NovelToon NovelToon

The Rose That Blooms In North

Prologue

Tak satu pun insan hidup yang tahu bahwa malam terkelam itu akan menjadi awal dari sebuah sejarah. Permulaan sebuah kisah.

Darah segar menodai seisi ruangan. Karpet beludru merah menjadi merah gelap, lantai dibanjiri darah dan tangisan. Udara dipenuhi duka dan dendam, serta alunan pilu patah hati seorang wanita. Seorang Ratu kehilangan Rajanya.

Hujan lebat, angin kencang dan gemuruh guntur di tengah malam terdengar dari luar istana kerajaan Schiereiland, meredam suara teriakan dan tangisan meraung Sang Ratu saat melihat suaminya tergeletak tak berdaya di atas lantai. Mahkota bertatahkan emas dan batu permata yang selalu dikenakannya dengan bangga tergeletak sembarang di lantai tak jauh darinya. Dunia seakan runtuh di hadapannya. Suara-suara langkah kaki terdengar samar di telinganya. Air mata yang menggenang di pelupuk matanya mengaburkan pandangan.

Sang Ratu tahu saat itu dia harus bersikap tegar dan bersiap atas kemungkinan terburuk yang terjadi selanjutnya. Seorang Ratu tak diizinkan bermuram hati dan berduka terlalu lama. Tangisan itu harus segera dihentikannya karena musuh mereka masih ada di suatu tempat di dalam Istana. Cepat atau lambat, mereka akan menemukannya dan mungkin juga membunuhnya. Sehingga hilang sudah harapannya untuk mempertahankan kerajaan mereka. Nasib jutaan rakyat kerajaannya ada pada kekuatan hatinya. Jika dia cukup kuat untuk meninggalkan jasad suaminya, mengumpulkan sisa prajurit yang masih ada di sekitar Istana, menyusun strategi pembalasan, rakyatnya dan juga kerajaannya mungkin dapat dia selamatkan. Tapi Sang Ratu tidak dapat berpikir dengan jernih. Hatinya hancur, pikirannya kacau, dirinya dikuasai oleh rasa takut dan sedih.

Kerajaan mereka memang sudah lama berselisih dengan kerajaan tetangga. Sebuah tanah yang dipenuhi oleh es dan salju, Negeri Musim Dingin Abadi dengan populasi penyihir tertinggi di antara kerajaan-kerajaan lainnya. Negeri yang ajaib, penuh mitos dan cerita legenda, yang terkenal akan keindahannya tapi juga terkenal dengan kekejaman orang-orangnya. Kerajaan Nordhalbinsel yang dipimpin oleh Raja yang orang-orang di utara yakini sebagai keturunan Nordlijk, putra dari Sang Naga Api Agung dan Ratu Agung Zhera.

Dan Raja itu lah yang membunuh suaminya. Kerajaan itulah yang kini sedang memporak-porandakan seisi Istana mereka. Dan kelak, jika Sang Ratu tak cukup kuat untuk berdiri dan pergi, mereka juga akan merenggut seisi negerinya.

Dia harus bangkit dan melawan demi seluruh rakyatnya.

Tapi belum sempat pergi dari tempat itu, dalam sekejap Sang Ratu sudah dikepung oleh pasukan tentara Nordhalbinsel lengkap dengan baju zirah mereka. Semua bersenjata lengkap. Pasukan Nordhalbinsel memenuhi ruangan itu melingkari Sang Ratu dan menghunuskan pedang mereka serempak ke arah Sang Ratu.

Sang Ratu tak bersenjata. Tak juga punya tenaga untuk melawan mereka semua. Dia terkepung dan tak ada siapa pun yang dapat menolongnya. Rasanya, saat itu, semua sudah berakhir. Melawan pun, kini pria yang dicintainya sudah tiada. Tak ada alasan baginya untuk tetap bertahan selain kewajibannya sebagai seorang Ratu. Tapi tanpa Rajanya, tanpa kerajaannya, dia hanya seorang wanita biasa, bukan seorang Ratu. Jadi dia terduduk lemah tanpa perlawanan.

Salah satu dari mereka berjalan maju ke hadapan Sang Ratu. Tentara berbaju zirah itu membuka gulungan merah berisi titah Raja dan membacakannya.

"Atas Nama Sang Matahari Utara, Raja Vlad dari Nordhalbinsel akan mengambil alih Schiereiland."

Chapter 1 : La Rose Mourante

"Yang Mulia."

Suara hangat nan ramah seorang pria menariknya ke kesadaran, ke kenyataan.

Sang Putri terbangun dipenuhi keringat dingin. Napasnya terengah-engah. Tenggorokannya terasa kering membakar. Dadanya sesak. Matanya menjelajah ke sekitar, memindai dengan cepat sebelum akhirnya menyadari bahwa dia hanya mengalami mimpi buruk yang sama.

Mimpi buruk itu telah benar-benar terjadi tepat di depan matanya dan kini menghantui malam-malamnya. Tragedi yang menimpa keluarga kerajaan Schiereiland beberapa hari yang lalu membuatnya kehilangan keluarganya dan Istananya serta negeri yang dicintainya. Semua itu telah benar-benar terjadi.

"Yang Mulia, kau bermimpi buruk lagi?" tanya pria yang sejak tadi terus memperhatikannya dengan wajah yang dipenuhi kekhawatiran. Pria itu tidak tidur semalaman karena dia merasa berkewajiban untuk menjaganya. Kata-kata mendiang Raja beberapa tahun yang lalu masih terus terngiang di benaknya,

"Leon, aku mempercayakan Anastasia padamu. Kau pasti bisa menjaganya dengan baik."

Kata-kata itu, hingga kini, masih dia anggap sebagai sebuah kehormatan besar yang harus dia laksankan dengan baik. Tujuan hidupnya. Mandat dari Sang Raja. Tanda bahwa Sang Raja sangat mempercayainya.

Dan Leon berencana untuk memastikan dia tak gagal melaksanakan tugas itu. Jadi meski seisi Istana dibakar, meski seluruh anggota keluarga kerajaan dibunuh dan ditangkap, Putri Anastasia masih hidup dan selamat.

Meski kini dia tak benar-benar terlihat hidup.

Sang Putri hanya mengangguk tanpa mengatakan apa pun. Sorot matanya kosong. Seolah jiwanya tak ada di sana.

"Tunggu sebentar, aku akan segera mengambilkan air untukmu." katanya dengan nada suara yang menenangkan.

Putri Anastasia melirik sekilas ke arahnya, lalu kembali mengangguk. Orang-orang akan mengira dirinya bisu sejak lahir. Padahal Sang Putri adalah sosok paling banyak bicara yang pernah dikenalnya.

Leon segera pergi membawa wadah air menuju sungai dekat pondok kayu yang saat ini menjadi tempat tinggal mereka.

Sudah seminggu berlalu semenjak tragedi yang terjadi malam itu, namun Putri Anastasia masih juga belum berbicara sepatah kata pun. Kejadian itu pasti membuatnya sangat terkejut dan sedih sehingga dapat merubah Putri Anastasia yang dikenalnya sebagai gadis muda yang ceria dengan kehidupan yang sempurna menjadi muram seperti bunga mawar yang layu kehilangan cahaya.

Bagaimana tidak, kejadian mengerikan itu terjadi di malam hari setelah pesta perayaan ulang tahun Sang Putri yang ke dua puluh tahun. Padahal paginya mereka masih menjadi keluarga utuh yang berbahagia dalam pesta pora perayaan Sang Putri yang baru menginjak usia dewasa. Namun setelah semua usai, saat orang-orang sudah mulai terlelap di malam hari, mereka datang dan menghancurkan segalanya. Menghancurkan kehidupan bahagia Sang Putri.

Leon tidak terlalu mengetahui detilnya karena malam itu dia sedang menemani Putri Anastasia berlatih pedang di hutan dekat istana. Sebagai hadiah ulang tahun yang ke dua puluh, Sang Putri memintanya secara khusus untuk mengajarinya ilmu berpedang yang belum pernah dia ajarkan. Jadi di saat semua sudah tertidur, mereka menyelinap ke hutan dekat Istana. Namun saat kembali ke istana, semuanya sudah terlambat. Raja yang telah dilayaninya selama seumur hidupnya kini telah tewas. Sang Ratu dan Putra Mahkota ditangkap oleh pasukan Nordhalbinsel. Saat itu, Leon tidak punya pilihan. Dia harus melindungi Putri Anastasia dan pergi melarikan diri untuk mengamankan Sang Putri alih-alih ikut melawan pasukan Nordhalbinsel bersama prajurit lainnya. Meski begitu, Leon masih dihantui perasaan bersalah karena merasa tidak mampu menjaga keluarga kerajaan yang selama ini sudah membesarkannya seperti keluarganya sendiri.

Sama seperti Putri Anastasia, kejadian malam itu masih menghantui malam-malamnya, membuatnya enggan tidur jika itu artinya dia harus kembali melihat kejadian itu di mimpinya.

Jerit membahana Sang Ratu, mayat-mayat prajurit bergelimpangan di sepanjang lorong Istana, darah membanjiri lantai, api berkobar di berbagai tempat di dalam Istana sementara hujan dan guntur menggemuruh serta suara pedang yang menembus tubuh-tubuh prajurit yang pernah menjadi rekan seperjuangannya. Semua itu terputar tanpa henti di dalam kepalanya. Menghantuinya melebihi kengerian yang pernah dia hadapi di medan perang. Karena di setiap perang, dia memimpin pasukan kerajaan, bertarung dengan berani, dan berhasil mempertahankan negerinya. Dia berhasil menyelamatkan banyak orang. Tapi malam itu, dia melarikan diri dari dan gagal mempertahankan negerinya.

Putri Anastasia yang masih bernafas dan hidup adalah satu-satunya bukti bahwa dia tak sepenuhnya gagal. Dia belum gagal.

Setelah wadah airnya sudah cukup penuh, Leon segera berlari menuju pondok kayu itu.

Pagi itu langit gelap. Pohon-pohon rimbun di dalam hutan menghalangi masuknya cahaya matahari. Membantu mereka bersembunyi di dalam pondok kayu kecil yang tak terjangkau oleh siapa pun.

Pondok itu mereka temukan jauh di kedalaman hutan. Dan hutan itu telah menjadi tempat berlatih Putri Anastasia selama bertahun-tahun. Di tempat itulah Putri Anastasia biasa berlatih pedang secara sembunyi-sembunyi karena khawatir bahwa Raja tidak menyetujui hobinya. Tentu saja seorang ayah tak ingin putri satu-satunya terluka akibat memegang senjata. Sang Raja sangat menyayangi putrinya bahkan kadang terkesan overprotektif. Dia begitu takut jika putrinya terluka. Itulah sebabnya Leon yang merupakan ahli pedang terbaik di seantero Schiereiland bukan ditugaskan untuk menjadi pengawal pribadi Raja, melainkan pengawal pribadi Putri Anastasia.

Leon masuk ke dalam pondok kayu itu dan segera memberikan air kepada Sang Putri untuk diminum. Tepat pada saat itu terdengar suara petir menyambar. Suara itu membuat Putri Anastasia terkejut. Wadah air itu hampir saja terlepas dari pegangannya apabila Leon tidak sigap menangkapnya.

Putri Anastasia menjerit mendengar suara petir seolah sedang melihat kembali tragedi yang terjadi malam itu. Tangannya yang gemetaran menutup telinga. Dia terus menerus menangis dan memohon agar tidak dibunuh seolah ada prajurit Nordhalbinsel di sekitarnya. Semenjak saat itu, kondisi Sang Putri memang semakin parah hingga membuat Leon khawatir bahwa Sang Putri mungkin takkan bisa sembuh dari traumanya.

Dia tidak mau makan selama berhari-hari, tatapan matanya kosong. Dia tidak bicara dan selalu bermimpi buruk. Setiap kali hujan dan ada suara petir, dia mulai menjerit dan menangis seperti sudah kehilangan akal sehatnya.

Di saat-saat seperti itu, Leon akan mencoba menenangkannya dengan memeluk Sang Putri dan menutup matanya.

"Yang Mulia, mohon tenangkan dirimu. Tidak ada apa-apa. Kita aman disini." ucap Leon berkali-kali sampai tangisan itu reda dan Sang Putri kembali tenang.

***

Saat hujan sudah berhenti dan Putri Anastasia tampak stabil, Leon bersiap pergi menuju pasar di desa kecil dekat hutan untuk membeli bahan makanan. Jarak antara pondok kayu tempat tinggal mereka dengan pasar lumayan jauh dan memakan waktu kurang lebih satu jam berjalan kaki. Leon selalu meminta Sang Putri untuk tetap berada di pondok kayu dan menunggunya. Dan biasanya Sang Putri hanya mengangguk diam tanpa protes. Tapi baru kali ini Sang Putri bersikeras untuk ikut dengannya. Dia tak benar-benar mengatakannya, tapi begitu Leon keluar dari pondok, Sang Putri mengekor di belakangnya. Dan saat Leon memintanya untuk kembali masuk ke pondok mereka, Sang Putri menatapnya dengan tajam. Itu sudah cukup membuat Leon mengizinkannya ikut ke pasar.

Pasar di pinggir desa memang bukan tempat yang berbahaya untuk Sang Putri karena selain bangsawan tinggi dan pejabat negara yang sering ke Istana, tidak ada yang mengetahui wajah Putri Anastasia. Para prajurit Nordhalbinsel pun takkan pergi ke tempat kumuh dan terpencil seperti itu. Lagi pula, di dekat istana ada pasar lain yang lebih besar dan lengkap. Kalau pun orang-orang Nordhalbinsel yang kini menguasai Istana mereka ingin pergi ke pasar, mereka takkan memilih pasar terpencil di dekat hutan.

Leon kembali memandangi Sang Putri. Sikap keras kepalanya adalah satu-satunya bukti bahwa Sang Putri masih sama seperti dulu. "Baiklah." Dia menghela napas. "Tapi rambutmu..."

Sang Putri menunduk menatap rambut panjangnya. Rambut merah yang biasanya tertata rapih dan disisiri oleh para pelayan itu kini tampak kotor dan berantakan. Warna rambut merah seperti itu memang sangat jarang ditemui di mana pun. Jadi mungkin Sang Putri akan menjadi pusat perhatian dengan rambutnya.

"Tunggu sebentar." Leon pun kembali masuk ke dalam pondok untuk mengambil sesuatu.

Setelah memastikan Sang Putri memakai tudung yang menutupi rambut merahnya yang mencolok, mereka berdua pun pergi bersama.

Leon menuntun Putri Anastasia dengan perlahan menyusuri hutan itu. Putri Anastasia memang bukan wanita dengan fisik yang lemah, tapi kini dengan tubuhnya yang semakin hari semakin kurus dan pucat, dia terlihat sangat rapuh seperti ranting yang akan patah kapan saja. Jadi dia merasa perlu untuk menggenggam tangan Sang Putri selama perjalanan. Khawatir dahan pohon mungkin dapat melukai Sang Putri.

Hutan itu dipenuhi pepohonan yang rindang sehingga hanya ada seberkas cahaya yang menerangi perjalanan mereka. Jalanannya licin karena baru turun hujan. Berkali-kali terdengar suara gemerisik di antara semak-semak, tapi tidak ada sesuatu berbahaya yang muncul. Justru Leon berpikir alangkah baiknya jika yang muncul adalah hewan buas, maka dia bisa mengalahkannya dengan pedangnya dan membakarnya untuk makanan mereka hari ini sehingga mereka tidak perlu pergi ke pasar. Tapi hutan itu sangat aman, tidak ada hewan buas. Hanya ada beberapa burung kecil yang berkicau di balik pepohonan dan kelinci hutan yang dagingnya tidak disukai oleh Putri Anastasia dengan alasan dia menyukai hewan mungil berbulu itu. Air sungai yang mengalir sepanjang hutan terlihat sangat jernih, sehingga Leon bisa melihat dan memastikan bahwa tidak ada ikan di sungai tersebut. Benar-benar tidak ada yang dapat dia buru untuk makanan mereka.

Sepanjang perjalanan Leon berusaha mengajak bicara Sang Putri dengan menceritakan pengalamannya selama seminggu ini pergi ke pasar seorang diri. Sebisa mungkin Leon menghindari pembicaraan yang mengungkit masa lalu atau yang berhubungan dengan kejadian malam itu.

Leon bercerita bahwa beberapa penjual di pasar memuji Leon karena dia tampak seperti sosok seorang suami yang dapat diandalkan karena mau berbelanja ke pasar seorang diri. Dan setelah itu para ibu-ibu yang sedang berbelanja di sekitarnya akan mulai mengeluhkan suami mereka masing-masing yang tidak dapat memberikan banyak uang, tapi juga tidak mau diajak ke pasar.

“Kalau kau, pasti istrimu sangat bangga ya. Punya suami yang tampan dan dapat diandalkan. Omong-omong, di mana wanita itu? Sekali-kali kalian harus datang bersamanya, jadi kami bisa mengobrol sesama wanita.” Sahut salah satu pembeli, sementara yang lainnya mengangguk menyetujui.

“Aku tidak—“ Leon baru saja mau menyanggahnya dan menjelaskan bahwa dia belum menikah. Dan bahwa satu-satunya wanita yang menunggunya pulang dari pasar adalah seorang Putri Kerajaan yang sudah dilayaninya sejak masih bayi. Tapi dia menyadari bahwa akan lebih aman dan mudah jika dia tidak menjelaskan apa pun. Jadi dia pun berbohong dengan berkata, “Dia sedang sakit, jadi aku menggantikannya pergi ke pasar.”

“Astaga, wanita yang malang. Belakangan ini cuacanya memang sedang tidak bagus. Terkadang sangat cerah lalu turun hujan deras. Kau harus menjaga istrimu dengan baik, nak.”

Leon hanya mengangguk mendengar para ibu-ibu itu mengasihani ‘istri’ yang tidak benar-benar dia miliki, berharap obrolan itu segera berakhir atau paling tidak penjual sayuran itu cepat-cepat membungkus belanjaannya.

Kebanyakan dari para penjual di pasar tidak tahu bahwa dirinya adalah seorang Jenderal yang dikenal sebagai Singa dari Schiereiland atau Singa dari Selatan, tergantung orang dari mana yang menyebutnya. Meski begitu, ada beberapa pemilik toko senjata dan kedai minuman keras yang mengenali Leon karena mereka pernah menjadi relawan perang beberapa tahun yang lalu. Leon meminta orang-orang yang mengenalinya untuk tidak memberitahu siapa pun tentangnya. Leon juga meminta mereka untuk mengawasi kondisi sekitar dan memberitahunya apabila terdapat tanda-tanda keberadaan mata-mata atau pasukan Nordhalbinsel. Hingga dia dapat memastikan bahwa pasar itu akan tetap menjadi tempat yang aman baginya dan bagi Sang Putri.

Mereka sampai di pasar ketika hari sudah siang dan matahari bersinar sangat terang. Putri Anastasia yang belum pernah pergi keluar dari Istana selain untuk berlatih pedang di hutan selama hidupnya, terlihat sangat takjub dengan keramaian di sekitarnya. Matanya berkelana ke sekelilingnya memperhatikan segalanya seolah semua yang ada di pasar itu lebih menarik dari permata-permata mana pun yang pernah dia miliki.

“Hari ini pasarnya memang lebih ramai dari hari biasanya. Mungkin karena festival panen semakin dekat. Beberapa petani turun ke pasar untuk menjual hasil panen mereka dan para ibu berlomba membeli bahan-bahan makanan untuk perayaan itu.” Leon menjelaskan pada Putri Anastasia yang hanya mengangguk sambil masih memperhatikan sekitarnya dengan tertegun.

Pasar itu tidak terlalu luas, bahkan dapur Istana jauh lebih luas. Tapi karena banyaknya orang yang ada di sana, pasar itu terlihat seperti lautan manusia yang sangat luas. Suara-suara penjual menawarkan dagangannya, para pembeli yang menawar, dan beberapa bandit yang menagih uang keamanan memenuhi telinga. Dari sana-sini tercium bau amis ikan yang sudah tidak terlalu segar karena jarak pasar yang sangat jauh dari laut. Sedangkan ikan segar hanya dijual kepada para bangsawan atau, kini setelah mereka dijajah, diimpor ke Nordhalbinsel. Sayur-sayuran pun tidak semuanya dalam kondisi yang baik. Apalagi semenjak serangan Nordhalbinsel, sebagian besar sayuran dengan kualitas baik dikirim ke kerajaan Nordhalbinsel. Jika ada petani yang tidak mengirimkan sayurannya, maka ladangnya akan dihancurkan. Jadi para petani itu tidak punya pilihan lain selain menyerahkan hasil panen dan kerja keras mereka pada kerajaan tersebut.

Leon sedang menawar harga ikan karena sisa uang yang dibawanya tidak cukup saat dia menyadari bahwa Sang Putri sudah tidak ada di sampingnya. Sesaat jantungnya hampir berhenti. Dengan tergesa-gesa Leon pergi meninggalkan penjual ikan itu tanpa memedulikan bahwa si penjual ikan baru saja menyetujui harga yang dia tawar. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar, memindai dengan cepat. Saat itu pasar memang lebih ramai dari biasanya, jadi sulit untuk menemukan Sang Putri. Dia berusaha mengingat-ingat kapan terakhir kali dia memastikan Putri Anastasia berdiri diam di sampingnya. Tapi dia tidak dapat mengingatnya dengan jelas karena terlalu panik.

Asumsi buruk mulai merasuki pikirannya. Leon bertanya-tanya apakah mungkin mereka diikuti oleh orang-orang dari Nordhalbinsel dan mereka menculik Sang Putri. Mereka mungkin menyiksanya di suatu tempat saat ini. Mereka mungkin tidak memberi kesempatan pada Sang Putri untuk berteriak minta tolong dan segera membunuhnya di tempat. Leon tak pernah merasa setakut itu sebelumnya. Berbagai perang, ribuan musuh, dan berbagai senjata yang pernah diarahkan padanya, bahkan maut sekali pun, tak satu pun dari semua itu yang membuatnya takut melebihi rasa takut kehilangan Sang Putri. Saat itu, dia berpikir lebih baik mati daripada harus kehilangan Putri Anastasia.

Namun tepat pada saat itu, saat dia hampir menyerah, dia melihatnya.

Sang Putri sedang berdiri terdiam di pojok lorong yang sepi menghadap ke arah sebuah papan.

Sosok gadis dengan rambut merah panjang yang kusut akibat tidak pernah lagi disisir, dengan gaun berwarna putih tulang dibalik jubah cokelat yang hampir menutupi seluruh tubuh kurusnya tampak begitu rapuh dari kejauhan. Namun itu masih lebih baik dari pada tak dapat melihatnya lagi untuk selamanya. Perasaan lega mengaliri jiwanya. Jika bukan karena Sang Putri yang melepas tudung jubahnya dan memperlihatkan rambut merahnya itu, mungkin Leon akan sangat kesulitan mencarinya. Leon bisa menjadi gila karenanya.

Leon berjalan perlahan ke arahnya, masih memperhatikan Putri Anastasia yang kini tampak lusuh dengan gaun yang kotor dan wajahnya yang pucat. Rambut merah panjangnya yang dahulu selalu tampak indah berkilau dan terawat kini tampak kotor. Tapi semua itu tak sedikit pun mengurangi kecantikannya.

Putri Anastasia sepertinya menyadari keberadaan Leon yang sedang mengamatinya dengan tatapan khawatir. Dia mengikuti arah pandang Leon, ikut memperhatikan rambut panjangnya yang kini tampak kusut dan kotor. Wajahnya memerah malu, menyadari penampilannya saat ini sangat jauh dari penampilannya yang biasa saat masih tinggal di Istana.

Sang Putri berjalan ke arah Leon. Tak seperti sebelumnya, langkahnya kini terlihat begitu mantap. Tak lagi terlihat lemah dan rapuh. Sorot matanya kembali hidup, seperti ada matahari yang baru saja terbit di dalam matanya, hingga Leon terkejut melihat semua perubahan itu. Lalu, tanpa disadarinya, Sang Putri sudah mencabut pedang yang tersampir di pinggang Leon.

"Yang Mulia, apa yang ingin kau lakukan dengan—“

Dengan sekali tebasan yang cepat, potongan rambut merah pun berjatuhan di atas tanah. Sang Putri masih dapat mengayunkan pedang dengan baik, hinggga meski tidak sempurna, dia berhasil memotong bagian rambutnya yang kusut. Rambut panjang berwarna merah yang menjadi kebangaan kerajaan Schiereiland itu jatuh di atas tanah kotor. Namun Sang Putri kini tampak jauh lebih hidup dari sebelumnya dengan rambut pendeknya.

"Apa sekarang aku tampak lebih cantik, Leon?" Tanyanya.

Leon terkejut mendengar ucapan dari bibir Sang Putri. Sudah seminggu dia tak mendengarnya bicara. Sudah seminggu lamanya dia menantikan kata-kata, apa pun itu, keluar darinya. Hingga Leon hampir menyerah dan mengira mungkin kejadian itu begitu traumatis sehingga merenggut kemampuan bicara Sang Putri.

Dia senang bahwa dia salah.

Kini, di hadapannya, seorang wanita berambut pendek dengan mata yang berkilauan dalam semangat hidup yang baru, sedang tersenyum padanya.

Leon pun tersenyum dan mengangguk tanpa bisa mengatakan apa pun sebagai balasannya. Tanpa dia sadari, air mata kebahagiaan menggenang di pelupuk matanya. Tapi dia buru-buru mengusapnya sebelum air matanya mulai jatuh.

"Kau sangat cantik, Yang Mulia."

***

Chapter 2 : Luciole Violette

“Kau tidak mengerti!” Teriak Putri Anastasia.

“Yang Mulia, dengan segala hormat, kau harus mengutamakan keselamatan dirimu sendiri. Karena prioritasku saat ini adalah memastikan kau tetap hidup dan selamat.”

Putri Anastasia melempar kertas yang diambilnya dari papan pengumuman pasar ke arah Leon dan pergi keluar pondok sambil menghentakkan kakinya. Di mengambil pedangnya yang selama ini hanya tergeletak di lantai pondok kayu mereka. Kedua tangan dikepal, tampak sedang sangat marah.

Leon memungut kertas itu dari lantai. Selebaran itu lah yang membuat Sang Putri tiba-tiba berbicara lagi padanya. Selebaran yang membangkitkan kembali semangat hidup dalam jiwanya yang hampir mati. Selebaran yang ditemukan oleh Putri Anastasia di papan informasi di pasar yang isinya kebanyakan adalah orang-orang yang buta huruf itu berisi tentang sebuah pengumuman resmi dari pihak kerajaan Nordhalbinsel.

"Yang Mulia Putra Mahkota Xavier dari Kerajaan Nordhalbinsel sedang mencari pengawal pribadi yang akan menerima upah 100.000 gold setiap bulan. Tidak ada syarat khusus. Wanita dan pria dari seluruh dunia dan dari berbagai usia diperbolehkan datang dan mengikuti audisinya yang akan dimulai dua minggu lagi di Aula Istana Utama Nordhalbinsel."

Begitulah yang tertulis di kertas berisi pengumuman itu.

Putri Anastasia meminta Leon untuk mengajarinya semua ilmu pedang yang diketahuinya serta apa saja yang harus dia lakukan agar terpilih menjadi pengawal pribadi Putra Mahkota Xavier. Dia berencana untuk masuk ke Istana Nordhalbinsel dengan cara ini agar dapat menyelamatkan ibu dan adiknya. Tapi Leon segera menolaknya dan bahkan melarangnya untuk mendekati Istana karena akan sangat berbahaya jika ada yang mengetahui bahwa dirinya adalah putri dari Schiereiland yang menghilang.

Pada akhirnya, Putri Anastasia berlatih pedang sendiri. Dengan dikompori oleh kalimat penolakan Leon tadi, masih dengan penuh amarah, dia mengayunkan pedangnya ke arah sebuah pohon tak jauh dari pondok kayu mereka. Anastasia terus menyerang pohon itu tanpa ampun sambil melampiaskan amarahnya karena temannya satu-satunya, kakak angkatnya, pria yang sangat dipercayainya, justru tidak mendukung apa yang ingin dia lakukan.

“Kau akan menyakiti pohon itu, Yang Mulia.”

Putri Anastasia bahkan tidak perlu menghentikan serangannya untuk menoleh ke arah Leon yang kini telah menyusulnya ke tempatnya berlatih seorang diri. Dia tetap berkonsentrasi pada musuh imajiner di hadapannya yang berupa pohon tua dengan batang kayu yang tebal. Serangan demi serangan dilancarkan hanya untuk membuat pohon itu bergoyang sedikit dan menjatuhkan daun-daun keringnya. Sama sekali tak memuaskan baginya.

“Kau menganggap pohon itu adalah aku? Wah, Yang Mulia, kalau itu aku sungguhan, pasti aku sudah mati.” Kata Leon lagi, kali ini dengan nada membujuk. Kini dia bersandar di pohon lain yang berada tak jauh dari Putri Anastasia. Dia mengamati setiap gerakannya dengan mata jeli seorang guru berpedang dan pengalaman seorang Jenderal. “Naikkan lagi sikumu, Yang Mulia.” Tambahnya, saat melihat ada sedikit saja kesalahan yang dilakukan oleh muridnya itu.

Putri Anastasia yang menyadari posisi tangannya salah, segera memperbaikinya. Biar bagaimana pun, Leon lah yang sudah melatihnya selama bertahun-tahun. Jadi, tak peduli semarah apa pun dirinya pada Leon, dia menuruti perkataan guru berpedangnya itu.

Putri Anastasia kembali menyerang pohon malang tak berdosa itu dengan pedangnya, kini dia lebih menjaga agar posisi menyerangnya benar. Posisi yang salah akan membuat pedangnya terasa lebih berat dan akhirnya mudah dikalahkan, juga bisa membuat ototnya sakit dan cidera. Dia mengingat pelajaran itu dari Leon sejak bertahun-tahun yang lalu.

Serangan ke kanan, serangan dari bawah ke atas, dari titik buta lawan, dia mencoba berbagai pola serangan yang sudah pernah diajarkan oleh Leon. Mengingat-ingat kembali semuanya karena hanya dengan cara itu dia dapat mencoba menjadi pengawal pribadi Sang Putra Mahkota dan pada akhirnya, menyelamatkan ibu dan adiknya.

Tepat saat dia akan mengayunkan pedangnya lagi, pedang dengan ornamen bunga mawar di pegangannya yang merupakan simbol kerajaan Schiereiland itu beradu dengan pedang legendaris milik Leon. Saat beradu, kedua pedang itu menciptakan bunyi denting logam yang sangat keras hingga membelah kesunyian di tengah hutan. Bunyi itulah yang sangat ingin didengarnya lagi. Bunyi itulah yang telah sangat dia rindukan. Rasanya seolah dia dapat kembali ke kehidupannya yang lalu sebagai seorang putri kerajaan. Ke masa-masa bahagianya saat latihan pedang bersama Leon adalah kegemarannya di waktu luang, bukan kewajiban yang dilakukan dengan tujuan untuk menyelamatkan keluarganya dan kerajaannya. Putri Anastasia berusaha menyembunyikan senyumannya saat melihat Leon menangkis serangannya.

"Jangan senang dulu." Leon menatapnya dengan serius dan berkata, “Kalau kau dapat mengalahkanku, aku akan mengizinkanmu mengikuti audisi itu.”

Tentu saja itu hal yang sangat sulit bahkan hampir mustahil baginya, mengingat Leon adalah Jenderal pasukan kerajaan Schiereiland di setiap perang yang mereka menangkan. Namanya di medan perang lebih ditakuti daripada nama Sang Raja sendiri. Orang-orang menjulukinya Singa dari Selatan atau Singa dari Schiereiland bukan tanpa sebab. Leon pernah menjalani pelatihan ekstrim oleh Ahli Pedang dari Barat sejak usianya masih 6 tahun. Di usia enam belas tahun, dia sudah memimpin pasukan perang Schiereiland dan memperoleh kemenangan pertamanya. Setiap kali ada perang atau pertempuran apa pun, Raja Edward selalu mengirim Leon ke barisan terdepan sebagai pemimpin pasukannya. Mengalahkan Leon, berarti mengalahkan kerajaan Schiereiland, begitulah istilahnya.

Putri Anastasia mulai menyerang Leon dengan pedangnya. Suara dentingan pedang mereka yang saling beradu menciptakan semacam melodi yang membuat jantungnya berdebar-debar. Sesaat, berbagai pelajaran ilmu berpedang yang selama ini diajarkan Leon menghilang dari kepalanya. dia terlalu fokus dalam menemukan cara untuk mengalahkan Leon dengan cepat. Dia mengabaikan segalanya dan hanya berfokus pada gerakan pedangnya.

Putri Anastasia mengayunkan pedangnya dari titik buta Leon, saat itu, kemenangan terlihat di depan matanya. Dan dia terlena oleh manisnya kemenangan yang belum datang hingga luput memperhatikan bahwa Leon sudah terlebih dahulu memblokir serangannya dengan cepat. Pedang mereka beradu di depan dada.

Putri Anastasia terengah. Titik-titik keringat mulai muncul di keningnya. Wajahnya kemerahan sementara dadanya naik turun, berusaha untuk mengatur nafas. Jantungnya berdebar hebat saat Leon menunjukkan senyum miring padanya. Lebih untuk mengejek alih-alih menggoda. Hal ini menyenangkan bagi Leon, padahal Putri Anastasia berusaha mengerahkan seluruh upayanya untuk mengalahkannya.

“Kau terlalu dekat dengan musuhmu, Yang Mulia. Dalam jarak sedekat ini, kau bisa mati jika tidak hati-hati.” kata Leon sambil tersenyum.

Leon selalu berhasil memblokir serangan terus menerus darinya. Mereka terus beradu pedang hingga dia mulai merasa lelah. Seorang Putri Kerajaan yang dibesarkan untuk duduk diam dan tersenyum manis, melawan seorang Jenderal yang sudah membawa kerajaannya dalam kemenangan beberapa kali saat berselisih dengan kerajaan-kerajaan lain. Pertarungan ini terlihat tak adil baginya dan dia harus memutar otak, mencari cara mengalahkan Leon. Jika dia tak cukup kuat untuk melawan Leon, maka dia harus cukup cerdik dan mencari titik lemahnya.

Masalahnya, Leon sepertinya tak memiliki kelemahan apa pun.

Satu jam telah berlalu dan kini dia mulai kehabisan nafas. Pandangannya mulai kabur, dan dunia di sekelilingnya seolah berputar hingga akhirnya dia jatuh ke tanah, tak sadarkan diri.

***

Saat Putri Anastasia membuka matanya, hari sudah malam. Leon berada tak jauh darinya, sedang membakar ikan yang tadi dibelinya di pasar. Aromanya yang enak membuat perutnya berbunyi. Bunyi itu segera saja membuat Leon sadar bahwa dia sejak tadi sedang diperhatikan.

"Kau sudah bangun, Yang Mulia." ucapnya sebagai sapaan.

"Kau mengalahkanku semudah itu." ucap Anastasia sambil berusaha duduk. Tapi kepalanya terasa berat dan akhirnya kembali berbaring di tempat tidurnya yang hanya beralaskan tumpukan jerami dan kain lusuh.

Leon segera menghampirinya dengan air di tangan kirinya dan sepiring ikan bakar di tangan kanannya, entah dari mana dia mendapatkan piring itu. Tanpa ragu, Anastasia langsung mengambil air itu dan menenggaknya habis.

"Kau sudah lama tidak makan. Mungkin kau bisa mengalahkanku setelah perutmu terisi penuh." Ledek Leon dengan nada sarkastik.

"Tentu saja."

Putri Anastasia segera mengambil piring berisi ikan bakar yang tampak sangat menggiurkan itu. Ikan itu merupakan makanan paling sederhana yang pernah dimakannya selama seumur hidupnya. Biasanya untuk makan malam, koki istana akan menyiapkan sembilan hidangan utama untuk setiap anggota keluarga kerajaan. Makannya pun dibuat dengan cara yang rumit dan bahan-bahan berkualitas. Tapi sekarang disini, di pondok kayu dengan lantai tanah dan perapian berupa api unggun kecil, dia memakan ikan bakar itu dengan sangat lahap seolah itu adalah makanan terenak sedunia.

Leon terlihat bangga memperhatikan Putri Anastasia yang memakan masakannya dengan lahap. Keahlian memasaknya tidak pernah dihargai oleh rekan-rekan prajuritnya selama masa perang. Jika gilirannya untuk memasak makan malam, biasanya anggotanya akan menolak halus dengan mengatakan, "Bagaimana bisa kami membiarkan Jendral memasak sementara kami hanya bersantai-santai. Biarkan kami saja yang memasak." Tapi di saat ini, masakannya adalah masakan paling lezat di antara mereka berdua, karena Sang Putri sama sekali tidak bisa memasak.

"Kau makan dengan lahap sekali sampai tidak ingat untuk membiarkan orang lain mencicipi makananmu terlebih dahulu. Bagaimana kalau makanan itu beracun?"

Putri Anastasia tidak membiarkan kata-kata Leon itu menghentikan makannya. Itu bukan karena dia sangat lapar. Bahkan meski memang begitu, dia terlalu mempercayai Leon yang sudah menjadi pengawalnya sejak hari dia dilahirkan untuk sedikit saja meragukan kesetiaannya.

"Makanlah pelan-pelan, Yang Mulia. Nanti kau tersedak."

"Kau tidak makan?" tanyanya.

"Aku sudah makan tadi." Jawab Leon dengan cepat. Terlalu cepat, sehingga dia pun tahu bahwa Leon berbohong. Mereka tidak punya cukup uang untuk membeli dua ikan. Dan Leon jelas hanya menjaganya sejak tadi.

"Aku sudah kenyang.” Ucapnya sambil bangkit menyisakan ikan bakar buatan Leon setengahnya agar Leon juga dapat memakannya. Dia pun berjalan menuju luar pondok, “Aku ingin mandi. Tolong siapkan air hangat dan—“ kata-katanya berhenti begitu saja. Dia hampir lupa bahwa mereka bukan lagi berada di Istana. Bahwa tak ada pelayan di sekitarnya. "Tunggu, bagaimana— Bukan, maksudku, di mana tempat mandinya?"

"Tempat mandi?" Ulang Leon. Dia tertawa dengan sarkastik, berdiri tegak, kemudian membungkuk dengan gerakan mendramatisir dengan tangan terulur seperti akan mengajaknya berdansa, "Yang Mulia, mari kuantar ke tempat pemandianmu."

***

Setelah berjalan tidak terlalu jauh dari pondok kayu mereka, mereka sampai di tempat pemandian yang Leon maksud.

"Danau?" pekiknya tak percaya. "Kau menyuruhku mandi di danau?"

Danau itu memang lebih besar dari bak mandi kerajaan yang ada di kamar mandi Istana. Tapi jelas sekali itu bukan tempat mandi yang layak untuk seorang Putri Kerajaan.

Namun, danau yang terbentang di depan mereka adalah danau yang bersih. Airnya sangat jernih sehingga mereka dapat melihat rumput-rumput liar yang tumbuh di bawah air, beberapa ikan kecil dan kerikil-kerikil kecil. Danau itu bermuara langsung ke sungai Scheine, sungai terpanjang di Schereiland yang mengalir sepanjang hutan ini. Di sekitar danau, tumbuh semak-semak belukar dan beberapa bunga mawar liar, membuat udara di sekitar mereka kini beraroma mawar.

Sebuah Pohon yang Sang Putri belum pernah lihat sebelumnya tumbuh di tengah danau. Pohon itu memiliki akar panjang yang mencuat sampai ke atas permukaan danau dan membentuk segitiga dengan batang pohon sebagai puncaknya. Daun pohon itu melebar membentuk sebuah payung raksasa di tengah danau. Beberapa kunang-kunang terbang di sekitar pohon itu. Kunang-kunang itu terbang mengelilingi pohon tersebut. Itu adalah jenis kunang-kunang yang berbeda dari kunang-kunang biasa. Cahayanya yang berwarna ungu berpendar menerangi kegelapan malam di dalam hutan itu. Membuat pemandangan malam itu di danau terlihat begitu ajaib.

"Indah sekali, bukan?" kata Leon sambil memandangi Sang Putri yang terpana melihat pohon yang dikelilingi kunang-kunang ungu itu.

Dia mengangguk tanpa sadar, masih terpesona dengan keindahan pemandangan di hadapannya. Buru-buru menyadari situasinya saat ini, dia pun segera menggeleng. "Maksudmu, aku akan mandi di tempat terbuka ini? Bagaimana jika ada orang yang melihatku?"

Leon mengangkat sebelah alisnya. "Yang Mulia, Kita sudah seminggu tinggal di hutan ini. Dan belum pernah ada satu pun orang lain yang datang ke tempat ini. Hutan ini terlalu luas dan terlalu menyeramkan untuk dilewati oleh orang."

"Maksudku..." Dia berdehem, "kau?" pipinya langsung merona saat mengatakan itu. Sang Putri bersyukur hutan ini terlalu gelap untuk memperlihatkan rona merah di pipinya saat itu. Tapi Leon cukup dekat untuk dapat melihat wajahnya yang tersipu malu.

Leon tertawa keras mendengarnya. Membuatnya kesal karena Leon tidak memikirkan hal itu. Bagaimana bisa seorang wanita terhormat mandi di tempat terbuka sementara ada pria yang dapat melihatnya telanjang. Tentu saja dia merasa malu. Meski pun sebenarnya Leon yang usianya lebih tua lima tahun darinya sudah seperti kakaknya sendiri.

"Yang Mulia, aku sudah mengenalmu sejak kau lahir. Bahkan aku pernah membantu para dayang menggantikan popokmu saat masih bayi—“ Tapi Leon tidak jadi melanjutkan kata-katanya saat melihat Sang Putri menatapnya dengan kesal. Tatapan tajam itu lebih mematikan dari pedang mana pun dan sanggup membuat seorang Jenderal terdiam. "Baiklah. Baiklah. Aku akan segera pergi. Maafkan kelancanganku.” Leon pun bersiap pergi, tapi tangan Sang Putri menahannya.

"Bukan begitu maksudku. Jangan tinggalkan aku. Kau berjaga di sini dan jangan mengintip."

Putri Anastasia segera pergi ke balik semak-semak untuk bersiap mandi. Saat berbalik memunggungi Leon, wajahnya memanas. Jantungnya berdebar-debar. Tapi kali ini bukan karena adrenalin yang dia rasakan saat berlatih tanding tadi dengan Leon. Ini karena hal lain. Dia mengatur nafas dan mencoba menenangkan debaran jantungnya sebelum akhirnya melepas pakaiannya dan mencelupkan satu kakinya ke dalam danau.

Nafas lega keluar dari bibirnya saat dia merasakan dingin dari air danau menjalar ke seluruh tubuhnya. Ternyata mandi di danau tak seburuk yang dia pikirkan.

"Yang Mulia—“

Refleks, Sang Putri segera menutupi tubuhnya dengan tangan. "Ada apa lagi?" sahutnya, kesal karena Leon mengejutkannya.

"Tidak apa-apa." Suara tawa tertahan terdengar dari balik semak-semak. "Aku hanya ingin mengingatkan, airnya dingin. Dan batu-batu di pinggir danau akan sangat licin. Jadi mohon berhati-hati."

***

Keesokan paginya, bahkan sebelum matahari benar-benar terlihat, Putri Anastasia sudah terbangun dan bersiap untuk berlatih pedang sendiri. Setelah makanan semalam, dan mandi air dingin, tubuhnya dapat beristirahat dengan baik. Pagi ini dia merasa sangat sehat dan segar baik tubuh maupun pikirannya. Dia meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia akan bisa mengalahkan Leon hari ini meski tidak dengan cara yang mudah.

Semalaman dia memikirkan bagaimana cara mengalahkan Leon. Tentu saja bukan dengan cara yang biasa. Dia tahu dirinya mungkin takkan bisa mengalahkan Leon meski dengan berlatih selama dua minggu, sedangkan dirinya hanya punya waktu kurang dari dua minggu sebelum pemilihan pengawal pribadi Putra Mahkota Xavier di Nordhalbinsel. Belum lagi perjalanan ke Nordhalbinsel yang akan memakan waktu paling cepat tiga hari jika mereka menaiki kuda atau kereta kuda. Untuk menyewa kuda dan mengisi perbekalan selama perjalanan menuju Nordhalbinsel juga mereka akan membutuhkan banyak biaya. Terlalu banyak yang harus dipersiapkan dan dipikirkan.

Sambil terus mengayunkan pedangnya, melatih gerakan yang dipelajarinya dari duel pedangnya kemarin dengan Leon, Putri Anastasia yang terlahir dengan kekayaan melimpah, memikirkan bagaimana cara mereka bisa mendapatkan uang.

Baru kali ini dia menyadari bahwa mencari uang itu bukan perkara mudah.

"Kau terlihat sangat bersemangat pagi ini, Yang Mulia." Leon yang baru saja bangun, keluar dari pondok kayu dan menemui Sang Putri yang sedang berlatih pedang sendiri. Dia mengulurkan tangannya dan menunjukkan sebuah kalung emas dengan liontin berbentuk bunga mawar merah berhias batu permata berwarna merah. "Semalam kau lupa memakai kembali kalung ini setelah mandi. Kau mau aku memakaikannya?"

Putri Anastasia menatap kalung itu cukup lama. Kalung itu adalah kalung yang diberikan secara turun temurun dari ibu kepada anak perempuan atau cucu perempuannya. Neneknya, Janda Ibu Suri Agung memberikan itu kepada Ratu Isabella di hari pernikahannya. Lalu Ratu Isabella, ibunya, memberikan kalung itu saat dia berulang tahun ke tujuh belas. Kalung bunga mawar merah yang merupakan bunga simbol negaranya itu adalah salah satu harta kerajaan Schereiland yang nilainya sangat mahal. Karena kalung itu adalah penanda identitasnya sebagai Putri Schiereiland.

"Tidak perlu. Aku hanya akan menyimpannya di saku gaunku." Katanya sambil mengambil kalung itu dari tangan Leon.

"Baiklah, kalau begitu." Leon mengangkat bahu. Dia pun berbalik dan baru akan pergi kembali ke pondok kayu mereka saat Sang Putri menghalangi jalannya.

"Kau mau tidur lagi?" tanyanya, tak percaya. Kedua tangan dilipat di depan dada, sementara pedangnya sudah disampirkan di sabuk pinggangnya.

Leon mengangkat sebelas alisnya, tampak bingung dan penuh tanda tanya. "Memangnya ada yang harus kita lakukan hari ini?"

"Ya. Antar aku ke pasar." perintah Sang Putri.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!