdiri, mencoba mengusap air matanya berulang. Gadis itu tak tahan dengan adegan mengharukan yang ada di hadapannya.

Zora melonggarkan pelukan Ayahnya. Dan melepaskannya perlahan.

"Dimana dan bagaimana kau menemukan sepupumu, anak pintar?" Ayah Hasan melemparkan pertanyaan pada Nadya dan memeluknya. Sebagai bentuk rasa terima kasih dan rasa bangganya, pada Ponakannya tersebut.

Nadya menceritakan awal mula pertemuannya dengan Zora. Dan Zora pun ikut membantu, mengalurkan cerita yang telah di laluinya seharian tadi.

Mereka terus saling bicara tanpa lelah. Terutama Ayah Hasan dan Zora. Mereka saling bertukar cerita tentang kisah hidup masing-masing, selama mereka berpisah selama ini.

Pembicaraan yang tiada ujung, hingga waktu menunjukan pukul 03:15. Nadya mulai menguap, tanda tubuhnya minta untuk segera beristirahat.

Dan Ayah Hasan baru tersadar, kalau tubuh putrinya pun butuh pembaringan. Dengan rasa takut yang menggelayuti hatinya. Takut akan kesehatan putrinya terganggu karena kurang tidur.

Ayah Hasan mempersilahkan keduanya untuk beristirahat di kamar yang sudah di sediakan pelayannya dengan sigap tanpa komando.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!