"Aaakkhh..!"
Dirgantara Noza Sanjaya, pria dengan tinggi badan seratus delapan puluh enam centi meter itu memekik keras sambil menendang butiran pasir yang ada di depannya. Pasir putih yang sejatinya tak bersalah dan tak tahu apa-apa menjadi korban kekesalannya hari ini.
Pria itu kemudian melepaskan kancing kemeja bagian atas lalu melonggarkan dasinya. Entah kenapa dasi yang biasanya selalu
melengkapi penampilan menawannya kali ini justru terasa mencekik lehernya, membuatnya sesak tak terkira.
Rentetan peristiwa tak mengenakkan yang ia alami hari ini kembali berputar di kepala. Suara kecemasan sekertarisnya yang mengatakan kalau sahamnya merosot tajam masih terngiang di telinga, juga pandangan mengejek rival bisnis nya yang berhasil memenangkan tander atas dirinya masih terasa membakar amarahnya.
Sejak pagi saat pertama membuka ponsel, yang pertama di dapatinya adalah pesan tak mengenakkan dari sekertarisnya tersebut. Kemudian di susul dengan kekalahan tander atas rival bisnis yang selama ini menjadi pesaing terberatnya.
Padahal selama ini ia di kenal sebagai pengusaha muda yang sangat hebat. Meski ia baru delapan bulan memimpin perusahaan, karena ia memang baru delapan bulan juga pindah ke kota ini. Tapi meski begitu, dia sudah mampu bersaing dengan para pebisnis hebat. Perusahaan nya juga langsung maju pesat selama di pegang kendali olehnya.
Selama delapan bulan berselang, Dirga sudah bisa menunjukan taringnya di dunia bisnis tanah air yang persaingannya sangat ketat.
Namun hari ini, atau seminggu terakhir ini. Perusahaan nya mengalami kemerosotan saham yang cukup signifikan. Beberapa kali kalah tander dan beberapa rekan bisnis yang mengambil alih saham mereka. Tentu itu sangat berdampak buruk bagi perusahaannya.
Pria bermata tajam itu gusar bukan kepalang. Pikirannya kacau. Hatinya panas meredam amarah.
Namun sebenarnya dari semua hal buruk yang terjadi padanya hari ini, ada satu hal paling membuatnya sangat marah dan rasanya ingin menghancurkan apa saja yang ada di depannya. Untung saja yang di depannya hanya ada pasir putih.
Satu kejadian yang di anggapnya sangat menjijikan dan semakin melengkapi kesialannya hari ini adalah Queenzi Anandita. Gadis cantik berbelah dagu yang sudah mematahkan hatinya, yang sudah sukses mengobrak-abrik jiwanya, yang semakin menyempurnakan kekecewaannya, yang bahkan membuatnya ingin terjun bebas dari lantai tertinggi perusahaannya.
Bukan cengeng atau lemah hati. Tapi kejadian buruk yang beruntun menimpanya. Membuatnya merasa sangat sesak tak terkendali. Meski ia merupakan pria tangguh sekalipun jika urusannya sudah masalah hati, pasti akan tetap terasa sangat menyiksa. Belum lagi masalah-masalah lain yang membuntuti. Membuatnya merasa seperti sedang di eksekusi mati
Dan kalau saja kalian tahu. Queenzi Anandita adalah gadis kecintaan Tuan muda Dirgantara.
Gadis yang membuatnya berhenti bermain-main dengan banyak wanita.
Queenzi dengan segala kemolekannya benar-benar membuat Dirga mabuk kepayang. Namun sayangnya ada satu sikap gadis itu yang boleh di bilang kurang baik. Gadis cantik itu sangat suka belanja dan menghambur-hamburkan uang. Dan yang menjadi incarannya adalah barang-barang ternama dengan harga yang membuat rakyat jelata melongo tak percaya.
Namun meski begitu, Dirga tak pernah mempermasalahkannya. Ia memberikan semua yang gadis itu minta. Meski untuk itu ia harus mengeluarkan banyak digit untuk setiap permintaan Queenzi tapi Dirga tak peduli.
Bagi Dirga, meski di lihat dari segi minusnya Queen tetap yang paling istimewa baginya. Gadis itu adalah gadis yang sangat baik di mata Dirga. Yang sangat mencintainya dan dia pun sebaliknya.
Tapi hari ini, semua anggapannya tentang gadis itu berubah seketika. Queenzi Anandita, gadis yang ia pikir sangat mencintai dirinya ternyata hanya mempermainkannya
Dan paket lengkap kesedihan ataupun kehancurannya hari ini adalah saat ia secara tak sengaja mendengar percakapan Queen dengan seseorang melalui telefon.
"Aku tidak benar-benar mencintainya. Aku bersamanya karena dia mampu memanjakan jiwa belanjaku. Aku hanya memanfaatkan kekayaaannya. Lagipula dia itu sebenarnya bukan tipe ku. Yah kau tahu lah kalau seleraku bukan pria lokal seperti dia. Aku lebih tertarik dengan produk luar yang lebih macho dan keren. "
Kata kata Queenzi kembali menggaung di telinga Dirga. Seperti pisau tajam yang langsung menyayat hatinya.
Bagaimana tidak, seorang Dirgantara yang tampan dan punya segalanya ternyata hanya di jadikan alat atau mesin penghasil uang oleh kekasihnya.
Padahal sebelum mengenal Queenzi, Dirgantara adalah pemain cinta yang tidak pernah setia hanya pada satu gadis. Baginya semua gadis yang di kencaninya selama ini hanyalah mainan yang bisa kapan saja ia buang.
Namun setelah mengenal Queenzi dan jatuh hati padanya, Dirga berubah menjadi pria setia dan tidak lagi berkelana dari satu hati ke hati yang lain. Ia seperti tergila-gila pada Queen dan rela memberikan apapun yang gadis itu minta. Namun sayang gadis itu tak pernah benar-benar mencintainya. Dia bahkan mengatakan dengan jelas kalau Dirga bukan tipenya.
"Aakkhh..! "
Dirgantara kembali berteriak kencang. Kali ini bahkan sukses membuat orang-orang di sekitar menoleh padanya.
"Hey ada apa dengannya, seperti tidak waras saja berteriak-teriak sendiri. "
"Pria itu pasti baru saja di putuskan kekasihnya, makanya dia jadi frustasi begitu. "
Berbagai anggapan muncul dari fikiran orang-orang tersebut. Mereka juga melihat Dirga dengan pandangan aneh. Tapi Dirga tak peduli. Baginya yang penting dia bisa berteriak sekencangnya dan melepaskan segala sesak di dadanya. Untuk itulah dia sengaja memilih laut sebagai tempat untuk menampung kekesalannya.
Laut ? ya, saat ini Dirgantara memang berada di tepi laut. Saat merasa kalau hari ini adalah hari paling sial baginya, yang ingin di lakukannya adalah berteriak sekenceng-kencangnya. Dan untuk memecahkan bongkahan batu besar yang seolah menghimpit dadanya, Dirga memilih laut atau pantai sebagai tempatnya.
Entahlah kenapa harus laut, mungkin karena tempatnya yang laus dan juga suara deburan ombak yang Dirga fikir bisa meredam teriakannya. Meski kenyataannya tidak, sebab teriakannya memang terlalu kencang sampai-sampai tak teredam oleh gemuruh ombak.
Setelah teriakannya yang kedua, Dirga merasa sedikit lebih baik, sesak di dadanya sedikit berkurang. Meski tetap saja semuanya masih terasa sangat menyakitkan. Tapi setidaknya tidak se menyesakkan tadi.
Dirga kemudian membuang pandangannya ke laut lepas. Mencoba menenggelamkan segala yang tak mengenakkan ke lautan dalam. Dan berharap tak akan muncul lagi ke permukaan.
Tapi nihil ! Semuanya tetap saja masih menari-nari di kepala. Pria itu bahkan beberapa kali tampak memejamkan mata sambil menggelengkan kepala. Masih tetap berusaha mengusir bayangan-bayangan menjengkelkan dari benaknya.
Fokusnya baru teralihkan saat pandangan netranya tanpa sengaja menangkap seorang peselancar yang sedang menari-nari di antara gulungan ombak.
Padahal ombak di pantai ini terkenal cukup ganas. Jarang bahkan hampir tidak pernah ada yang berani berselanjar di pantai ini. Tapi gadis peselancar itu, apa! gadis?
Bola mata Dirga membulat menyadari kalau peselancar itu adalah seorang wanita. Meski dari kejauhan, tapi dari gesturnya tetap saja siapapun bisa mengetahui kalau dia seorang wanita.
Tanpa rasa takut sama sekali, peselancar itu meliuk-liuk di antara gulungan ombak, dan sekalipun tak pernah terjatuh. Seolah kencangnya tamparan ombak tak cukup mampu menumbangkan keseimbangannya di atas papan ski.
Dirga melihat ke sekeliling. Ternyata bukan hanya dia yang terpukau melihat kemampuan wanita itu. Beberapa orang di sekitarnya juga tampak sangat kagum oleh permainan si peselancar. Seolah itu menjadi tontonan yang sayang untuk di lewatkan.
Kembali Dirga mengarahkan pandangannya pada peselancar. Entah kenapa dia juga seperti ikut menikmati tontonan gratis itu. Bahkan saat getar poselnya terasa di sebalik saku celananya. Dirga berusaha mengabaikan nya. Saat datang kemari tadi, pria itu memang berencana tidak akan menerima telefon dari siapapun. Ia ingin menenangan diri sejenak di pantai ini. Pantai yang baru pertama kali ia datangi selama berada di kota ini.
Dirga tidak menyangka ternyata pantai ini sangat indah. Pasir putihnya, bibir pantainya yang landai, deretan pohon kelapa yang melambai, dan tak lupa ombaknya yang terkenal besar dan cukup ganas. Semua menjadi daya tarik tersendiri bagi pantai ini.
Drrtt, drrt..
Ponsel Dirga kembali bergetar, kalau tadi ia berusaha untuk tidak peduli, kali ini pria itu menjadi sedikit penasaran. Ia khawatir kalau yang menelefon itu sekertaris nya yang ingin memberikan kabar terkini perihal perusahaannya.
Dirga akhirnya mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Berniat hendak menerima panggilan, tapi begitu melihat yang tertera di layar ponsel adalah nama My Queen, Dirga langsung mematikan panggilannya. Pria itu bahkan langsung mengaktifkan mode hening supaya tidak lagi terganggu.
Detik berikutnya, pria berahang kokoh itu sudah kembali memanjakan matanya dengan atraksi peselancar yang masih betah meliuk-liuk di antara gulungan ombak. Bahkan saat senja mulai merangkak mendekati malam dan orang-orang sudah mulai beranjak pulang, gadis itu masih saja asik berselancar.
Dan anehnya Dirgantara pun masih enggan untuk beranjak dari posisinya. Ia masih terus memperhatikan sambil sesekali berdecak kagum seperti tidak pernah melihat orang yang sedang berselancar, atau mungkin memang bisa di bilang tidak pernah karena waktunya selalu di habiskan untuk bekerja dan bekerja, kecuali saat saat
bersama Queen, dan itupun hampir tidak pernah ke pantai. Biasanya mereka lebih sering ke pusat perbelanjaaan untuk menyalurkan hobi belanja Queenzi.
"Senja..! "
Sebuah seruan dari seseorang mengalihkan fokus Dirga. Seorang perempuan yang di yakini Dirga umurnya tidak berbeda jauh darinya tampak sedang memperhatikan si peselancar.
Perempuan itu berada beberapa langkah dari tempat Dirga berdiri.
"Senja..! "
Perempuan itu kembali berteriak sambil melambaikan tangannya ke arah peselancar dan mau tidak mau membuat Dirga menoleh ke arah wanita itu.
'Apa dia sedang memanggil peselancar itu? ' Dirga bertanya dalam hati.
Dan dugaan Dirga benar, setelah melihat lambaian tangan perempuan itu, peselancar segera menepi dan menghampiri perempuan itu.
"Sudah hampir gelap, senja. Kenapa belum pulang?"
Tampak raut wajah cemas dari perempuan di sebelah Dirga.
"Iya maaf, aku keasyikan bermain dengan ombak sampai lupa waktu. "
Peselancar yang di panggil Senja itu berdalih sambil meringis. Peselancar yang ternyata adalah seorang gadis cantik.
Dirga diam-diam memperhatikan wajah gadis itu, lalu menoleh pada perempuan yang memanggilnya.
'Mirip, pasti mereka kakak beradik. ' bathinnya menebak
"Ya sudah ayo pulang. Nenek sudah cemas menunggumu. "
"Hmm, " Gadis peselancar mengangguk lalu mensejajari langkah perempuan itu.
Sementara di tempatnya, Dirgantara masih mencuru-curi pandang kedua perempuan itu. Namun keduanya seolah tak perduli kalau
diam-diam ada yang sedang memperhatikan. Apalagi perempuan yang menyuruh Senja pulang, sejak pertama datang tadi dia seolah tidak mempedulikan keberadaan Dirga, bahkan melirikpun tidak.
Tapi di luar dugaan, sebelum benar-benar beranjak gadis bernama Senja menoleh ke arah Dirga dan sontak saja membuat pria itu gugup karena kepergok sedang memperhatikan.
Dirga buru-buru membuang pandangannya, terlebih melihat tatapan tajam gadis peselancar itu yang seolah siap mencongkel bola mata Dirga. Sepertinya sejak tadi gadis itu sadar kalau sedang di perhatikan. Ia kemudian menunjukan rasa tidak sukanya karena terus di perhatikan dengan balas menatap kearah Dirga.
Sayangnya tatapannya sangat mengerikan dengan bola matanya yang kemerahan. Dirga bahkan sampai merinding di buatnya. Gadis itu sepertinya marah pada Dirga. Padahalkan Dirga tidak melakukan apa-apa. Hanya memperhatikan, itupun karena dia kagum pada aksi selancarnya.
Sambil bergidik ngeri, Dirga akhirnya pun memutuskan untuk meninggalkan pantai. Ia mengambil arah yang berbeda dari kedua perempuan itu, tak ingin bertemu dengan gadis yang tatapan matanya seperti mata iblis pencabut nyawa.
Bersambung..
Malam ini Dirgantara tidur dengan membawa segala kekesalan dan kekecewaannya. Matanya sulit sekali terpejam. Ia gelisah menghadap ke kiri ataupun kanan, menutup wajahnya dengan selimut ataupun bantal. Tapi tetap saja segala yang tidak berjalan baik hari ini masih saja mengganggu fikirannya.
Bahkan meskipun ia sudah melontarkan kekecewaannya di hadapan lautan lepas, namun ombak sepertinya membawanya kembali dalam ingatan.
Sekitar pukul dua dini hari, Dirga baru bisa terlelap. Namun sayangnya itupun tak lama. Sebuah mimpi buruk mengganggu tidurnya. Membuka kembali mata yang dengan susah payah ia pejamkan.
Dirga mengusap wajahnya.
"Apa itu tadi? " Pria itu bergumam sendiri saat mengingat mimpinya barusan. Seorang gadis menatapnya dengan tatapan yang sangat mengerikan. Matanya merah menyala seperti lava gunung merapi. Dan yang membuat Dirga sontak terjaga dari tidurnya adalah karena gadis itu tiba-tiba mencekiknya dengan kuat sampai ia sulit bernafas.
"Wajah gadis itu seperti---"
Dirga berusaha mengingat, dan tak perlu waktu lama ingatannya langsung tertuju pada gadis yang ia temui di pantai sore tadi. Gadis peselancar yang menatapnya dengan tatapan maut dan mata kemerahan.
"Benar, itu gadis yang aku lihat di pantai sore tadi. Tapi kenapa dia ada di mimpiku? " Dirga kembali bergumam.
Ada perasaan aneh menyergap. Ia baru pertama bertemu gadis itu, tapi sudah langsung memimpikannya. Dan anehnya lagi, sejak tadi pagi yang ada di pikirannya hanyalah Queen, Queen dan Queen. Tapi kenapa yang muncul di alam bawah sadarnya justru gadis mengerikan itu.
"Akkhh..! " Dirga mengacak rambutnya sendiri, kesal karena banyak sekali yang mengganggu pikirannya. Pria itu kemudian meraba ponsel di sisi kanannya.
"Sial! aku bahkan baru tidur sebentar. " Umpatnya saat melihat waktu baru menunjukan pukul empat dini hari.
Pria bermata tajam itu lalu kembali berusaha memejamkan netranya, tapi sialnya kantuk yang tadi sempat membuatnya terlelap kini buyar entah kemana.
Dan lebih sialnya lagi, ingatannya kini kembali tertuju pada Queenzi. Dadanya kembali terasa nyeri. Dirga tidak menyangka, patah hati ternyata se menyakitkan ini. Selama ini, jangankan tau arti patah hati, justru dialah yang biasanya selalu membuat banyak gadis patah hati.
Dirga kemudian mengambil ponselnya, menghidupkan kembali data seluler yang sejak tadi ia matikan. Ia sengaja melakukannya supaya bisa tenang tanpa ada yang mengganggu, tapi toh tetap saja dia merasa terganggu dengan semua ingatan buruk yang bersarang di kepalanya.
Beberapa pesan langsung masuk begitu data di hidupkan. Salah satunya dari Queen. Awalnya dia ingin mengabaikan pesan tersebut. Tapi rasa penasaran menuntun tangannya utk membuka salah satu pesan.
'Dirga, maaf kan aku. Aku tidak serius dengan ucapan ku tadi. Semua yang kau dengar itu hanyalah gurauan ku dengan temanku. Aku hanya---"
Dirga membuang pandangan nya. Tak tertarik lagi untuk melanjutkan membaca pesan dari Queen. Hatinya sudah terlanjur marah.
'Yang benar saja, pria seperti ku hanya di jadikan mainan olehnya. Huh memangnya dia siapa? Kurang ajar sekali? '
Pria itu mengumpat dalam hati lalu mencari aplikasi game dalam ponselnya. Ketimbang memikirkan hal-hal yang semakin membuatnya kesal, Dirga akhirnya memilih bermain game. Setidaknya itu bisa menghiburnya sampai waktu berangkat kantor tiba.
***
Pukul tujuh tiga puluh pria berahang kokoh itu sudah sampai di kantornya. Meski lelah mendera jiwa dan raganya tapi ia tetap disiplin untuk urusan pekerjaan. Apalagi saat ini perusahaan nya sedang tidak baik-baik saja. Dirga harus bekerja keras menyelesaiakan semua supaya kembali normal atau bahkan menjadi lebih baik.
Dengan mata yang mirip seperti mata panda, pria itu fokus dengan semua pekerjaannya. Ia tidak ingin lagi fokusnya terganggu oleh siapapun. Queen yang berulang kali mencoba menghubunginya tak di hiraukannya sama sekali. Bahkan pesan dari gadis itupun tak di bacanya. Saat ini yang ingin di lakukan Dirga hanyalah fokus bekerja dan menyelesaiakan semua problema kantor.
"Hufh.. " Dirga menghempaskan badannya pada sandaran kursi mobil. Setelah seharian berjibaku dengan pekerjaan, akhirnya dia bisa bersandar untuk sekedar melemaskan otot-otot nya yang terasa tegang. Meski keadaan belum membaik, tapi setidaknya pria itu sudah berusaha memperbaiki keadaan.
Sambil menikmati perjalanan, pria itu melewatinya dengan melihat-lihat ke sekitar tempat-tempat yang di lewatinya. Biasanya dia menghabiskan perjalanan dengan berbalas pesan ataupun menelefon Queenzi. Tapi kali ini dia tidak ingin melakukan itu. Bahkan membaca pesannya pun sudah tak ingin.
Di pemberhentian lampu merah, secara tak sengaja netranya melihat ke samping kanannya ke sebuah mobil yang tepat berhenti di samping mobilnya. Seseorang di dalam mobil itu sedang memberi recehan kepada pengamen kecil.
Dirga memperhatikan dengan seksama orang itu dan meyakini kalau dia adalah gadis yang di temuinya di pantai kemarin sore.
"Itukan gadis yang kemarin di pantai."
Dirga terus memperhatikan. Dan mungkin karena merasa ada yang sedang memperhatikan, gadis itupun menoleh kearah Dirga. Untung saja karena kaca mobil Dirga tertutup, gadis itu tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang sedang memperhatikannya. Tapi beda halnya dengan Dirga, pria itu bisa melihat dengan jelas karena memang kaca mobil gadis itu yang sedang terbuka.
Dengan jelas Dirga bisa melihat tatapan gadis itu yang sma tajam nya dengan tatapannya kemarin sore. Tatapan tajam dengan mata kemerahan yang seolah ingin menerkam mangsanya.
Dan sama halnya kemarin, karena ketahuan sedang memperhatikan, Dirga buru-buru membuang pandangannya. Gadis itupun juga langsung menutup kembali kaca mobilnya.
"Apa dia memang begitu setiap melihat orang. Mengerikan, tidak ada ramah-ramahnya sama sekali. "
"Ada apa, Pak? "
Supir Dirga yang mendengar tuan nya berbicara sendiri merasa heran.
"Oh tidak ada. Sudah jalan saja, " perintahnya karena melihat lampu sudah berganti hijau, disamping karena dia juga tidak ingin supirnya tau apa yang di lihatnya.
Mobil gadis itu berjalan di depan mobil Dirga dan membuat Dirga kembali tertarik untuk memperhatikan. Tapi kali ini ia tak berani malihat lama-lama, takut gadis itu merasa lalu menoleh lagi padanya.
Di persimpangan, gadis itu membelokan mobilnya kearah pantai. Sementara Dirga terus lurus menuju rumahnya. Namun beberapa meter dari persimpangan, Dirga meminta supirnya memutar arah menuju pantai.
"Pantai? anda ingin ke pantai? " tanyanya heran karena tidak biasanya tuannya itu ingin bersantai di pantai. Kemarin sore saat Dirga ke pantai ia memang tidak bersama pak supir.
"Ya, aku ingin melihat matahari terbenam. " Menjawab santai tanpa peduli keheranan pak supir.
"Baik, Tuan. " Tanpa berani bertanya lagi, pak supir langsung putar arah. Sementara Dirga tersenyum tipis.
'Pasti dia mau berselancar. Sepertinya asik juga bersantai sejenak sambil melihat atraksi selancarnya. ' ucapnya tetapi hanya dalam hati, tak ingin sang supir mendengarnya berbicara sendiri.
Dan persis seperti dugaan Dirga, gadis itu memang hendak berselancar. Bahkan saaat Dirga sampai di pantai, gadis itu sudah asik meliuk-liuk di antara gulungan ombak.
Dirga langsung antusias memperhatikan gadis itu menunjukan kelihaian nya dalam memainkan papan ski. Beberapa orang juga tampak takjub menonton.
Meski di balik wajahnya yang angker dan terlihat sangat ganas, tapi gadis itu memiliki kemampuan luar biasa dalam hal berselancar. Dirga bahkan yakin kalau gadis itu layak masuk Olimpiade cabang selancar, kalau memang itu di adakan.
Atraksi gadis itu benar-benar membuat Dirga terpukau. Meski kemarin juga sudah pernah melihatnya, tapi tetap saja Dirga takjub akan kehebatan gadis itu. Sepertinya ombak laut sangat bersahabat dengannya, terbukti tidak sekalipun ombak mampu menjatuhkannya.
Saat gadis itu tengah asik berselancar. seseorang di samping Dirga tampak bertepuk tangan sambil berucap.
"Kau memang hebat, Senja. "
Ucapannya sukses memancing Dirga untuk mendekat dan bertanya.
"Maaf, apa kau mengenal gadis peselancar itu?" Sambil kepalanya menunjuk kearah Senja.
Pria di samping Dirga menoleh.
"Aku tidak mengenalnya, tapi semua orang disini pasti tahu siapa dia. Dia itu peselancar yang hebat. " Pria itu menatap Senja.
"Iya, aku bisa melihat kehebatannya. " Dirga membenarkan.
"Apa dia tinggal di sekitar sini? " tanya Dirga lagi.
"Entahlah, tapi yang jelas hampir setiap sore dia pasti berselancar disini. Dia menghibur banyak pengunjung stiap harinya. "
Dirga mengangguk-angguk.
"Menurutmu, apa dia tidak begitu ramah?" Kali ini Dirga bertanya dengan hati-hati takut pria disampingnya tersinggung dengan pertanyaannya ataupun tidak suka karena Dirga terlalu banyak bertanya.
Entahlah, Dirga sendiri heran kenapa dia jadi ingin tahu tentang gadis itu.
"Dia memang tidak banyak bicara. Aku hampir tidak pernah mendengarnya bicara, kecuali pada ibu dan ayahnya."
"Ooh." Penjelasan pria itu kembali membuat Dirga mengangguk. Terbersit rasa penasaran di hatinya untuk membuaktikan apakah gadis peselancar bernama Senja itu memang jarang bicara.
Dirga menunggu sampai gadis itu menyelesaikan permainannya. Dan sama seperti kemarin, saat hari mulai temaram dan pengunjung sudah sangat sepi, Senja baru berhenti meliuk-liuk.
Setelah gadis itu menepi ke bibir pantai, Dirga langsung membunuh rasa penasarannya dengan memberanikan diri mendekati gadis itu.
Meski agak sedikit gemetar Dirga akhirnya berani bertanya.
"Hay, Senja. Benar namamu Senja kan? "
'Akh sial ! kenapa suaraku bergetar begini. Sejak kapan aku grogi berhadapan dengan seoarng gadis'
Dirga mengutuki dirinya sendiri.
Gadis bernama Senja menoleh. Masih dengan tatapan yang sama. Tajam dengan mata kemerahan. Tapi kali ini Dirga berusaha mengusai diri untuk tidak takut dengan tatapan itu.
Senja berlalu dari hadapan Dirga tanpa sedikitpun bersuara. Ia mengabaikan pertanyaan Dirga.
"Ya Tuhan, sombong sekali gadis ini. Jangankan menjawab pertanyaanku, bahkan mengangguk atau tersenyum pun tidak. " Dirga bergumam sendiri sambil terus memperhatikan gadis itu menjauh.
Pada jarak beberapa langkah, gadis itu berhenti lalu kembali menoleh pada Dirga. Dirga fikir dia akan sedikit tersenyum, tapi di luar dugaan gadis itu justru memperlihatkan raut marah dengan mata yang semakin merah dan pandangan yang seolah hendak mencabut nyawa Dirga saat itu juga.
Dirga bahkan sampai menelan ludahnya demi melihat penampakan gadis itu. Sepertinya dia merasa tidak nyaman dengan keberadaan Dirga.
Dirga berusaha menghindar dari tatapan mengerikan itu dengan menoleh ke samping kanannya. Hanya untuk sekedar menguasai diri supaya nyalinya tidak menciut.
Namun sayangnya saat ia kembali menoleh pada gadis itu. Dia sudah tidak ada di tempatnya. Padahal hanya sepersekian detik sejak Dirga membuang pandangannya.
"Hah, kemana dia? kenapa cepat sekali perginya.?" Dirga melihat ke sekeliling namun netranya tak mendapati sosok yang di carinya.
"Aneh sekali, " gumamnya lagi dengan berjuta rasa heran.
Hari berlalu begitu cepat. Tak terasa sudah seminggu sejak pertemuan Dirga dengan gadis peselancar itu. Juga sepekan setelah Queen mematahkan hatinya. Gadis itu sudah jarang menghubungi Dirga, hanya sesekali mengirirm pesan untuk sekedar menanyakan kabar atau bertanya Dirga sudah makan atau belum.
Sepertinya gadis itu ingin membiarkan Dirga tenang terlebih dahulu. Queenzi tahu Dirga sempat shok mendengar percakapannya dengan teman nya tempo hari. Dan ia yakin penjelasan apapun saat ini tidak akan mampu membuat amarah Dirga mereda. Karena ia mengambil jeda sejenak dengan tudak terburu-buru menemui Dirga. Gadis itu menunggu waktu yang tepat untuk menjelaskan.
Sementara Dirga, meski masih sangat terluka, tapi dia tetaplah seorang pria. Seperti yang kita tahu. Pria lebih bisa menyembunyikan rasa sakitnya. Ia selalu bisa terlihat biasa saja meski hatinya remuk redam.
Lagipula Dirga juga punya kesibukan luar biasa yang membuatnya sedikit banyak bisa mengabaikan rasa sakitnya. Terlebih perusaan nya sedang benar-benar memerlukan kerja kerasnya. Untung saja selama sepekan terakhir kondisi perusahaannya mulai stabil. Satu persatu masalah bisa di atasi dengan baik.
Siang ini saat jam makan siang tiba, pria dengan ketampanan di atas rata-rata itu tidak mengambil waktu istirahatnya. Ia masih tampak berjibaku dengan berkas-berkas di mejanya. Bahkan saat sekertarisnya mengajaknya makan siang pria itu menolaknya.
Sampai beberapa saat kemudian saat ia merasa lehernya kaku karena terlalu lama menunduk, barulah dia beristirahat sejenak. Tapi itupun tidak sampai meninggalkn ruangan. Dirga masih tetap di kursinya. Ia menyandarkan kepalanya untuk melemaskan otot lehernya.
Entah karena terlalu lelah atau terlalu nyaman dengan posisinya, pria itu akhirnya terlelap di atas kursi dengan kepala menengadah keatas.
Dirga cukup terlihat nyaman meski tidak dalam posisi layaknya orang tidur. Tapi sayangnya itu tak berlangsung lama. Hanya sekitar dua puluh menit sebelum akhirnya ia terlonjak dari tidurnya.
Pria itu melihat ke kanan dan ke kiri kemudian menghela nafasnya. Menyadari bahwa apa yang ia alami barusan hanyalah mimpi.
"Gadis itu lagi. " gumamnya pelan mengingat yang baru saja mengganggu istirahatnya adalah Senja. Gadis bermata kemerahan atau si peselancar handal dengan raut wajah sperti devil dalam film-film horor.
Dalam mimpinya kali ini Senja kembali mencekiknya kemudian meleparkannya secara asal. Saat tubuhnya terlempar itulah kemudian Dirga terjaga.
"Kenapa aku sering memimpikannya? dan kenapa mimpinya selalu menakutkan begitu? " kembali bergumam sambil memijit tengkuknya yang masih terasa berat.
Dirga kemudian beranjak dan berdiri di depan jendela kaca. Wajah senja tiba-tiba mengganggu fikirannya. Ada sebersit tanya di hatinya tentang siapa Senja. Tentang wajahnya yang selalu terlihat seperti orang marah. Tentang sikap tertutupnya yang menurut sebagian orang tidak atau jarang sekali berbicara.
Dan satu lagi. Senja adalah gadis pertama yang menolak berkenalan dengannya. Dan jujur saja itu memantik rasa penasaran dari Dirga untuk semakin mengenal Senja.
Meski wajahnya menakutkan. Selama dia bukan makhluk jadi-jadian, Dirga yakin pasti bisa mengenalnya.
Seulas senyum nampak tersungging dari bibir seksinya. Sepertinya Dirga punya rencana untuk menemui Senja sore nanti.
***
"Langsung pulang atau kemana, Tuan? " Supir Dirga membukakan pintu sambil bertanya tujuan Dirga selanjutnya karena beberapa hari ini memang Dirga sibuk dan jarang langsung pulang saat keluar kantor.
"Tidak, kita ka pantai. "
"Pantai? " Pak supir mengulang ucapan Dirga. Untuk sejenak dia bingung, tapi kemudian mengangguk karena mengingat tempo hari tuan mudanya juga pernah kepantai. Mungkin udara sejuk di pantai membuat Tuan Dirga jadi ketagihan untuk kembali kesana, fikir pak supir.
Tapi sampai di pantai Dirga tidak menemukan apa yang ia cari. Ia tidak melihat Senja sedang menari-nari dengan papan skinya. Bahkan setelah menunggu beberapa saat pun Senja tidak juga muncul.
Dirga melihat ke sekeliling kemudian secara tak sengaja matanya melihat pria yang tempo hari pernah berbincang denganya perihal Senja. Pria itu sedang bermain air bersama anak kecil yang kemungkinan besar adalah anaknya. Karena wajah mereka memang mirip.
"Hay, apa kau melihat senja? Hmm maksudku apa Senja hari ini tidak berselancar? "
Pria itu menoleh karena tiba-tiba ada yang bertanya padanya. Entah dia mengenali wajah Dirga atau tidak, tapi kemudian dia menggeleng.
"Senja tidak berselancar sejak kemarin. Aku dengar dia sedang sakit. "
"Ooh, " Dirga mengangguk. Entah kenapa dia sedikit kecewa mendengar senja tidak berselancar. Itu artinya dia tidak bisa bertemu Senja sore ini.
Dirga kemudian memilih meninggalkan pantai. Untuk apa? toh yang di carinya tidak ada. Angin pantai memang menyejukan, tapi tetap saja, bukan itu tujuannya kemari.
Tapi saat berjalan menuju area parkir. Langkah Dirga terhenti karena melihat gadis yang sedang dicarinya. Gadis itu duduk di bawah salah satu pohon nyiur tepi pantai.
Dirga berfikir sejenak. Ragu apakah ingin mendekat atau tidak. Tapi mengingat tujuannya kemari memang ingin bertemu Senja, Dirga akhirnya memutuskan mendekat.
"Sore, Senja. " Dirga berusaha bersikap seramah mungkin. Meski itu jauh di luar kebiasannya.
Senja menoleh. Memperlihatkan wajah pucat dengan mata kemerahannya yang seketika membuat Dirga terkejut.
'Wajahnya pucat sekali. Berarti benar dia sedang sakit'
Sejujurnya Dirga agak sedikit ngeri melihat wajah Senja. Tapi entah kenapa dia tetap berusaha bersikap biasa saja. Toh Senja itu manusia kan, bukan hantu, fikirnya.
Seperti biasa Senja tidak menjawab ucapan Dirga. Tapi kali ini ada yang beda, gadis itu tidak menunjukan tatapan tajam dan juga seringai nya yang serinng terlihat seperti malaikat pencabut nyawa.
Ekspresi wajah Senja datar, bahkan cenderung seperti sedang sedih. Mungkin karena dia sedang sakit. Dan justru itulah yang membuat Dirga tidak serta-merta kabur.
"Kau tidak berselancar? atau kau sedang sakit? "
Pertanyaan kedua Dirga tetap tak mendapat jawaban dari Senja.
'Sebenarnya dia ini bisa bicara atau tidak sih? '
"Maaf kalau aku mengganggumu Senja, aku hanya---"
"Senja tidak bicara pada orang asing. " Sebuah suara memotong ucapan Dirga. Suara yang di yakini Dirga bukan milik Senja.
Suara itu berasal dari belakang Senja dan Dirga yang langsung membuat Dirga menoleh.
Soerang perempuan yang tempo hari menyuruh Senja pulang. Yang di yakini Dirga sebagai kakaknya Senja sudah berdiri di belakang mereka. Perempuan yang mirip dengan Senja tapi raut wajahnya jauh lebih ramah, anggun dan bersahabat.
"Maaf, aku hanya ingin menyapa Senja, " Dirga memberikan alibinya supaya tidak di anggap sedang mengganggu Senja.
"Hmm, tapi Senja memang tidak terbiasa dengan orang asing. Jadi sebaiknya kau jangan mengganggunya, atau---"
Perempuan itu tidak melanjutkan kalimatnya seolah menyadari sesuatu.
"Lupakan, " ucapnya lagi sambil mengibaskan tangannya.
Tentu saja hal itu membuat Dirga semakin heran. Atau apa? tanyanya dalam hati, tak berani berkata langsung.
"Sudah petang, Senja. Ayo pulang. " Ajak perempuan itu pada Senja.
Senja tidak menjawab, tapi langsung beranjak mematuhi perintah perempuan itu. Padahal kemarin waktu mereka bertemu. Dirga masih bisa mendengar Senja bicara pada perempuan itu. Tapi. Tapi sekarang bahkan pada perempuan itupun dia tidak mau bicara.
Sebelum pergi perempuan yang menyuruh senja pulang sempat memandang pada Dirga seolah sedang berpamitan dan Dirga sendiri entah sadar atau tidak langsung mengangguk. Entahlah sejak kapan pria itu jadi seramah itu.
Dirga memandangi kedua perempuan itu berlalu dari hadapannya.
Sungguh dua bersaudara yang berbeda sikap,. Yang satu ramah yang satu lagi seperti singa lapar yang sangat ganas dan juga menakutkan tentunya.
Tapi Sikap Senja hari ini yang tidak seperti biasanya semakin membuat Dirga penasaran.
'Ada apa dengan Senja, dia hanya terlihat sedang sakit, tapi sepertinya dia juga sedang sedih. Kenapa ya dia?'
"Akkh ! kenapa aku jadi peduli padanya." Dirga mengacak-acak rambutnya. Kesal pada pikirannya sendiri.
'Tapi gadis itu memang unik. Lain dari gadis kebanyakan. Aku bahkan belum pernah bertemu gadis seperti itu. Aku jadi makin penasaran padanya. '
Dirga melanjutkan langkahnya meninggalkan pantai dengan hati dan pikiran yang terus saja berbicara sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!