Seorang anak kecil berjalan pelan menunduk sepulang sekolah. Bukan mencari receh yang mungkin jatuh tapi, dia hanya berhati-hati kalau-kalau sepatu yang dipakainya terbuka makin lebar di bagian depannya. Sepatu yang sudah seperti mulut buaya yang sedang berjemur itu masih saja dipakai si bocah karena memang dia tidak memiliki sepatu lain lagi sebagai gantinya.
Teriknya matahari siang ini menambah dahaga si bocil, tatapannya makin sayu saat melihat penjual es dawet yang sedang dikerubungi para fansnya yang kehausan butuh kesejukan pada tenggorakan mereka.
Diah Ayu, nama bocah yang sekarang membuka tas selempang nya. Mencari botol air mineral yang dia pakai sebagai wadah air minumnya. Masih ada sedikit air. Dia meneguk air itu sambil membayangkan sedang menikmati es dawet yang manis dingin di setiap tegukan nya.
"Yu Ayu.. Kamu pulang bareng aku aja yuk!" Ajak Dinda, teman sekelas Ayu yang sedang dibonceng ibunya dengan motor matic.
Rumah mereka berdekatan, itu sebabnya Dinda menawarinya tumpangan. Tadinya Ayu, panggilan bocah delapan tahun itu, bersemangat ingin pulang bersama Dinda. Tapi akhirnya, Ayu menggeleng pelan saat melihat wajah ibu Dinda yang merengut menunjukkan ketidaksukaan yang nampak nyata.
Mata ibu Dinda bahkan melotot mengisyaratkan agar Ayu tak mendekati motornya yang masih menyala.
"Din, habis ini mama mau ambil belanjaan di kios koh Al lho. Belanjaan mama banyak! Mau ditaruh di mana belanjaan mama kalau kamu ngajak dia segala." Kata ibunya Dinda judes.
Tak mau makin banyak drama, Ayu hanya tersenyum saat Dinda melambaikan tangan dengan jarak yang makin menjauh.
Setengah jam berjalan kaki, Ayu sampai juga di rumahnya. Melepaskan sepatu yang menjadi alas kakinya, yang telah berjasa membawanya kembali pulang ke rumah tanpa merasakan sakitnya butiran kerikil dan panasnya aspal jalanan.
"Bapak belum pulang.." Ucap Ayu saat melihat rumahnya masih sepi.
Setelah mengganti baju, Ayu berjalan menuju dapur. Matanya menyusuri meja kecil, di sana ada dua bungkus mi instan. Dengan cekatan Ayu mengambil beberapa batang kayu bakar guna menyalakan perapian. Tak ada kompor gas, hanya tungku tanah liat yang sudah hitam dan penuh dengan abu bekas pembakaran.
Hanya mi instan saja sudah cukup membuat Ayu senang. Perutnya yang sedari tadi berdendang bisa kembali kalem setelah menyantap sepiring mi tadi.
"Yu.." Suara lelaki yang sangat dia kenal memanggil namanya.
Ayu yang telah menyelesaikan makannya langsung beranjak keluar dari dapur setelah mendengar bapaknya memanggilnya.
"Ya pak. Tadi mi nya tak makan satu pak, masih satu.. mumpung apinya masih nyala, Ayu masakin satunya buat bapak ya?!"
Ayu ingin kembali ke dapur tapi bapaknya mencegah niatnya itu.
"Udah Yu. Enggak usah.. Bapak udah makan tadi. Ini.. bapak beliin kamu kaos kaki. Kamu bilang kaos kakimu udah bolong. Jempolnya kelihatan.. Ini buat sekolah besok ya." Bapak menyerahkan kaos kaki putih ukuran anak SD pada Ayu. Ayu tersenyum. Dia senang bukan kepalang.
Saking senangnya, Ayu membuka kaos kaki yang masih terbungkus plastik dengan gerakan cepat. Dia mencobanya. Matanya terlihat berbinar. Dia sudah membayangkan besok waktu sekolah dia tak perlu lagi menekuk ujung jempolnya guna menyembunyikan jempolnya yang muncul dari balik sepatu karena kondisi kaos kakinya yang bolong.
"Suka Yu?" Tanya bapaknya tersenyum melihat kebahagiaan putri kecilnya.
"Suka pak! Ayu suka banget.. Bapak kok tahu ukuran kaki Ayu, lihat deh pak! Pas dipake Ayu." Ayu tidak tahu jika semua ukuran kaos kaki anak SD dibuat sama dari pabriknya.
Ayu sekarang duduk di kelas dua SD. Dia tinggal berdua dengan bapaknya di rumah kecil berlantai tanah, dengan dinding dari papan kayu yang terlihat dibeberapa bagian nampak dimakan rayap. Tak ada televisi layar datar, apalagi smart TV seperti di kebanyakan rumah di desa mereka. Hanya TV dengan layar jenong seperti ikan lohan yang menghiasi ruang tamu mereka. Itupun sudah tidak berfungsi karena bapak Ayu belum bisa membelikan stb agar televisi mereka bisa beralih ke siaran televisi digital.
Bapak Ayu bekerja sebagai kuli pemecah batu. Pekerjaan serabutan yang tidak setiap hari bisa beliau andalkan untuk menghasilkan uang. Sebagai alternatif lain agar kebutuhan tercukupi, bapak Ayu kadang bekerja di pasar menjadi tukang panggul barang di sana. Tetap bukan pekerjaan yang menjanjikan kemewahan tapi, itulah yang beliau bisa lakukan untuk mensejahterakan Ayu. Meski bapak Ayu sangat yakin saat ini kehidupan keluarganya jauh dari kata sejahtera.
Malam tiba, rintik hujan jatuh berirama saat air dari langit itu terjun bebas membentur genting rumah pak Teguh, nama ayah Ayu. Dia teringat anaknya tadi menjemur sepatu di teras rumah mereka. Bergegas pak Teguh mengambil sepatu Ayu sebelum basah kuyup karena kehujanan.
Di tengah pekatnya malam, diiringi gemericik air hujan, pak Teguh mengambil benang dan jarum khusus untuk menjahit bagian depan sepatu Ayu yang menganga.
'Yu.. Maafkan bapak yang belum bisa memberikan sepatu baru buat kamu nak. Hanya kaos kaki itu saja yang bisa bapak berikan.'
Suara petir mengagetkan Ayu yang sudah tertidur pulas di kamarnya. Dia berjalan keluar kamar mencari bapaknya yang masih terjaga. Ayu melihat bapaknya sibuk bergelut dengan benang serta jarum, menjahit sepatunya yang rusak.
"Pak.." Lirih Ayu.
"Lho kenapa Yu? Kaget sama petir ya? Sini.." Tangan pak Teguh melambai meminta Ayu menghampirinya. Ayu menurut.
"Maaf ya Yu.. Bapak belum bisa beliin sepatu baru." Ujar pak Teguh saat Ayu duduk merapat kepadanya.
"Enggak apa-apa pak. Tangan bapak berdarah?" Melihat tangan bapaknya.
"Hahaha.. Bukan, ini cat. Kamu baru bangun jadi ngawur lihatnya." Pak Teguh menyembunyikan tangannya.
Tapi, Ayu tak mudah dibohongi. Meski baru berusia delapan tahun tapi, Ayu cukup kritis dengan keadaan sekitar.
"Bapak enggak usah bohong sama Ayu. Ayu lihat kok tangan bapak berdarah.. Kalau saja ibu masih ada ya pak, bapak enggak perlu ngesol sepatu Ayu sendiri kayak gini. Pak.. Ayu kangen banget sama ibu.." Ayu terisak.
Kalau sudah seperti ini, pak Teguh hanya bisa menghela nafas. "Yu.. Ibu sudah tenang di alamnya ya. Kalau kangen ibu, kamu ingat bapak nyuruh apa sama kamu?"
"Bacain al-fatihah pak.." Masih terisak.
"Iya. Bacain al-fatihah, berdoa sama Allah agar ibu di sana enggak sedih lihat kamu di sini nangisin ibu terus." Mengusap lembut rambut Ayu.
Hati pak Teguh pun tersayat jika Ayu mulai merasakan kerinduan pada ibunya yang telah pergi mendahului mereka menghadap sang Pencipta.
"Yu.. Dengarin bapak, enggak usah nangis terus. Besok kita ke tempat ibu ya, mau? Katanya kamu mau kasih lihat ke ibu gambar yang kemarin kamu bikin di sekolah." Pak Teguh menciptakan suasana baru agar Ayu tidak terus-menerus menangis. Ayu mengangguk meski belum sepenuhnya terdiam dari tangisnya.
"Tidur lagi ya kesayangannya bapak." Ayu terdiam, dia lebih memilih tidur di pangkuan bapaknya. Pak Teguh membiarkan saja Ayu bermanja kepadanya seperti itu.
Dengan suara pas-pasan pak Teguh menyanyikan lagu kasih ibu sambil mengusap perlahan kepala Ayu. Lambat laun mata Ayu terpejam, tertidur dengan harapan bisa bermimpi bertemu ibunya.
'Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia.'
Tak terasa air mata pak Teguh menetes. Bukan hanya Ayu yang merindukan sosok ibunya tapi, pak Teguh yang amat mencintai mendiang istrinya itu juga merasakan sesak di dada menahan kerinduan untuk istrinya.
"Ayo pak..!" Teriak Ayu bersemangat memanggil bapaknya. Dia menyuruh bapaknya bergegas padahal dia sendiri masih sibuk riwa-riwi keluar masuk rumah.
Sekali lagi Ayu menatap ke arah cermin retak di lemari yang sudah diberi solasi agar tetap saling menempel pada bagian sisi-sisinya.
Bocah ini memastikan jika dia sudah rapi dengan kerudung hitam, baju panjang serta rok panjang semata kaki yang dia pakai untuk menemui ibunya. Ayu berlari ke dalam rumah untuk kesekian kalinya mengambil gambar yang akan dia tunjukan pada ibunya nanti. Dengan cekatan dia letakkan gambar itu pada plastik putih.
"Kamu jangan lari-larian gitu Yu, kalau jatuh malah kita enggak jadi ke tempat ibu." Pak Teguh merapikan kerudung Ayu yang sedikit miring, memasukkan anak rambut yang mengintip keluar dari balik kerudung hitam Ayu.
"Abis Ayu kangen ibu pak." Jawab Ayu tersenyum gembira.
"Itu plastik apa lagi Yu? Kok banyak banget kamu bawa plastik." Pak Teguh sedikit protes saat tahu anaknya itu menenteng beberapa kresek di tangannya.
"Ada deh pak. Ini semua buat ibu." Ayu mendekap gambar yang dia buat di sekolah kemarin lusa.
"Udah? Pegangan lho ya, jangan sampai jatuh." Perintah bapaknya diberi anggukan mantap di jok belakang.
Bukan berangkat dengan motor, hanya sepeda ontel tua satu-satunya alat transportasi milik pak Teguh, selain becak tua yang teronggok di pojok rumah. Tangan kecil Ayu berpegang pada perut bapaknya. Gambar yang Ayu ingin perlihatkan pada ibunya terselip erat antara dada Ayu dan punggung pak Teguh.
"Mau kemana Guh?" Begitu tanya orang-orang yang tak sengaja ditemuinya di jalan. "Ke tempat ibunya Ayu," Jawab pak Teguh sambil tersenyum.
"Pak.." Panggil Ayu masih dengan pegangan eratnya pada perut bapaknya.
"Hmm, apa Yu?"
"Ayu lupa wajah ibu pak. Apa itu artinya Ayu udah jadi anak durhaka?" Pertanyaan Ayu membuat pak Teguh mengingat kembali wajah cantik kalem istrinya. Sebaris senyum tercipta.
"Ya enggak. Mana ada seperti itu. Kamu kok lucu,"
"Tapi pak.. Malin Kundang juga lupa sama ibunya. Dia dikutuk jadi batu." Celoteh Ayu makin membuat pak Teguh melebarkan senyumnya.
"Malin Kundang dikutuk jadi batu bukan karena lupa wajah ibunya Yu. Dia durhaka karena enggak mengakui ibunya sendiri. Ibu yang merawat dan membesarkan Malin sedih, marah, dan kecewa waktu Malin yang sudah memiliki banyak harta enggak mengakui ibunya. Ibu Malin lalu berdoa agar Malin diberi hukuman atas perbuatannya yang menyakiti hati ibunya itu Yu."
"Iya Ayu udah tahu cerita itu di sekolah pak. Kok Malin tega sama ibunya ya pak, Ayu aja pengen terus bareng-bareng sama ibu.. Dia malah jahat sama ibunya. Sukurin jadi batu kan dia!" Ayu gemas kalau mengingat dongeng Malin Kundang.
Terus berceloteh tak terasa mereka sampai di pemakaman umum, tempat peristirahatan terakhir ibunya Ayu. Pak Teguh menyenderkan sepeda pada pagar di luar area makam. Berjalan dengan langkah pelan. Ayu juga demikian tapi, Ayu memilih berjalan memimpin di depan bapaknya. Dia sangat tahu dan hafal di mana letak makam ibunya.
"Assalamu'alaikum bu. Bu.. Maaf ya Ayu baru bisa datang ke sini jenguk ibu. Ibu kangen Ayu enggak? Soalnya Ayu kangen banget sama ibu. Ayu sebenarnya pengen tiap hari ke sini bu tapi bapak kerja, enggak ada yang anterin Ayu ke sini." Kalimat pertama yang Ayu sampaikan di depan makam ibunya. Tangan kecil Ayu tak diperintah langsung mencabuti rumput-rumput yang tumbuh di sekitar dan di atas makam ibunya.
"Bu.. Kemarin di sekolah Ayu ada tugas menggambar sama bu guru temanya keluarga. Ayu dapat nilai A bu, ibu mau lihat enggak gambar Ayu? Sebentar.. (Tangan Ayu mencari plastik putih yang tadi di pakai untuk membungkus gambarnya.) Ini bu!"
"Ibu suka? Bapak suka enggak pak? (Memperlihatkan gambar yang dia buat kepada bapaknya). Ini bapak.. Ibu.. Ayu.. Kita lagi piknik. Tapi, Ayu enggak pernah piknik bareng bapak sama ibu.. Piknik itu rasanya seperti apa ya bu?"
"Oiya.. Ini Ayu juga bawain ibu bunga mawar. Ayu tanam sendiri, pot nya di kasih Dinda. Udah pecah sih tapi, masih bisa dibuat naruh bunga mawar ini. Bagus enggak bu? Ibu suka? Kata bapak ibu suka mawar putih tapi, di sekolah Ayu cuma ada mawar warna merah.. Jadi Ayu tanam yang merah aja." Ayu membuka plastik kresek hitam yang ternyata berisi bunga mawar yang sudah mekar di dalam pot. Menaruh pot itu di samping nisan ibunya.
"Satu lagi bu.. Ayu punya ini buat ibu." Ayu mengambil plastik lagi yang di dalamnya ada selembar kertas yang di hiasi sedotan bekas di sekelilingnya. Terlihat kertas itu dibingkai oleh sedotan yang dijejer rapi membentuk hati.
"Ayu bacain ya bu.. Pak.. Ayu bacain ya pak.." Pak Teguh mengangguk menanggapi ucapan Ayu.
'Ibu
Hari ini adalah hari ibu. Teman-temanku ke sekolah diantar ibu mereka. Aku? bahkan tak perlu aku memintanya, aku yakin ibu selalu menemaniku kemanapun aku pergi.
Hari ini adalah hari ibu. Dinda membuat kue spesial untuk ibunya aku yakin kuenya enak, banyak stroberi yang menghiasi kue punya Dinda. Seruni membelikan coklat untuk ibunya, bahkan Reza yang paling bandel di kelas berani menyanyikan lagu di depan kelas untuk ibunya. Aku? Kata bapak al-fatihah saja udah bikin ibu senang di sana.
Hari ini adalah hari ibu. Aku sedih melihat teman-temanku dipeluk ibu mereka. Aku sedih, karena hanya aku yang diam membayangkan hangatnya pelukan ibu padaku. Tapi, aku yakin kalau ibu di sini pasti akan memelukku dengan erat.
Hari ini adalah hari ibu. Dan hanya ini yang bisa aku berikan untuk ibu.. Bu, Ayu sayang sama ibu. Ibu tenang di sana ya..'
Ayu menaburkan bunga di atas makam ibunya. Setelah itu Ayu memejamkan matanya dan berdoa. Doa seorang anak di depan pusara ibunya, doa dalam keheningan membuat terenyuh siapapun yang melihatnya. Pak Teguh tak bisa menahan air matanya yang jatuh. Tapi, cepat-cepat dia menghapus air mata itu agar tak dilihat oleh Ayu.
'Yu.. Maafkan bapak yang tidak bisa menjadi sosok ibu untuk kamu. Kurang perhatian sama kamu, memaksamu kuat dan mengerti dengan keadaan kita sekarang ini. Di saat anak lain seusia mu belum lancar berjalan, keadaan memaksamu untuk kuat berlari. Saat anak lain tidur nyenyak dalam dekapan ibu mereka, kamu harus rela pulas hanya dengan mendekap guling usang mu. Maafkan bapak Yu..'
'Dek.. Sudah enam tahun setelah kepergian mu.. Apa kamu tahu sekuat apa aku mencoba bertahan tanpamu? Duniaku seakan ikut terkubur dengan perginya kamu dari sisiku. Tapi, tidak... Kamu memintaku agar kuat, agar terus hidup dan menjaga anak kita. Meski sulit, meski dalam keterbatasan, kamu percaya aku bisa. Dek.. Apa kamu bahagia di sana? Ah pertanyaan bodoh.. Maafkan aku dek, aku tahu kamu pasti lebih bahagia di sana bersama pemilik Sejati mu. Tunggu aku di sana ya sayang, sampai waktu itu tiba.. Waktu di mana aku dan kamu bisa kembali bersama.. Selamanya.. Aku cinta kamu Nur ku.'
Setelah puas berkeluh kesah menceritakan apapun di hadapan makam ibunya, Ayu mengajak bapaknya pulang. Meninggalkan pot bunga mawar kecil di sana.
"Tadi bapak enggak ngomong sama ibu ya?" Tanya Ayu dengan posisi seperti sebelumnya saat mereka berangkat tadi. Duduk memeluk perut bapaknya, dibonceng sepeda dengan kayuhan pelan.
"Ngomong tapi kamu enggak denger aja." Jawab pak Teguh sekenanya.
"Bapak kangen ibu enggak?" Tanya Ayu lagi.
"Kangen. Kenapa Yu?"
"Harusnya tadi bapak juga bawain kado buat ibu. Kan sekarang hari ibu pak." Protes Ayu yang merasa bapaknya tadi tidak membawakan apapun untuk ibunya.
"Bapak ngasih kado yang paling dibutuhkan ibu Yu." Terang pak Teguh selalu sabar menghadapi celotehan putri kecilnya.
Keduanya terus mengobrol di tengah perjalanan, sampai mereka tiba di rumah.
Pak Teguh. Dia bukan lelaki tua berambut putih seperti yang dibayangkan. Usianya saja baru tiga puluh dua tahun. Menikah di usia muda, waktu itu pak Teguh nekat menikahi ibu Ayu yang bernama Nur tanpa persiapan ekonomi yang matang sebelumnya.
Nur gadis cantik yang rajin. Setelah tamat pendidikan menengah pertama, Nur dengan ijin orang tuanya merantau ke kota Jakarta. Kota seribu impian. Kota yang mempertemukannya dengan Teguh. Lelaki yang lantas menjadi suaminya.
Sama-sama orang perantauan, hanya bermodal nekat yang mereka punya setelah berpacaran hampir dua tahun, mereka putuskan untuk menikah. Restu turun begitu mudah dari orang tua Nur waktu itu. Mereka tak memandang harta atau pemikiran 'kamu punya apa?' saat Teguh meminta ijin mempersunting Nur.
Di desa mereka, gadis seusia Nur rata-rata sudah memiliki momongan. Itulah alasan utama orang tua Nur dengan mudah menerima lamaran Teguh untuk putrinya. Mereka takut Nur jadi perawan tua. Sebenarnya banyak yang ingin menjadikan Nur pendamping hidup tapi, pilihan Nur jatuh pada Teguh. Pemuda yang mengambil hatinya sejak pertama kali tatapan mata mereka bertemu.
Singkatnya Teguh dan Nur menjalani biduk rumah tangga dengan bahagia. Mereka berdua tinggal di rumah kecil yang dibangun di sepetak tanah pemberian orang tua Teguh untuk dirinya dan juga istrinya.
Tak lagi merantau, Teguh memutuskan bekerja sebagai tukang becak di kampungnya. Nur membantu ekonomi keluarga mereka dengan berjualan nasi bungkus di sekitar area pasar. Tidak memiliki kios sendiri membuat Nur sering berpindah-pindah saat berjualan.
"Mas, ini kopinya." Nur menaruh secangkir kopi tanpa gula di meja. Teguh meminta Nur duduk di sampingnya.
"Dek, kamu enggak usah jualan lagi ya." Ucap Teguh.
"Kenapa mas?"
"Kandungan mu udah menginjak tujuh bulan. Kalau kamu terus bekerja seperti itu pasti capek. Apalagi bolak-balik dari rumah ke pasar... Udah biar aku aja yang kerja."
Nur, meski usianya menikah dibilang masih remaja, delapan belas tahun. Tapi, cara pikirnya tidak kekanak-kanakan. Dia bisa memposisikan diri dengan baik sebagai seorang istri.
"Kan aku berangkat pulang pergi diantar mas. Tak perlu khawatir mas, kalau berdiam diri di rumah malah bikin aku bingung mas. Mending jualan, itung-itung bisa menambah tabungan kita buat persalinan nanti. Ya kan?" Senyum itu begitu tulus.
"Maafin aku dek, aku merasa gagal menjadi imam untukmu. Membiarkan mu banting tulang dalam kondisi seperti ini, belum bisa mencukupi mu dan calon anak kita." Hampir jatuh air mata Teguh saat Nur mengusap punggung tangannya.
Dan pembicaraan berakhir dengan bunyi jangkrik yang memecah kesunyian malam.
Hari berganti bulan, tiba saatnya Nur melahirkan. Perutnya terasa sakit, di punggung juga demikian adanya. Rasa sakit itu menjalar. Membuat butiran keringat muncul di keningnya. Wajahnya memucat.
Teguh yang mengetahui jika istrinya akan melahirkan segera menyiapkan keperluan bayi dan beberapa kain serta baju ganti Nur yang dia masukan dalam tas. Cemas, dia memapah istrinya ke dalam becak menuju rumah bidan setempat. Teguh mengayuh becak di tengah guyuran hujan dengan jarak berkilo-kilo meter. Baginya tak apa, dia hanya ingin lekas sampai di rumah bidan desa.
"Pak, sebaiknya istri bapak di bawa ke rumah sakit. Tensi istri bapak tinggi, tekanan darah yang tinggi saat melahirkan sangat berisiko memutuskan plasenta dari uterus dengan cara yang tidak semestinya. Ini bisa memicu pendarahan hebat saat persalinan. Dan sangat berbahaya. Bahkan bisa menyebabkan kematian ibu dan janin. Di sini tidak ada peralatan medis yang memadai pak."
Penjelasan dari bidan membuat Teguh limbung.
"Saya bantu transportasi ke rumah sakit ya pak. Pak Teguh terus dampingi istrinya. Buat dia tetap tenang, biar tekanan darahnya tidak semakin naik."
Sekali lagi anggukkan cepat Teguh yang menjawab keterangan bu bidan.
Sampai di rumah sakit, Nur langsung mendapat penanganan. Teguh menemani Nur di ruang bersalin. Tangan mereka terus bertaut, berharap semua akan baik-baik saja. Dalam hati, Teguh tak henti berdoa agar istrinya kuat dan proses persalinan berjalan lancar.
Tak perlu operasi karena setibanya di rumah sakit, Nur sudah pembukaan delapan. Yang diharapkan terkabul, Nur dan putri kecilnya selamat. Saat dilahirkan, bayi mungil itu menangis dengan kencangnya seakan memberi tahu pada siapapun yang ada di ruangan bersalin kalau dia sangat sehat.
Setelah menemani Nur di proses persalinan, Teguh di panggil pihak administrasi rumah sakit untuk melengkapi data pasien dan proses pembayaran. Teguh di buat kelimpungan di sini. Uang yang dia bawa ternyata kurang. Apalagi Nur juga masih harus di rawat beberapa hari ke depan untuk memulihkan kondisinya. Dalam kesulitan seperti itu, Teguh masih bisa bersyukur karena anak dan istrinya selamat.
"Dek.. Aku tinggal pulang sebentar ya. Nanti emak sama bapak biar ke sini nemani kamu." Teguh mencium kening Nur. Nur mengiyakan.
Dengan berbagai pertimbangan, Teguh meminjam uang kepada bu Saodah. Orang paling kaya di desanya. Meski Teguh juga harus mendengar rentetan ocehan terlebih dahulu dari bu Saodah sebelum dia menerima uang dari sang juragan.
"Makanya kalau miskin itu jangan sakit! Orang miskin di larang sakit! Biaya berobat mahal, baik-baik jaga kesehatan! Punya anak jangan banyak-banyak. Pusing sendiri nanti kamu. Baru lahir butuh duit, gedein anak butuh duit! Minta jajan lah, biaya sekolah lah, belum lagi kalau nanti sakit.. Hedeeeeh! Ini lima juta aja! Dikasih banyak-banyak takut kamu enggak bisa balikin nanti!"
Dan masih panjang lagi ceramah yang bu Saodah berikan pada Teguh. Teguh hanya bisa diam menunduk dan berterimakasih setelah bu Saodah mau memberi pinjaman padanya. Tak peduli dengan harga diri atau apa namanya yang terus direndahkan bu Saodah, baginya bisa melunasi biaya rumah sakit dan melihat anak istrinya dalam keadaan sehat walafiat sudah suatu yang patut dia syukuri.
Empat hari di rawat, akhirnya Nur beserta bayi mungilnya diperbolehkan pulang. Rasanya Teguh benar-benar senang saat ini. Berkali-kali lelaki itu mengucap syukur atas kepulangan Nur kembali ke rumah.
Dua tahun telah berlalu, Nur dan Teguh menjadi orang tua untuk putri kecil mereka. Semua berjalan sebagai mana mestinya. Teguh bekerja, Nur di rumah mengurus anaknya yang diberi nama Diah Ayu dan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya tanpa perlu bekerja lagi. Teguh bekerja lebih keras untuk bisa membahagiakan keluarga kecilnya.
"Ayu mirip banget sama kamu dek.. Imut, lucu apalagi kalau senyum gitu. Mirip banget. Udah kayak duplikat kamu." Kata Teguh sambil menimang Ayu dalam dekapannya.
"Semoga kita diberi umur panjang agar bisa membesarkan Ayu menjadi anak sholehah yang takut pada Tuhan ya mas." Permohonan sederhana yang terucap dari wanita sederhana.
"Aamiin ya Rabbal Al-Amin."
Nur hendak ke dapur tapi tiba-tiba pandangannya kabur. Selangkah kemudian dia hampir tumbang. Untung saja dia bisa berpegangan pada tiang di sana. Teguh melihat ketidakberesan pada Nur bergegas datang menghampiri istrinya.
"Kenapa dek? Ayo duduk dulu.." Masih dengan menggendong Ayu di tangannya, Teguh membantu Nur berjalan perlahan menuju kursi dekat mereka berbincang tadi.
Teguh mengambilkan segelas air, membantu Nur untuk meminumnya. Mengoleskan minyak kayu putih pada tengkuk dan pelipis Nur. Teguh bisa melihat wajah Nur tampak pucat pasi.
"Apanya yang sakit? Kita ke puskesmas ya dek." Ajak Teguh cemas.
"Enggak apa-apa mas, tadi cuma pusing." Tangannya mencengkeram keras ujung bajunya.
Antara yang diucapkan dan dirasakan berbeda. Saat ini Nur merasakan sakit teramat sangat pada kepala dan seluruh persendiannya. Pandangannya saja masih kabur. Tapi demi menenangkan suaminya, dia berkata demikian.
Teguh duduk jongkok di hadapan Nur setelah menidurkan Ayu. Perasaannya sungguh tidak enak. "Aku antar ke puskesmas aja yuk dek, kamu pucet banget."
Nur menggeleng pelan. Dirasakan sakit di kepalanya berangsur-angsur menghilang. "Aku enggak apa-apa mas.." Diulang kembali kalimat itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!