Sintia dan ibunya melihat keadaan rumah yang baru saja di beli oleh ayahnya.
"Bu.....apakah ayah tidak salah? Kenapa kanan dan kirinya ladang? Kenapa tidak beli di perkampungan saja?"
Tanya Sintia ketika melihat jika rumah berlantai dua itu berdiri tanpa tetangga. Aneh sekali, rumah ini sangat bagus tapi sayangnya tidak ada satupun rumah di kanan atau kirinya.
"Bu...lihat diatas? Bukankah itu kuburan?"
Sintia melayangkan pandangan matanya ke atas tanah mirip tebing yang lebih tinggi.
"Mana?"
Sang ibu nampak mengikuti jari telunjuk putrinya.
"Itu Bu....!"
"Benar Sintia....ternyata itu adalah kuburan, aduh! Bapak ini bagaimana sih? Beli rumah kok ngga di survei dulu, main percaya sama teman saja,"
"Jadi, ayah juga belum melihat rumah ini ya Bu!?"
Sintia terduduk lesu dan memegang keningnya yang tiba-tiba pening. Sintia menyayangkan ayahnya membeli timah tanpa melihat dulu kondisi disekitarnya. Hanya dengan melihat gambar rumahnya saja tentu tidak cukup. Karena ternyata rumah itu berdiri sendiri tanpa ada rumah yang lainnya
"Ya, karena harganya murah, makanya ayahmu membelinya. Harga rumah ini separo dari harga standar tanah dan bangunan di daerah sini. Tentu saja ayahmu tergiur. Karena yang menjual juga rekan kerjanya,"
"Harganya murah tapi letaknya tidak strategis. Disini sangat sepi saat siang hari, apalagi kalau malam hari..."
"Sudahlah Sintia. Kamu jangan takut. Tenang saja, tidak ada apapun dirumah ini. Besok kita akan pindah kesini, ayo sekarang kita pulang,"
"Iya Bu....."
Ketika Sintia akan berbalik, tiba-tiba dia melihat sosok putih di tangga dan ketika dia menatap nya, sosok itu menghilang dengan cepat.
"Bu....!"
"Apa?"
Ibunya menoleh.
"Tidak....!"
Sintia tidak berani mengatakan apa yang dia lihat barusan. Bukannya tanpa alasan, dia tidak mengatakannya. Dia takut hantu itu mendengar apa yang dia bicarakan.
Akhirnya Sintia memendam dalam hati kejanggalan yang dia lihat baru saja.
Sintia masuk kedalam mobil dan ketika dia melihat ke atas tebing, dia lihat sosok tinggi seperti melambai padanya.
"Astaga! Bu....!"
"Apa lagi?" Ibunya menoleh ketika dia mulai memegang stir dan akan menjalankan mobilnya.
"Lihat di sana?"
Sintia menunjuk pada apa yang dia lihat. Sosok itu masih menatap kearahnya dengan wajah yang sangat menakutkan.
"Tidak ada apa-apa. Memangnya kamu lihat apa?"
Ibunya perlahan-lahan mulai menghidupkan mesin. Sintia nampak bingung karena ibunya tidak melihat apa yang dia lihat.
"Memangnya ibu tidak lihat sosok tinggi besar itu?"
Ibunya menggeleng. Ibunya menatap Sintia dengan lekat. Matanya mengarah pada apa yang di tunjukkan Sintia sekali lagi. Tapi memang tidak ada keganjilan apapun. Selain hanya suasana sepi karena tidak ada rumah tetangga.
"Tidak. Ibu tidak melihat apapun...."
Sintia hanya bisa menarik nafas berat. Ternyata apa yang dia lihat tidak di lihat oleh orang lain. Ini aneh sekali. Dan Sintia baru menyadarinya.
.
Sintia dan Ibunya sampai distasiun kereta api dan mereka akan menuju ke kota M.
Dari jauh Sintia melihat ayahnya datang dengan kakaknya dan mereka sudah menenteng koper berisi pakaian.
Ayahnya di PHK dan akan pindah ke kota M. Kota M adalah kota kelahiran ayahnya dan disini mereka akan melanjutkan hidup baru ditempat tinggal yang baru.
Biasa tinggal di kota Metropolitan maka begitu sampai di kita M mereka langsung merasakan hawa yang sangat dingin dan sejuk.
"Ayah.....! Kak Rangga....!"
Panggil Sintia melambai pada ayah dan kakaknya.
"Itu mereka disana!" Tunjuk Rangga.
"Kemari! Kami disini!" Teriak Sintia dan ibunya bersamaan. Untuk pergi ke tempat Rangga dan ayahnya sangat sulit karena penumpang yang berjubel di stasiun.
"Gimana? Kalian sudah melihat rumah yang kita beli?" Tanya Rangga antusias.
"Sudah! Kau pasti akan terkejut jika melihatnya?"
Rangga menaikkan alis matanya.
"Kenapa memangnya?"
"Nanti kau akan tahu sendiri!"
Ayahnya lalu duduk disamping istrinya dan mereka akan ke hotel untuk satu Minggu.
"Kita akan menginap di hotel. Rumah itu harus kita bersihkan dulu sebelum kita tempati," ujar ayahnya.
"Ayah....apakah kita bisa membatalkan pembelian rumah itu?"
"Kenapa?" Ayahnya nampak terkejut dengan ucapan Sintia.
"Tempatnya sangat sepi. Kanan kiri ladang, aku takut...." Jawab Sintia.
"Ayah hanya mampu membeli rumah itu dari uang pesangon ayah. Rumah lainnya harganya mahal. Dan rumah yang kita beli itu sangat murah. Rumahnya lumayan besar, dan dua lantai lagi!"
"Ayah ...kita bisa cari rumah yang lain dengan harga yang sama. Lebih kecil juga tidak papa. Tapi jangan disana...." Pinta Sintia.
"Halah! Takut amat sih? Memangnya ada apa? Hantu? Hantu ya adanya di kuburan!"
Ucap Rangga asal saja.
"Aish! Kalau beneran ada, tahu rasa ya!"
"Halah .....! Jaman sekarang itu cuma ada dicerita film aja. Dan semua itu bohong! Hahahaha!"
Rangga malah tertawa terbahak dan membuat Sintia kesal karena seakan dia mengejeknya.
"Benar Sintia...Jangan terlalu sering menonton film horor, jama sekarang sudah jarang ada cerita mistis seperti itu...."
"Ayah...ini beneran. Rumah itu....."
"Sttttt..." Ibunya menoleh pada Sintia.
"Jangan diteruskan...."
.
Mereka sampai di hotel untuk beristirahat.
Sejak sore tadi melihat penampakan Hantu, Sintia terus terbayang dan sulit untuk memejamkan matanya.
"Aku yakin hanya aku yang melihat hantu itu. Ibu bahkan tidak melihatnya. Hantu itu besar dan tinggi, harusnya ibu bisa melihatnya. Tapi kenyataannya, hanya aku yang bisa melihat semua itu,"
Sintia terus menatap ke jendela warna putih. Dan dia kembali terbayang pada hantu warna putih di tangga didalam rumah itu.
"Aku sudah melihat dua hantu tadi sore,"
"Entah apa lagi yang akan aku lihat jika kita sudah pindah kesana,"
Ibunya merasa jika putrinya belum tidur dan menoleh padanya.
"Sintia, kau belum tidur?"
"Aku tidak bisa tidur Bu....."
"Sudah malam, tidurlah. Besok kita akan kerumah itu untuk bersih-bersih. Istirahat lah, dan simpan tenaga untuk esok hari..."
"Ya Bu....!"
.
Pagi harinya, mereka semua akan pergi meninggalkan hotel dan melihat rumah yang mereka beli untuk dibersihkan.
Kali ini Pak Karya yang akan menyetir.
Mereka melewati jalan raya dan setelah itu masuk jalan setengah aspal. Kanan kiri nampak pematang sawah dengan padinya yang siap panen.
"Sudah lama tinggal di kota, pemandangan seperti ini sangat indah. Inilah alasan kenapa kalau sudah tua, tinggal di desa adalah pilihan yang tepat.." ucap Pak Karya pada istrinya yang memang lahir di kota dan belum pernah tinggal di desa.
"Ayahmu sudah lama ingin pulang kampung, dan sekarang keinginannya terpenuhi. Ketika menikah, dia tinggal bersama ibu dan kini kita semua akhirnya akan tinggal di desa,"
"Ayah suka, tapi kami?" ucap Sintia agar tersungut.
"Kamu kali, aku sih di kota sama didesa sama saja!" jawab Rangga sambil menggoda adiknya.
"Rangga!"
"Apa?"
"Awas ya...nanti kalau kamu juga melihatnya, maka baru tahu rasa!"
"Tidak akan! Makanya jadi orang jangan penakut. Berani dikit napa!" Rangga mendengus.
"Ayah....aku takut tinggal dirumah yang baru itu...."
"Sintia, jangan takut. Ada ayah dan ibu, juga ada Rangga. Kita tinggal berempat. Kamu tidak sendirian, jadi jangan takut. Dan sekali lagi....hantu itu tidak ada,"
"Ayah......"
"Apa aku bilang...satu kata untukmu....kasihan.....!" Rangga mengejeknya.
"Aish!"
"Sudah...jangan bertengkar didalam mobil. Rangga! Sintia! Diamlah, sebentar lagi kita sampai....!"
Mereka akan memarkir mobilnya di halaman. Ibunya turun dan membuka gembok lalu membuka gerbangnya dengan lebar.
Kreeeekkkkkk!
Suara besi yang nampak jarang dipakai jadi agak seret dan bunyinya keras.
Perlahan Sintia turun dan melayangkan matanya dilantai atas.
Deg.
Apa itu? Dia melihat sesuatu mirip dengan orang bergelantungan.
Sintia menatap tajam bayangan yang seperti orang berayun-ayun diatas plafon kamar.
"Ayo kita keatas! Aku melihatnya!" anaknya pada Rangga. Sintia ingin membuktikan jika dia melihat ke anehan pada rumah yang sudah terlanjur di beli ayahnya.
"Apa!?" Rangga sedikit mendongakkan dagunya.
"Ikut saja!" dia sedikit memaksa.
Sintia menarik tangan Rangga dan akan memperlihatkan padanya jika rumah ini berhantu.
"Eehhh, kalian mau kemana?" tegur ibunya ketika melihat Sintia dan Rangga nampak buru-buru.
"Ke atas sebentar Bu....." jawab sintia tanpa menoleh. Tatapannya fokus ke depan. Rangga harus melihat apa yang dia lihat, batinnya.
"Kita bersih-bersih dulu...." Ucap ibunya.
"Cuma sebentar Bu...." Sintia baru menoleh dengan tatapan memohon.
"Baiklah...." Ibunya tersenyum lalue meneruskan bersih-bersih.
Sintia menarik Rangga ke atas dan menuju kamar yang menghadap ke kuburan itu.
Perlahan Sintia membuat pintunya dan akan memperlihatkan pada kakaknya jika dia tidak bohong bicara soal hantu itu.
"Memangnya kenapa kau mengajakku kemari?" Ujar Rangga kesal karena Sintia terlihat aneh.
"Kau tidak percaya pada hantu bukan? Kau akan percaya setelah melihat semua ini!" Sintia antusias yakin jika Hantu itu saat ini sedang bergelantungan di plafon kamar itu.
"Diamlah! Nanti hantunya keburu pergi!"
"Halahhhh! Paling juga halusinasimu saja!" Rangga tidak percaya pada hal seperti itu. Mereka terbiasa tinggal di kota, dan cerita soal hantu jarang terdengar oleh mereka. Kecuali mereka menonton dalam drama.
"Ayo cepetan buka!" Cetus Rangga
Sintia menatap wajah Rangga sebelum membukanya dan ternyata yang bergelantungan itu adalah tirai yang di gantung di plafon.
"Mana! Katanya kau melihat hantu bergelantungan!?"
Rangga mencecar Sintia dan mentertawakan dirinya.
"Tadi aku melihat mereka. Mereka bergelantungan disini!" Ucap Sintia menatap pada tirai itu.
"Sudah ku duga. Aku tidak percaya pada halusinasi mu itu! Konyol!" Kesalnya.
Rangga lalu meninggalkan Sintia di kamar dan dia turun kebawah.
Sintia terpaku sendirian mengamati tirai itu.
"Aneh! Tadi bukan seperti ini. Kenapa sekarang jadi berubah?"
Sintia benar-benar melihat para hantu bergelantungan tadi, tapi ketika dekat, kenapa itu tirai.
Tidak mungkin, batinnya. Itu jelas berwujud mirip badan orang, apakah mereka bersembunyi di sekitar sini? Mereka tahu aku mengajak Rangga untuk melihatnya?
Ketika Sintia memegang tirai itu, tiba-tiba pintunya bergerak sendiri dan tertutup.
Braaakkk!
Sintia menoleh ke arah pintu yang tertutup.
"Rangga! Apakah kau yang menutup pintunya!"
Tidak ada sahutan.
"Rangga! Jangan konyol! Aku masih didalam!"
Sintia berteriak dan bergerak menuju pintu kamar itu.
"Astaga! Dia menguncinya! Rangga benar-benar keterlaluan!" Titik Sintia
"Rangga! Buka pintunya! Aku masih didalam!"
Sintia berteriak dan ternyata tidak ada yang mendengarkan teriaknya tersebut.
Ayah dan ibunya sedang sibuk membersihkan lantai satu. Sementara Rangga membantu mengangkat barang yang berat.
"Ibu tidak melihat Sintia sejak tadi, dimana dia?" Tanya Bu Ratih sambil mencari-cari keberadaan Sintia.
Setelah dua jam mereka sadar jika Sintia tidak bersama mereka di lantai bawah.
Rangga nampak berfikir.
"Astaga! Apakah dia masih betah dikamar itu!"
Rangga segera berlari naik ke atas. Dan dia melihat pintu itu tertutup.
"Sintia! Kau dimana?"
Tidak ada sahutan.
"Kemana anak itu? Apa dia berjalan kekamar lain? Biar aku lihat? Bukannya membantu malah mencari hantu! Dasar anak aneh!"
Rangga membuka setiap kamar dan tidak menemukan Sintia.
"Tidak ada! Dia tidak ada dimana-mana. Ah coba aku lihat dikamar yang tadi!"
Rangga lalu kembali ke kamar yang tadi dia masuk bersama Sintia.
"Sulit sekali membuka kamar ini!"
Rangga berusaha membuka kamar yang tadi.
Kreeekkkkk!
"Pantas saja sudah dibuka! Pintunya seret!"
Dia lalu melemparkan pandangan nya pada sekeliling kamar itu dan melihat sesuatu.
"Sintia! Astaga!"
Ternyata Sintia bergelantungan dijendela dan pingsan!
"Apa yang kau lakukan di penggir jendela dan menggantung seperti ini? Kau sudah bosan hidup hah!?"
Rangga nampak shock sekaligus marah.
"Ini tidak lucu! Kau bisa jatuh dan celaka!"
Sintia perlahan membuka matanya.
"Aku ada dimana?"
"Heh! Kau masih dikamar yang tadi. Jika aku tidak datang menyelamatkan mu, maka kau bisa jatuh kelantai bawah!" Ucapnya geram.
"Memangnya apa yang aku lakukan?"
Sintia tidak sadar dan saat ini berada di pangkuan kakaknya.
"Kau pingsan dan menggantung di jendela itu!" Katanya sambil menunjuk jendela yang menghadap ke kuburan.
"Hah? Masa sih? Mana mungkin?"
"Pakai nanya lagi! Aku baru saja menyelamatkan dirimu dari sana! Lihat! Jantungku masih berdebar kencang karena kekonyolan mu itu!"
"Coba ingat-ingat, apa yang terjadi?"
Sintia mengerutkan keningnya dan mengingat kejadian dua jam lalu.
"Kau keluar dari kamar dan mengunciku didalam...." Ucap Sintia menatap lekat wajah kakaknya.
"Itu tidak benar! Yang benar, aku keluar dan aku tidak menutup pintunya,"
"Benarkah?"
Kini Sintia yang ternganga karena terkejut.
"Jika bukan kau yang menutup pintunya, artinya pintu itu tertutup dengan sendirinya atau ada hantu yang menutupnya,"
"Sudahlah! Lupakan soal hantu! Lihat! Karena kau terus bicara soal hantu, kau berhalusinasi dan hampir celaka!"
"Beneran kak! Aku tidak berjalan ke jendela. Berarti ada yang memindahkan aku ketika aku pingsan tadi!"
"Hahahaha...... Apakah teman hantumu yang memindahkanmu kesana?!"
"Kak, diamlah. Bukan waktunya bercanda. Ini serius!" Sintia kesal karena Rangga tidak percaya pada ucapannya.
"Sudahlah! Ayo turun! Ayah dan ibu mencarimu sejak tadi!"
Mereka lalu turun ke bawah da n menemui ayah dan ibunya.
"Apa yang kalian lakukan diatas?"
"Tidak ada. Hanya dia berhalusinasi seperti kemarin!" Rangga bicara pada Sintia agar tidak menceritakan hal barusan dan membuat ayah dan ibunya cemas.
Dan Sintia menuruti apa katanya.
.
Setelah selesai membersihkan lantai bawah, kini tersisa setengah hari dan mereka melanjutkan membersihkan lantai atas.
"Sudah mau Maghrib, lebih baik kita kembali ke hotel!" ucap ayahnya.
"Baiklah...."
Istrinya lalu mencari Rangga dan Sintia tapi tidak melihatnya.
"Dimana mereka?"
"Kami disini Bu...." ucap Rangga dan Sintia yang sedang membersihkan salah satu kamar di lantai atas itu.
"Ayo kita pulang! Sudah mau Maghrib!"
Mereka lalu menuruni tangga dan ketika keluar dari pintu rumah itu, Sintia menoleh ke belakang.
Deg.
Dia melihat sepasang mata melotot padanya penuh amarah.
Rambutnya acak-acakan dan wajahnya hanya terlihat matanya saja.
"Astaga!"
"Apa!?"
Rangga kaget karena ada disampingnya.
"Itu.....!" Sintia menjadi kaku dan menunjuk wajah tadi.
"Apa!? Tidak ada apapun!"
"Aku melihatnya. Dia terlihat marah dan melotot pada kita...."
"Ah sudahlah! Ngapain juga aku percaya dengan halusinasi mu yang konyol itu!"
Rangga tidak mempedulikan nya dan segera masuk ke mobil. Begitu juga ayah dan ibunya.
Sementara Sintia masih terpaku di halaman dan sekali lagi dia menoleh ke belakang.
Deg.
Hantu itu terlihat melotot kembali padanya.
"Hiiiiiiii!"
Sintia segera masuk ke mobil dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Aneh! Kenapa hanya aku yang melihatnya? Sementara ayah, ibu Kak Rangga tidak melihatnya? Hantu itu sangat jail padaku! ucapnya kesal dalam hati.
Rangga sendiri sebenarnya bingung kenapa tadi adiknya bergelanyut di jendela dan jika dia tidak cepat datang maka dia bisa celaka.
Namun untuk mempercayai hantu penghuni rumah kosong, dia pikir itu hal yang tidak masuk akal.
Dia hanya menduga jika adiknya terlalu banyak berhalusinasi sehingga dia menggantung di jendela.
"Untung saja aku cepat datang! Jika tidak...entah apa yang akan terjadi!"
Tidak lama kemudian, Rangga tertidur karena kelelahan.
Sedangkan Sintia masih gemetar ketakutan. Kakinya sangat dingin dan dia merasa jantungnya tidak berhenti berdebar
"Ada apa? Kau tidak kenapa-kenapa kan?"
Tanya ibunya ketika melihat sejak tadi si tua diam saja.
Sintia hanya menggeleng lemah, dalam hati berbisik, percuma dia katakan, karena tidak ada yang akan percaya padanya.
Keadaan di rumah kosong malam ini sangat lain dari biasanya. Seorang warga lewat dan melihat beberapa bayangan nampak keluar dari rumah itu.
"Lihat! Mereka mulai keluar!"
"Apa?"
"Penghuni rumah itu! Siapa lagi!"
Ada Pak Joni sedang menebang pohon bambu bersama adiknya Roni.
"Ron! Aku dengar rumah itu akan di huni oleh orang dari kota," ucapnya sambil menebang pohon saat jam tiga pagi.
"Ya. Katanya kemarin mereka datang dan bersih-bersih,"
"Kok bisa ya laku? Apa dia ngga melihat kanan kirinya yang tidak ada satu rumah pun,"
"Entahlah, aku juga ngga tahu Jon,"
.
Saat malam hari, Sintia bermimpi jika dia didatangi seorang gadis berambut panjang.
"Siapa kamu?" Tanya Sintia ketakutan.
"Aku Rima. Aku terjebak disini sendirian. Keluarkan aku dari sini...."
Rintihnya meminta tolong pada Sintia.
"Aku tidak mengenalmu!"
Sintia mulai terlihat ketakutan. Dia menyadari jika gadis itu tidak menginjak tanah. Dia berdiri dengan melayang di udara.
"Jangan takut. Aku tahu cuma kamu yang bisa menolongku dari mereka,"
"Siapa mereka?"
"Mereka tidak ingin aku pergi dari rumah itu. Aku terjebak disana. Aku ingin berkumpul dengan keluarga ku...."
Ternyata setelah mengatakan hal itu gadis itu menghilang dari hadapannya.
"Ya Tuhan!" Sintia terbangun dan melihat ke sekelilingnya.
"Aku masih berada di hotel, dan gadis itu? Rima. Kemana perginya?"
Sintia lalu bangun dan tanpa sadar kakinya melangkah keluar dari hotel. Dia keluar ditengah malam dan tanpa ada yang tahu.
Dia sudah berjalan ke jalan raya dan menyetop sebuah mobil.
Mobil itu berhenti dan ternyata tidak ada sopirnya.
"Ha....hhhh!"
Sintia ketakutan ketika menyadari jika dia sudah naik taksi hantu.
"Aku harus keluar!"
Namun taksi itu terus melaju dan sebenarnya yang menyetir adalah Rima. Hantu yang baru saja menemuinya didalam mimpi.
Flash back.
Rima adalah korban kecelakaan satu keluarga. Dan mereka di kuburkan di satu tempat yang sama pada saat itu.
Tiba-tiba lahan itu di jual oleh pemiliknya dan semua tulang belulang di pindahkan dan tertinggal milik Rima seorang.
Tidak lama kemudian setelah acara pemindahan tulang belulang itu lahan kosong itu akan di ubah menjadi perumahan. Dan ternyata perumahan itu tidak laku dan hanya satu lahan yang berhasil di jual.
Lahan itu di beli oleh keluarga Anggoro dan setelah di beli langsung di bangun rumah dua lantai olehnya.
Tidak lama kemudian rumah itu jadi dan ditempati oleh keluarga Anggoro. Tidak ada kejadian aneh selama mereka menempati rumah itu.
Namun lama kelamaan hal mistis mulai terlihat.
Dua tahun mereka tinggal disana ternyata kanan dan kirinya tetap tidak laku. Dan akhirnya Pak Anggoro sadar jika dia telah salah membeli tanah perumahan yang hanya di tempati oleh dirinya seorang.
Pemilik tanah itu lalu mulai menanam pohon besiar di kanan belakang dan kiri rumah pak Anggoro yang tidak laku. Sejak tanaman itu semakin besar, suasana semakin mencekam.
Pak Anggoro seperti tinggal di tengah hutan tanpa tetangga. Seberang jalan didepan rumahnya ada tebing dan di atasnya adalah kuburan.
Suatu malam, pak Anggoro tanpa sengaja membunuh seorang pria yang akan mencuri di rumahnya.
Karena tidak mau di salahkan dan masuk penjara, maka dia menguburkannya dengan membongkar lantai dan memasukkan jenasah itu kedalamnya lalu menutupnya dengan keramik.
Dan ternyata tanpa sepengetahuan pak Anggoro didalam tanah yang dia gali ada tulang belulang milik Rima. Hingga karena perbuatan pak Anggoro, Rima menjadi tersiksa karena arwah pencuri itu terus memaksanya untuk mencari keluarganya dan mengeluarkan dirinya dari rumah itu.
Masa sekarang.
"Siapa kamu?" Tanya Sintia ketika tiba-tiba sosok hantu putih itu muncul di kemudi stir.
Keberanian nya muncul karena hantu putih itu sepertinya tidak akan menyakiti nya. Bukankah dia sudah datang menemuinya untuk minta tolong.
"Aku Rima. Aku yang menemuimu di dalam mimpimu,"ucapnya tanpa menoleh.
"Kau akan membawaku kemana?"
"Aku akan mengajakmu kerumah kosong itu,"
"Apa!?"
"Aku tidak akan menyakitimu. Tapi kau harus menemui seseorang,"
"Siapa?"
"Dia!"
Entah dia siapa yang di maksud oleh hantu Rima.
Mereka kini sudah sampai didepan rumah kosong. Dan Tiba-tiba Rima sudah menghilang, ketika Sintia berhasil keluar dari mobil itu.
Sintia berdiri disamping mobil itu dan bulu kuduknya berdiri. Bagaimana tidak? Di tengah malam dia berada sendirian di depan rumah kosong dan di atas tebing merupakan kuburan yang waktu itu ada makhluk mengerikan yang menampakkan diri padanya.
"Masuklah!"
Rima melambai dari dalam rumah itu.
"Hah!? Dia ada disana?!"
Sintia kaget karena Rima tiba-tiba sudah ada didalam rumah kosong itu.
Perlahan Sintia masuk kedalam dan ketika dia berhasil masuk, pintu rumah itu terbuka dengan sendirinya dan tertutup seakan ada makhluk tidak terlihat yang menjaganya.
"Aku sudah membawanya...." ucap Hantu Rima pada sosok yang hanya nampak punggungnya saja.
Sintia semakin gemetar ketika melihat apa yang ada didalam rumah itu. Ternyata didalamnya ada pocong, anak-anak kecil dan juga sundel bolong. Mereka sepertinya memang sudah menunggu kedatangannya.
"Ahhh! Kenapa aku percaya pada hantu Rima! Bagaimana jika mereka menyakiti ku dan aku mati di tempat ini!?"
Sintia semakin gemetar.
"Jika kau dan keluarga mu ingin selamat maka jangan tinggal disini. Rumah ini milik kami!"
Ucap sundel bolong yang tidak menampakkan mukanya. Hanya rambutnya hitamnya yang panjang tergerai menutup dadanya.
"Kenapa?!"
"Kami sudah membelinya. Jika tidak tinggal disini lalu kami harus tinggal dimana?"
"Terserah padamu. Tapi jika kau nekat tinggal disini maka kami akan membunuhmu!" Ancam hantu wanita dengan rambut panjang itu.
"Siapa sebenarnya kalian?"
"Kami sudah lama menempati rumah ini dan kau lihat dia anak itu? Mereka adalah anak-anak ku. Dan dia? Dia adalah Pemimpin kami. Dan gadis yang menemuimu? Dia adalah pesuruh kami!"
"Apa!?"
"Kau lihat rumah ini penuh dengan arwah. Dan di setiap sudut rumah sudah ada yang menghuninya. Jika kau mengusik kami, maka kami tidak akan mengampuni mu!"
"Tidak....ini tidak mungkin...." Sintia tidak percaya jika ini adalah kenyataan.
Diapun mencubit lengannya dan ternyata terasa sakit. Artinya ini nyata dan bukan mimpi.
Tapi bagaimana aku bisa melihat mereka semua dan bicara pada arwah? Ada apa denganku? Rangga, ayah dan ibu tidak bisa melihat mereka. Kenapa hanya aku yang bisa melihatnya?
Sintia segera berlari menuju jalan raya dan kebetulan ada seorang pemuda yang lewat dengan motornya baru pulang kerja.
Bruuukkkk!
Sintia tidak sadarkan diri dan jatuh didepan motornya.
"Astaga! Aku menabrak nya!"
Pemuda itu lalu turun dari motornya dan akan menolong Gadis itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!