"Ahh.. Apakah begini rasa nya di surga?" gumam Eleanor yang masih belum sepenuhnya tersadar akan situasinya saat ini.
Kamar yang bersih dan luas, serta aroma dari berbagai macam bunga yang menusuk indera penciuman nya, "Ya, tidak buruk juga.. Dibanding kamar kecil dan kumuh tempat ku mati sebelumnya." ucapnya membandingkan kamar nya sekarang dengan tempat yang ia tinggali sebelumnya.
"Nona Eliza, anda sudah sadar? Saya akan panggilkan dokter." kata seorang pelayan yang berlalu pergi begitu saja setelah salah memanggil nama nya.
Seorang lelaki setengah paruh baya dan seorang dokter kemudian masuk ke kamar nya. Setelah dokter selesai memeriksanya, pria paruh baya yang nampak begitu khawatir itu segera memeluknya sembari menangis tersedu-sedu.
"Putri ku tersayang, bagaimana kau bisa melakukan hal se-ekstrim itu? Ayah pasti tak akan bisa melanjutkan hidup jika harus kehilangan mu juga, sayang ku." ucap pria itu sambil terus menangis seperti bayi.
Eleanor masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi, mengapa ia dipanggil Eliza bukan Eleanor. Dan bisa-bisanya Count Swan memperlakukan nya seperti ini. Gadis itu terus saja diam tak bergeming membuat Count Swan melepaskan pelukan nya.
"Apa Eliza masih tak enak badan? Maafkan ayah karena sudah terlalu banyak bicara. Istirahatlah agar kau lekas membaik, ayah akan menyuruh seseorang untuk membawakan mu makanan." ucap Count Swan lalu ia meninggalkan Eleanor yang masih dilanda kebingungan sendirian dikamar itu.
Eleanor beranjak dari tempat tidurnya, melangkah ke sebuah cermin berukuran besar yang berada di samping meja rias nya. Setelah memastikan dengan mata kepala nya sendiri ternyata benar jika dirinya kini bukan lagi Eleanor. Orang-orang itu tidak sekedar salah memanggilnya dengan nama yang berbeda.
Eleanor Avellar adalah putri semata wayang seorang Baron yang memiliki banyak toko perhiasan yang tersebar di setiap kota besar Kekaisaran Alexandria. Memiliki bisnis yang dikelola secara turun temurun dari generasi ke generasi membuat Baron Avellar memiliki kekayaan yang setara dengan seorang duke.
Disaat usia nya belum genap 10 tahun, sang ayah meninggal dunia karena penyakit pneumonia yang dideritanya. Sebagai sahabat terdekat mendiang Baron Avellar, Edgar Fosberg senantiasa berada disamping Baroness Avellar yang kini menjadi seorang janda. Hingga tak lama kemudian Baroness Avellar terpikat kebaikan serta kehangatan Edgar Fosberg yang tampan. Mereka berdua menikah memutuskan untuk menikah tak lama kemudian.
Namun di malam yang harusnya membahagiakan, Baroness Avellar justru mengalami hal yang tak di duga sebelumnya. Ketika sedang menunggu Edgar didalam kamar, tiba-tiba saja seorang pelayan yang mabuk berat masuk ke dalam kamar dan melecehkan Baroness.
"Lepaskan!!" dengan sekuat tenaga Baroness berusaha untuk kabur dari dekapan pelayan yang sedang mabuk itu, namun pelayan yang sedang dibutakan nafsu itu lebih kuat darinya.
"Tolongg..!! Siapa saja, tolong aku..!!" ia berteriak sekencang yang ia mampu, kemudian beberapa pelayan masuk disusul Edgar dan Eleanor dibelakangnya, ia merasa lega melihat suaminya datang untuk menolong.
Alih-alih menghajar pelayan yang telah melecehkan sang istri di malam pertama mereka, Edgar justru menuduh Baroness telah berselingkuh darinya.
"Apa-apaan ini?!" tuturnya dengan penuh angkara murka yang tersirat melalui mata nya.
"Edgar..!! Pecat dia, dia telah-"
Belum selesai Baroness berbicara, Edgar menyela nya, "Ternyata begini kelakuan mu selama ini? Sungguh menjijikan!"
Baroness sangat terkejut mendengar ucapan Edgar yang seolah menuduh dirinya alih-alih membelanya, "Ed.. Ini bukan seperti yang kau kira. Dialah yang tiba-tiba masuk dengan sendirinya." tubuh Baroness gemetar hebat.
"Tutup mulut mu dasar ******!" Edgar ganti menatap Eleanor dengan tatapan jijik, "Apa kau benar putri kandung sahabatku, Baron Avellar?" ucapnya meragukan asal usul Eleanor, seolah gadis kecil itu adalah anak hasil hubungan gelap sang ibu dengan pria selain mendiang Baron Avellar.
Merasa hina dan putus asa, keesokan harinya Baroness Avellar ditemukan telah tewas gantung diri di dalam kamarnya. Dalam sekejap Eleanor menjadi yatim piatu.
Karena rumor tentang perselingkuhan Baroness telah menyebar, hal itu memicu keraguan masyarakat tentang kebenaran asal usul Eleanor. Hingga akhirnya ia pun diusir dari kediaman Avellar dengan mudahnya oleh Edgar. Pria itu mengirimkan Eleanor kepada saudara sepupu jauh Baroness, yaitu Viscount Magnus. Thomas Magnus adalah Kepala Komandan Ksatria Senior yang sangat dipercaya oleh Kaisar Charleston de Alexandria.
"Sayang.. Bagaimana pun Eleanor adalah keponakan ku, yang berarti keponakan mu juga. Dia tidak punya siapa-siapa lagi selain kita." bujuk Viscount Magnus kepada istrinya yang keberatan jika harus menampung Eleanor dirumahnya.
"Tidak, Thomas! Aku tidak mau ada anak yatim yang tinggal dirumah ini. Rumah kita bukan panti asuhan!" pekik Viscountess dengan terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan nya pada Eleanor yang juga berada di ruangan itu.
"Jika kita mengusirnya saat ini juga justru akan muncul rumor jika kita telah tega mengabaikan anak yatim piatu yang tak memiliki tempat bernaung. Aku bisa saja bersikap tak acuh, tapi bagaimana dengan kehidupan sosial mu?" terang Thomas yang akhirnya membuat sang istri menjadi sependapat dengan nya.
"Huh merepotkan!" ucap Viscountess yang kemudian berlalu pergi.
Eleanor bisa sedikit merasa lega, setidaknya ini adalah rumah saudara nya. Bukan orang lain seperti Edgar. Setiap harinya ia selalu di minta untuk membersihkan ruang kerja paman nya. Eleanor sama sekali tak keberatan jika hanya sebatas itu. Justru ia lebih tak enak hati jika hanya menumpang dengan gratis. Tapi hari ini berbeda dengan biasanya, sebelumnya Viscount Magnus hanya menatapnya dari tempat duduk ruang kerja. Sekarang pria paruh baya itu berdiri tepat dibelakang Eleanor.
"Eleanor.." suara paman nya terdengar aneh tak seperti biasanya.
"Y-ya, paman?" jawab Eleanor gugup, posisi sang paman berada terlalu dekat. Bahkan hembusan nafasnya terasa di ujung telinga Eleanor.
Deg!
Eleanor membeku ketika tangan sang paman kini telah melingkar di pinggang kecilnya. Ia sadar jika hal itu tak sepatutnya dilakukan oleh paman kepada ponakan nya yang masih belia.
"Pa-paman.. Tolong jangan seperti ini.." ucap Eleanor dengan suara lirih, tubuhnya bergetar ketakutkan.
"Ssttt.. Jangan berisik.. Nanti istriku akan tahu.." ucapan sang paman itu benar-benar membuatnya bergidik ngeri.
Bagaimana bisa Viscount Magnus yang terhomat melakukan hal semacam ini kepada keponakan nya sendiri. Eleanor hanya bisa menangis, gadis kecil itu tak punya kekuatan atau bahkan kekuasaan untuk melawan sang paman.
Bruak!
"Thomaass!!!!" pekik Viscountess Magnus dengan penuh angkara murka yang terlihat jelas di mata dan wajah nya.
"Sa-sayang.. Ini tidak seperti yang kau lihat.." ucap Thomas berusaha menenangkan sang istri.
"Aku tak peduli dengan kelakuan mu diluar sana. Tapi tidak didalam rumah ini, Thomas! Apa kau sudah gila?!" teriak nyonya rumah itu yang kini benar-benar murka.
Sesungguhnya Viscountess sudah mengetahui tabiat buruk sang suami yang memiliki fetish terhadap gadis belia. Namun ia tak peduli selama dirinya masih diperlakukan layaknya ratu tanpa kekurangan satu hal apapun.
"Di-dia yang merayu ku terlebih dulu! Percayalah sayang..."
Eleanor yang masih muda belia dan polos hanya bisa menangis dan berharap semoga saja sang bibi membelanya. Namun tentu saja dunia yang keras dan kejam ini tidak berpihak pada yang lemah. Viscountess justru mengkambing hitamkan Eleanor untuk menjaga nama baik sang suami. Walau ia tahu kebenaran yang terjadi di dalam ruang kerja Thomas Magnus.
"Buah memang jatuh tak jauh dari pohon nya. Aku kini paham mengapa Edgar bisa mengusir mu dari sana, kau memang sama gatalnya dengan ibu mu!" ucap Viscountess pada Eleanor.
Gadis muda itu hanya bisa menunduk dan terus menangis, "Saya bersumpah, saya sungguh tak melakukan apapun, Bibi..." jelasnya sembari meremas gaun nya ketakutan.
Viscountess semakin geram, "Jangan panggil aku bibi dengan mulut mu, aku bukan bibi mu! Pergi kau sekarang dari sini, aku tak sudi kediaman Magnus yang terhormat dihinggapi lalat seperti mu. Bahkan lalat pun masih jauh lebih bagus daripada dirimu yang kotor dan hina!" tak cukup hanya dengan menuduhnya, Viscountess pun menghina gadis sebatang kara itu.
"Ta-tapi saya tidak tahu harus kemana lagi?" tuturnya dengan suara yang parau.
"Itu urusan mu! Pelayan..!! Cepat seret dia keluar dari sini..!!" dua orang pelayan pun masuk dan segera menyeret gadis malang itu keluar dari kediaman Magnus.
Di usia yang semuda itu Eleanor telah menanggung banyak penderitaan serta hinaan. Kini ia bukan lagi Lady Eleanor putri Baron, ia hanyalah seorang gadis kecil yang tidak dianggap eksistensi nya oleh siapa pun. Semenjak itu Eleanor kecil harus bekerja serabutan untuk menghidupi dirinya sendiri. Entah sejak kapan ia menjadi sakit-sakitan. Gejala yang di alami nya sama seperti penyakit yang di derita Baron Avellar, pneumonia.
"Lihatlah gadis itu... Dulu nya seorang bangsawan terhormat, tapi kini bahkan derajatnya lebih rendah daripada kita." ucap salah satu wanita asing.
"Itulah sebabnya sebagai wanita kita harus memiliki harga diri, sudah bagus Viscountess menerima nya untuk tinggal bersama ia malah tak tahu malu berharap menjadi selir paman nya sendiri." ucap salah satu nya lagi.
"Gadis murahan yang menjijikkan, memang penyakit ****** itu adalah keturunan!"
"Hahahaha!!!" mereka berdua tertawa terbahak-bahak seolah puas telah menghina Eleanor.
Semakin bertambah nya usia penyakitnya pun kiat memburuk. Jangankan untuk pergi ke dokter dan membeli obat, sekedar menyukupi kebutuhan nya sehari-hari Eleanor kesulitan. Meski sudah 10 tahun berlalu, orang-orang tetap menganggapnya sebagai perempuan rendahan yang hina dan kotor. Ia tak diberi upah yang layak seperti orang kebanyakan. Tak jarang Eleanor hanya diberi seperempat dari upah seharusnya.
Malam itu langit cerah tak berawan membuat bulan bersinar dengan terang nya. Cahaya bulan itu kemudian menerobos masuk melalui celah-celah ventilasi udara yang berada di atas kepala nya. Eleanor yang malang tengah berbaring di tempat tidurnya, ia meratapi hidupnya yang penuh derita. Disaat terakhirnya itu pun dia sama sekali tak menangis, hanya kebencian yang mendalam untuk Edgar yang setia menemani.
Eleanor menatap ke langit-langit kamar nya yang usang dan penuh jaring lelaba, "Uhukk.. Uhukk.. Sebenarnya dosa apa yang sudah ku lakukan di masa lalu sehingga aku harus mati dengan menyedihkan seperti ini? Uhukk.." darah yang keluar bersamaan dengan dahaknya kian banyak, "Jika dewa benar-benar ada... Tolong berikan lah aku kesempatan untuk hidup sekali lagi agar aku bisa membalas apa yang telah Edgar lakukan terhadap keluarga ku.."
...****************...
Semua gambar hanya ilustrasi.
Yang di ambil dari Pinterest
Ilustrasi Eleanor kecil ketika ayah nya masih hidup
Eleanor yang rajin belajar
Setelah ayah dan ibu nya meninggal, memakai pakaian sederhana, selalu murung
Eleanor di masa remaja nya, bekerja serabutan demi bertahan hidup, namun mati mengenaskan di usia 20 tahun
Jelas-jelas malam itu dia yakin bahwa dirinya sudah meninggal. Tapi begitu tersadar ia sudah berada di dalam tubuh seorang gadis yang bernama Elizabeth. Begitu banyak pertanyaan yang muncul dibenaknya tapi Eleanor memilih untuk memastikan hal yang terpenting lebih dulu. Ia harus tahu bagaimana nasib dirinya yang sebenarnya dan mengapa ia bisa berada di dalam tubuh ini. Ia membunyikan sebuah lonceng kecil yang berada di atas nakas nya, tak lama kemudian seorang pelayan masuk ke dalam kamar nya.
"Nona Eliza, apa anda membutuhkan sesuatu?" tanya pelayan itu pada nya.
"Aku ingin jalan-jalan, aku bosan berada disini." Eleanor berniat untuk mengetahui situasi dirumah ini terlebih dulu, ia tak ingin membuat orang di sekeliling nya curiga jika dirinya bukan Eliza. Setidaknya ia membutuhkan satu orang pelayan yang bisa menjadi orang kepercayaan nya yang bisa ia gunakan untuk banyak hal.
"Tapi anda belum pulih sepenuhnya, Nona." ucap pelayan itu.
Eleanor menatapnya selama beberapa saat mencoba mencari alasan yang lain, "Kepala ku pusing dan badan ku rasa nya lelah karena terus berbaring disini. Sepertinya sinar matahari akan membantu ku pulih dengan cepat."
Pelayan itu menghela nafasnya pasrah, "Baiklah, Nona. Tapi sebelum itu anda harus makan terlebih dulu."
Krucuukk~
Pelayan itu tersenyum mendengar suara perut nona nya yang keroncongan. Mau tak mau ia harus makan sebelum melancarkan aksinya. Setelah selesai menyatap makanan yang sudah lama tidak ia makan, kini dirinya tengah dibantu oleh seorang pelayan untuk berganti pakaian.
Ketika ia berkeliling kediaman itu, sebagian besar pelayan membicarakan nya dibelakang. Sepertinya kehidupan Nona Eliza tidak begitu baik. Menyadari perilaku tak sopan para bawahan kepada majikan nya itu, Eleanor menarik kesimpulan jika Nona Eliza adalah gadis yang lugu, polos dan bodoh. Setidaknya jika Nona Eliza bersikap tegas pasti tidak akan terjadi hal seperti ini padanya.
"Panggil seluruh pelayan ke kamar ku. Aku akan kembali duluan." ucapnya kepada pelayan yang berada di samping nya.
"Sekarang, Nona?" tanya pelayan itu memastikan.
Eleanor meliriknya dengan dingin, "Apa aku harus mengatakan nya dua kali?" tuturnya.
"Ba-baik, Nona." pelayan itu menunduk patuh.
Setelah ia berjalan beberapa langkah, Eleanor mendengar pelayan barusan mendengus kesal padanya. Mengetahui hal itu membuatnya lega, ternyata pelayan itu tidak cocok untuk dijadikan nya sekutu. Eleanor menyeringai lalu segera kembali ke kamar nya.
Kurang lebih setengah jam berlalu dan hanya ada dua orang pelayan yang datang ke dalam kamar nya. Salah satunya adalah pelayan yang bersama tadi, sedang satu lagi adalah pelayan lain. Pelayan itu terlihat kaku dan kikuk.
"Siapa nama mu?" tanya nya kepada pelayan yang kikuk itu.
Pelayan itu nampak gugup, "Na-nama saya, Leila, Nona Eliza." jawabnya.
"Dia adalah pelayan yang baru saja bekerja disini sejak seminggu yang lalu, apa anda lupa?" tanya pelayan yang satu nya lagi.
"Baiklah, kau boleh pergi dan leila tetap disini." ucap nya pada sang pelayan.
Setelah tinggal mereka berdua saja di dalam kamar tersebut, Eleanor melontarkan beberapa pertanyaan Leila. Dari situ ia mengetahui jika Leila adalah seorang anak yatim piatu yang dibesarkan di sebuah panti. Menemukan beberapa kesamaan membuatnya mantap untuk menjadikan Leila sebagai orang kepercayaan nya di rumah ini.
"Leila, apa aku bisa mempercayai mu?" tanya Eleanor sembari menatap nya dengan tajam.
Leila sangat gugup, Nona yang biasanya bersikap manja itu tiba-tiba menatapnya dengan penuh intimidasi, "Sa-saya akan senang jika bisa membantu Nona Eliza."
"Ada hal yang perlu aku pastikan, tapi kau juga tahu sendiri jika kondisi ku sekarang. Jadi aku perlu bantuan mu, apa kau bisa?"
"Saya akan melakukan apapun itu, Nona."
Eleanor mengutus Leila untuk memastikan bagaimana keadaan tubuh nya sekarang. Ia memberitahukan dimana tempat tinggal nya yang sebelumnya. Eleanor benar-benar berharap jika Leila tidak akan mengecewakan nya. Jika dia bisa melakukan tugas pertama ini dengan mulus, selanjutnya Eleanor akan menaikan upah Leila.
"Leila, jika sampai hal ini bocor ke telinga ayah ataupun pelayan lain.. Aku tidak akan segan terhadapmu." tutur Eleanor dengan tatapan membunuh.
Glek!
Leila menelan saliva nya dengan susah payah, "Ba-baik, Nona Eliza." kemudian gadis itu pun keluar dari kamar sang empunya.
Ditengah keheningan ia tiba-tiba teringat akan ucapan salah seorang pelayan yang membicarakan nya dari belakang tadi. Samar-samar ia mendengar jika pelayan itu mengatakan Eliza memiliki seorang tunangan, tapi mengapa tunangan nya tidak datang disaat ia sedang sakit begini.
Sebenarnya pria macam apa tunangan mu ini, Eliza?
Juga luka ditubuhnya ini, apa yang sebenarnya terjadi?
Hah.. Sudahlah, mari pikirkan nanti setelah mengetahui keadaan tubuh asli ku.
Begitu banyak pertanyaan yang perlu mendapatkan jawaban. Tapi Eleanor tidak bisa tenang sebelum mengetahui apa yang sudah terjadi padanya. Sembari menunggu Leila datang ia berusaha menyibukkan diri dengan melihat koleksi baju milik Eliza. Mata nya membulat ketika berhasil membuka lemari baju yang berada di sebelah meja rias.
Ini semua benar-benar bukan selera ku.
Di dalam lemari itu begitu banyak gaun namun tidak ada satu pun darinya yang sesuai dengan selera Eleanor. Gaun milik Eliza semua nya berwarna cerah, penuh renda dan pita. Tak ketinggalan selalu ada motif bunga di setiap gaun nya. Menilik dari selera gaun dan dekorasi kamar yang dipenuh berbagai macam bunga, sepertinya Eliza sangat menyukai bunga. Eleanor segera melangkah keluar dari kamar nya menuju ke ruang kerja ayah Eliza.
Tok! Tok!
"Masuk." sahut sang ayah dari dalam ruang kerja nya, kemudian ia pun segera masuk, "Eliza? Ayah kira tadi pelayan yang mengetuk? Kamu kan tidak pernah mengetuk pintu sebelumnya?" terang pria paruh baya itu pada nya.
Selera yang kekanak-kanakan, tidak tegas, ceroboh dan tak tahu etiket.
Sama sekali tak mencerminkan seorang lady.
"Kenapa terdiam, Eliza? Apakah badan mu masih sakit?" tanya pria itu pada nya dengan tatapan yang penuh kekhawatiran.
Eleanor menatap papan nama yang berada di meja kerja, disana tertulis Count Robert Swan, "Tidak, ayah. Ada sesuatu hal yang aku ingin kan."
"Katakan saja. Bukankah ayah selalu mengabulkan semua keinginan mu? Bahkan menjadikan mu tunangan putra mahkota pun terbukti ayah mampu mewujudkan nya. Katakan putri ku tersayang, hal apa lagi yang kau ingin?"
Gadis itu amat terkejut, "Tunangan putra mahkota?!" tanya nya memastikan mungkin ia tadi hanya salah dengar.
Count Swan mendapati sang anak yang berperilaku berbeda sedari tadi segera berdiri menghampiri putri nya itu, pria paruh baya itu mengecek luka yang berada di kepala sang anak, "Elly, apa kau kehilangan ingatan karena cidera kepala mu ini? Apa Elly juga melupakan ayah?"
"Te-tentu saja tidak! Bagaimana mungkin aku melupakan ayah ku tersayang? Aku mungkin melupakan banyak hal tapi tidak dengan ayah ku sendiri." ia benar-benar tak kuasa melihat pria paruh baya di depan nya yang hampir menangis ini. Setidaknya ia harus berusaha untuk menyenangkan nya agar dirinya dapat hidup dengan nyaman dan mudah disini.
Count Swan pun mengangguk kegirangan mendengar ucapan sang anak, "Benar.. Tentu saja Elly harus mengingat ayah bukan? Lalu apa yang kau butuhkan, nak?"
"Sebenarnya aku ingin membeli gaun baru, ayah."
"Beli lah, Elly. Ayah bekerja keras memang hanya untuk mu."
"Lalu aku juga ingin membuang semua gaun ku tanpa terkecuali."
Count Swan lagi-lagi dibuatnya terkejut, "Elly itu semua kan baju kesayangan mu. Kau sengaja mengkoleksi nya. Apa kau yakin?"
Gadis itu mengangguk yakin, "Ayah, bukankah aku sudah dewasa? Jadi menurutku sudah seharusnya aku berperilaku dan berpakaian layak nya lady." ucapnya dengan penuh percaya diri.
Seketika sang ayah pun menangis haru, "Huhuhu... Anakku, ayah tak mengira kau akan dewasa secepat ini. Kau benar, ayah telah menukar gelar Count ini dengan harga yang mahal agar tidak adalagi orang yang meremehkan kita. Ayah akan mendukung dengan senang hati jika Elly kini mau mempelajari etiket bangsawan."
Apalagi ini? Pertama, tunangan putra mahkota.
Menukar gelar Count dengan harga mahal?
Apa Count Swan bukan bangsawan asli?
Mengapa terlalu banyak tanda tanya disini.
Elizabeth Swan (mode penjahat)
Picture from Pinterest.
Tak di sangka membutuhkan waktu yang lumayan lama bagi Leila untuk sekedar mendapatkan informasi tentang Eleanor. Tiga hari berlalu namun Leila tak kunjung menampakkan batang hidung nya. Keesokan hari nya, Elizabeth yang sudah menanti Leila akhirnya bisa bernafas lega karena melihat Leila lagi setelah beberapa hari.
"Duduklah, Leila. Kau pasti lelah." ucapnya mempersilahkan Leila yang terlihat jelas kelelahan untuk duduk.
"Maaf karena telah membuat anda menunggu, Nona Eliza. Saya tak mengira jika alamat yang anda berikan itu berada jauh dari kota ini."
"Tidak apa-apa, Leila. (Justru aku yang harusnya minta maaf padamu karena aku sendiri tidak paham sekarang aku berada dimana.)"
Leila menarik nafasnya dalam-dalam sebelum berbicara, "Jadi teman anda yang bernama Eleanor itu kabarnya sudah meninggal sejak beberapa hari yang lalu, tepatnya bersamaan dengan insiden anda tempo hari. Dia meninggal karena penyakit pneumonia yang dideritanya dan saya juga sudah memastikan nya dengan datang ke pemakaman Eleanor."
Ia tak nampak terkejut karena dirinya sendiri pun memang yakin jika dia sudah meninggal malam itu, "Kau bahkan sudah memastikannya tanpa ku minta, bagus Leila. Lalu apa kau juga bisa menceritakan tentang kecelakaan ku tempo hari?" tanya Eliza dengan wajah yang serius.
"Saya hanya sekedar mencuri dengar dari para pelayan senior. Mereka mengatakan bahwa anda memang sengaja melompat ke pantai dari balkon istana perjamuan karena sakit hati melihat putra mahkota sibuk berbincang dengan wanita lain. Bahkan bukan hanya itu saja, beliau mengajak wanita itu berdansa alih-alih anda yang memang tunangan beliau." terang Leila pada nya.
Seketika kepala nya terasa pening, penggalan memori dari Elizabeth mulai muncul. Malam itu dimana dirinya tengah berjuang untuk bertahan hidup di sisi lain Elizabeth malah membunuh dirinya sendiri hanya karena seorang pria yang bahkan tak pantas untuk dicintai sebegitu besarnya. Ia mulai paham dan percaya jika dewa benar-benar ada karena telah mengabulkan doa nya malam itu. Setelah memastikan yang terjadi kini pun Eleanor telah siap membuang jati dirinya dan akan hidup sebagai Elizabeth Swan kedepannya. Ia tak sabar untuk segera melakukan balas dendam pada para pejahat yang telah menyengsarakan hidupnya itu. Tanpa sadar ia menunjukkan ekspresi yang sangat menakutkan hingga membuat Leila terkejut.
Meski posisi nya sebagai putri mahkota kini benar-benar luar biasa. Namun memiliki pasangan seperti putra mahkota hanya akan menghambat rencana besar nya. Akan lebih bagus lagi jika dirinya tak memiliki kekasih. Sebagai seorang wanita Elizabeth bisa dikatakan cukup jelita jika dibandingkan dengan wanita bangsawan lainnya, rambutnya yang pirang, kulit yang putih bersih serta tubuh nya langsing namun padat di bagian-bagian tertentu menjadi nilai plus nya. Hanya saja dia tak pernah memamerkan keindahan dirinya dan menutupi setiap lekuk tubuhnya dengan gaun yang kekanak-kanakan.
"Baiklah kalau begitu kau bisa beristirahat dulu di kamar mu. Aku akan memanggilmu lagi nanti." ucap Eliza kepada Leila.
Setelah Leila keluar dari kamar nya, ia pun bergegas pergi menemui Count Swan di ruang kerja nya.
"Ayah, apa kau sedang sibuk?" tanya nya dengan nada yang sedikit memelas sehingga Count Swan tak bisa untuk mengabaikan nya dan meninggalkan pekerjaannya yang segunung di atas meja begitu saja.
"Tentu saja tidak. Kali ini apa yang ingin diminta oleh putriku yang cantik ini?"
"Ayah.. Aku ingin memutuskan pertunangan ku dengan yang mulia putra mahkota."
Count Swan seketika membelalakan mata nya tak percaya akan apa yang baru saja diucapkan oleh putri nya yang sempat tergila-gila oleh putra mahkota itu, "A-apa yang kau bilang barusan, Eliza? Apa ayah tidak salah dengar?"
Eliza menatap ayah nya dengan begitu yakin tanpa berkedip sedikitpun, "Tidak, ayah tidak salah dengar. Memang aku pernah sangat mencintainya tapi sekarang tidak lagi. Apa ayah sanggup melihatku hidup menderita karena terus mencintai pria yang bahkan tak pernah memperdulikanku seperti itu?" pungkasnya.
Eliza sengaja memprovokasi Count Swan agar ia mau membatalkan pertunangan nya dengan putra mahkota, ia dapat mengerti jika ayah nya itu sangat menyayangi nya melebihi apapun.
Pria itu menghela nafasnya frustasi, bukan perkara mudah memutuskan hubungan dengan keluarga kekaisaran sesuka hati nya, "Walau akan sulit, ayah akan berusaha untuk mengabulkan permintaan mu ini Eliza."
Ia segera memeluk ayahnya dengan erat dan berulang kali mengucapkan terimakasih, "Ayah memang yang terbaik!" ucapnya dengan sungguh-sungguh.
Keesokan hari nya Count Swan menghadap Kaisar Alexandria, Charles Argenta de Alexandria. Guna memutuskan pertunangan antara Elizabeth dan Putra Mahkota. Ia sempat khawatir jika baginda kaisar akan marah besar namun justru sebaliknya seluruh anggota kekaisaran terlihat sangat menanti hal tersebut. Entah Robert terlalu polos atau naif, tentu saja mereka senang sebab dengan berakhirnya pertunangan antara Elizabeth dan Putra Mahkota akan membuka peluang bagi Kaisar untuk menikahkan Putra Mahkota dengan gadis dari kerajaan lain. Robert hanya dijadikannya sebagai sapi perah untuk menutup hutang kekaisaran yang segunung itu. Setelah sudah cukup memerahnya kini waktunya untuk melepaskan ikatan dengan Count Robert. Gelar? Itu sama sekali tak sebanding dengan nominal yang sudah digelontorkan untuknya pada keluarga kaisar.
Setelah Count Swan pamit undur diri kaisar, permaisuri beserta putra mahkota mulai menertawakan pria yang sudah berbaik hati menstabilkan perekonomian kaisar itu.
"Syukurlah gadis bodoh itu lekas sadar diri jika dia memang tak pantas bersanding dengan pria paling terhormat di seluruh Alexandria." ucap permaisuri membangga-banggakan putra mahkota.
Kaisar Charles tersenyum, "Tidak masalah meski harus memberinya gelar Count, setidaknya gelar itu cukup untuk menggantikan beribu keping gold yang sudah dia berikan untuk kita. Betapa naifnya dia dan juga putri nya itu yang terlalu berambisi untuk menjadi bangsawan." ucap baginda kaisar.
"Walau ia mampu membeli gelar tersebut bukan berarti dirinya mampu untuk menjadi bangsawan yang memang sudah terlahir terhormat dan bermartabat. Sungguh ironi yang menyedihkan." tutur putra mahkota sembari melengkungkan seringai di sudut bibirnya.
Ia sama sekali tak menyesal telah melepaskan gadis yang selama ini dianggapnya sebagai benalu itu. Elizabeth yang ia kenal adalah seorang wanita yang sangat menyebalkan, seringkali Eliza merengek ditempat umum dengan dandan nya yang mencolok membuat putra mahkota semakin tidak menyukai nya.
Sementara itu di kediaman Swan, Elizabeth sangat gembira mendengar sang ayah berhasil memutuskan pertunangan nya dengan putra mahkota. Dirinya kini telah bebas untuk melakukan segala hal tanpa perlu menimbulkan rumor yang menyangkut pautkan keluarga kekaisaran. Rencana-rencana licik untuk memulai balas dendam nya kini mulai tersusun.
Malam hari yang lalu, beberapa menit sebelum insiden Elizabeth bunuh diri.
"Yang Mulia, hari ini pun anda sangat tampan! Tapi Yang Mulia, kenapa anda tidak mengenakan cufflink (kancing manset) yang saya berikan?"
Tanya Elizabeth yang menaruh harapan pada tunangan nya itu untuk mengenakan perhiasaan yang senada dengan dirinya.
"Aku lupa menaruh itu dimana." ucap Putra Mahkota tanpa menunjukkan rasa bersalah pada tunangan nya itu.
Bukannya lupa, Putra Mahkota justru dengan sengaja memberikan cufflink itu kepada ksatria yang sedang berkeliling di dalam istana.
"Oh, jadi begitu. Tidak masalah, Yang Mulia. Saya akan membelikan nya lagi untuk anda nanti."
Putra Mahkota menatap gadis polos itu dengan heran, mengapa gadis itu sebegitu terobsesi nya pada dirinya.
"Tidak perlu. Aku sudah punya banyak cufflink."
Gadis itu merasa sedikit kecewa, "Baiklah.. Tapi Yang Mulia, apa anda tidak mau mengajak saya berdansa? Ini lagu kesukaan saya."
"Aku-"
"Lady Priscilla Van Porsche memasuki ruangan!"
Seketika pandangan Putra Mahkota langsung tertuju pada Lady yang baru saja datang ke acara itu.
"Salam kepada matahari kecil Kekaisaran Alexandria, semoga dewa dan dewi mencurahkan seluruh berkatnya kepada anda, Yang Mulia." ucap gadis itu kepada Putra Mahkota seraya membungkukkan badan nya memberi hormat.
Keluarga kekaisaran memang terkenal senang mengadakan pesta walau tak ada perayaan khusus sekalipun. Memamerkan kekayaan dan kelas mereka.
Meski sudah beberapa kali Putra Mahkota mengadakan pesta namun tak pernah satu kali pun ia mengajak Elizabeth untuk berdansa.
"Terimakasih, dewa dan dewi pasti akan mengabulkan doa dari Lady secantik anda. Karena ucapan yang tulus itu sangat menyentuh hati ku, mau kah Lady berdansa dengan saya?" ajak Putra Mahkota sembari mengulurkan tangan kanan nya.
Lady Priscilla dengan segera meletakkan tangan nya diatas telapak tangan Putra Mahkota, "Tidak sopan untuk menolak ajakan pria paling terhormat diseluruh kekaisaran Alexandria, tentu saya akan menerima dengan senang hati ajakan anda, Yang Mulia."
Elizabeth meremas gaun nya dengan sangat kuat. Nafasnya tercekat. Dada nya terasa sesak. Putra Mahkota yang selalu membuat banyak alasan ketika ia ingin berdansa bersamanya dengan mudah nya mengajak gadis lain berdansa hanya karena doa yang tulus katanya? Konyol.
"Astaga, bagaimana bisa Yang Mulia dengan terang-terangan mencampakkan Lady Elizabeth seperti itu? Kasihan sekali."
"Biar saja, biar dia tahu diri. Bangsawan yang berasal dari rakyat jelata memang tidak pantas bersanding dengan Putra Mahkota yang terhormat. Toh nantinya setelah mereka menikah juga Yang Mulia pasti akan mencari selir."
"Benar juga yang anda katakan."
"Aku harap Yang Mulia bisa memiliki lebih dari satu selir, agar aku bisa mendaftarkan diri juga."
"Lady, lihat dia melirik ke arah anda. Sepertinya dia mendengar ucapan anda barusan."
"Tidak masalah, dia kan punya telinga. Tapi sayangnya tak punya otak. Hahahaha."
Ia tak tahan melihat pemandangan itu lebih lama lagi. Bahkan tatapan dan ucapan menghina dari para bangsawan lain sangat jelas tertuju untuknya. Elizabeth berlari ke arah balkon yang tepat berada diatas bibir laut yang cukup dalam.
"Aku sudah muak dengan semua ini. Jika hidup ku tak berarti untuk nya, semoga dengan kepergian ku Yang Mulia bisa merindukan ku meski sedikit."
Byuurr!!
...****************...
Setelah bertukar tubuh, siap untuk balas dendam!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!