Episode 1 : Awal dari Semuanya
Di sebuah rumah mewah nan megah. Bercat putih tulang dan emas, menambah kesan elegan rumah itu. Dinding yang dipenuhi lukisan dari para pelukis terkenal dan banyak penghargaan yang terpampang.
Tasya duduk di sofa dengan tatapan datar dan kosong. Di hadapan nya, duduk kedua orang tuanya. Sang ibu dengan tatapan sedih dan sang ayah dengan tatapan tegas.
"Tasya gak pernah minta apapun dari kalian, tolong jangan atur hidup Tasya. Apalagi pernikahan."
Suara Tasya yang terdengar begitu lirih dan hampir tersamar kan oleh angin, tetap membuat Ayah nya tak mengubah keputusan.
"Sampai kapan kamu akan berdiam di zona nyaman?"
Pertanyaan Ayah nya semakin membuat Tasya bungkam. Ia sudah lelah berdebat dengan Ayah nya yang tetap kukuh pada pendirian nya.
Apakah pria itu tidak merasakan bagaimana hidup rumah tangga di usia muda? Ingin rasanya Tasya berteriak di hadapan wajah pria itu jika saja ia bukan seseorang yang membuat nya ada.
Ia mengangkat wajah nya yang sedikit tertunduk. Menatap sang ayah dengan tatapan bertanya-tanya, ekor mata nya melirik sang ibu yang hanya diam saja.
"Yaudah, terserah Ayah. Aku mau istirahat."
Cukup lelah, ia tidak ingin berdebat lagi dengan Ayah nya. Bangun dari duduk nya, Tasya melangkahkan kaki nya menuju kamar nya yang berada di lantai dua kediaman itu.
"Kamu juga akan sekolah, Ayah sudah daftarkan."
Sekali lagi, Tasya di buat terhenti. Tangan nya memegang pegangan tangga terkepal kuat. Ia memejamkan mata nya sebentar, merilekskan gemuruh yang ada di dada nya.
"Iya."
Dan, hanya itu yang bisa ia ucapkan. Ia bergegas menaiki tangga, langkah kaki ia percepat agar segera sampai di kamar nya.
'Bukk
Ia langsung menutup pintu kamar nya setelah masuk. Menyandarkan punggung nya pada pintu besar itu. Perlahan tapi pasti, tubuh nya merosot ke bawah dengan butiran air mata yang sudah tumpah ruah membasahi wajah nya.
"Kenapa Tuhan? Engkau begitu tak adil padaku?"
Ia menangis tersedu-sedu, air mata itu sukses membuat wajah nya basah. Memeluk lutut dan menenggelamkan kepala nya di sana, ia ingin menangis, berteriak se kencang nya.
Baru saja ia kembali dari perusahaan dan mendengar bahwa ia memenangkan tender besar. Namun, seperti nya tidak ada yang ingin membuat nya tersenyum lebih lama.
Ketika ia melangkah masuk ke rumah mewah yang selama ini ia tempati sejak lahir. Ia dikejutkan dengan pernikahan yang akan orang tuanya lakukan untuknya.
Dan yang lebih parah nya, pernikahan itu tertutup dan hanya beberapa orang yang tahu. Serta sekolah, ia sungguh tidak tahu jalan fikiran kedua orang tuanya.
Sejak kecil, ia tidak pernah menginjakkan kaki nya di tempat yang bernama sekolah. Ia bersekolah di rumah atau lebih sering di sebut homeschooling.
Karena di negara ini ia di anggap anak yang aneh. Ia bersekolah di luar negeri. Di sana pun ia tidak menginjakkan kaki nya di sekolah dan hanya di rumah.
Berkat ke jeniusan nya. Di usianya yang masih muda ia sudah memegang gelar S3. Masuk dalam jajaran orang jenius di dunia, dan tetap tak banyak orang yang mengetahui nya.
Tasya bangun dari duduk nya. Melangkah gontai menuju ranjang nya, ia lempar kan tas kecil yang sendari tadi berada di pundak nya. Ia merebahkan diri nya di atas tempat tidur dan memejamkan mata nya.
Di sisi lain.
Tempat yang berbeda, dan suasana yang berbeda.
"Hah, nikah? Seriusan, Pah?"
Seorang remaja pria yang berusia tujuh belas tahun itu menatap tak percaya pada Ayah nya. Ia menggosok kuping nya, merasa mungkin ada serangga masuk dan menyumbat pendengaran nya.
"Iya, Dion. Besok kita berangkat."
Mendengar ucapan sang Ayah, wajah Dion tampak berbinar. Sungguh aneh, apakah Dion memang memimpikan pernikahan di usia muda?
"Asikkk, Nikah!"
Ia bersorak gembira. Namun, Sepersekian detik kemudian ia terdiam.
"E-eh gak jadi deh, Pah. Gak minat, kalo nikah pacar-pacar ku mau dikemanain?"
Itulah yang membuat orang tuanya menikahkan nya. Putra kedua mereka ini tidak pernah berubah, mungkin gelar playboy cap kadal tidak pas untuk nya.
Entah sebutan apa yang cocok untuk Dion. Yang notabe nya sering bergonta-ganti kekasih karena ketampanan yang dimiliki.
Keluarga Dion adalah keluarga yang sederhana. Ayah nya hanya seorang mandor di salah satu perkebunan cengkeh. Sedangkan ibunya, hanya seorang ibu rumah tangga.
Walaupun bukan dari keluarga kaya. Tetapi, Dion tidak pernah kekurangan kasih sayang kedua orang tuanya, selalu tersenyum dan tertawa tanpa beban. Seolah kewajiban nya hanya untuk menikmati hidup.
"Gak ada gak jadi, gak jadi. Sana mandi, makan besok kita berangkat."
"Yahhhh... "
Episode 2 : Jalan Hidup Yang Berbeda
Malam menyapa. Malam ini begitu cerah, awan hujan tampak tak memperlihatkan diri nya seperti malam sebelum nya. Kendaraan masih berlalu lalang, tak peduli meski malam kian larut.
Sebuah taksi berhenti di depan sebuah cafe ternama di kota istimewa ini. Pintu mobil taksi itu terbuka, turun lah seorang gadis cantik.
Kulit putih dan lembut, hidung mancung, bibir tipis berwarna merah muda, serta mata yang tajam dengan iris berwarna coklat. Tubuh nya begitu indah dengan tinggi yang pas.
Blouse hitam panjang dengan celana jeans, rambut sebahu yang tergerai. Serta tas selempang kecil yang berada di pundak nya adalah penampilan Tasya malam ini.
Ia melangkah kan kaki nya memasuki Cafe itu. Tanpa orang-orang tahu, ia lah pemilik cafe yang sebenarnya. Ia duduk di salah satu meja yang tersedia di cafe itu.
Pengunjung masih terus berdatangan. Semakin malam, semakin banyak pengunjung yang masuk. Tasya mengedarkan pandangan nya.
Menelisik setiap sudut tempat itu. Hingga tatapan nya terhenti, ketika seorang pria muda dengan balutan jas menghampiri nya. Tanpa sepatah kata pun, ia menjatuhkan bokong nya tepat di kursi sebrang Tasya duduk.
"Sibuk?"
Tasya bertanya dengan suara tenang seperti air. Aldo, pria muda berusia dua puluh lima tahun. Orang-orang tahu, pria itu adalah manager tempat dimana mereka berada saat ini.
"Engga kok, sya. Ada apa? Udah pesen makan belum?"
Aldo bertanya dengan santai pada gadis yang ada di depan nya saat ini.
"Gak laper. Jadi gausah."
Tasya menjawab singkat. Ia ingin merilekskan fikiran nya, mendingin kan kepala yang terasa panas. Bukan untuk makan.
Aldo mengerutkan kening, heran. Tidak biasa nya Tasya ber leha-leha dengan waktu nya. Karena, ia tahu prinsip yang di pegang kuat gadis itu. Waktu adalah uang, jika kau membuang waktu, berarti kau membuang uang.
"Oh ya, gimana pernikahan lu?"
Tasya kembali bersuara dengan bertanya tentang pernikahan orang di depan nya, yang sudah ia anggap kakak.
"Ck. Gak tahu juga sih, dia nya tiba-tiba ilang."
"Hahhh?!"
"Udah satu minggu gak ada kabar. Gue juga udah coba cari kemana-mana, yah tetep aja. Gak ada hasil."
Tasya mengangguk. Ia mengerti apa yang Aldo maksud kan.
"Hagh! Andai aja gue se jenius lu, sya. Mungkin dia gak bakal tiba-tiba ilang gitu."
Mendengar perkataan Aldo. Tasya tersenyum kecut. Jika Aldo ingin menjadi diri nya, maka diri nya ingin menjadi orang sederhana saja.
Memiliki otak yang sama seperti orang lain. Hidup normal seperti pada umum nya. Mungkin ia akan bahagia, tidak seperti saat ini.
"Jalan hidup kita beda, do. Jangan pernah pengen jadi orang lain. "
"Hahahah... Iya. Mana mau gue jadi lu. Hidup lu terlalu serius, gak ada canda nya.."
Aldo menanggapi dengan gelak tawa. Tak melihat raut wajah Tasya yang sendari tadi hanya di tekuk. Tasya menampilkan senyum tipis, untuk ini lah ia menemui pria itu.
Pria itu selalu bisa meringankan beban nya walaupun hanya dengan tawa nya, ia lebih dari orang tua nya. Bukan berarti ia mencintai pria itu, tetapi pria itu dapat memberikan rasa nyaman tanpa menyinggung.
"Gue mau nikah."
Seketika tawa Aldo terhenti. Ia tertegun, menatap wajah Tasya. Menelisik, adakah kebohongan di wajah gadis itu.
"Jangan becanda woyy... Gue aja gak jadi, masa lu mau nikah."
"Gue jujur, dan cuma lu yang gue kasih tahu. Gue mohon, rahasiain ini. Mungkin gue belum pernah nurut sama omongan orang tua gue, dan ini saat nya."
"Jadi lu terpaksa? Gak bakal bener, sya. Nikah itu bukan main-main, dan lagi lu masih muda. KTP aja belum punya!"
Ya, memang benar apa yang Aldo katakan. Tapi, Tasya tetap pada keputusan nya. Dalam fikiran nya kapan lagi ia akan membahagiakan orang tua nya, dengan penyakit yang ia derita saat ini ia tidak berharap banyak.
Mungkin di mata orang-orang Tasya adalah manusia paling beruntung. Di beri kecerdasan, hidup mewah bergelimang harta. Akan tetapi, kembali lagi pada kehidupan yang mengatakan manusia tidak pernah ada yang sempurna.
Tanpa orang-orang tahu, diri nya mengidap penyakit mengerikan. Jika memang di suruh memilih, Tasya tidak ingin menjadi diri nya saat ini. Ia lebih baik hidup sederhana dengan tubuh yang sehat. Sehat adalah segala nya.
"Penyakit gue makin parah, do. Gak ada kemungkinan buat sembuh."
"Orang tua lu udah lu kasih tau?"
Pertanyaan Aldo hanya di balas gelengan kepala saja. Orang tua nya tidak tahu, selama ini ia benar-benar menutupi tentang penyakit nya. Ia tahu hari-hari nya memang sibuk.
Tak pernah ia bercengkrama seperti kebanyakan gadis bersama orang tua nya. Setiap waktu ia habis kan untuk menghasilkan dollar.
"Ya ampun, syaaa... Kenapa gak lu kasih tau jugak?! Sampai kapan lu mau nutupin ini semua, lu butuh dukungan keluarga!"
"Gak! Sampai kapan pun gue gak bakal kasih tau."
Tasya menggeleng hebat. Rasa sesak di dada nya menghampiri. Ia merasakan mata nya mulai panas dan penglihatan nya berembun.
Perlahan tapi pasti, air mata itu luruh membasahi wajah cantik nya. Ia tak ingin membuat orang tua nya sedih, apalagi sampai menangis.
Ia tutup wajah nya dengan kedua tangan dengan sikut yang menopang pada meja. Kembali menangis tersedu-sedu.
"Ambilin Vodka sama Whiskey."
Seketika Aldo menggeleng hebat. Apa yang akan di lakukan gadis di depan nya ini? Memilih mabuk daripada menyelesaikan masalah dengan baik.
"Gak, teh manis aja! Apa apaan itu, bahaya!"
"Ambilin, Aldo."
Tasya mengangkat wajah nya. Menatap tajam pria di depan nya. Tiba-tiba Aldo merasakan atmosfer di sekitar nya berubah. Ia meneguk ludah dengan susah payah ketika melihat raut mengerikan Tasya.
Ia pun segera memanggil pelayan agar membawakan apa yang Tasya ingin kan. Selang beberapa saat, pelayan itu kembali dengan dua botol besar minuman memabukkan itu.
Tasya langsung menegak nya tanpa menuangkan ke gelas terlebih dahulu. Satu teguk, dua teguk, hingga tegukan yang ke sekian kali nya. Ia mulai mabuk, dan hanya menangis.
Aldo masih setia duduk di tempat nya. Tidak ingin meninggalkan gadis di depan nya yang sedang mabuk berat. Ia begitu kasihan melihat Tasya.
Andai ia memiliki wewenang, mungkin ia dapat membantu gadis itu dengan mudah.
Drettt,,, drettt
Tiba-tiba terdengar suara panggilan. Aldo mengeluarkan ponsel nya dari saku jas, tapi seperti nya bukan ponsel nya yang bergetar. Ia melirik tas kecil Tasya yang tampak bergetar.
Ia angkat tas itu, dan ternyata Tasya tak menyimpan di dalam tas melainkan di bawah tas itu. Panggilan telepon kembali, membuat ponsel itu bergetar lagi.
Tertera nama 'Ayah' di ponsel itu. Dengan ragu Aldo menjawab panggilan itu, mungkin penting. Tak apa pikir nya, lagi pula Ayah Tasya mengenal nya.
[ Halo.. ]
[ Halo Om ]
[ Loh Aldo, kenapa bisa kamu? Tasya di mana? ]
[ Oh, Tasya lagi di toilet om ]
[ Emang kalian lagi ngapain? ]
Terdengar nada tidak suka keluar dari mulut Ayah Tasya. Aldo bisa menangkap jelas suara itu.
[ Tasya lagi bahas tender yang baru dia dapet, Om. Masih nunggu sekretaris nya balik lagi, tadi ada berkas yang ketinggalan kata nya. ]
[ Oh yaudah, bilangin sama Tasya jangan pulang terlalu larut. ]
[ Siyaapl, Om ]
Panggilan itu pun berakhir. Aldo kembali menyimpan ponsel Tasya ke tempat semula. Ia melihat Tasya yang sudah tertidur pulas di depan nya.
"Sya, sya... Sampe segini nya lu gak mau bikin orang tua lu sedih. Asal lu tau sya, kalau mereka tau sikap lu kayak gini. Mereka lebih sedih."
Episode 3 : Bahu Sandaran
Mentari mulai bersinar menyinari dan menghangatkan bumi. Sinar nya yang terang mulai masuk melalui celah jendela yang terbuka.
Membangun kan seorang gadis yang masih bergelut dengan selimut nya di atas ranjang. Perlahan ia membuka mata nya, mengerjap kan beberapa kali untuk menjernihkan pandangan.
Mata nya mengedar menatap sekitar. Hingga retina nya menagkap seorang pria yang sedang berjalan menghampiri nya dengan nampan di kedua tangan nya.
Ia bangun dan merubah posisi nya menjadi duduk. Pening, itulah yang ia rasakan. Kepala nya begitu berdenyut, tubuh nya pun terasa lemas.
"Sakit kan, pala Lu!"
Aldo berseru, mendengus kesal karena gadis itu yang tak lain Tasya. Tidak bisakah ia mendengar kan ucapan nya, itu pun demi kebaikan nya.
"Ck. Berisik lu."
Helaan nafas keluar dari mulut Aldo. Ia sodorkan nampan berisi semangkuk sup ikan. Itulah yang sering Aldo lakukan ketika Tasya mabuk berat dan berada di apartemen nya.
"Nih, abisin."
Tasya meraih mangkuk sup itu. Aroma sup ikan yang masih hangat itu menguar ke indra penciuman nya. Ia ambil sendok, dan mulai memasukan makanan itu ke mulut nya.
Sup ikan, memang adalah obat yang paling ampuh untuk menghilangkan rasa mual akibat mabuk.
Mungkin bagi sebagian orang yang melihat ke dekatan Aldo dan Tasya akan mengira mereka sepasang kekasih. Tasya yang sering berkeluh kesah pada Aldo, begitu pun Aldo yang selalu ada untuk Tasya.
Pertemuan mereka di awali dengan ke-tidak sengajaan.
Saat itu, Siang yang terik dengan panas yang begitu menyengat. Peluh mengucur di pelipis, tak menyurutkan orang-orang untuk berhenti untuk mengais rezeki.
"Abis?..."
Tasya melihat botol minuman nya yang sudah kosong. Ia lemparkan botol itu ke tempat sampah yang berada tak jauh dari dirinya berada.
Namun, langkah nya terhenti dengan tangan yang masih memegang botol itu. Ia melihat sepasang kaki, ia yakin itu adalah kaki pria.
Perlahan ia hampiri, mata nya membola sempurna. Terkejut, ketika mendapati seseorang yang tergeletak dengan luka di seluruh tubuh nya.
Wajah seorang pria dengan rahang yang tegas dan bahu yang kokoh, berkulit putih dan kekar. Wajah nya di penuhi luka goresan, kaki yang terbalut levis hitam itu tampak sobek dimana-mana.
Baju yang ia kenakan terkoyak diseluruh bagian. Darah yang mulai mengering di seluruh tubuh, begitu menyedihkan.
"Ck. Kenal kagak, buat apa peduli."
Tasya memutar tubuh nya, berniat melangkah pergi. Namun, entah mengapa hati nya mengatakan untuk menolong pria itu.
Ia menghela nafas, dan kembali melihat pria menyedihkan itu. Menelpon seseorang untuk menjemput nya,. Saat ini ia berada di sebuah gang yang jarang di lalui orang.
Tak perlu menunggu lama. Seseorang berpakaian serba hitam dengan wajah yang sangar menghampiri Tasya. Ia menunduk hormat.
"Bawa dia ke rumah sakit."
Ia memberikan perintah dengan wajah tanpa ekspresi. Berjalan terlebih dahulu menuju mobil yang terparkir tidak jauh, dan masuk terlebih dahulu.
Seseorang itu segera mengangkat tubuh pria menyedihkan itu dan membawa nya ke mobil yang sama dengan yang Tasya naiki.
Tak membutuhkan waktu lama. Mereka sampai di rumah sakit yang memang letak nya tidak jauh. Pria itu segera mendapatkan pertolongan medis.
"Jaga dia, dan beritahu aku setelah dia bangun."
Tasya memberikan pada perintah pada pria di depan nya. Pria itu mengangguk paham, setelah nya Tasya pergi meninggalkan tempat itu.
Tiga hari berlalu.
Pria yang tak sadar kan diri itu mulai menunjukan pergerakan. Jari-jari nya bergerak, perlahan mata nya terbuka dengan perlahan.
Membiasakan cahaya masuk agar tidak menyilaukan. Beberapa kali ia mengerjap kan mata nya, perlahan pandangan nya mulai jernih dan ia bisa melihat dengan jelas sekeliling nya.
Ia melihat dan menyadari, bahwa dirinya berada di rumah sakit. Ia merasa tenggorokan nya panas dan kering.
"Tuan, anda sudah sadar?"
Seorang perawat wanita masuk, ia biasa mengecek keadaan pria yang sedang di rawat di ruangan itu.
"Air..."
Pria itu bersuara pelan, perawat segera menyodorkan se gelas air. Perlahan pria itu menegak air nya, membasahi tenggorokan nya yang terasa kering seperti di gurun sahara.
'Clek
Pintu ruang rawat itu terbuka. Menandakan seseorang masuk ke ruangan itu. Sang perawat berbalik, dan mendapati orang yang tiga hari lalu bertemu dengan nya.
"Nona, pasien sudah siuman."
Perawat itu berseru kepada seorang gadis yang tak lain adalah Tasya. Gadis itu terlihat hanya mengangguk kan kepala saja, tak bersuara walaupun ada yang berbicara.
Pria itu yang penasaran, mencoba melihat siapa yang perawat itu maksudkan. Akan tetapi, belum sempat ia melihat wajah itu. Dokter masuk dan memeriksa keadaan nya.
Sedangkan gadis itu tiba-tiba keluar dan ia hanya bisa melihat punggung nya saja. Dokter memeriksa nya dengan telaten.
Sedangkan di luar.
"Nona anda sudah disini?"
Pria berpakaian hitam tempo hari bertanya.
"Hm,"
Hanya itu, dan pria di depan nya paham jika nada suara gadis itu sudah berubah.
Sejak tiga hari lalu, ia tidak menginjakkan kaki nya di rumah sakit ini. Namun, bayangan pria yang ia tolong. Begitu menyiksa hingga semua fikiran nya teralihkan.
Pada akhir nya, ia memutuskan untuk datang ke rumah sakit hari ini. Dan, ketika mendapati pria itu sadar. Ada rasa lega di hati nya, seolah beban yang ia fikirkan paling berat hilang seketika.
Cukup lama Tasya duduk di bangku tunggu. Pria berpakaian hitam itu mengurus semua apa yang di butuhkan.
Tasya kembali bangun, dan memutuskan masuk ke ruangan itu.
Wajah datar tanpa senyuman itu melangkah tegas menghampiri brangkar. Netra pria itu menangkap seorang gadis cantik, berkulit putih, mata yang tajam dengan iris berwarna coklat khas penduduk asia. Hidung nya mancung, dengan bibir tipis berwarna merah muda.
Kemeja lengan panjang putih, dengan rok span hitam dan balutan blezeer hitam, selop berpita dan tas selempang di pundak nya. Rambut sebahu itu terikat rapih, dan memberikan kesan elegan.
"Tasya Angelica."
Ah, kini pria itu tahu nama gadis yang ada di depan nya saat ini. Ia yakin, itu adalah malaikat penolong nya. Gadis cantik, mungil, manis dan imut.
"Gernaldo."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!