NovelToon NovelToon

Menuju Takdir Cinta Naura

Bab 1 Rencana perjodohan

Dreettt…

Drreettt…

Suara getar alarm terdengar memekakkan telinga di subuh hari. "Na, matiin alarmnya berisik!"

Suara parau khas bangun tidur itu berasal dari seorang gadis yang baring di ranjang sebelah.

"Mmm, howaam…"

Pemilik jam weker yang alarmnya bergetar itu pun terbangun. Dia mematikan suara berisik alarmnya, setelah itu dia pun langsung bangkit dari tempat tidur.

"Udah subuh, Ra. Bangun!"

Dia membangunkan Zahra sahabatnya yang malah menarik kembali selimutnya.

"Aku lagi nggak sholat, Na. Jangan ganggu, masih ngantuk ini!"

"Sorry, Ra. Aku lupa…"

Gadis itu pun melangkah menuju kamar mandi, dia langsung mandi, setelah mandi tidak lupa berwudu, lalu melaksanakan dua rakaat subuh. Setelah sholat subuh, dia menyempatkan diri untuk membaca qur'an, barulah setelah itu dia memasak sarapan.

Hidung Zahra terganggu oleh harumnya masakan sahabatnya, sehingga membuatnya segera bangun dan mandi.

Beberapa menit kemudian, kedua gadis itu sudah selesai menyantap sarapan nasi goreng ala ala anak kos di akhir bulan. Kini mereka sedang bersiap untuk berangkat ke kampus.

"Naura, aku pinjam pentul dong!"

Zahra mengambil satu jarum pentul milik Naura yang terletak diatas lemarinya. Ya, nama sahabatnya itu adalah Naura. Dia seorang yang introvert banget. Zahra adalah sahabat satu satunya sejak SMA hingga saat ini. Bukan Naura tidak mau bergaul atau pun pilih pilih teman, hanya saja, dia susah untuk akrab dan merasa nyaman dengan orang lain.

"Zahra, jam berapa kamu ketemu Pembimbing Skripsi…"

Teriak Naura yang sedang memakai kaos kaki. Dia duduk di kursi depan kamar kos mereka.

"Jam sepuluh. Kalau kamu?"

Zahra menghampiri Naura. Dia ikut duduk di kursi kayu panjang didepan kamar yang memang sudah ada sejak mereka tiba di kos ini tiga tahun lalu.

"Jam sembilan."

"Semoga kali ini skripsiku akan langsung di acc. Aku mau segera wisuda."

"Semoga saja…"

Setelah siap, mereka langsung berangkat menuju kampus dengan menaiki angkutan umum yaitu mobil angkot. Untuk tiba ke kampus, mereka menempuh perjalanan kurang lebih lima belas menit saja.

Meninggalkan Naura dan Zahra yang masih dalam perjalanan menuju kampus. Di kampung halaman Naura, kedua orangtuanya sedang kedatangan rombongan yang akan melamar Naura.

"Assalamualaikum!"

Maysaroh dan rombongannya mengucapkan salam pada ayah dan bunda Naura yang sedang bersiap untuk berangkat kerja.

"Waalaikumsalam…"

Yani dan Rudi melihat kedepan, mereka penasaran siapa yang datang pagi pagi bertandang ke rumah mereka.

"Loh mbak!"

Yani sedikit kaget melihat siapa yang datang.

"Ada apa mbak datang membawa rombongan segala?" Sambung Rudi yang juga tidak kalah kagetnya.

"Persilahkan mbak dan rombongan masuk dulu lah, rasanya kurang tepat mengobrol sambil berdiri di depan rumah."

"Yok mari, mbak, bapak, ibu. Masuk dulu…"

Rudi dan Yani akhinya mempersilahkan mereka masuk dan duduk di ruang keluarga yang tidak begitu besar, sehingga rombongan duduk berdempet dempetan.

"Mengobrol saja dulu, bapak bapak, ibu ibu, mbak. Saya mau kebelakang sebentar." Pamit Yani.

"Mbak datang sepagi ini tanpa memberi kabar terlebih dahulu, sepertinya ada hal penting yang harus dibahas, ya?"

"Iya dek Rudi benar. Mbak sengaja datang karena ada hajat baik yang mau segera diutarakan."

Sebentar Rudi melirik rombongan yang datang bersama Maysaroh. Ia mulai menerka maksud kedatangan kakak iparnya itu. Dan saat bersamaan, Yani datang membawa nampan berisi beberapa gelas teh dan dua piring biskuit.

"Hanya ada teh hangat saja. Silahkan diminum, pak, buk, mbak."

Yani mempersilahkan tamunya untuk meminum teh buatannya yang ditanggapi dengan anggukan dan senyuman oleh tamunya.

"Jadi, sebenarnya apa tujuan mbak dan rombongan datang kemari?"

Rudi langsung bertanya. Dan Maysaroh melirik kearah adik iparnya yang merupakan wali sah dari anak anaknya, karena suaminya telah meninggal. Dia membari kode agar adik iparnya yang menjawab pertanyaan Rudi.

"Ee…, begini mbak yu, mas Rudi. Sebenarnya kedatangan kami dan rombongan kemari, untuk melamar putri mbak yu dan mas Rudi yang bernama Hanna Naura untuk keponakan saya yang bernama Adi Tama."

Rudi menghela napas, karena ternyata tebakannya benar tentang maksud kedatangan kakak iparnya beserta rombongannya itu. Sementara Yani tersenyum saja, karena dia sudah tahu lebih dulu perihal perjodohan anak anak mereka. Karena sebulan sebelumnya, Maysaroh sudah mengutarakan keinginannya untuk menjadikan Naura sebagai menantunya.

"Begini mbak, mas. Saya menyambut dan menerima dengan baik kedatangan mbak dan mas, beserta rombongan kemari..."

Rudi melirik pada istrinya yang tampak tersenyum dan tidak terkejut seperti dirinya.

"Tapi, Naura dan Tama itu sepupu yang artinya Tama adalah keponakan kami dan Naura adalah keponakan mbak."

Maysaroh dan rombongannya mengangguk paham. Mereka sangat mengerti tentang hal itu.

"Apa tidak terlalu aneh untuk menjodohkan mereka?"

Rudi sebenarnya kurang menyetujui perjodahan anak anak mereka. Terlebih karena menurutnya mereka masih memiliki hubungan darah yang sangat kental.

"Menurut mbak sih tidak aneh, kok. Lagi pula pernikahan sepupu itu juga tidak dilarang dalam agama kita."

"Iya, mbak memang benar. Pernikahan sepupu dibolehkan. Tapi, saya hanya khawatir terjadi yang tidak diinginkan dikemudian hari…"

"Apa yang dek Rudi khawatirkan?"

"Ya, seperti yang sama sama kita tahu, baik Naura maupun Tama, mereka belum tentu setuju dengan perjodohan ini..."

"Tama setuju kok. Saya sendiri yang menanyakan langsung pada Tama. Dia malah mengatakan memang sudah lama suka sama Naura. Hanya tidak enak karena mereka sepupu."

Maysaroh menyela ditengah ucapan Rudi yang belum selesai.

"Apa mbak yakin Tama mengatakan seperti itu?"

"Iya, dek Rudi. Mbak bicara langsung melalui telepon dengan Tama. Awalnya dia terdengar malu malu, kemudian dia mengaku kalau dia memang menyukai Naura sejak lama."

"Jika memang nak Tama merasa seperti itu, berarti kita hanya perlu menanyakan pada Naura." Ujar Rudi yang merasa sedikit lega setelah mendengar penuturan Maysaroh tentang perasaan Tama pada Naura.

"Naura pasti setuju kok, mas." Sahut Yani dengan yakin.

"Jangan dulu merasa yakin. Kita belum tahu perasaan Naura."

"Pokoknya Naura pasti mau."

Rudi pun akhirnya meminta Maysaroh untuk menunggu jawaban dari Naura, setidaknya dalam satu minggu kedepan. Karena Naura akan pulang akhir minggu ini.

"Saya sangat berharap Naura menerima Tama sebagai suaminya. Sungguh hanya Naura yang saya inginkan untuk menjadi menantu saya."

Maysaroh mengatakan itu dengan penuh harap. Dia sangat mengiginkan Naura untuk menjadi menantunya. Entah apa yang diharapkannya dari Naura sehingga membuatnya begitu terobsesi.

"Mbak tidak usah kahawatir, Naura sudah pasti mau menjadi menantu mbak."

Lagi lagi Yani bicara tanpa memikirkan bagaimana perasaan Naura yang belum tentu mau menerima perjodohan ini. Hal itu membuat Rudi menghela napas, ia merasa sedikit kecewa karena istrinya begitu yakin Naura akan setuju dengan rencana perjodohan ini.

Bab 2 Naura yang malang

Naura baru saja tiba di depan kamar kos nya. Dia duduk untuk melepas kaos kaki sambil menunggu Zahra yang masih dijalan. Mereka tidak pulang bersama, karena memang berbeda jurusan dan juga fakultas. Hanya sesekali saja mereka pulang bersama.

"Alhamdulillah. Terimakasih ya Allah. Akhirnya minggu depan aku sidang."

Naura merasa sangat bahagia, karena akhirnya dia akan segera mendapatkan gelar sarjananya sebagai seorang sastrawan.

Drrriitt…

Ponsel Naura bergetar. Dia langsung mengambil ponselnya yang ada di dalam tas ranselnya.

"Ayah!"

Naura melihat kontak yang beri nama Ayah meneleponnya.

Dia segera menjawab panggilan itu dengan penuh semangat, dan juga rasa bahagia.

"Assalamualaikum, ayah."

"Ayah sama bunda apa kabar?"

Senyum bahagia tidak pernah lepas dari wajah Naura. Dia bahkan tidak sabar ingin segera mengatakan bahwa dia akan sidang skripsi minggu depan.

"Alhamdulillah, aku juga baik baik saja. Ini baru nyampe kos, tadi pulangnya sore karena harus mengurus beberapa hal…"

Tutur Naura mulai bercerita. Sebentar dia diam mendengarkan ucapan ayahnya diseberang sana. Lalu, tiba tiba senyuman yang sejak tadi terpancar diwajahnya menghilang seketika.

"Lalu, apa jawaban ayah sama bunda?"

Naura menghela napas. Matanya tampak berkaca kaca, dia bahkan tampak menahan bulir bening yang hendak jatuh dari pelupuk matanya.

"Menurut ayah sama bunda bagaimana?"

Bulir bening itu akhirnya benar benar jatuh dari pelupuk matanya setelah mendengar jawaban yang disampaikan ayah dan bundanya.

"Jika ayah sama bunda merasa seperti itu, maka tidak ada alasan bagiku untuk menolak."

Naura mengatakan itu sambil menahan tangisnya. Meski dia mencoba menahannya air mata itu tetap tumpah dari pelupuk matanya.

"Ayah, aku mau ke toilet dulu. Nanti kita sambung lagi ya!"

Naura berbohong. Dia sudah tidak tahan untuk menangis dan dia tidak ingin kedua orangtuanya mendengar tangisannya.

"Waalaikumsalam…"

Naura langsung mengakhiri pembicaraan yang membuatnya menangis itu. "Hhiiikkss, aku bahkan lupa mengatakan tentang sidang skripsiku minggu depan." Gumamnya.

Saat Naura menangis didepan kamar kos nya, Zahra baru saja tiba. Dia langsung berlari menghampiri sahabatnya yang terlihat sangat sedih.

"Na, kamu kenapa?"

Zahra langsung memeluk Naura dan menepuk pelan punggungnya untuk menenangkan kesedihan yang dirasakan sahabatnya.

"Na, tidak apa apa kok kalau kamu belum bisa wisuda tahun ini. Aku memang lulus, tapi aku akan menemani kamu di sini kok. Setelah wisuda, aku akan mencari pekerjaan disini. Kamu jangan sedih lagi, ya..."

Zahra mencoba membujuk Naura. Dia mengira Naura menangis karena belum bisa wisuda tahun ini bersamaan dengannya.

"Ra, aku dijodohkan."

"Apa? Dijodohkan…"

Zahra melepaskan pelukannya, dia beralih menatap tajam wajah Naura yang masih penuh oleh air mata.

"Barusan ayah bilang, aku sudah dilamar."

"Oh Nauraku yang malang…"

Zahra kembali memeluk Naura dan ikut menangis bersama.

"Memangnya seperti apa calon suamimu, Na?"

"Sepupuku, Ra. Mas Adi Tama."

Lagi lagi Zahra melepaskan pelukannya. Dia menatap lekat wajah sedih Naura.

"Kamu beruntung, Na. Bukankah kamu menginginkan imam yang baik, dan mas Adi Tama adalah pilihan yang tepat."

"Mungkin tepat menurut cewek lain, Ra. Tapi tidak untukku. Aku tidak mencintainya."

Naura kembali menangis, dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia bisa menikahi lelaki yang tidak dicintainya sama sekali.

"Na, bukankah cinta bisa tumbuh seiring waktu. Lagi pula, mas Tama itu lelaki yang taat agama, baik dan juga penyayang. Jadi, aku rasa cinta itu akan segera tumbuh setelah kalian hidup bersama. Bukankah impian kamu memang ingin menikah tanpa pacaran..."

Bukannya merasa lebih tenang, Naura malah semakin menangis mendengar ucapan Zahra. Dia pun memutuskan untuk segera masuk ke kamar kosnya dan melanjutkan tangisnya diatas sajadah karena adzan magrib sudah berkumandang.

"Bukannya dia sendiri yang selalu bilang cinta akan datang dengan sendirinya setelah hidup bersama dalam ikatan yang halal. Kenapa sekarang malah... Ah sudahlah, mungkin jika aku diposisi Naura pun aku juga akan menangis." Celoteh Zahra sebelum akhirnya menyusul Naura masuk.

Sementara itu, di Kalimantan, di sinilah Adi Tama berada. Dia menjadi tenaga medis yang ikut dalam rombongan petugas alat berat yang sedang menjalankan proyek pembangunan jalan dan juga jembatan.

Mereka bekerja dibawah naungan perusahaan kontraktor terbesar se Indonesia. Dan sudah pasti gaji mereka pun juga besar dengan pekerjaan yang juga mempertaruhkan nyawa mereka.

Malam ini Tama melamun duduk di pinggir pantai sendirian. Lalu, seorang teman yang juga sebagai tenaga medis menghampirinya.

"Ada apa, bro?"

Tama menghela napas sebentar, "Biasa bro, mama meminta gue untuk segera pulang. Karena gadis yang akan mama jodohkan sama gue sudah menerima lamaran."

"Gadis itu menerima lamaran loe?"

"Ya, begitulah."

"Aneh juga tuh cewek, bro. Semudah itu dia menerima perjodohan."

Mereka pun diam mendengarkan suara ombak dan menikmati hembusan angin yang menampar wajah mereka.

"Gue takut tidak bisa mencintai gadis itu, bro."

"Lah kalau loe nggak cinta kenapa loe setuju untuk menikahi dia?"

"Gue nggak bisa menolak keinginan mama. Jika gue menolak, mama akan murka dan bisa bisa mama bunuh diri."

"Terus, apa rencana loe sekarang?"

"Yaa, gue nikah aja dulu. Mana tau gue bisa jatuh cinta betulan sama gadis itu setelah menikahinya, meski hanya nol koma sih."

"Apa sejelek itu calon istri loe, kok loe yang playboy gini nggak bisa jatuh cinta sama itu cewek…"

Sebentar Tama tersenyum, "Nggak jelek dan nggak cantik juga. Biasa saja, bro. Dan dia terlihat alim banget dimata orang orang…"

"Alim dimata orang orang, maksud loe?"

"Iya, dimata orang orang dia terlihat sangat alim. Padahal aslinya ya, sama aja kek cewek cewek kebanyakan."

"Maksud loe? Dia cewek nakal juga, gitu?"

"Bukan nakal juga sih. Tapi maksud gue… ya, dia juga pernah pacaran, pelukan dan pegangan tangan juga sama seperti cewek cewek yang nggak berkerudung lainnya."

Tama membuka aib Naura yang saat ini masih berstatus sebagai adik sepupunya. Dan yang diceritakannya itu adalah kejelekan Naura saat tahun pertama Naura kuliah.

"Yeah kalau itu sih udah biasa kali, bro. Banyak kok cewek cewek berjilbab yang begitu juga kelakuannya."

"Iya juga sih bro. Tapi, gimana ya. Kesannya itu dia sudah cacat dimata gue. Gue kenal mantan pacarnya itu dan gue melihat sendiri gimana gaya pacaran mereka waktu itu."

"Loe ngomong gitu seolah loe nggak pernah megang tangan cewek, nggak pernah peluk cewek dan nggak pernah ciuman." Sindir temannya itu yang merasa Tama berlebihan menilai jelek wanita yang akan dinikahinya.

"Ya bukannya gitu juga, bro. Maksud gue ya..."

Tama tidak bisa melanjutkan kata katanya karena apa yang dikatakan temannya benar. Tama merasa dirinya suci dan memandang rendah Naura, padahal faktanya sama saja atau malah Tama jauh lebih buruk dari Naura.

Bab 3 Rencana pernikahan

Setelah dua hari Naura terus terusan memikirkan nasibnya yang harus menikahi pria yang tidak dicintainya, akhirnya dia bisa kembali fokus untuk mempersiapkan sidang skripsinya.

Naura menyibukkan diri dengan persiapan untuk menghadapi penguji saat sidang nanti. Zahra pun juga melakukan hal yang sama, sehingga mereka tidak punya waktu untuk membahas atau mengingat hal lain selain persiapan untuk sidang.

Hari berganti hari, dan kini tibalah saatnya hari yang akan menentukan kelulusan mereka.

Naura kini duduk di depan para penguji sidangnya. Dia ditemani oleh Zahra yang sudah lebih dulu selesai sidang.

Naura mulai memaparkan skripsinya dan ditanggapi dengan serius oleh para penguji yang membuat suasana sidang terasa menegangkan. Tapi, akhirnya Naura dinyatakan lulus.

"Alhamdulillah ya Allah."

Naura merasa bahagia, karena akhirnya bisa menyandang gelar sebagai sarjana.

"Selamat Naura, kamu akhirnya menjadi sarjana."

Ucapan selamat itu berasal dari para penguji sidang dan pembimbing skripsinya.

"Terimakasih, bapak, ibuk."

Mereka tersenyum menanggapi ucapan terimakasih dari Naura. Setelah bersalaman dan foto bersama para dosen dan tim penguji, barulah Naura berpelukan dengan Zahra. Mereka saling berbagi kebahagiaan dan juga mengabadikan banyak moment kebersamaan mereka lewat foto dan video yang mereka rekam hari ini menggunakan smartphone Zahra tentunya.

"Zahra!"

Seorang pria tinggi putih melambaikan tangan pada Zahra.

"Cie cie yang dijemput ayang."

"Iya dong, emang situ yang betah menjomblo bertahun tahun…" Ledek Zahra bercanda.

"Udah sana samperin."

"Sorry ya, Na. Aku nggak bisa pulang bareng kamu."

"Iya. Udah ah sana."

Naura mendorong tubuh Zahra agar segera menghampiri Baim, calon suaminya. Zahra melambaikan tangan pada Naura sebelum dia pergi bersama Baim. Naura juga melambaikan tangannya mengiringi keberangkatan Zahra bersama Baim. Dan setelah Zahra tidak lagi tampak, barulah Naura melangkah menuju gerbang kampus.

Dia duduk di kursi panjang halte sambil menunggu angkot. Naura akan ke pasar membeli beberapa oleh oleh untuk keluarganya di kampung. Karena dia berencana akan pulang besok siang.

Sementara itu, di kampung. Maysaroh dan kedua orangtua Naura sedang berembuk untuk mempersiapkan pernikahan yang akan segera dilaksanakan dua minggu lagi.

"Mbak maunya pernikahan Tama dan Naura, harus megah dan meriah."

"Megah dan meriah berarti banyak biaya yang harus dikeluarkan mbak."

"Itu pasti dek Rudi. Mana mungkin pernikahan megah biayanya sedikit. Iya nggak bapak, ibuk?"

Maysaroh melontarkan pertanyaan itu pada keluarga yang ikut hadir dalam perembukan persiapan pernikahan. Mereka hanya mengagguk setuju dengan apa yang baru saja Maysaroh tanyakan.

"Saya tidak punya cukup banyak uang untuk mempersiapkan pernikahan megah itu, mbak."

Sebentar Maysaroh diam, lalu dia mendekat pada Rudi dan Yani untuk berbisik. "Mbak akan membantu sebanyak dua puluh juta. Sisanya kalian bisa usahakan lah. Pernikahan ini sangat penting bagi Tama dan Naura loh, masak iya mereka menikah hanya dengan akad nikah saja tanpa resepsi yang meriah."

Seketika mereka terdiam mendengar apa yang baru saja diucapkan Maysaroh. Yani yang paling terkejut dan merasa bersalah pada suaminya, karena menyetujui perjodohan Tama dan Naura. Dia tidak tahu sebelumnya bahwa Maysaroh seegois ini.

"Jadi, nanti semua persiapan pernikahan akan langsung kita urus begitu Naura pulang."

Maysaroh mengatakan itu sambil tersenyum senang dan menganggap Yani dan Rudi setuju dengan idenya.

"Naura pulang besok kan?"

"Iya mbak. Naura sudah lulus kuliah, tinggal menunggu wisudanya." Jawab Yani menjelaskan.

"Jadi tidak sabar, mau membawa Naura untuk segera mencoba gaun pengantinnya."

Maysaroh sangat terobsesi untuk menjadikan Naura sebagai menantunya.

Setelah acara berembuk itu selesai, Maysaroh dan anggota keluarga lainnya langsung pamit pulang. Dan setelah semua orang meninggalkan rumahnya, Rudi mengajak Yani untuk bicara berdua saja membahas persiapan pernikahan.

"Dek, mas rasa kita harus meminjam uang di bank." Rudi tampak lesu saat mengatakan itu pada istrinya.

"Maafkan aku ya, mas. Aku kira mbak May mau mengikuti rencana kita untuk mengadakan resepsi sederhana sewajarnya saja." Yani merasa menyesal.

"Tidak usah merasa bersalah, dek. Yang penting sekarang kita siapkan uangnya untuk acara pernikahan nanti. Dan mas berharap, semoga kita tidak salah memilihkan jodoh untuk Naura."

Yani mengangguk setuju dengan ide suaminya. Mereka akan meminjam uang dari bank untuk mencukupi biaya pesta pernikahan putri sulung mereka yang akan diadakan dua minggu lagi.

Mereka bukan keluarga yang kaya seperti Maysaroh. Rudi bekerja sebagai satpam penjaga sekolah. Sementara Yani bekerja dari satu rumah ke rumah lain, untuk menyetrika pakaian. Gaji mereka tidak banyak dan tidak akan cukup untuk mengadakan pesta pernikahan yang megah dan mewah seperti keinginan Maysaroh.

"Harusnya mbak May yang menanggung semua biaya pernikahan ini. Toh dia yang keukeh untuk mengadakan pesta yang megah."

"Sudahlah dek, kita doakan saja semoga pernikahan ini langgeng dan Naura akan hidup bahagia bersama suaminya."

Rudi merangkul Yani, lalu mengecup puncak kepala istrinya itu. Ya, meski sudah punya tiga orang putri bahkan sebentar lagi putri sulungnya akan menikah, Rudi masih tetap memperlakukan Yani seperti dulu saat mereka masih baru baru menikah.

"Uang bisa dicari, tapi momen pernikahan ini hanya sekali seumur hidup. Mas juga ingin melihat Naura tampil cantik di hari bahagianya."

"Aku juga ingin melihat Naura bahagia, mas."

Yani melingkarkan kedua tangannya di pinggang suaminya. Dia selalu merasa tenang dan nyaman saat berada dalam pelukan suami tercinta.

"Pernikahan diadakan dua minggu lagi, ya mas?" Tiba tiba Yani melepas pelukan.

"Iya, memangnya ada apa dek?"

"Nisa sama Ningsih bagaimana, mas? Mereka tidak akan bisa dapat izin dari pesantren kalau hanya untuk menghadiri pernikahan."

Yani teringat pada kedua putrinya yang saat ini sedang menempuh pendidikan di pesantren. Kedua putrinya itu hanya pulang sekali setahun, yaitu saat lebaran idul fitri saja. Selebihnya tidak boleh izin pulang, kecuali ada salah satu dari orangtua kandung yang meninggal atau sakit parah.

"Ya, biarkan saja. Cukup memberi kabar pada mereka, supaya mereka mendoakan agar mbak Naura mereka bahagia dan menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan warohmah. Iya, kan?"

Yani menghela napas, lalu ia pergi menuju dapur dengan mata yang berkaca kaca. Mengingat dua putrinya itu membuatnya semakin rindu. Sudah cukup lama tidak bertemu, setelah lebaran lima bulan lalu.

Sementara itu, di Kalimantan. Tama sedang sibuk mengobati pasien yang tertimpa tanah longsor saat pembuatan jembatan. Disaat seperti ini Tama tampak sangat keren. Meski hanya lulusan D3 keperawatan, dia justru terlihat bak seorang dokter profesional. Daya tarik itulah yang membuat banyak wanita jatuh hati padanya.

"Pak, tahan ya. Saya akan menjahit luka bapak. Ini akan sangat sakit, karena kita kehabisan obat bius. Jika sakit, bapak boleh berteriak dan meminta saya untuk berhenti."

Tama mencoba membuat pasiennya merasa lebih rileks. Dia pun mulai menjahit luka di bagian bahu pasien.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!