NovelToon NovelToon

Pemuda Kesatria

Kompas Jiwa I

"Suatu hari nanti aku ingin menjadi orang hebat!" itulah kata-kata klise yang sering diucapkan oleh anak-anak lugu yang tidak tahu bahwa badai sedang berada di depan mereka, begitu juga dengan diriku.

___

Entah darimana aku salah melangkah, sampai akhirnya berada di titik ini.

"Kau tidak salah dalam melangkah, kau hanya berhenti untuk melangkah." Akhir-akhir ini aku sering mendengar hatiku berbisik di telingaku.

Tanpa kusadari aku berteriak, "DIAM!" namun hatiku terus berbicara.

"Mulailah melangkah, dan kau akan menemukan jawaban dalam hidupmu."

Ini adalah sebuah perkataan dari suara hati dalam diri ku. Benar-benar terdengar sangat bijaksana bukan?

Sayang sekali hati yang bijak itu justru dimiliki oleh seorang pecundang.

___

Memandang langit-langit di ruangan yang sempit, aku bergumam pada hatiku, "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan"

Suara hati ini membalas, " Kau tidak pernah mencari tahu, berdiam diri tidak akan mengubah apa pun"

"Ah, aku lapar." Aku berdiri mengamati sekeliling kamarku yang sempit mencoba mencari sesuatu untuk dimakan, Kemudian aku mulai memasak bubur gandum.

Di tengah-tengah makan malam, aku bergumam pada hatiku, "Sebenarnya, dari mana aku harus memulai? Dari manakah seharusnya aku memperbaiki semua hal ini?"

Suara hati ini membalas, "Ratusan kali kamu mengatakan hal yang sama, tetapi kau tidak pernah benar-benar mencoba memperbaikinya," diam membisu, hati ku melanjutkan kalimatnya.

"Kau berbicara kepada hatimu seolah-olah aku adalah orang lain, sungguh kesepian dirimu."

Aku terpaku, merasa tertampar oleh kenyataan bahwa hatiku sendiri yang secara ironis mengatakannya.

___

Aku lelah, sekarang aku ingin beristirahat.

Kemudian aku membuat diriku nyaman di tempat tidur dan terlelap.

___

Kerajaan Xiris

Desa Maren

19 Januari 1300

___

Seseorang menggedor pintu kamarku pagi ini, karena tidak tahan mendengarnya akhirnya aku pun terbangun lalu membuka pintu.

Di pagi yang indah nan cerah ini, seseorang menatapku dengan marah.

"Ada masalah apa ya?", ucapku terbata-bata sembari menggaruk-garuk kepala.

Seharusnya aku tidak mengatakan hal itu. Lihatlah ekspresi wajahnya yang seolah akan meledak!

"Arezha, apa kau tidak tahu malu, tunggakanmu sudah 2 bulan. Kapan tepatnya kau akan melunasi sewa kamarmu ini!" terkejut mendengarnya, hingga membuatku bingung apa yang harus kukatakan padanya. Suara hati, tolong aku!

Ketika menghadapi situasi genting seperti ini, suara hati ini menghilang.

"Aku akan membayar secepatnya, tolong beri aku waktu," menjawab sebisaku.

"Tidak bisa, aku juga mempunyai bisnis. Aku tidak bisa mentolerir keberadaanmu lagi. Mulai besok pagi kau harus segera pergi dari sini!"

"T-tapi, tolong beri aku waktu seminggu saja, aku akan segera membayarmu kembali, aku berjanji!"

"Tidak mungkin, aku sudah tidak percaya padamu, alasanmu terlalu banyak. Aku akan kembali ke sini besok dan jika kau belum menyelesaikan semuanya, aku akan menyelesaikannya sendiri, mengerti!?" Aku hanya bisa meratapi keadaan ketika dia beranjak pergi.

___

Sialan, terkutuklah semua orang yang tidak mengetahui keadaanku. Terkutuklah aku karena tidak bisa berbuat apa-apa!

"Kau seolah-olah adalah orang yang tertindas dan tersakiti, namun pada kenyataannya kau adalah penjahatnya. Yang menempatkanmu dalam kesulitan adalah dirimu sendiri. Kau yang tidak membayar hutangmu karena tidak memiliki uang, sedangkan kau tidak pernah mencari kesempatan untuk mendapatkan uang dan selalu mengharapkan kebaikan dari orang-orang di sekitarmu, meskipun kau tidak mendatangkan kebaikan bagi orang-orang di sekitarmu."

Ah sial, kau benar suara hatiku, kau benar....

Aku memang selalu membohongi diriku sendiri.

___

Aku harus segera pergi dari sini. Mengemas semua yang kubutuhkan. Berencana untuk pergi ke mana pun itu.

Membayangkan ke mana kaki ini akan melangkah, tanpa pikir panjang aku memutuskan untuk mendatangi kota Sernia. Sebuah kota yang berdekatan dengan lautan, jika aku mengikuti aliran sungai aku tidak mungkin tersesat.

Sisa makanan yang kumiliki saat ini hanya sampai 4 hari. Perjalanan menuju Kota Sernia yang berjarak sekitar 100 km membutuhkan waktu 1 malam dan 2 hari, cukup jauh dan mungkin melelahkan, tetapi apa boleh buat.

___

Perjalanan panjang ini sudah berlangsung kurang lebih 13 jam. Aku tidak menemukan tempat peristirahatan yang layak di mana pun. Mencari-cari tempat untuk bermalam di sekitar, akhirnya aku beruntung menemukan sebuah pohon besar di tengah hamparan rumput yang luas, tidak jauh dari posisiku.

Kemudian aku mendekati pohon tersebut, menyandarkan ransel dan mengistirahatkan kakiku di bawah pohon itu.

Aku ingin memasak gandum untuk makan malam, tetapi aku tidak ingin mengambil risiko. Jika ada orang yang melihat, entah apa yang akan mereka lakukan, mereka bisa saja menyerang ku.

Karena takut, aku menahan rasa lapar malam itu, kemudian aku memutuskan untuk memasaknya saat malam telah berlalu.

___

Kerajaan Xiris

Kota Sernia

21 Januari 1300

___

Suara burung berkicau terdengar. Mata perlahan-lahan terbuka. Aku berdiri mengamati sekeliling, tak berlama-lama, aku segera memasak sarapan, setelah itu aku melanjutkan perjalanan.

Aku menemukan jalan yang terbuat dari bebatuan yang tampaknya mengarah ke Sernia sehingga aku pun mengikutinya. Menuruni bukit sedikit, akhirnya Kota Sernia terlihat di ujung mata ku.

___

Ketika aku berjalan mendekat, gerbang Kota Sernia tampak semakin membesar. Kerumunan orang berdesakan untuk memasuki gerbang.

Aku tahu kota ini dari mendiang ibuku, namun aku tidak mengetahui ternyata Sernia lebih besar dari yang aku kira.

Beberapa langkah lagi hingga kaki ini melangkah masuk ke dalam kota. Salah satu penjaga gerbang yang mengenakan pelindung besi berperawakan jangkung dan kekar, melontarkan beberapa pertanyaan dan memeriksa barang bawaan ku.

Tidak ada yang perlu kukhawatirkan, karena aku tidak memiliki apa-apa.

"Apakah kau penduduk Sernia?" tanya penjaga itu.

"Bukan, aku berasal dari sebuah desa kecil bernama Desa Maren." Aku mengarahkan jari telunjukku. "Jaraknya sekitar 100 km sebelah timur laut dari sini."

"Benarkah begitu?" Dia memeriksa tas ransel ku dengan teliti lalu dia bertanya lagi, "Apakah kau mendengar rumor dalam perjalanan?"

"Rumor seperti apa?" Aku penasaran dengan pertanyaannya.

"Entahlah, tapi sepertinya ada isu yang bisa memicu perang antara Kerajaan Xiris dan Kekaisaran Kluir," penjaga gerbang itu mengoceh panjang lebar, "Sepertinya aku terlalu banyak bicara sehingga membuang-buang waktumu. Jika kau tahu sesuatu beritahu aku." Dia menyerahkan ransel ku kembali.

Kami pun berpisah dan aku melangkah melewati gerbang Kota Sernia.

Kehidupan seperti apa yang menanti ku di sini?

___

Dengan sedikitnya uangku, aku berencana untuk mencari pekerjaan apa pun itu. Maksudku ini kota besar bukankah begitu? Aku pasti mendapatkan pekerjaan di sini!

Aku melihat sebuah papan pengumuman, yang kulihat pertama kali adalah sebuah poster. "Apa ini?" Yaitu sebuah poster perekrutan militer kerajaan.

Terbesit dalam pikiranku untuk mengikuti perekrutan itu, kehidupanku mungkin saja akan lebih terjamin tetapi aku bukanlah seorang petarung, aku pasti akan mati saat terjun dalam medan perang.

Aku melihat-lihat kembali secara keseluruhan papan pengumuman itu, mencari sebuah peta kota. Ketika aku mendapatkannya,aku mengambil peta itu sehingga tersobek karena paku yang menancap lalu kusimpan di dalam ranselku.

___

Aku merasa optimis bisa mendapatkan pekerjaan. Menuju pasar kota untuk mencari suatu pekerjaan yang bisa kulakukan, mungkin mengangkut barang atau menjaga sebuah toko.

Sesampai di pasar Sernia aku melihat segerombol pekerja yang sedang mengangkut dan memindahkan barang ke kereta kuda. Mereka sedang diawasi oleh mandornya.

Dengan niat mencari pekerjaan aku mendekati mandor itu.

Mandor itu melirik diriku dan melanjutkan tugasnya sambil berkata, "Pergilah, aku tidak punya uang."

Sepertinya dia menganggapku sebagai pengemis.

"Tidak, bukan begitu sepertinya kau salah paham, aku hanya ingin mencari pekerjaan sebagai pekerja di sini, mohon izinkan aku untuk bekerja disini!"

Mandor itu menghela napas, dari sorot matanya seakan memeriksa tubuhku.

"Sayang sekali tetapi kuota pekerja sudah terpenuhi, pergilah dari sini. Tidak ada pekerjaan yang bisa kau dapatkan di sini, kau tidak cocok bekerja di sini"

Aku memohon padanya, "Kumohon pekerjakan lah aku, aku tidak keberatan dibayar murah!" Aku menggenggam tangannya.

Dia terkejut dan menepis tanganku. "Sialan, jangan menyentuhku! sudah kubilang tidak ada pekerjaan yang bisa kau dapatkan di sini!" Dia mendorongku hingga aku terjatuh.

Aku pun menyerah dan mencoba di tempat yang lain,tetapi setelah kucoba mencari-cari pekerjaan di sekitar pasar ini, tetapi tidak satupun yang menerima diriku. Waktu pun berlalu dengan cepat.

Diriku mulai cemas dengan nasib yang akan datang padaku nanti.

___

Kompas Jiwa II

Hari sudah semakin gelap. Aku berjalan berjam-jam dalam kegelapan, putus asa mencari tempat untuk beristirahat. Kaki ini terasa seperti tertimbun timah dan perut yang keroncongan karena kelaparan. Aku tersesat karena gelap dan tidak punya pilihan selain beristirahat di bawah jembatan yang kotor dan bau.

Takut dan sendirian, bisakah aku bertahan hidup di kota ini? Ketika aku hendak duduk di sudut, terdengar suara mendengung yang samar-samar dari sisi lain jembatan. Penasaran dengan suara itu, perlahan-lahan aku berjalan untuk mencari tahu suara apa itu.

Aku melihat seseorang sedang bersandar di pojok. Tanpa dia sadari, aku mendekatinya, seorang lelaki tua dengan pakaian lusuh, rambutnya telah memutih, kehilangan lengan kanan dan lengan kirinya yang terlipat di pangkuannya. Orang tua itu kemudian menyadari kehadiran ku lalu mengatakan, "Aku tidak memiliki apapun untuk kau ambil."

Kemudian aku memberitahukan niatku, "Aku hanya mencari tempat untuk beristirahat."

Lelaki tua itu mengambil sesuatu di sampingnya, sebuah kain yang dapat digunakan sebagai selimut dan menawarkannya kepada diriku. "Pakailah ini dan tidurlah."

Lalu aku menerima dan mengambil kain itu, kemudian duduk di sampingnya sembari mengeluarkan sesuatu dari ranselku, "Aku punya sedikit gandum yang cukup untuk kita berdua." Wajahnya berubah menjadi senang dan bertanya, "Siapa namamu nak?"

" Namaku Arezha..." jawabku pelan.

Aku menyalakan api untuk memasak sementara kami mengobrol.

"Apa yang membuatmu datang ke sini?"

" Aku berasal dari Desa Maren mencoba mencari pekerjaan di kota ini, namun tidak membuahkan hasil. Aku tidak punya uang untuk tidur di penginapan."

Lelaki tua itu menatapku dengan iba, aku meneruskan perkataanku. "Sepertinya jika hidupku terus berlanjut seperti ini, aku akan mencuri, merampok, apa pun itu untuk melanjutkan hidupku." Aku mengambil dua buah mangkuk dari tas ranselku, mengisinya dengan makanan yang sudah dimasak kemudian aku berikan kepada lelaki tua itu. Lelaki tua itu mengambil mangkuknya. "Terima kasih," ucapnya.

Ada keheningan selama beberapa saat ketika kami menyuapi diri dengan makanan.

Orang tua itu menanggapi ucapanku, "Sungguh pilihan yang buruk, sedangkan kau masih bisa bekerja. Tidak peduli seberapa kejamnya kehidupan yang kau jalani saat ini, jangan biarkan hatimu berubah karenanya." Dia meletakkan mangkuknya, mata kami saling bertatapan dan dia meneruskan, "Karena itu tidak sebanding jika kau harus kehilangan dirimu sendiri."

Beberapa kata yang meneguhkan hati ini cukup untuk membuat aku merasa lega, seolah-olah beban berat telah terangkat dari pundakku.

Kami pun kemudian mulai berteman. Nama lelaki tua itu Izwar, aku memanggilnya Kakek Izwar. Berbicara tentang kehidupan dan berbagi cerita tentang kesulitan dan perjuangan kami.

"Ceritakan sedikit tentang dirimu, nak!" katanya sambil menyantap makanannya.

"Entahlah, aku menganggapnya sebagai mimpi buruk, aku bahkan tidak ingin mengingatnya."

"Baiklah, kalau begitu, biar aku ceritakan padamu. Berapa umurmu sekarang nak Arezha?"

"Umurku sekarang 20 tahun kek." Kakek Izwar menyuapi dirinya sendiri dan berkata, "Masakanmu enak sekali!" aku menjawab "Syukurlah kalau begitu".

Kemudian kembali ke pokok pembicaraan, Kakek Izwar melanjutkan ceritanya. " Kau sudah berumur 20 tahun, berarti kau belum lahir pada waktu itu. Pada tahun 1260 yang merupakan 40 tahun yang lalu, saat itu aku berusia 21 tahun. Saat itu Raja Xiris Amberia II wafat pada usia 47 tahun dan kekosongan kekuasaan pun tak terelakkan"

Kemudian Kakek Izwar melanjutkan ceritanya. "Saat kekosongan kekuasaan, terjadi pemberontakan sehingga terpecah menjadi 2 kubu yang bergegas mengisi kekosongan tersebut, yaitu panglima perang dan pemberontak. Keduanya saling berperang untuk mendapatkan kekuasaan. Saat itu aku ditugaskan sebagai unit pengintai di perbatasan antara Kekaisaran Kluir dan Kerajaan Xiris, secara tidak sengaja aku melihat banyak kereta kuda, gerobak, dan yang membuatku curiga karena mereka membawa kelompok pasukan yang entah dari pihak mana, aku tidak melihat ada lambang atau simbol apapun pada mereka.

Tidak hanya berdiam diri, aku melaporkan apa yang kulihat kepada atasanku dan merencanakan konfrontasi. Singkat cerita mereka menolak untuk bekerja sama sehingga timbul kecurigaan. Pertarungan pun tak terhindarkan. Kami berhasil mengalahkan mereka dan melucuti isi gerobaknya. Pedang atau perlengkapan perang ditumpuk di dalamnya dan kami menahan musuh yang tersisa, menginterogasi beberapa di antaranya hingga mereka berbicara. 'Ampuni aku! Aku hanya ditugaskan untuk mengantarkan barang!" demikian jawaban mereka. Mereka hanyalah pion, tentara bayaran yang ditugaskan untuk mengantarkan senjata.

Tapi kepada siapa? Tawanan itu menjawab bahwa penerimanya adalah salah satu pemberontak. Sekelompok pemberontak membeli semua persenjataan itu, bagaimana mungkin hal itu tidak masuk akal kecuali jika ada orang lain yang membiayainya.

Kita hanya bisa menyimpulkan bahwa Kekaisaran Kluir yang membiayai semuanya pada saat itu. Masuk akal jika kekaisaran tidak akan tinggal diam dan mengambil kesempatan ini, karena Kaisar Kluir yang bernama Avianto merupakan orang yang sangat berambisi untuk menyatukan benua barat, dia sendiri yang mengatakannya pada pidato penobatan nya. Merupakan rencana yang bagus untuk mempersatukan benua, tapi harganya adalah darah!"

Kakek Izwar berhenti sejenak. "Hei nak, apakah kau punya air? Aku haus karena terlalu banyak bicara."

Aku membagikan sisa air minum ku kepadanya, sungguh penasaran dengan kelanjutannya. Rasanya seperti mendengarkan dongeng sebelum tidur.

Kakek Izwar meminumnya, lalu melanjutkan ceritanya lagi. "Ketika kami menghancurkan logistik mereka, para pemberontak kewalahan. Ketika pihak panglima perang hendak mengeluarkan ultimatum kepada para pemberontak, tiba-tiba muncul kubu ketiga yaitu para anggota keluarga kerajaan yang berhak menduduki takhta kekuasaan.

Kau mungkin bertanya-tanya mengapa mereka muncul begitu terlambat, namun aku hanya bisa berasumsi bahwa ada kepanikan di antara para anggota keluarga kerajaan.

Rakyat tidak ingin dipimpin oleh putra mahkota yang masih kecil sehingga menjadi sangat sulit untuk merekrut pasukan yang setia kepada mereka, entah bagaimana mereka bisa mengumpulkan pasukan, mungkin karena pengaruh uang.

Kemunculan kubu ketiga ini datang di saat yang tepat, di mana dua kubu lainnya sedang melemah karena fokus berperang satu sama lain. Unit ku segera ditugaskan untuk bergabung dengan anggota kerajaan, pewaris takhta yang sah. Mengapa begitu? Karena sebagian dari kami tidak ingin dipimpin oleh pihak yang tidak jelas asal-usulnya, pasukan pemberontak yang merupakan boneka Kekaisaran Kluir, celakalah mereka jika menang. Adapun panglima perang yang berusaha mengambil alih kerajaan di tangan mereka. Mereka hanya datang pada saat terjadi kekacauan, memerangi rakyatnya sendiri.

Kami berhasil mengatasi krisis saat itu, para pemberontak yang kami tangkap telah mengkonfirmasi bahwa mereka dibiayai oleh Kekaisaran dan panglima perang telah dieksekusi oleh kerajaan. Kekuasaan telah berhasil di amankan oleh anggota keluarga kerajaan dan ditegaskan kepada pewaris takhta yang sah.

Jangan kira ini sudah berakhir, 3 bulan telah berlalu. Kerajaan Kluir tidak kehabisan akal, mereka menyebarkan fitnah bahwa anggota keluarga kerajaan memimpin rakyatnya secara tirani. Dengan alasan untuk membebaskan Kerajaan Xiris dari tirani, mereka memulai invasi. Kemudian aku ditugaskan dan bergabung dengan unit lain di Kota Aldea.

Sebuah kota yang berhadapan dengan perbatasan Kekaisaran Kluir. Ketika pasukan Kluir terlihat di ujung cakrawala, kami menghadangnya di tempat yang luas untuk memberikan waktu bagi penduduk untuk mengungsi." Kakek Izwar tiba-tiba berhenti bercerita.

"Ada apa, Kek?" tanya ku dengan kebingungan.

"Aku lelah, mari kita lanjutkan besok. Segeralah beristirahat, aku sudah mengantuk."

Kakek Izwar membereskan tempat dimana dia akan tidur dan berbaring. Tanpa bisa memaksanya, aku pun ikut berbaring dan beristirahat.

___

Terimakasih sudah membaca, saya sangat senang!

Jangan lupa Like & Share

Kompas Jiwa III

___

Kerajaan Xiris

Kota Sernia

22 Januari 1300

___

Saat kuterbangun, Kakek Izwar menghilang dari tempat tidurnya. Aku berjalan mencarinya, tidak jauh dari situ, aku bertemu dengan Kakek Izwar yang sedang mengorek-ngorek tempat pembuangan sampah. Sepertinya dia mencari makanan sisa. Apakah dia menjalani hidup seperti ini setiap harinya?

Aku menyapa Kakek Izwar, "Pagi Kek, sedang apa?"

Kakek Izwar menoleh melihatku. "Nak Arezha, selamat pagi." Pandangannya terfokus pada pembuangan sampah kembali, "Aku sedang mencari sesuatu untukku makan nanti"

"Kemarilah Kek. Aku memiliki makanan, kau hanya perlu memasaknya terlebih dahulu." Ini adalah makanan terakhirku hari ini, hanya ini yang bisa ku berikan saat ini.

Hal yang terbaik saat ini adalah mencari pekerjaan, jika aku memiliki uang aku pasti bisa membantu lebih banyak.

Kakek Izwar berhenti mengorek-ngorek pembuangan sampah itu dan mendekatiku. "Terima kasih nak Arezha, bagaimana denganmu sendiri? Apakah kau sudah memakan sesuatu hari ini?"

"Jangan pikirkan aku, aku akan mencari pekerjaan hari ini Kek. Doakan aku semoga beruntung."

"Baiklah, semoga beruntung nak Arezha!"

___

Hari berlalu dengan cepat. Hari terasa terulang seperti kemarin. Aku menghela napas. "Hasilnya nihil. Besok, besok aku pasti akan mendapatkannya!"

Sepertinya malam ini aku akan berpuasa hingga besok hari, ketika hendak kembali ke tempat Kakek Izwar. Aku berpapasan dengan penjaga gerbang yang menanyaiku kemarin, dia melirikku lalu memanggilku, "Hei kau, kau terlihat kebingungan ada apa?"

Aku berhenti berjalan dan menghadap kepadanya. "Hari ini aku mencoba untuk mencari pekerjaan, akan tetapi sulit bagiku untuk mendapatkan satu saja pekerjaan."

"Aku baru ingat, kau bukan penduduk sini... apa kau memiliki kerabat yang hidup di sini?"

"Tidak ada, aku hidup sendirian. Mencoba kehidupan baru di kota ini."

Dia kembali bertanya, "Lalu di mana kau beristirahat, sebuah penginapan?"

"Saat ini aku tidak memiliki apa-apa, aku beristirahat di bawah jembatan. Tidak terlalu nyaman tetapi cukup aman."

"Mungkin sedikit sulit untuk memulai kehidupan baru di sini tanpa apa-apa. Ikutlah denganku, kau boleh bermalam ditempatku. Aku tinggal tidak jauh dari sini." Senang mendengar dia berkata seperti itu, kuharap dia tidak menipuku.

Aku pun mengiyakan dan ikut bersama dia. Sesampai di distrik utara tepat di depan rumah berlantai dua yang besar terbuat dari papan kayu. Aku bertanya, "Apakah ini tempatnya?"

Penjaga itu membuka helm besinya yang terlihat berat. Memperlihatkan rambutnya yang pirang terangin-angin memancarkan kesan gagah lalu menjawab pertanyaanku, "Ya, di belakang rumahku ada gudang kecil. Semenjak aku memiliki gudang yang lebih besar, gudang itu sudah kukosongkan. Walaupun kecil kurasa itu cukup untukmu untuk bermalam."

Merasa tertolong aku pun memberi gestur rasa terima kasih. "Terima kasih banyak. Aku rasa itu sudah lebih dari cukup."

Penjaga itu memberi tahu satu hal, "Jika kau hanya ingin bermalam saja kau tidak perlu membayar sepeserpun, tetapi jika kau ingin menetap, bekerjalah sebagai pegawai ayahku di kedai. Dia sepertinya membutuhkan satu atau dua pegawai lagi, cukup bagus untuk mu memulai kehidupan baru. Ayahku akan membayarmu dengan layak!" Dia memberikan lengannya ajakan untuk berjabat tangan. "Aku lupa memperkenalkan diri, namaku Adry!", ku jabat tangannya. "Aku Arezha."

Pada akhirnya aku mendapatkan pekerjaan yang nyata, kuharap ini bukanlah mimpi belaka. Aku harus memberi tahu kakek Izwar jika ada waktu.

___

Kerajaan Xiris

Kota Sernia

23 Januari 1300

___

Keesokan hari dipagi hari Adry mengetuk pintu. "Arezha keluarlah, akan kutunjukkan kedai ayahku."

Aku segera menyiapkan diriku. "Baiklah, tunggu sebentar." Aku pun keluar menyapa Adry yang menggunakan pakaian kasualnya.

Karena pakaian kasualnya, timbullah pertanyaan, "Di mana zirahmu, bukankah kau juga akan bekerja?"

Wajahnya mengarah kepadaku dan menjawab, "Tidak, hari ini aku senggang, lagi pula penjaga gerbang bukan aku saja haha, mari ikuti aku."

"Baik, aku akan mengikutimu." Adry mulai berjalan dan aku pun mengikuti di sampingnya.

Sementara kami berjalan, Adry melontarkan pertanyaan, "Omong-omong Arezha... Rezha... Reza, ah sepertinya Reza bagus. Boleh ku panggil begitu?"

"Silakan, aku tidak keberatan." Apakah ini rasanya memiliki teman?

"Reza, apa yang membawamu ke Kota Sernia?" tanyanya.

Jujur aku pun bingung harus menjawab apa. "Entahlah aku sendiripun tidak tahu, ditempat asalku aku tidak memiliki pekerjaan, yang kulakukan hanya pekerjaan kecil dan mengharapkan kebaikan dari orang sekitarku. Mungkin itulah yang membuatku hidup sampai saat ini. Mereka sudah muak untuk menampung diriku sebagai benalu dan aku pun diusir dari sana. Jadi karena terpaksa, aku tanpa pikir panjang menuju Kota Sernia dan berharap akan bernasib baik di sini, setidaknya menjadi manusia yang berguna."

"Haha aku sedikit terkejut mendengarnya, jika kau ingin memperbaiki keadaanmu bukankah lebih baik mencari pekerjaan di Ibukota atau Kota terdekat dari Desamu. Keadaan lebih sibuk di sana, tentu lapangan pekerjaanpun terbuka luas. Bahkan orang-orang Sernia pun berpindah untuk menguji keberuntungannya di Ibukota. tetapi kau malah pergi ke Sernia, kecuali kau adalah pedagang yang membeli produk impor dari pelabuhan di Sernia dan menjualnya di Ibukota."

Sejujurnya aku hanya tidak ingin bertemu dengan ayahku yang berada di kota terdekat dari desaku, menjengkelkan. "Aku baru menyadarinya setelah kau berkata begitu, mungkin lebih masuk akal jika aku pergi ke Ibukota, aku kemari karena tidak berpikir dua kali," ucapku.

Adry tersenyum mendengarnya. "Haha, sudahlah sekarang kau ada di sini, dan kau sudah kujanjikan pekerjaan, kau bisa tenang sekarang. Tempat kau bekerja adalah tempat yang bersejarah diwariskan secara turun temurun dan kedai itu beroperasi sampai sekarang karena terkenal dan ramai, hebat bukan?"

Disepanjang perjalanan kami basa basi membicarakan banyak hal.

Dia memanduku menuju kedai ayahnya yang berada di sekitar Pelabuhan Regia. Tempat yang strategis di mana para nelayan, pedagang berdatangan dari arah pelabuhan sedangkan di sebelah pun banyak penduduk lokal berdatangan. Kedai yang katanya warisan keluarga turun temurun itu masih berdiri kokoh. Menjadi salah satu tempat yang sering dikunjungi oleh banyak orang-orang.

___

Adry berhenti melangkah di depan kedai ayahnya, lalu dia berkata, "Ini dia kedainya, mari kita masuk."

Kami memasuki kedai itu. Mengharapkan kedai yang khas. Aku terkagum-kagum, interiornya yang sangat indah. Aku bisa melihat permadani dan lukisan tua tergantung di dinding, dan perapian batu besar dengan api yang menggerumuh berkertak di sudut.

Ayahnya Adry merupakan seorang lelaki berumur 40-an yang mengenakan pakaian tradisional. Mendekatlah kami berdua. Adry berkata, "Tunggu, duduklah dahulu di sini," ucapnya sembari membawa kursi dari meja pelanggan dan menyodorkan kursi kepadaku.

Tidak bermaksud menguping, tetapi aku bisa mendengar mereka berbicara dengan jelas.

"Ayah, aku membawa seseorang untuk bekerja." Ayahnya melihatku dari kejauhan dan bertanya pada Adry.

"Siapa dia?" Sembari menunjukku. Dengan rasa canggung aku berpura-pura tidak mendengar dan tidak melihat.

Adry menjawab, "Dia temanku, aku yakin dia bisa membantu Ayah di sini, dia adalah orang yang baik. Ayah sendiri yang bilang jika ayah membutuhkan seorang pekerja."

Ekspresi Ayahnya terlihat kecewa dan berkata, "Yang aku butuhkan itu kau Adry, bukan seorang asing, tetapi kau! yang akan mewarisi kedai ini nanti. Akan tetapi kau malah berniat untuk bergabung dengan militer negara!"

Mereka berdua berdebat, Adry membantahnya, "Aku melakukannya ini karena aku hanya ingin melindungi negara ini dan orang-orang terdekatku, Ayah!" Ayahnya terdiam dia pun duduk dengan kepala yang menunduk meredam marah, ketika emosinya sudah stabil. Ayahnya mengangkat wajah menatap Adry.

"Tetapi mengapa harus engkau Adry, mungkin sekarang kau adalah penjaga gerbang seiring berjalannya waktu pekerjaanmu menjadi lebih berbahaya. Entah jika kau ditempatkan dalam peperangan berdarah yang tak berarti, ataupun tugas-tugas berbahaya lainnya. Ada jutaan orang lain yang bisa menggantikanmu. Kau tidak perlu mengikuti arus semua ini, hiduplah dengan damai dan tenang di sini."

Adry pun duduk berhadapan dengan Ayahnya dan menggenggam tangan Ayahnya, "Ayah, aku sudah memiliki tujuanku sendiri. Kumohon untuk mengerti, jangan berkata seperti itu seakan ini tak berarti. Daripada itu, lihatlah temanku. Pekerjakan lah dia. dia mencoba untuk memperbaiki hidupnya. Berilah pekerjakaan padanya, kuyakin dia bisa membantu ayah di sini!"

___

Terimakasih sudah membaca, saya sangat senang!

Jangan lupa Like & Share

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!