NovelToon NovelToon

Story Of Season : Winter

Chapter 1

Harapan Kerajaan Whittaker ada padanya. Pada seorang gadis yang kini memegang erat pedangnya. Dengan sisa tenaganya mengharapkan karsa sang dewa membantunya. Sosok penguasa Kerajaan Varsha dihadapannya beradu pedang diiringi teriakan sisa prajurit yang masih berjuang demi negeri mereka. Hingga....

Craatttss

Tubuh besar itu terjatuh dengan kepala terlepas. Tangan gemetar sang gadis meraihnya, mengangkatnya dengan tinggi walau darah mengucur deras kemudian berteriak "AAAAAAAAARRRGHHHHH" Teriakan frustasi bercampur kelegaaan menjadi satu diikuti teriakan para prajurit Whittaker. Sorak sorai terdengar ditengah keputus asaan prajurit Varsha

Perang dua tahun akhirnya berakhir setelah memakan begitu banyak korban. Perjuangan penuh darah dan air mata yang sebenarnya. Banyak anak menjadi yatim dan wanita menjadi janda, namun semua itu terbalas atas takluknya Kerajaan Varsha.

***

Ransum dengan cita rasa yang buruk itu perlahan ia kunyah, memaksanya masuk ke dalam perut melewati kerongkongan. Ingin rasanya ia langsung memuntahkannya jika tidak ada lelaki bertubuh tinggi dengan lesung pipi yang kini mengawasinya sambil bersedekap.

"Urgh, setelah apa yang kulakukan pada negeri ini kakak masih memperlakukanku seperti anak kecil?" Kesalnya.

"Salahkan sikapmu yang masih susah diatur wahai Delphy Frostine Whittaker." Balas laki laki itu yang kerap disapa Colden.

Delphy memutar bola matanya malas. Kakak dari selir pertama ayahnya ini terlalu perhatian padanya hingga membuatnya muak.

"Terserah, akan kuhabiskan di tenda. Aku lelah, tiiga hari lagi kita akan kembali." Ucap Delphy sambil berlalu pergi.

"Kerja bagus Yang Mulia."

Kalimat itu membuatnya berhenti sejenak kemudian menoleh, "berhenti memanggilku seperti itu kak, aku bukan pewaris tahta." Tersirat nada kecewa darinya. Ia kemudian menuju ke tendanya.

Memperhatikan tubuhnya dari atas hingga bawah pada pantulan cermin. Untuk pertama kalinya rambut seputih salju itu mencapai bahu, perang membuatnya tidak sempat mengurus rambut seperti putri kerajaan pada umumnya. Atensinya jatuh pada warna matanya yang berbeda. Abu abu dan biru.

"Benar, aku hanya seorang putri kerajaan yang terkutuk." gumamnya pada dirinya sendiri.

Mendadak perutnya terasa mual hingga ia harus memuntahkan ransum yang baru ia cerna. Bayangan akan kepala Raja Ardyne kembali terlintas, tangannya kembali gemetar. Seumur hidup ia belajar berpedang hingga membunuh banyak orang, ia tidak pernah sanggup memenggal kepala lawannya.

"Ayah, aku sudah menepati janjiku." Lagi lagi ia bergumam sendiri.

***

Sambutan hangat diterima para pejuang perang di tengah kota menuju Istana. Tak seorang pun melewatkan momen membahagiakan ini. Tak terkecuali sang Raja Whittaker yang menyambut di depan pagar Istana bersama Ratu serta para selirnya. Delphy bersama ketiga Pangeran  lainnya turun dari kuda mereka. Para selir langsung berhambur memeluk putra mereka. Suasana penuh haru dapat dirasakan disekitar.

Delphy melangkah perlahan mendekati sang Raja. "Ayah, aku pulang." Katanya dengan suara kecil dan sedikit gemetar.

"Terimakasih sudah menepati janjimu." Balas Raja Whittaker sambil meletakkan kedua tangannya pada pundak Delphy.

Delphy tersenyum getir menahan tangis. Kemudian beralih pada Ratu Whittaker yang kini menatapnya. Ia tidak tau apa arti pandangan yang ia terima dari Ratu, namun ia tetap membungkuk sesaat tanpa mengucapkan sepatah kata.

"Blaze, berhenti menangis." Suara itu mengalihkan perhatiannya. Pangeran termuda tiga tahun di atasnya kini menangis seperti anak kecil.

Dua tahun lamanya mereka meninggalkan 'rumah' mereka mempertaruhkan nyawa. Tiap hari hanya memikirkan bagaimana caranya bertahan hidup. Apakah mereka dapat bertemu orang orang yang mereka sayangi lagi, apakah mereka dapat tidur dengan tenang kembali, apakah mereka dapat tertawa dengan lepas lagi. Bagai Kekhawatiran tiada henti. Tanpa pikir panjang Raja memeluk Blaze dengan rasa bangga diikuti para Pangeran. Delphy hanya terdiam di tempatnya. Ingin rasanya ia menangis juga setelah perjuangan itu.

Namun, keinginan itu hanya bisa ia pendam. Dihampirinya mereka dengan senyuman. "Aku tidak ingat memiliki adik selain Crystal." Ucapnya dengan nada mengejek.

"Bisa kamu diam saja Del, aku sedang tidak ingin bertengkar saat ini." Balas Blaze saat tau ejekan itu tertuju padanya. Setelahnya tawa ejekan tertuju pada Blaze.

Ratu yang sejak tadi hanya berdiam diri akhirnya bersuara, "Mari kita masuk, perayaan akan disiapkan untuk kalian, rakyat juga akan datang, lebih baik kalian bersiap untuk pesta."

"Baik yang mulia." Sahut para Pangeran bersamaan.

Bersama Colden, Delphy melangkah memasuki Istana. Walau dua tahun lamanya ia meninggalkan Istana, namun tidak banyak yang berubah disini.

"Omong omong, jahat sekali Crystal tidak menyambutku. Anak itu, awas saja dia." Ujar Delphy dengan nada kesal yang terdengar jelas.

"Kamu tau sendiri adikmu itu seperti apa." Balas Colden, "walau kalian kembar perbedaan kalian sangat jauh. Aku yakin ia sedang sibuk menata rambutnya."

"Hahahaha, Kak Colden memang paling tau tentang kita semua." Pangeran dengan tinggi tubuh yang sedikit tidak ideal itu menyahut.

"Iya, termasuk kamu Bach yang selalu berharap bertambah tinggi."

Lagi lagi gelak tawa terdengar diantara mereka.

"Putri Crystal perlu persiapan diri lebih, peresmiannya sebagai calon pewaris takhta akan dilakukan di perayaan malam ini. Umurnya sudah tujuh belas tahun." Ucap Ratu.

Para Pangeran menyahut senang mendengar berita itu. Penantian mereka akan dikenalkannya Putri Mahkota secara resmi di hadapan rakyat akhirnya tiba. Artinya mereka tidak perlu lagi khawatir Putri Mahkota akan tergantikan dengan salah satu dari mereka menjadi Putra Mahkota seperti rumor yang beredar di antara rakyat.

Menurut mereka menjadi pewaris takhta akan membuat mereka sibuk hingga tidak ada waktu bersantai, belum lagi menjaga citra baik dihadapan rakyat.

"Aku harap ia sudah tidak merepotkan banyak orang lagi setelah resmi menjadi calon pewaris takhta." Kata Delphy.

"Adikmu itu belajar tentang kehidupan Kerajaan jauh lebih baik darimu yang sibuk berpedang."

"aku harap ia memang yang terbaik untuk Kerajaan ini."

Obrolan memenuhi perjalanan mereka menuju ruangan mereka masing masing. Delphy memasuki kamarnya. Pelayan Istana melayaninya dengan baik, semua persiapan untuk pesta sudah mereka persiapkan. Mulai dari pakaian, air untuk mandi dan beberapa terapi untuk kecantikan.

Perlahan Delphy mulai membuka bajunya berniat untuk mandi selagi air masih hangat. Namun, setelah sekian lama tidak melihat tuannya membuat para pelayan terkejut melihat tubuh sang putri penuh dengan bekas luka bahkan beberapa luka masih basah. Lebam juga terlihat jelas diseluruh tubuhnya. Padahal luka disudut bibirnya saja sudah membuat pelayan sibuk mengobati luka itu.

"Hei, aku baru pulang dari perang bukan kencan, jangan menatapku seperti itu." Ucapnya. "Ayolah ini berarti aku bukan anak kecil lagi, jangan berlebihan."

Lilian, pelayan yang sudah merawat Delphy sejak kecil. Wanita yang sudah dianggap ibu sendiri oleh Delphy. "Biar saya obati terlebih dahulu sebelum Tuan Putri mandi. Saya harap anda tidak membantah sama sekali."

Lilian mendekat dengan kotak obat di tangannya. Dengan hati hati ia mulai mengobati mulai dari lengan, perut hingga punggung. Tidak terbayang rasa sakit yang dirasakan Delphy olehnya. Air matanya menetes dengan sendirinya tanpa bisa ia kendalikan. Bagaimana bisa tubuh seorang gadis dipenuhi dengan luka.

Delphy membalikkan tubuhnya menghadap Lilian. Dipeluknya LIlian dengan erat. Kehangatan ini yang ia nantikan saat sampai di Istana. Wanita yang kini sudah memasuki usia akhir tiga puluh. Yang selalu menatapnya dengan kehangatan. Yang selalu membuatnya ingin pulang ke 'rumah'.

"Aku tidak apa apa Lilian. Memang ini yang ku inginkan, rasa sakit ini tidak sebanding dengan mereka yang bahkan kehilangan bagian tubuh mereka, keluarga mereka bahkan nyawa mereka sendiri. Apapun akan kulakukan demi kerajaan ini. Sejak ayah mengirimku bersama Pangeran pergi latihan selama tiga tahun di usiaku yang masih sepuluh tahun aku sudah siap mati demi Kerajaan ini. Tidak, bahkan sejak aku dilahirkan aku sudah siap."

"Lilian, aku yakin kamu masih ingat saat itu, di saat kamu memotong rambutku pertama kali aku pernah berkata, Kerajaan ini segalanya bagiku. Aku minta maaf selalu membuatmu khawatir. Aku hanya ingin melindungi hal yang berharga bagiku, termasuk dirimu Lilian."

"Perjalananku baru akan dimulai, Crystal resmi menjadi calon penerus takhta. Aku akan semakin sibuk, aku harus memastikannya aman setiap saat. Adikku itu sama sekali tidak bisa melindungi dirinya walau sudah berlatih bela diri." Sebisa mungkin ia mengalihkan perhatian Lilian dari seberapa parahnya luka yang ada di tubuhnya.

Chapter 2

Halaman depan Istana dipenuhi rakyat yang menghadiri pesta, sedangkan aula Istana dipenuhi para bangsawan beserta keluarga Kerajaan.

Saat Delphy memasuki Aula tak satupun sepasang mata yang tidak menuju padanya saat ia dengan penuh wibawanya berjalan menuju kursinya. Namun, tak satupun juga dari mereka yang mengetahui jika ia adalah Putri Sulung Raja. Hanya beberapa pekerja Istana dan keluarga kerajaan tertentu yang mengetahui hal ini. Rahasia ditutup sangat rapat.

Mereka hanya tau, Delphy Frostine seorang anak laki laki tanpa marga yang menjadi pengawal pribadi Putri Mahkota. Anak laki laki berbakat yang pantas di hormati dan disegani. Anak laki laki yang berjasa yang pantas diberikan penghargaan. Wajar saja, sejak kecil kelahirannya disembunyikan. Setiap kali ia keluar Istana tidak ada pengawal yang menemaninya seperti keluarga kerajaan pada umumnya. Berlatih bela diri sejak tujuh tahun agar ia bisa bebas keluar masuk Istana tanpa ada kecurigaan dari rakyat sebagai pengawal pribadi Putri Mahkota.

Walau penampilannya yang terbilang aneh, tak sedikit anak perempuan yang mengaguminya. Wajar saja, wajahnya yang terbilang netral akan menjadi tampan jika berpenampilan seperti laki laki. Hanya saja tingginya tidak seperti laki laki pada umumnya. Bisa dikatakan ia tampak seperti laki laki imut dengan keahlian luar biasa. Tidak heran kenapa banyak anak perempuan yang jatuh cinta padanya.

"Putri Mahkota tiba!!!" Ujar penjaga pintu dengan suara lantang.

Dari pintu masuk terlihat jelas seorang anak perempuan dengan anggunnya memasuki Aula menuju kursinya yang berada di depan Delphy. Disana terlihat jelas kenapa tak seorang pun curiga jika mereka saudara kembar.

Jika Crystal dengan gaun indah, sepasang sepatu kaca, mahkota di atas kepalanya, beberapa hiasan serta rambut hitam panjangnya yang indah tertata rapih, tak lupa juga wajahnya yang cantik memikat hati para laki laki. Sedangkan Delphy tidak ada gaun indah hanya pakaian yang tidak jauh berbeda dengan pangeran, tanpa mahkota dan perhiasan hanya sebilah pedang yang tersampir di pinggangnya. Rambut putihnya juga ia potong pendek.

"Putri Mahkota kita ini sepertinya sudah lupa dengan saudaranya." Bisik Delphy kepada Crystal.

"Aku minta maaf oke, kamu tau pesta ini acara penting bagiku tentu saja aku harus mempersiapkannya dengan lebih matang." Balas Crystal.

"Yaahhh, setelah dua tahun tidak bertemu ternyata acara ini lebih penting dariku." Nada kecewa yang dibuat buat membuat Crystal jengah. "Kamu tau beberapa kali aku hampir mati di medan perang."

Crystal membelalakkan matanya kemudian memutar badannya menghadap Delphy. "Benarkah?!"

"Hei tentu saja, semua prajurit merasakannya tau. Bahkan Kak Colden yang paling terampil dalam berpedang saja sempat koma dua kali."

Belum sempat menjawab Ratu sudah menegur mereka. "Kamu harus menceritakan semuanya padaku setelah ini." Ucap Crystal mengakhiri percakapan singkat itu.

Delphy menggidikkan bahunya singkat. Kini ia fokus pada rangkaian acara yang ada, sesekali ia mengawal Crystal ke halaman Istana. Hingga kini, acara yang dinantikan oleh semua orang. Peresmian pewaris takhta. Di atas balkon yang menghadap langsung halaman Istana, disaksikan seluruh rakyat Whittaker ia melihat punggung Crystal yang terlihat rapuh.

"Crystal Kimberley Whittaker, usianya kini sudah mencapai tujuh belas tahun. Sudah saatnya kerajaan ini memiliki pewaris takhta. Maka dari itu, ia secara resmi menjadi pewaris takhta selanjutnya. Ia akan menjadi masa depan kerajaan." Ujar Raja dengan suara lantang.

Dadanya terasa sesak saat melihat mahkota Crystal diganti dengan mahkota yang terlihat lebih indah sebagai simbol resminya ia menjadi pewaris takhta. Bagaimana Raja memperlakukan Crystal seperti seorang keluarga kerajaan yang sebenarnya cukup membuatnya kembali masuk kedalam Aula.

Di ambilnya minuman dengan kadar alkohol yang rendah. Ia sedikit merutuki kerajaan yang tidak pernah menyediakan minuman beralkohol tinggi. Belum sempat ia meminumnya, Colden dengan tidak tau sopan santunnya merebut gelas itu. "Tidak ada alkohol untukmu tuan pengawal."

Ia memutar bola matanya kemudian bersedekap, "bisakah anda berhenti menggangguku pangeran?"

"Tidak bisa jika kamu belum berhenti bersikap kekanakan." Colden menaruh kembali minuman itu ke atas meja, "kamu bisa menceritakan segalanya setelah pesta ini."

"Tidak ada yang perlu kuceritakan." Ia menghela nafas pelan. "Tolong katakan pada ayah, aku tidak bisa melanjutkan pestanya tubuhku masih perlu istirahat lebih."

Tanpa menunggu jawaban dari Colden ia melangkah pergi meninggalkan Colden yang menatap punggungnya sendu. Colden tau apa yang ada dipikirannya, sejak ia kecil Colden selalu bersamanya. Berlatih bela diri, memanah, berpedang, mempelejari etika kerajaan, hingga menemaninya di kala ia sakit.

Bagi Colden, Delphy jauh lebih berharga dari Crystal. Di matanya, Delphy bukan seorang prajurit yang kuat, sekuat apapun Delphy dimata para rakyat, prajurit, bahkan Raja, baginya Delphy hanya seorang adik perempuan yang harus ia lindungi. Tidak sekalipun ia melepaskan pandangannya dari Delphy sejak mereka kecil.

Bagi Colden, bahu kecil Delphy bukan untuk memikul beban, bukan untuk sandaran rakyat kerajaan, bukan untuk menaruh harapan masa depan kerajaan melainkan untuk ditepuk dan dikuatkan.

Namun, takdir gadis kecil itu terlalu keras. Tidak dikenalkan sebagai anggota kerajaan hingga harus menyamar sebagai laki laki, tidak mendapatkan hak nya sebagai putri mahkota, menggenggam pedang sejak kecil. Delphy bahkan sudah meminum alkohol sejak sepuluh tahun.

"Kak." Panggilan dari Bach membuat Colden tersadar dari lamunannya. "Delphy, aku melihatnya meninggalkan pesta. Kali ini apalagi alasannya? Bukannya dia menjadi perwakilan pemberian simbolik penghargaan?"

Colden hampir melupakan satu hal itu, Delphy tidak pernah ikut pesta sampai akhir "Dia hanya masih merasa lelah, tentang penghargaan aku akan bilang pada ayah."

Bach menaikkan sebelah alisnya, "Ah, anak itu ada saja alasannya."

"Kamu sendiri sedang apa disini? Bukankah ayah menyuruhmu meladeni para bangsawan?"

"Malas sekali rasanya bersama para bangsawan itu. Mereka selalu merasa lebih dibanding rakyat biasa. Padahal tidak banyak juga kontribusi mereka pada kerajaan." Bach mengeluh sambil memakan sepotong kue.

"Yaaahhh, kamu tau sendiri sebagai keluarga kerajaan menjalin hubungan baik dengan para bangsawan sudah menjadi keharusan." Colden menatap seisi ruangan. "Asal kamu tau saja, aku juga malas berhubungan dengan mereka, hanya saja pajak yang mereka bayar lebih tinggi dari rakyat biasa."

Bach tertawa sarkas, "Motto tiada hubungan tanpa keuntungan itu sepertinya selalu ada dipikiranmu Kak."

"Sebagai keluarga kerajaan tentu saja harus tau setiap keuntungan yang bisa di ambil."

***

Disana ia duduk sendiri, menatap bunga yang tumbuh dengan indah. Walau sejujurnya ia tidak terlalu tertarik dengan bunga. Ditemani semilir angin yang meniup rambutnya seakan tidak ingin membiarkannya sendiri. Seakan bunga itu tidak cukup menarik dilihatnya, ia mengadahkan kepala menatap langit malam yang hanya penuh akan bintang. Dimana dewi malam saat ini? Pertanyaan itu terlintas di kepalanya. Benda langit yang hanya akan bersinar di malam hari itu tidak terlihat.

Tangannya memegang pedang yang bertumpu pada tanah dengan erat. Matanya menatap kosong pada langit, mungkin ia ada disana tapi tidak dengan kesadarannya. Ingatan masa kecilnya terlintas. Masa masa dimana ia masih sering bermain dengan saudarinya. Masa masa diamana tidak ada pembatas di antara mereka.

Kini, pembatas itu semakin kuat. Dinding itu semakin tebal. Gadis kecil yang selalu ia hibur saat menangis itu sudah memiliki beban yang jauh lebih besar darinya. Semua orang sudah memiliki tanggung jawab yang lebih besar, kecuali dirinya. Perang sudah berakhir, hanya hari harinya yang kembali terulang seperti dulu.

Rasanya semua orang menjadi dewasa, hanya dirinya yang masih sibuk dengan pedang. Semua saudaranya akan membicarakan politik, hanya ia yang masih memikirkan bagaimana cara menjadi lebih kuat lagi. Hanya ia satu satunya yang tidak terjun dalam dunia politik kerajaan. Hanya ia yang tidak berhak.

Bukan masalah tidak berhak, ia hanya berpikir mungkin hari hari nya esok akan dipenuhi kesepian lagi. Sejak dulu, saat rapat kerajaan hanya ia yang tidak hadir. Sejak dulu, saat pertemuan bangsawan hanya ia yang berdiri di sudut ruangan dengan sebilah pedang. Sejak dulu, hanya ia yang tidak pernah tau urusan politik.

"Delphy." Suara berat itu, ia sangat mengenalnya. Senyumnya sedikit terbit.

"Ayah." Ia menoleh melihat ayahnya berjalan menghampirinya.

Ayahnya itu, walau usianya sudah memasuki kepala empat wajahnya masih terlihat muda.

Raja Whittaker duduk disebelah putri pertamanya. "Apa yang kamu lakukan disini? Seluruh rakyat menantikanmu di atas panggung. Kamu pemeran utamanya di pesta ini."

"Aku bukan pemeran utamanya." Ia meletakkan pedang itu bersandar pada kursi.

"Begitukah? Meski bukan pemeran utama di pesta ini, tapi kamu menjadi peran utama di hidup ayah." Raja Whittaker merangkul pundaknya dari samping.

Sejak kecil Delphy sangat menyukai tangan ayahnya yang ada dipundaknya. "Apa yang ayah lakukan disini? Ayah harus hadir di pesta sampai akhir."

"Pesta sudah berakhir sejak tadi."

Delphy menoleh pada ayahnya, "Ayah bercanda?"

"Untuk apa ayah bercanda." Raja Whittaker menghadap pada hamparan bunga, "Memangnya apa yang kamu pikirkan sampai lupa waktu?"

Delphy menggeleng singkat, "Tidak ada, tadi aku hanya tertidur sebentar."

"Masuklah ke kamarmu dan tidur."

Delphy mengangguk pelan kemudian berdiri, "Ayah juga, jangan tidur terlalu larut."

"Jangan lupa untuk bermimpi indah." Percakapan singkat malam itu berkahir. "Putri mahkotaku."

Chapter 3

"Aku pergi dulu Lilian!!!" Dengan tergesa gesa Delphy berlari keluar kamar meninggalkan Lilian yang hanya menghela nafas melihat tuannya yang lagi lagi telat bangun bahkan hampir mengabaikan sarapannya jika saja Lilian tidak memarahinya. Para pelayan yang melihat Delphy berlari di lorong Istana pun sudah tidak heran lagi. Pasti bangun telat lagi. Pikir mereka.

Sesekali Delphy menyapa penjaga Istana yang hampir ditabraknya. Tak lupa juga meminta maaf pada pelayan Istana saat mengganggu pekerjaan mereka. Kebiasaan kebiasaan itu membuat para pekerja tidak pernah merasa kesal padanya. Selain karena mengetahui latar belakangnya juga karena Delphy yang selalu ramah pada para pekerja.

Pintu ruang kerjanya ia buka hingga menimbulkan bunyi benturan yang keras. "Maaf saya terlambat Komandan."

Disana seorang pria yang terlihat sebaya dengan Raja Whittaker berdiri di depan meja kerjanya. Pria yang dikenal dengan panggilan Komandan Claude "Kali ini hukuman apa yang harus saya berikan, Kapten Delphy?"

Delphy menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal kemudian berjalan ke meja kerjanya "Tidak ada. Anda tidak harus memberikan saya hukuman, karena hari ini akan sangat sibuk." Ia mengambil beberapa tumpukan kertas pada laci meja, terlihat seperti dokumen penting.

Setelah memeriksa dokumen yang ia ambil benar, Delphy menyerahkannya kepada Claude, "Perang sudah berakhir tiga minggu lalu, tapi bantuan untuk korban perang belum sepenuhnya tersalurkan."

"Beberapa orang yang ditugaskan bekerja terlalu lambat, tidak ada pilihan lain selain menyelesaikannya sendiri."

"Bahkan Ratu sudah memaksakan pesta." Delphy menghela nafas berat. "Aku akan pergi menemui mereka sendiri."

Komandan Claude tidak lagi melihat dokumen dokumen itu, perhatiannya kini kepada gadis yang ada di depannya. "Maksudmu? Kamu akan menemui keluarga korban sendiri?"

Delphy mengangguk tanpa ragu, "Tentu saja. Mereka keluarga korban prajuritku." Tatapannya kini menjadi serius, "Terutama mereka yang berada di reguku. Karena kapten mereka yang tidak becus ini, mereka harus menjadi korban."

"Komandan, setidaknya aku harus mengucapkan terimakasih sekaligus maafku secara langsung kepada mereka."

Claude terdiam beberapa saat. Mencoba memahami isi pikiran Delphy. Seorang keluarga kerajaan yang rela menemui rakyatnya secara langsung. "Aku masih tidak mengerti kenapa kamu mau melakukan ini."

"Hahahaha, tak usah terlalu dipikirkan Komandan, aku tidak ingin kerutan diwajahmu bertambah karenaku."

"Baiklah baiklah, aku akan mengirim dua prajurit untuk pergi bersamamu. Sejak dulu kamu tidak pernah berubah, selalu bertingkah semaunya tapi aku juga tidak bisa melarangmu. Karena....semua  yang kamu lakukan benar."

"Kalau begitu aku menemui ayah dulu, sepertinya saat ini ia sedang di meja kerjanya sambil mengumpatiku yang tidak kunjung menemuinya."

"Hei! Seharusnya sejak awal kamu menemuinya dulu dasar anak nakal!" Claude geram dengan tingkah Delphy. Raja harusnya lebih diutamakan dibanding dirinya.

"Hahahaha!! Kalau begitu aku pergi dulu."

Claude tersenyum melihat Delphy berjalan keluar ruangan. Rasanya bangga bisa ikut serta menyaksikan bagaimana Delphy tumbuh dewasa.

***

Delphy berdiri tanpa menatap mata ayahnya yang masih sibuk menceramahinya. Namun, setelah tau setiap nasihatnya tidak akan berguna, Raja Whittaker menghela nafas.

"Sepertinya ayah terlalu sering bersama dengan Komandan Claude. Kebiasaan ceramah kalian sama." Ucap Delphy sambil melihat keluar jendela. Sepertinya pemandangan di luar jendela lebih menarik daripada ayahnya saat ini.

Raja Whittaker memijit pelipisnya. "Baiklah, langsung saja ke intinya." Diberikannya Delphy secarik kertas yang berisikan sebuah surat. "Dua hari lagi kerajaan Ash-Shaif akan kemari, siapkan prajurit untuk mengawal mereka. Ini akan menjadi pertemuan penting, ayah harap kamu bisa memberikan yang terbaik untuk tugas ini."

Tidak ada jawaban dari Delphy, pikirannya masih mencoba mencerna setiap kalimat yang tertera pada surat. "Delphy." Panggilan dari Raja menyadarkannya kembali.

"Ayah yakin dengan ini?"

Bukannya menjawab, Raja malah balik bertanya, "Ada apa denganmu? Tidak biasanya meragukan tugas yang ayah berikan."

Delphy menggeleng singkat, "Tidak apa apa, aku akan mempersiapkan prajurit terbaik yang aku punya." Setelahnya Delphy pamit.

Tujuannya saat ini keluarga korban perang. Ia tidak ingin memikirkan apapun selain itu. Meski begitu, selama ia menyiapkan keperluan pribadinya ia masih saja tidak bisa fokus. Bahkan seorang prajurit yang membantunya berkali kali harus menegurnya.

"Siapkan saja kudaku di gerbang, aku akan menyusul saat siap." Perintah Delphy langsung dilaksanakan tanpa ada jawaban apapun selain baik kapten.

Delphy sibuk memilih pedangnya yang tersusun di dekat pintu. Ada lima pedang yang ia miliki untuk sehari harinya dan sepertinya ia sudah merasa bosan dengan model kelima pedang itu. Seharusnya ia membuat pedang baru dengan model yang lebih menarik atau sepertinya ia harus mencari pedang legenda Excalibur. Tapi tentu saja itu hal yang tidak mungkin. Pedang Excalibur hanya dongeng belaka dikalangan para ksatria.

Akhirnya ia mengambil pedang berwarna biru gelap dengan ukiran naga berwarna putih di sarungnya dan ukiran namanya pada gagang pedang. Pedang pertama yang ia minta sendiri modelnya tapi juga termasuk pedang terbaik yang ia miliki.

Setelah mengambil jubah dengan penutup kepala, Delphy berjalan menuju gerbang istana. Cuaca hari ini panas dan ia benci panas. Saat cuaca panas ia lebih suka berteduh di gazebo taman. Bahkan ia lebih sering bolos latihan. Sering kali ia salah tingkah karena merasa gerah.

Tak jarang ia jatuh sakit saat musim panas. Lilian bahkan menyiapkan air minum yang cukup banyak untuk dirinya.

Delphy menaiki kuda putihnya yang sudah menunggunya sejak tadi di gerbang. Kudanya ia pacu menuju rumah rumah yang tersusun rapih. Delphy turun dari kudanya saat tiba di pemukiman warga. Ia tidak ingin mengganggu dengan suara langkah kaki kuda. Kuda itu ia ikat di bawah pohon yang cukup rindang.

"Oh iya, aku belum mengetahui nama kalian." Delphy ingin sedikit ber basa basi dengan prajurit yang akan menemaninya.

"Saya Luwis, prajurit yang baru saja lulus di akhir perang." Prajurit dengan kacamata yang bertengger di hidungnya menjawab.

"Saya Terezla, prajurit baru di pasukan Komandan Claude." Kini prajurit dengan rambut yang tidak tertata rapih menyahut.

"Kalau begitu, perkenalkan, Saya Delphy Frostine Kapten regu khusus."

"Tanpa anda perlu memperekenalkan diri, semua orang sudah tau eksistensi anda di kerajaan ini Kapten." Luwis mengambil tas besar berisi bahan bahan makanan dari kereta kudanya.

Mereka berjalan menyusuri perumahan. Tak sedikit orang yang menatap mereka. Menatap Delphy lebih tepatnya. Setibanya di rumah pertama, Luwis dan Terezla menunggu di luar. Delphy masuk kedalam setelah seorang wanita mengizinkannya masuk.

"Saya Delphy. Kapten yang bertanggung jawab pada regu khusus. Regu dimana Weaver berada." Delphy memberikan sekantung bahan makanan dan beberapa koin emas kepada seorang wanita dihadapannya. Mereka kemudian duduk di kursi. "Disini, saya ingin berterimakasih secara langsung kepada kalian yang memberikan izin Weaver untuk menjadi prajurit. Sekaligus-"Belum sempat Delphy melanjutkan kalimatnya, Wanita itu berbicara.

"Saya yang seharusnya berterima kasih kepada anda Tuan Delphy." Wanita itu memegang kedua tangan Delphy dengan erat. "Walau menjadi prajurit membuatnya tewas di medan perang, tapi adik saya itu selalu bahagia saat bisa masuk dalam regu khusus."

Delphy terdiam mendengarkan setiap kata yang terlontar dari lawan bicaranya. "Setiap mendapatkan libur latihan atau tugas ia akan bercerita bagaimana hari harinya. Katanya, kapten regunya melatihnya dengan baik. Katanya, kapten regunya terlalu baik untuk melatih. Katanya, kapten regunya walau sering terlambat, membuat kekacauan, membuat komandan marah tapi ia selalu mengarahkan kami dengan baik. Setiap ia pulang hanya kapten regunya yang menjadi topik pembicaraan."

Ingatan Delphy melayang pada tiga tahun lalu, saat pertama kali ia menjadi kapten regu khusus. Dimana ia memilih sendiri setiap anggotanya. Bagaimana ia merasa takjub pada kemampuan Weaver saat itu. Laki laki yang sebaya dengan pangeran Blaze itu selalu marah padanya jika ia telat latihan.

"Saat tau regu khusus melakukan perekrutan ia berlatih dengan keras bahkan saat hari liburnya. Tak jarang juga hal itu membuatnya lupa beristirahat. Adik saya itu hanya ingin membuktikan jika rakyat jelata seperti kami bisa mengangkat derajat keluarganya. Ia ingin menjadi komandan pasukan. Walau keinginannya tidak terwujud tapi saya rasa ia sudah bahagia. Sejak kehilangan orang tua kami, ia tidak pernah sebahagia itu sebelumnya."

"Ia pamit ke medan perang dengan sepenuh hati. Namun bukan berkata aku pamit pergi ke medan perang kak, aku akan berjuang demi kerajaan ini ia malah berkata, aku pamit ke medan perang, aku akan berjuang membantu kaptenku meraih kemenangan."

Sebisa mungkin Delphy menahan tangisnya. Ia raih segelas air yang disuguhkan kemudian meminumnya dengan perlahan untuk menenangkan dirinya. "Weaver salah satu anggota terbaik di reguku. Pengorbanannya sangat pantas dihargai."

Wanita itu kemudian memberikan secarik kertas, "Dalam surat yang ia berikan kepadaku terdapat surat ini untuk anda."

Delphy mengambil surat itu kemudian pamit. "Masih banyak rumah yang harus saya kunjungi, jika tidak keberatan saya akan mampir lain waktu."

"Datanglah kapanpun anda mau."

"Ayo, kita ke rumah berikutnya." Ajak Delphy kepada Luwis dan Terezla.

Setiap rumah yang ia kunjungi terdapat cerita yang berbeda. Beberapa mengikhlaskan kepergian anggota keluarga mereka. Beberapa belum bisa mengikhlaskan dan menyalahkannya. Delphy tidak mempermasalahkan hal itu. Ia tau resikonya, ia tau apa yang harus ia hadapi, dan ia tau persis tanggung jawabnya.

Hari sudah malam saat mereka selesai. Delphy menyuruh kedua prajuritnya kembali ke istana lebih dulu. Sedangkan ia memasuki sebuah kedai teh. Ditemani secangkir teh chamomile dan sepotong kue dengan hiasan stroberi diatasnya. Ia tidak ingin mabuk malam ini atau kepalanya akan sakit saat bangun besok pagi. Ia membaca surat dari Weaver.

Untuk Kapten Delphy

Selamat atas kemenangannya!!!

Aku tau itu akan terjadi karena aku selalu berada di sampingmu. Tapi aku minta maaf tidak bisa menemani perjalananmu selanjutnya. Kamu adalah kapten terbaik. Omong omong karena kapten selalu mengizinkan berbicara santai, menulis surat ini terasa nyaman.

Ini pertama kalinya aku menulis surat untuk orang lain selain keluargaku. Tapi kapten selalu bilang kita adalah keluarga. Terimakasih sudah mau menjadi keluargaku. Hari hariku terasa menyenangkan bersama mu.

Awalnya aku merasa aneh saat tertarik padamu, tapi akhirnya aku sadar. Kaptenku bukan seorang laki laki tegas melainkan hanya seorang gadis yang berusaha tegar. Karena itu, aku ingin selalu bersamamu. Karena kamu orang yang hebat Kapten, aku ingin menjadi sepertimu.

Maaf aku tau rahasia terbesarmu, aku menyadarinya dari setiap tingkahmu karena aku mempunyai kakak perempuan yang sifatnya mirip denganmu. Aku juga pernah tidak sengaja mendengar percakapanmu dengan Pangeran Blaze. Sepertinya kapten dekat sekali dengannya.

Jika aku selamat dari medan perang mungkin aku akan nekat melamarmu hahahaha. Walau aku tau itu hal yang tidak mungkin. Kamu seorang kapten dan aku bawahanmu. Cinta terhalang kasta sepertinya hahahaha. Walau aku penasaran apa yang membuatmu harus menyamar sebagai laki laki.

Terimakasih sudah membuat hariku lebih berwarna dengan senyummu, dengan tawamu, dengan suaramu yang selalu kamu buat seberat mungkin. Jangan lupa untuk makan tepat waktu, jangan bangun kesiangan, berhentilah membuat Komandan Claude marah. Meski beberapa prajurit tidak menyukaimu, tapi percayalah anggota regumu sangat setia padamu.

Kurasa sudah cukup surat dariku. Jika aku mengutarakan semua isi hatiku mungkin seluruh kertas di dunia ini tidak akan cukup. Tapi surat ini sudah mewakilkan seluruh isi hatiku.

Tolong jangan lupakan aku.

Anggota Regumu, Weaver

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!