CEKLEK
Seorang wanita cantik berambut panjang, mengenakan celana jeans dan kemeja panjang pula, tampak memasuki sebuah apartemen mewah.
Helaan napas kasar keluar dari mulut dan hidungnya secara bersamaan. Ia baru saja pulang dari penampungan dinas sosial setempat, di mana sebelumnya ia telah menyelamatkan puluhan anak remaja yang hampir saja menjadi korban perdagangan wanita.
BUGH
Tubuh lelahnya kini mendarat di atas sebuah sofa yang ada di ruang tengah. Kepalanya mendongak menatap langit-langit apartemen yang berwarna putih.
"Mereka benar-benar bia-dab!" umpatnya di sela-sela linangan air mata yang sudah menganak sungai. Pasalnya, dari dua puluh remaja yang dilarikan ke penampungan, ternyata ada satu orang yang dinyatakan menghilang dalam perjalanan.
Gadis itu memejamkan kedua matanya dalam. Menumpahkan segala gemuruh yang menghantam dadanya, kala mengingat percakapannya dengan beberapa orang yang ternyata merupakan dalang dari penculikan yang dilakukan dalam salah satu gerbong kereta api.
Namanya Shabira Aghata. Model cantik yang merupakan kekasih dari seorang aktor ternama--Firyanda Dwinthara. Walaupun prestasi dan karirnya melejit, namun tak membuat Bira menjadi pribadi yang sombong. Ia sangat senang melibatkan diri dalam berbagai aksi-aksi sosial di kotanya. Sikap peduli yang luar biasa dalam dirinya, tentu diwarisi dari kedua orang tuanya yang memang merupakan tokoh sosial masyarakat.
Drrrt ... Drrrt ... Drrrt.
Di sela-sela rasa kesal yang membuncah, tiba-tiba ponsel Bira berdering, menandakan sebuah panggilan masuk. Gadis itu tersentak.
Lekas di rogohnya tas selempang yang masih tersampir di bahu, lalu menggamit ponsel pintarnya. Tertera nomor baru di layar. Bira menyeka air mata yang masih membasahi pipi, lalu menerima panggilan.
"Ha--"
Belum selesai Bira mengucapkan kata HALO, orang di seberang sambungan sudah lebih dulu memangkasnya.
"Kak Bira, sebaiknya kakak jangan pulang ke apartemen. Orang-orang suruhan Tuan Gesang sedang bersembunyi di sana. Mereka berencana untuk membunuh Kak Bira," ucap seorang wanita yang merupakan salah satu petugas di penampungan dinas sosial. Ia sempat mendengar pembicaraan Tuan Gesang dan orang-orangnya setelah mereka menemui Shabira tadi.
DUAAAR
Bagaikan terkena sambaran petir, Shabira membatu di tempatnya. Keringat dingin mulai bercucuran di sekitar kening dan pelipisnya. Pandangan dibawa bergulir ke seluruh ruangan.
GREP
Kehadiran seseorang tertangkap ekor matanya. Seorang pria sedang bersembunyi di balik tirai.
Shabira kembali menggulir pandangan ke lain arah.
GREP
Ruang pandangnya kembali terisi oleh sosok seorang lelaki yang bersembunyi di balik lemari hias yang berada tak jauh dari posisinya.
Kenapa aku tak menyadarinya sedari tadi?
Shabira mulai menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas. Dengan kondisi jantung yang berdebar kencang, ia bertekad harus menyelamatkan diri. Walaupun hasilnya belum bisa diprediksi, namun Bira harus berusaha semaksimal mungkin.
Akhirnya, dengan hati-hati dan perlahan, gadis itu mengayun langkah seribu untuk bersembunyi. Sebuah ruangan kecil yang merupakan gudang penyimpanan, menjadi tujuan persembunyian.
Lima menit kemudian.
"Dimana gadis itu?"
Terdengar suara bariton seseorang yang sedang mencari keberadaan Shabira. Seorang lelaki berambut ikal, bertubuh gempal, dan berkulit hitam, tampak menyisir pandangan ke sekitar apartemen tersebut.
Setelah menyadari bahwa Shabira sudah tidak berada di posisinya tadi, lelaki itu keluar dari tempat persembunyian bersama teman-temannya yang lain. Jika dihitung, ada sekitar lima orang yang ikut bersamanya.
"Cari gadis itu!" titah lelaki hitam tersebut pada teman-temannya.
Shabira yang sedang duduk memeluk lututnya di dalam sebuah ruangan kecil, sesekali mengintip keluar dari celah-celah yang ada di pintu. Pintu ruangan tersebut bagian bawahnya diberi celah yang terbuat dari bahan seng. Terlihat seperti anyaman bambu.
DEG
Shabira terpukul mundur ketika merasa tatapannya bersiborok dengan salah satu orang yang sedang sibuk mencarinya.
Mulutnya langsung komat-kamit melapalkan do'a agar bisa selamat dari terkaman orang-orang jahat itu. Seluruh bagian tubuhnya tampak bergetar ketakutan. Lidahnya kelu seolah telah disuntiki obat bius. Keringat dingin semakin membanjiri badannya yang kini sudah terasa panas dingin.
Saat salah seorang di antara lelaki itu hampir saja meraih knop pintu gudang, tiba-tiba suara bel apartemen berbunyi.
TING TONG
Semua lelaki itu tampak mematung di tempatnya. Mereka saling pandang satu sama lain.
Di depan pintu apartemen, seorang pemuda tampan sedang membawa sebuket bunga, menunggu si pemilik apartemen membukakan pintu untuknya. Dia adalah Firyanda Dwinthara.
TING TONG
Sekali lagi, Yanda menekan bel apartemen kekasihnya. Namun, tetap saja, tidak ada yang membukakan pintu.
Ia mulai menoleh ke kiri dan ke kanan, suasana di lorong unit apartemen itu memang tampak sepi. Ia lantas melirik arlogi di pergelangan tangannya, baru pukul delapan, lalu kembali menekan bel.
TING TONG
"Apa dia sudah tidur?" tanyanya pada diri sendiri.
"Bira!" seru Yanda, yang bisa didengar oleh Shabira.
Beberapa lelaki jahat yang masih membatu di tempat masing-masing, kembali saling pandang ketika mendengar seruan atas nama gadis yang akan menjadi sasaran misi mereka.
"Bira!" Yanda kembali menyerukan nama sang kekasih.
Shabira yang masih lagi setia dalam persembunyiannya, lekas merogoh ponsel yang berada di dalam tas, lalu menghubungi nomor Firyanda.
TUT ... TUT ... TUT.
Sambungan terhuhung, namun Yanda tak juga menjawab panggilannya. Terang saja, sangking tidak sabarnya untuk bertemu Shabira, Yanda sampai tidak sadar jika ponselnya tertinggal di mobil.
Beberapa kali melakukan panggilan tak terjawab pada nomor Firyanda, akhirnya Shabira hanya bisa menangis seraya menutup mulutnya dengan telapak tangan.
"Tolong, jangan pergi, Yanda!" Shabira bergumam lirih. Air mata terus membanjiri kedua pipinya.
Karena tak mendapatkan jawaban dari Shabira, akhirnya Firyanda kembali memasuki lift bersama buket bunga yang gagal diberikannya pada sang pujaan hati.
Sepeninggalan Firyanda ....
"Ayo, cari lagi!" titah lelaki bertubuh gempal itu pada yang lainnya.
Mereka kembali mencari ke sana sini, namun sepersekian detik kemudian ....
"Hei, dia kabur lewat sini!"
Semua orang terperanjat, tak terkecuali Sabhira. Ia berulang kali mengucap kata syukur seraya terus melangitkan do'a.
Lelaki yang sedang berdiri di depan pintu ruangan di mana Shabira berada pun lantas berhambur ke arah temannya. Mereka berenam, lalu menuruni tangga darurat yang tersedia di luar apartemen bagian belakang.
Untuk sesaat Shabira merasa lega, karena orang-orang itu sudah keluar dari apartemennya. Namun, naas tak dapat dihindari. Ponselnya tiba-tiba berdering keras sehingga membuat keenam pria yang baru saja menuruni beberapa anak tangga bisa mendengar nada tersebut.
Shabira terkejut bukan kepalang. Ponsel yang ia pegang sampai terpental ke lantai. Namun, lekas diraihnya kembali dan menerima panggilan yang ternyata dari Firyanda.
"Yanda, tolong aku! Ada orang-orang jahat di dalam apartemen yang ingin membu--"
BRAAK
Belum sempat Shabira menyelesaikan kalimatnya pintu gudang itu ditendang dari luar sehingga membuat pintunya terpelanting.
"Aaaarrrgh!" erang Shabira ketika beberapa lelaki bertubuh besar menyeret tubuhnya keluar.
Firyanda yang berada di seberang sambungan, hanya bisa menyerukan nama kekasihnya tanpa mendapatkan tanggapan lagi.
"Bira! Shabira!"
Ia berbegas keluar dari mobil, lalu naik kembali ke lantai di mana apartemen Shabira berada melalui lift.
Waktu yang tak sampai lima menit itu cukup lama bagi Yanda yang saat ini didera rasa khawatir tingkat dewa. Bagaimana tidak, kekasihnya sedang berada dalam bahaya. Sementara, ia tak berada di dekatnya.
Setelah pintu lift terbuka, Firyanda langsung melanting keluar seraya menuju ke unit apartemen Shabira yang mana pintunya sudah terbuka lebar.
"Bira!" pekik Yanda di dekat ponselnya.
"Shabira!"
Pemuda itu berbegas keluar dari mobil, lalu berlari memasuki gedung. Langkah seribu membawa tubuh gagahnya naik kembali ke lantai di mana apartemen Shabira berada melalui lift.
Waktu yang tak sampai lima menit itu cukup lama bagi Firyanda yang saat ini didera rasa gusar tingkat dewa. Bagaimana tidak, kekasihnya sedang berada dalam bahaya. Sementara, ia tak berada di dekatnya.
Setelah pintu lift terbuka, Firyanda langsung melanting keluar seraya berlari tunggang-langgang menuju ke unit apartemen Shabira yang mana pintunya sudah terbuka lebar.
"Bira!" teriak pemuda itu seraya melewati ambang pintu.
Yanda tampak berkacak pinggang, dan menghempas pandangan ke segala arah.
"Bi--"
Seruannya langsung tercekat, tatkala kedua netranya menangkap sosok terkasih yang mengintip dari balik lemari hias.
Firyanda menghela napas lega dan tersenyum penuh syukur. Perlahan kedua tungkai diayunkan mendekati Shabira.
Gadis itu malah terlihat mengibaskan tangannya. Bahasa kode agar Firyanda cepat keluar dari apartemennya.
Yanda yang tak mengerti dengan bahasa isyarat yang diberikan oleh Shabira, malah terus melangkah hingga keduanya sudah berdiri berhadapan.
"Pergi," ucap Shabira dengan nada lirih.
"Bira!"
Firyanda tidak tahan lagi untuk tidak menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Beberapa detik mereka lewati dengan saling rengkuh satu sama lain. Namun, sepersekian detik kemudian, telapak tangan Yanda tak sengaja menyentuh sebuah pisau besar yang menancap pada pinggang Shabira.
Kedua bola mata Firyanda langsung membola sempurna. Bersamaan dengan hal itu, ditariknya diri dari tubuh Shabira, lalu menopang tubuh gadis itu yang mulai terkulai--hampir jatuh ke lantai.
"Bira! Bira!" Usapan lembut di daratkannya di sekujur wajah sang kekasih.
"Ge-Gesang!"
"Apa?"
Firyanda tak bisa mendengar apa yang disampaikan oleh gadis itu karena suaranya terlampau lirih.
"Ge-Gesang!"
Akhirnya, Yanda bisa mendengar satu kata yang merupakan sebuah petunjuk tentang siapa dalang dari peristiwa naas yang menimpa Shabira. Firyanda tak mengenal siapa Gesang. Namun, perbuatan orang itu sukses membuatnya naik pitam. Ia menggeram seraya memekik frustrasi.
"Aaarrrggghhh!"
Sudah hampir satu bulan mereka berdua tidak bertemu karena kesibukan akan pekerjaan masing-masing. Namun, setelah takdir membawa keduanya kembali pada titik temu, tragedi memilukan itu malah memeluk keduanya tanpa belas kasih.
Di saat Firyanda masih hanyut dalam duka, orang-orang suruhan Tuan Gesang tampak bergerak mendekat. Sebelumnya, mereka sengaja bersebunyi, karena sudah bisa menebak situasi apa yang akan terjadi. Firyanda pasti akan kembali menghampiri.
Saat langkah keenam lelaki bejat itu sudah mengelilingi mereka, Yanda bisa melihatnya dari ekor mata. Namun naas, bersamaan dengan mendongaknya pandangan, sebuah besi bulat berdiameter lima belas centimeter dengan panjang hampir satu meter, menghantam kepala pemuda itu dari samping.
BUGH
Bia-dab!
Tubuh Firyanda terhuyung ke samping dan berakhir di lantai marmer.
BRAK
NGUING NGUING NGUING
Kepala pemuda itu serasa diputar sekencang putaran tornado. Pandangannya menjadi buram. Darah segar keluar dari pelipis dan keningnya yang sobek.
Shabira yang masih sadarkan diri hanya bisa merangkak untuk menggapai tangan Yanda yang posisinya tidak terlalu jauh darinya.
"Ya-Yanda!"
Sambil memegang kepalanya yang berlumuran cairan merah, Yanda pun berusaha menggapai tangan Shabira dengan susah payah. Rasa nyeri berkali lipat menyerang kepalanya seolah sudah ditusuki ribuan jarum kematian.
Namun, saat tangan keduanya hampir saja bertemu, seorang lelaki baru tiba-tiba melengkapi formasi, dan menarik tubuh Shabira menjauh dari Firyanda.
"Sepertinya nasib kalian berdua akan berakhir seperti Romeo dan Juliet," ucap lelaki itu dengan seringai iblis. Lelaki yang merupakan atasan dari para lelaki berkulit hitam tersebut.
Ya, dia adalah Tuan Gesang. Otak dari segala kebiadaban. Dialah orang yang telah digagalkan misinya oleh Shabira untuk menjual dua puluh remaja perempuan ke luar negara.
TOK
TOK
TOK
Tuan Gesang menghentakkan besi bulat itu di dekat kepala Shabira yang saat ini berada dalam posisi telungkup.
Tatapan tak berdaya gadis itu hanya tertuju pada Firyanda yang kini juga sudah kesulitan untuk bergerak.
"Pertunjukan ini akan jauh lebih seru, jika kau menyaksikan kekasihmu mati secara langsung." Tuan Gesang berdiri di atas kepala Shabira, sementara tatapan mengejeknya ditujukan langsung pada Firyanda.
Aktor ternama yang bernasib malang itu hanya bisa menggerakkan tangannya ke arah Shabira. Air mata yang sedari tadi sudah membanjiri pipinya, kini semakin deras tanpa jeda. Ia benar-benar merasa tidak berguna.
TOK
TOK
TOK
Kembali, Tuan Gesang menghentakkan besi bulat itu ke lantai seolah sedang mengambil ancang-ancang untuk melakukan pukulan di lapangan golf, dan kepala Shabira sebagai bolanya.
"TIDAAAK!"
Firyanda tampak gelisah di tempatnya. Ia tahu betul apa yang akan terjadi selanjutnya pada Shabira.
Tuan Gesang kembali menyeringai ke arah pemuda itu, lalu bersiap mengangkat tongkat besi yang ada di dalam genggamannya.
Satu detik
Dua detik
Tiga detik
BUGH
"SHABIRAAA!"
Firyanda memekik sejadi-jadinya. Kedua matanya terpejam dalam. Sementara air mata terus menguar.
Darah segar membanjiri lantai di mana tubuh Shabira tergeletak dengan posisi kepala miring menghadap Firyanda. Senyumannya mengembang seiring dengan napas terakhir yang terembus dari bibirnya yang sedikit terbuka.
Yanda ... kembali meraung setelah melihat tak ada lagi pergerakan dari tubuh Shabira. Tatapan kosong kekasihnya itu cukup memberikan arti, di mana kehidupan tak lagi bersarang di dalam tubuh gadis itu.
Harapan Yanda hancur sudah. Padahal, hari ini ia berniat akan melamar Shabira. Namun, takdir seakan tak merestui niatnya.
Tuan Gesang dan anak buahnya hanya tertawa puas melihat penderitaan Firyanda. Padahal, di antara mereka tidak ada kesalahpahaman apa pun sebelumnya. Namun, tanpa disadarinya kematian Shabira hari ini akan menjadi awal di mana sebuah dendam mulai tumbuh di dalam diri seorang Firyanda.
Perlahan, ba-jingan itu melangkah mendekati Firyanda. Diseretnya pula tongkat besi yang ia pakai untuk melenyapkan nyawa Shabira.
Yanda yang juga sudah dalam keadaan tidak berdaya, kini hanya bisa meratapi nasib se jadi-jadinya.
"Permainan kita belum berakhir, Tuan Muda." Tuan Gesang sudah berdiri di samping kepala Firyanda.
Pemuda itu tak sedikit pun menggubris perkataan yang keluar dari mulut busuk seseorang yang telah merenggut nyawa kekasihnya itu.
"Habisi saja, Bos."
Salah satu dari anak buahnya, menyerukan kalimat provokasi.
"Tidak, aku tidak akan mengakhiri hidupnya. Dunia akan menangis, jika aktor kesayangan mereka mati secara tragis. Sisa hidupnya adalah kutukan baginya." Tuan Gesang kembali menyeringai. Ia mulai mengayunkan kembali tongkat besi itu ke udara, dan ....
BUGH
Satu pukulan tambahan di daratkan Tuan Gesang pada pelipis Firyanda yang sukses membuat pemuda itu tak sadarkan diri.
"Bereskan semuanya! Jangan sampai meninggalkan jejak sedikit pun!" titah Tuan Gesang pada anak buahnya.
BAAAGH
Anak buah Tuan Gesang menurunkan tubuh tak sadarkan diri Firyanda di pinggir jalan. Tanpa peduli akan cuaca buruk yang sedang terjadi. Suasana yang mendukung tentu tidak akan mereka sia-siakan begitu saja. Apalagi, jalanan tampak sepi pengendara.
Hujan badai tengah mengguyur kota. Sebagaimana pepatah yang ada, hujan turun membawa keberkahan. Namun, orang-orang tak berhatinurani itu malah menebar dosa di mana-mana.
Tubuh malang aktor itu tergeletak tepat di trotoar sebuah jembatan. Walaupun diguyur keras oleh air langit dan diterpa kencangnya angin malam, tapi tak membuat Firyanda sadarkan diri. Tidurnya seolah sangat lelap. Apakah di alam mimpi ia sedang bertemu dengan Shabira? Sehingga ia enggan untuk kembali ke dunia nyata.
Hingga menjelang subuh, hujan masih menumpahkan airnya. Seolah langit ikut menangis akan kemalangan yang menimpa sepasang kekasih--Firyanda Dwinthara dan Shabira Agatha.
Tubuh malang Firyanda masih tergeletak di tempat yang sama. Tanpa bergeser sedikit pun dari tempat semula.
Dari kejauhan, seseorang tampak sedang mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan minim. Sambil mengenakan pakaian anti air, pengendaranya terlihat kesulitan melihat jalanan, karena pandangannya diterpa air hujan. Ditambah lagi, ia memang harus mengenakan kacamata karena penglihatannya yang bermasalah.
Namun, ia tetap pergi ke pasar di pagi buta seperti ini, sebab harus berbelanja bahan-bahan untuk dagangannya. Jika terlambat sedikit saja, maka dia akan terlambat pula untuk pergi ke kampus.
DREEEN
Pengendara sepeda motor itu mendadak menghentikan kendaraannya ketika berada tepat di atas jembatan. Tentu saja, sebelum tiba di sana, ia sudah menyadari bahwa adanya tubuh malang yang tergeletak di pinggiran.
Ia lantas mematikan mesin kendaraan, lalu turun dari motornya. Dengan gerakan ragu, didekatinya seonggok daging yang masih bernyawa itu, kemudian membalik posisinya hingga terlentang.
DEG DEG DEG
Ia sempat berpikir jika yang telah ia temukan adalah mayat.
***
"Tolong, Suster," ucap orang itu seraya menggendong tubuh Firyanda di punggungnya.
Dengan susah payah ia membawa tubuh aktor malang itu hingga tiba di rumah sakit. Ia langsung menuju ke sana setelah memeriksa nadi Firyanda yang masih berdenyut.
Seorang tenaga medis langsung mengambil brangkar berjalan, kemudian disusul oleh teman-temannya yang lain.
Si pengendara motor yang merupakan seorang pemuda berkacamata, kini membaringkan tubuh malang itu di brankar yang disodorkan oleh petugas.
Setelah itu, Firyanda dibawa memasuki IGD untuk mendapat perawatan sebagaimana mestinya.
"Huuuffft!"
Pemuda itu duduk di kursi besi yang berada tak jauh dari sana. Pakaian anti air masih terpakai di tubuhnya.
Diliriknya arlogi yang melingkar di pergelangan tangan, lalu kembali menatap ke arah ruangan yang masih tertutup rapat.
"Apa sebaiknya kutinggalkan saja?" tanyanya pada diri sendiri.
Namun, sepersekian detik kemudian, ia bangkit dari kursi, lalu menghampiri meja resepsionis yang ada di IGD.
"Ada yang bisa dibantu, Mas?" tanya petugas yang ada di meja resepsionis ketika melihat pemuda itu mendekat.
"Maaf, saya sebenarnya saya tidak mengenal korban. Saya menemukannya tergeletak di pinggir jalan. Jujur, saya juga tidak tega meninggalkannya di sini, tapi saya ada urusan lain yang harus diselesaikan. Apa saya bisa minta tolong, Mbak?" jelas pemuda itu panjang lebar.
Si resepsionis mengangguk.
"Boleh saya pinjam pulpen dan kertas?" pemuda itu kembali bertanya.
Si resepsionis langsung mengambil bolpoin dan selembar kertas kosong. Lalu, menyodorkannya pada pemuda itu.
Pemuda itu menerimanya, kemudian tampak menuliskan sesuatu di atas kertas.
"Ini nomor ponsel saya, jika ada apa-apa langsung saja hubungi nomor ini, ya." Pemuda itu berucap seraya menyerahkan kembali kertas tersebut kepada petugas.
^^^08532309xxxx^^^
^^^Liem^^^
"Baik, Mas."
Setelah mengucapkan terima kasih, pemuda yang biasa dipanggil Liem itu langsung bergegas menuju parkiran. Ia harus segera ke pasar. Jam sudah menunjukkan pukul lima pagi, dan itu sudah sangat terlambat baginya. Namun, tidak masalah. Menolong sesama adalah sebuah kebaikan yang wajib dilakukan jika memang tidak berhalangan. Apalagi, dalam kasus ini kondisinya sangat mendesak.
Cuaca sudah tak lagi hujan. Liem melepas mantelnya, kemudian menyimpan pakaian anti air itu di dalam jok motor. Seraya mengedar pandangan ke segala arah, ia pun mengenakan kembali helm yang sempat dilepasnya sebelum memasuki IGD tadi.
Ketika Liem hendak meninggalkan halaman parkiran, sebuah mobil mewah tampak memasuki area rumah sakit.
Mobil milik dokter muda itu terparkir sempurna, ketika sepeda motor Liem sudah melesat meninggalkan parkiran.
Dokter berjenis kelamin perempuan itu, turun dari mobil, lalu bergegas memasuki IGD.
"Bagaimana?" tanyanya pada seorang suster yang baru saja keluar dari ruangan saat ia hendak memasukinya.
"Masih menunggu tindakan dari dokter," ucap suster itu seraya mengarahkan ibu jarinya pada si dokter muda.
"Dokter Ghea!" sapa seorang dokter umum yang bertugas ketika dokter muda itu memasuki ruangan dan mendekati brankar.
Dokter Ghea mengangguk tipis, lalu memerhatikan kondisi pasien yang sudah terpasang beberapa alat medis di tubuhnya. Ia terdengar menghela napas panjang.
"Luka di kepalanya cukup parah, dan kita harus segera melakukan operasi. Kondisinya sangat kritis," terang dokter berjenis kelamin laki-laki.
"Kalau begitu hubungi pihak yang bertanggung jawab atas dirinya!" Dokter Ghea masih menatap lekat wajah Firyanda, lalu melirik jam tangan yang melingkar di arloginya. Tepat jam delapan nanti, dia juga mempunyai jadwal untuk melakukan operasi pada pasien lain.
"Tapi, Dok, pemuda yang mengantarnya tadi sudah pergi beberapa menit yang lalu. Dia bilang ada keperluan mendesak," ucap salah seorang perawat yang baru saja mendapat informasi dari petugas resepsionis.
"Aku mengenal manajernya. Hubungi nomor ini!" Ghea menyerahkan ponselnya pada si perawat agar segera menghubungi nomor yang tertera di sana.
Tentu saja, Ghea mengenal siapa Firyanda. Sayangnya dia tidak pernah berurusan langsung dengan pemuda itu. Namun, beruntungnya, gadis itu sangat mengenal manajer Firyanda.
***
Di tempat berbeda, Liem sudah selesai berbelanja. Setelah memasukkan semua bahan untuk dagangannya itu ke dalam kulkas, Liem meraih handuk dan menuju ke kamar mandi. Rumah kontrakan miliknya tidaklah besar, namun cukup untuk menampung dirinya sendiri.
Kini ia harus bersiap-siap untuk pergi ke kampus.
Liem merupakan pemuda desa yang merantau ke kota untuk mengejar mimpinya sebagai seorang arsitek handal. Namun, untuk mencukupi kebutuhan dan membiayai pendidikannya, ia harus berjualan gorengan di malam hari.
Hal itu harus ia lakukan karena tak mungkin membebani ibunya yang berada di desa. Malah, ia sering mengirimi uang bulanan untuk sang ibu, karena memang ia sudah tidak memiliki seorang ayah. Walaupun, ibunya sering menolak, namun Liem merasa bahwa hal tersebut sudah menjadi kewajibannya untuk menafkahi sang ibu.
Sebenarnya ayah Liem masih hidup. Namun, setiap ditanya tentang keberadaan sang ayah, ibunya selalu bilang bahwa ayahnya tidak tahu entah di mana. Sejak saat itu, Liem tidak pernah bertanya lagi. Jika memang suatu saat takdir akan membawa ayahnya kembali, Liem tentu akan menerimanya dengan tangan terbuka.
Kini ... pemuda itu sudah siap dengan kemeja longgar, celana kain dan kacamata bingkai bulat yang memang sudah menjadi ciri khasnya.
***
"Hei, Culun!" sapa seorang pemuda yang baru saja memarkirkan motor besarnya di samping motor Liem.
Liem hanya tersenyum tipis. Dijuluki pria culun bukan lagi hal baru untuknya. Bahkan, hal itu sudah menjadi makanannya sehari-hari jika berada di lingkungan kampus. Dan, Liem sama sekali tidak mempermasalahkan hal tersebut.
"Culun, mana tugasku?"
Seorang gadis tampak menghampiri Liem dengan berkacak pinggang. Gadis itu baru saja turun dari mobilnya ketika Liem hendak melangkah menuju kelas.
"Oh, sebentar." Liem, menarik ranselnya, lalu mengambil sebuah dokumen dari dalamnya.
"Kerja bagus," ucap gadis itu seraya menerima uluran tangan Liem. Ia kembali memasuki mobilnya tanpa mengucapkan kata terima kasih.
Liem hanya menggeleng pelan seraya tersenyum. Gadis tomboi bernama Anjia itu merupakan pelanggan tetapnya untuk jasa penyelesaian tugas. Walaupun terlihat jutek, tapi gadis itu tidak pernah lupa mentransfer tips untuk jasa Liem yang sudah bersedia membantunya.
***
Sementara di rumah sakit, dokter sudah selesai melakukan operasi pada Firyanda. Ada gumpalan darah yang menumpuk di dalam otak kanannya sehingga harus dikeluarkan.
Manajer Firyanda yang bernama Kozi, beserta asisten pribadinya yang bernama Galih, keduanya sedang menunggu di ruang rawat. Mereka sama-sama terlihat gusar setelah mendengarkan keterangan dari dokter tentang kondisi Firyanda, dua jam yang lalu. Firyanda dinyatakan mengalami vegetatif.
Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh dokter, sudah hampir empat jam, masih belum ada tanda-tanda bahwa aktor itu akan sadar.
Kozi dan Galih sama-sama melempar pandangan.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Menemukan pelakunya."
"Caranya?"
"Cari tahu siapa yang membawanya ke rumah sakit ini."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!