NovelToon NovelToon

Kupinang Senja

1. The Pain

"Diskon 60%"

Biasanya jika sakit hati, maka orang-orang normal lainnya akan mengunci diri dikamar, atau setidaknya mencari banyak kesibukan agar tidak menangis hingga berlarut-larut. Atau ada juga tipikal gadis yang hanya akan meratapi nasib dan menyesal sampai kesal sendiri. Seharusnya begitu.

Namun, nyatanya itu tidak berlaku untuk gadis serampangan putri bungsu Daymion yang lebih memilih untuk menghabiskan waktunya disebuah pusat perbelanjaan. Memilih baju sepuasnya lalu makan makanan kesukaannya hingga perutnya mungkin akan meledak jika ia tidak teringat ia harus menjaga berat badannya agar tetap ideal meskipun ia hari ini makan tidak teratur.

Jika hanya makan satu jenis makanan junkfood, itu tentu bukan menjadi masalah, hanya saja sekarang sudah ada yang datang lagi dari waitress berseragam abu-abu itu, sebuah piring lebar berisi spagethi pedas yang sengaja ia pesan setelah ia memakan dua potong pizza keju super besar.

Entahlah, itulah Leora Daymion. Sebenarnya ada lagi kepanjangan namanya, tapi gadis dengan surai legam sebawah bahu itu selalu menyingkatnya dengan menyebutkan pada kartu namanya; Leora A. Daymion.

'A' dalam namanya adalah aksara dengan 3 suku kata pemberian ayahnya, kata kakaknya begitu. Athena, dewi perang yang tidak suka berperang, tetapi memiliki jutaan strategi untuk memenangkan peperangan meski dalam diam. Dan mungkin saja itulah yang membuat Leora sekarang memilih menjadi seorang pengacara.

Baru setahun Leora menyandang diri sebagai seorang pengacara, tetapi sepertinya baru saja ia semangat, ia harus dipatahkan harapan hidupnya. Pacarnya itu memutuskan mengakhiri hubungan bahkan hanya lewat telepon. Sudah berulang kali Leora katakan bahwa ia tidak bisa hubungan jarak jauh. Ia bisa hingga bertahan 3 tahun juga karena ia memaksakan hatinya agar jatuh cinta. Cinta pada seorang pria yang merangkap dua peran sekaligus dalam hidupnya, sebagai seorang CEO muda, juga seorang mahasiswa pascasarjana untuk jurusan bisnis internasionalnya.

"Kau dimana?"

Suara pengang yang dari ponselnya membuatnya menjadi malas melakukan apapun, serius Leora tak bohong.

Leora dengan malas mengangkat teleponnya, dan gilanya ia membuatnya menjadi seperti siaran disebuah kedai makan yang ada disebuah mall, karena ia menyalakan loudspeaker-nya, bahkan menyetelnya dilevel suara yang membuat orang disebelahnya menoleh dengan tatapan heran. Mungkin dalam kepalanya; gadis gila mana yang menelfon ditempat umum dengan pengeras suara dinyalakan.

"Aku sedang diatas awan, kak," sahut Leora seadanya.

Mulutnya memang terkadang menyebalkan sekali. Untung saja yang menelponnya bukan ayahnya, karena jika ayahnya yang menelpon, pasti dia hanya akan menanyakan perihal keberadaannya dan kenapa hari ini ia tidak hadir di firma hukum yang sedang riweh dengan kasus perceraian dimana sang wanita tidak mau melepas salah satu hak asuh anaknya hanya karena alasan klasik tidak mau berjauhan.

"Pulanglah, aku tahu kau tidak datang ke kantor. Aletha yang mengatakannya,"

Benar, itu adalah kakak perempuannya, namanya Leona Antheia Daymion, seorang istri yang baik dari seorang suami yang bekerja sebagai seorang Bankir senior, Dion Selatan.

"Ah anak itu, mulutnya tidak bisa dipercaya," gumam Leora dan jelas dibalik teleponnya Leona masih mendengarnya.

"Jangan salahkan Aletha, aku yang mendesaknya agar berbicara."

Leora berdecak sebal. Ah ya, jangan lupakan bahwa kakaknya adalah salah satu penggertak paling ulung, tidak heran jika ia sampai membuat Aletha si penjaga rahasia terbaik itu buka mulut dan mengatakan kebenaran tentang dirinya yang memang tidak datang kekantor hari ini.

"Aku pulang, tunggulah."

Setelahnya, Leora mematikan sambungan teleponnya. Muak. Menyebalkan saat sudah dewasa tetapi masih diperlakukan seperti seorang bocah yang bahkan belum bisa mengelap ingusnya sendiri. Padahal Leora sudah pandai mencari uang dan menghabiskannya dengan sukarela.

"Ah! Sialan! Boros sekali hari ini. Dimas memang anak ibl-"

"Tidak boleh mengumpat! Ayolah mulut baik, harusnya berbicara yang manis-manis saja."

Leora mengutuk mulutnya sendiri. Ia lupa bahwa ayahnya menyuruhnya agar tidak selalu mengumpat. Ayahnya mengatakan padanya bahwa seorang pengacara harus memiliki tingkat kesabaran yang luar biasa, dan Leora harus diuji dengan tidak mengumpat, ayahnya hanya mengijinkannya mengumpat maksimal 2 kali sehari. Jika lebih dari itu, maka ayahnya akan memberlakukan denda dengan harus membelikannya sebungkus martabak manis yang ada kacang dan coklat didalamnya.

...****************...

Perjalanan pulang yang memang tidak membutuhkan waktu yang lama, Leora akhirnya turun dari taksi dengan membawa hampir 10 tas belanjaan yang berisi pakaian baru semua. Leora sudah mengatakan tadi bahwa ia berbelanja, dan diskonnya sedang gila-gilaan.

Leora sengaja tidak membawa mobilnya sendiri karena ia sudah berniat untuk tidak berangkat kekantor hari ini. Ia tidak dalam mood baik untuk pekerjaannya, setelah ia tidak sama sekali mendapat pesan apapun dari pria yang mengakhiri hubungannya hanya lewat telepon singkat. Pria gila, iya kan?!

Sungguhan jika ia tidak teringat bahwa ia harus menjaga mulut, mungkin ia akan dengan senang hati mengumpat lagi. Hobinya mengumpat tapi takut jika diminta ayahnya membelikan martabak manis yang harganya diatas 100 ribu karena dibeli di sebuah kedai elit yang sialannya dekat dengan kantornya. Kantor dimana ia dan ayahnya bekerja, walaupun berbeda ruangan.

"Aku pulang, kak..."

Leora tidak mengetuk pintu, langsung masuk saja bahkan dengan wajahnya yang dilipat masam. Iya, lupa mengatakan bahwa Leora sedikitnya memiliki kebiasaan menyebalkan yaitu tidak mengetuk pintu sebelum masuk. Leona tidak kurang ribuan kali mengatakan pada adik kesayangannya untuk sedikitnya bersikap sopanlah walaupun dirumah sendiri. Namun, alhasil selalu yang Leona katakan hanya berbuah sahutan Leora yang membuat telinganya panas. "Aku akan menjadi anak manis dirumah orang."

Rumah yang tidak bisa dikatakan sederhana. Rumah besar dengan aksen italik bercat putih. Interior klasik yang modern, bagaimana ya menyebutkannya, tapi Leora memang lahir dari kalangan elit yang memang tidak pernah kesulitan fasilitas semenjak kecil. Tidak pernah kekurangan dan selalu hidup dari suapan sendok emas. Dengan dirinya yang seorang bungsu, membuatnya menjadi kesayangan hingga rasanya ia selalu bosan saat ditelepon untuk pulang dari acara reuni padahal jam dinding besar diruang tamu itu masih menunjukkan pukul 7 malam.

"Ayah menanyakanmu sejak pagi. Kau gila tidak ke kantor?" tanya Leona dengan nada bicara yang menaik, memojokan dan seolah sedang menanyai seorang kriminal.

Leona hobi sekali menginterogasi setelah keahliannya menggertak orang. Leora sudah biasa dengan sifat bawaan kakaknya itu. Dengan selisih 7 tahun membuat Leona memang jauh lebih dewasa dari Leora. Entah untuk sisi mental maupun logikanya. Jauh berbeda dan tak jarang ayahnya dibuat pusing dengan perdebatan dua putrinya yang memang jarang sekali akur dalam artian selalu mempermasalahkan hal sepele sekalipun. Seperti jika tidak ribut dalam sehari, akan ada yang kurang dalam hidup mereka.

"Aku hanya menghibur diri," ujar Leora sembari mendudukkan diri disalah satu sofa dimana disana Leona sedang menidurkan anaknya yang masih berumur satu tahun.  Melepas kaus kakinya, sembari meletakkan dua tas belanjaan berisi baju diskonan.

"Kak, untuk Owe. Aku membeli banyak karena diskon."

Owe adalah panggilan untuk keponakannya yang sebenarnya memiliki nama yang tak kalah cantik dari tantenya; Chloe Daymion. Bocah kecil manis yang selalu membuat malamnya tidak pernah tidur dengan nyenyak.

"Kapan kau bisa dewasa jika terus seperti ini?" ucap Leona tanpa menoleh. Ia hanya mengusap-usap punggung anaknya tanpa menghiraukan Leora yang mungkin tidak mendengarkannya. Jujur saja ia sangat ingin mengatakan bahwa setidaknya jika Leora belum ingin menikah, maka dia harus belajar dewasa.

"Ayah mengatakan kau putus dengan Dimas?" ujar Leona yang mampu membuat langkah Leora berhenti ditempatnya.

Leora menghela napas panjangnya, itu benar. Tapi, darimana ayah tahu?

"Dia yang mengakhirinya kak, aku tidak mau mempertahankan hubungan yang bahkan sudah tidak dia inginkan," sahut Leora menggunakan logikanya, walaupun dalam hatinya masih ada rasa tidak terima jika apa yang sedari dulu dipertahankan malah berakhir terhempas tanpa perasaan.

Cintanya tidak main-main, tetapi pria itu membuatnya seperti hanyalah hal tak berguna layaknya remahan keripik kentang. Begitu enteng saat mengatakan mengakhirinya seperti apa yang dikatakannya bukan sebuah hal besar. Padahal jelas itu melukai hati Leora kelewat dalam.

"Bukankah dia yang awalnya mengatakan akan mempertahankam hubungannya denganmu walaupun jarak jauh?" tanya Leona yang memang setahunya seperti itu. Itu yang Leora katakan saat mengantar Dimas di bandara 3 tahun yang lalu.

Dulu Dimas yang bersikeras mempertahankannya saat Leora mengatakan bahwa ia tidak bisa menjalani hubungan jarak jauh. Jelas karena Leora beralasan minimnya pertemuan dan jarak yang terlalu jauh. Mungkin jika hanya dari Kebayoran Lama ke Bogor, itu masih bisa ditoleransi. Namun, Leora ada di Jakarta dan Dimas di Amerika, New York tepatnya. Dan terbukti sekarang hasilnya tidak sesuai janji yang Dimas katakan. Dimas sendiri yang mengakhirinya disaat Leora mulai terbiasa dan tidak berbebani dengan hubungan jarak jauhnya.

"Manusia memang cepat sekali berubah. Jangan buat janji mereka sebagai harapan, karena kadang kekecewaan hadir bahkan pada harap yang semula tak ada."

Setelah mengatakan itu, Leora melanjutkan langkahnya menuju kamarnya yang ada dilantai dua rumahnya. Tidak lagi menghirau pada apa yang kakaknya katakan walaupun ia masih bisa mendengarnya.

"Kau membuat masalah? Leor- adik laknat! Kenapa meninggalkan orang yang sedang berbicara denganmu!" sentak Leona yang menyadari bahwa Leora sudah tidak ada dibelakangnya. Ia berbicara sendiri dan ia hampir saja berteriak mengumpat jika tidak teringat betapa susahnya menidurkan Chloe.

...****************...

Leora akhirnya bertemu kasurnya lagi, sudah rindu sekali setelah seharian ini menguras saldo debitnya. Ia tidak sedang memanjakan dirinya, tetapi ia memang membutuhkan pelampiasannya. Ia sedikit membenci hidupnya hari ini, terutama pria yang sedari tadi ia umpati dalam benak ratusan kali dengan mengabsen keseluruhan penghuni kebun binatang.

"Kukira mulutmu bisa dipercaya, tapi nyatanya kau sama saja," gumam Leora, suaranya lirih sendu bersaing dengan deru dari pendingin ruangan yang dirasa semakin menginvasi seluruh ruangannya yang memang sesepi ini jika Leora tidak menyalakan musik dalam ponselnya.

Leora mengambil headsetnya, ia biasanya akan menyetel dengan volume keras di speaker blutooth-nya, tapi hari ini ia ingin telinganya saja yang mendengar. Ia sedang pelit karena tidak mengijinkan ikan peliharaan didalam akuarium itu mendengarkan apa yang sedang ia dengar.

Matanya memejam tenang, dengan alunan musik yang bisa membuatnya sedikit merasakan kedamaian dalam dirinya. Bukan kedamaian dalam artian ia ingin tenang selamanya, tetapi setidaknya ia tidak terus terbayang wajah pria itu yang terus saja menari dalam manik sehitam jelaga miliknya.

"Dunia itu menggemaskan, ada kalanya hari kemarin kau adalah manusia paling bahagia, tetapi hari ini kau adalah manusia paling menyedihkan. Terbiasalah untuk hal seperti ini lain kali, buatlah dirimu terbiasa, meski itu menyakitkan, Leora! Ingat itu!" peringat Leora pada dirinya sendiri yang membuat kamarnya menjadi berisik meskipun dia hanya seorang diri disana.

Leora meneruskan pejaman mata itu hingga tak sadar ia benar-benar terlelap dengan keadaan belum mandi, bahkan belum sama sekali menyentuh air untuk setidaknya mencuci kaki atau membasuh muka. Kebiasaan!

[]

2. Hurt So Good

"Bersama luka aku terus berjalan, untuk melupakan sayatan sialan yang pernah kau torehkan."

......................

"Leora! Kau didalam! Hey, kau tidak minum racun, kan?!"

Berkali-kali telinga pemilik kamar rasanya tersentak untuk bangun dari kematiannya. Tidak, Leora sebenarnya hanya terlalu menyebalkan karena ia malah tertidur hingga malam setelah pulang dari perjalanannya menghabiskan saldo debitnya.

Leona berterimakasih untuk baju Chloe yang Leora belikan. Adiknya memang serampangan, tapi ia bisa menjadi gulali pada saat-saat tertentu, termasuk juga tidak membuat Leora berubah saat Leona tahu bahwa adiknya baru saja patah hati.

Leora tak akan mungkin minum racun, itu fakta telak sebenarnya. Namun, Leona tahu bahwa adiknya tak akan bangun jika hanya dibangunkan dengan tepukan lembut, apalagi sekarang pintunya terkunci dari dalam. Membuat Leona yang semula tidak memiliki pikiran negatif apapun menjadi curiga setengah sadar pada adiknya. Leora juga manusia soalnya, bisa saja ada iblis yang menyusup kedalam pikirannya dan menyuruhnya untuk melukai diri sendiri karena patah hati. Bisa saja, kan?

"Leora! Ayah menunggumu!" teriak Leona lagi, sudah tidak sabar sekali, adiknya memang sialan!

Hari ini ayah pulang dengan raut masamnya, tidak tahu apa penyebabnya, tetapi sedetik setelah bokongnya menempel pada sofa dengan selesah nyaman, ayah langsung mengucap satu kata, nama anak bungsunya yang membuat banyak masalah hari ini.

Leona sebenarnya manusia yang tidak hobi mencari masalah, tidak suka juga mencari perkara, termasuk dengan ayahnya dan adiknya. Untuk ayahnya memang Leona tak pernah mau mencari masalah, itulah sebabnya Leona langsung saja naik keatas dan membangunkan adiknya tanpa bantahan saat ayahnya mengatakan ingin berbicara dengan Leora. Namun, biarlah kali ini Leona mencari masalah dengan adiknya, tidak bisa dibiarkan jika adiknya terus-terusan membuatnya sebagai sasaran empuk raut masam sang ayah.

Menghitung jari, dari satu hingga enam puluh sebanyak dua kali. Meredam kesabarannya sendiri hingga akhirnya saat hitungan satu pada kali ketiga, pintu itu terbuka dan memunculkan sesosok manusia dengan surai yang berantakan sekali.

Kemeja kerja yang sudah terbuka kancingnya sebanyak dua pada kancing teratas. Mata sayu yang menyebalkan karena terlihat masih mengantuk, ditambah bibir merahnya yang warnanya sudah belepotan kemana-mana.

Serius, Leona sampai bingung sendiri, adiknya habis tidur atau habis baku hantam dengan kucing?

"Ada apa kak? Berisik sekali!" eluh Leora dengan suara malasnya.

Leora mengusak kelopak yang berkali-kali mengerjap pelan, ingin pergi tidur lagi karena belum puas. Masih ingin berbaring, dan memejam, lalu bermimpi indah menjadi seorang putri dari kerajaan. Tapi sayangnya tadi ia sama sekali tidak bermimpi, menyebalkan memang.

Leona menghela napasnya setelah menariknya panjang sekali, menyiratkan bahwa ia sebenarnya sudah sabar sekali sedari tadi, menghadapi Leora sebenarnya sama saja sedang uji kesabaran sudah sejauh mana imannya pada Tuhan. Karena bahkan kalau Leona tidak teringat Tuhan, ia sudah mendobrak pintu itu dengan amarah yang membuncah.

"Ayah menanyakanmu. Lain kali jangan membuat masalah, aku tak ingin rumah ini seperti kutub selatan," ujar Leona dan wajahnya terlihat menahan kesal.

Setelahnya Leona langsung berlalu saja karena mendengar Chloe yang menangis karena tadi ia tinggal dikamar sendirian.

Mengembuskan napas jengah, dua kali matanya memutar sangat tidak berminat. Leora inginnya pergi ke dunia mimpi saja, tapi ia tahu bahwa mengabaikan ayahnya sama saja mencari gerbang masalah baru.

"Ah, pasti ayah akan membahas si ib-em maksudku mantan siala-em tidak, maksudku Dimas."

......................

Diruang keluarga. Duduk berhadapan dengan kaki menyilang seolah memang Leora sangat tidak peduli akan apa yang dikatakan oleh ayahnya. Ia tidak peduli apa yang akan membuat telinganya sebentar lagi memanas karena mendengar ayahnya membicarakan pria yang sedang sangat ingin ia lupakan dalam hidupnya. Secara kasarnya, jika hanya dengan menubrukkan kepala ke tembok bisa membuatnya hilang ingatan, maka Leora sudah melakukannya semenjak malam tadi, tanpa menunda.

Sedangkan masih dengan sirat tenangnya, seperti biasanya, tetapi malam ini terlihat berbeda. Ada benang ketidaksukaan yang terjalin diantara dua tatap yang saling menusuk dalam hening.

Itu ayahnya, sungguhan Leora hanya ingin dirinya tenang malam ini, cukup dengan tidak ada yang menganggunya sampai besok pagi agar ia bisa beraktivitas seperti biasa setelah patah hati kelewat dalam. Mengerikan saat bisa berpura-pura baik-baik saja disaat hatinya remuk redam. Nyatanya, Leora bukan seorang penderita Alexithymia. Leora belum selihai itu menyembunyikan perasaannya. Apalagi jika sedang hancur seperti ini.

Berteman dua cangkir berisi air hangat yang sudah terkontaminasi teh herbal tanpa gula itu, ayahnya berkali-kali menghela napas panjang sambil mencoba menelaah putri bungsunya. Apa yang terjadi hingga membuat hubungan putrinya yang semula sangat baik-baik saja mendadak hancur dan ia baru tahu siang tadi saat Leona, putri sulungnya menelfonnya dan memberitahu semuanya.

Asap mengepul keudara dari lubang cangkir yang menandakan bahwa yang ada didalamnya adalah cairan panas yang bisa membakar tenggorokan bila dipaksa untuk disesap. Namun, tidak dengan Leora yang mencoba membuat bibirnya matang dengan menyeruputnya sedikit demi sedikit sebanyak 3 kali sebelum meletakkannya kembali diatas tatakannya.

"Apa yang ingin ayah tanyakan padaku?" celetuk Leora membuka percakapan.

Mungkin jika Leora tidak memulainya, keheningan ini bisa saja berlanjut hingga pagi esok. Leora paham betul ayahnya yang tak akan mulai berbicara sebelum anaknya mengakui kesalahannya, tapi untuk kali ini Leora memulai pembicaraan bukan karena mengakui kesalahan. Leora tidak merasa salah dan ia tidak perlu meminta maaf jika pun ayahnya memintanya.

Ayahnya masih diam saja, tidak pun menyentuh sedikitpun cangkir yang bertenggeng diatas meja rendahnya. Benar-benar siratnya seperti akan mencecarnya dengan kemarahan, meskipun Leora juga tahu bahwa ayahnya tidak akan pernah memarahinya dengan kata-kata yang tidak semestinya. Leora berani taruhan untuk itu.

"Jika tidak ada yang perlu dibicarakan aku akan tidur lagi, yah. Lelah sekali."

Leora lalu beranjak dari duduknya, bersiap melangkah untuk menuju ujung tangga, dia tidak berbohong saat mengatakan bahwa ia akan melanjutkan tidur. Leora tidak peduli makan malam karena perutnya masih penuh dan ia juga sama sekali tidak berminat untuk menyentuh makanan malam ini.

Tepat satu langkah kakinya mengayun, Leora harus menghentikannya dengan paksa karena ayahnya sudah bersuara. Leora mana bisa membantah, ia adalah anak yang patuh walaupun kadang sering sekali menjadi si keras kepala.

"Duduk, Leora." Ayahnya dan segala yang selalu Leora dapatkan saat akan mendapatkan cecaran, entah sebuah kenyataan atau sebuah tuduhan. Tapi tebakan Leora kali ini hanyalah ayahnya ingin menanyainya, tentu saja perihal mantan kekasihnya.

Tidak mengudarakan bantahan, apalagi sebuah penolakan. Hanyalah sebuah semburan napas lembut tapi panjang yang menjadi jawaban dan akhirnya Leora kembali mendudukkan dirinya di sofa seperti sebelum ia bangkit.

"Tidak bisakah menjadi sopan sedikit? Kamu sudah ayah sekolahkan tinggi-tinggi kenapa masih tidak bisa menghargai orang lain?" ucap ayahnya. Leora yang mendengarnya jelas menjadi bingung sendiri. Ini bukan topik awal yang menjadi tebakannya. Sangat jauh melenceng hingga Leora berpikir mungkin ayahnya kelelahan dan butuh banyak sekali istirahat.

"Ayah, apa aku melanggar aturan?" tanya Leora lugas, ia tidak mengerti akan bermuara kemana percakapan yang aneh ini. Sungguh, pada bagian mana ia melanggar aturan, pun ia sendiri tak tahu.

"Hilangkanlah kebiasaan meninggalkan orang lain saat akan bicara, kamu seperti ini terus apa menurutmu akan membuatmu menjadi keren?" ucap ayahnya lagi.

Leora semakin tidak mengerti. Apa tadi ia yang salah bertindak? Ayahnya diam saja sedari tadi dan Leora hanya mencoba untuk membuat semuanya selesai. Ia tidak akan meninggalkan seseorang manapun jika sedang berbicara padanya, alasan ia berniat akan pergi adalah karena ayahnya terus diam saja.

"Apa ay- ak-" Leora terbata, kelu sekali, padahal ia tidak sedang gugup. Namun, tatapan sang ayah berhasil mrmbuatnya tersudut. Bahkan tanpa kata pun Leora tahu bahwa yang akan dibahas memang bukan hal ini. Ini hanya sebuah awal untuk Leora menerima sebuah penghakiman.

"Apa masalahmu dengan Dimas? Kamu mengakhirinya?" tanya ayahnya.

Dari suaranya jelas Leora merasa sedang diinterogasi, ayahnya ingin tahu lebih banyak tetapi saat Leora mendengar ada sebuah ketimpangan kebenaran pada kalimat sang ayah, Leora langsung angkat bicara. Ia mana terima saat ia yang menjadi korban, malah ia yang berakhir menjadi seorang terdakwa dimata sang ayah.

Leora mengernyit bingung, alisnya hampir menyatu sangking dirinya tidak mengerti. Aneh rasanya saat disebut sebagai seseorang yang telah menyakiti saat dirinya lah yang terang-terangan tersakiti kelewat dalam.

"Ayah, bukan aku yang mengakhirinya, apa Dimas menelfon ayah dan mengatakan semua itu?" ujar Leora, ia juga ingin tahu, jika benar Dimas menelfon ayahnya dan mengatakan semua itu, maka Leora jadi semakin yakin bahwa Dimas memang tidaklah lebih dari seorang pengecut sialan.

Ayahnya hanya mengedikkan bahu sebagai tanggapan, Leora sampai tak habis pikir dengan apa yang sekarang terjadi padanya. Ayahnya ingin tahu, tapi ayahnya menutup mata dan telinga, tidak mau mendengar, apalagi sok mau menyaksikan. Dan sekali lagi, ayahnya membuat Leora seperti terpojokkan kembali dengan membuat percakapannya berakhir dengan sebuah pertanyaan yang tak bisa langsung Leora jawab karena itu terlalu abu-abu.

"Ayah mana tahu, selesaikan semuanya dan kembalilah seperti semula. Ayah tak ingin menanggung resiko besar dengan keputusan yang kamu ambil karena emosi sesaat."

Benar setelah itu ayahnya hanya melenggang, meninggalkan Leora dengan segala gundah dan geramnya. Memendam ribuan kesumat untuk Dimas si licik yang ia pun belum tahu kebenaran apakah Dimas menelfon ayahnya atau tidak karena apa yang dikatakan ayahnya tadi terdengar sangat rancu dan menimbulkan banyak sekali duga yang sekarang menghuni isi kepala Leora.

Emosi sesaat katanya?

Menyeringai manis. Rasa-rasanya Leora ingin menertawakan dirinya sendiri dan takdirnya yang lucu ini. Bagaimana bisa sekarang Leora harus dibuat kesal setelah sebelumnya dibuat berang. Selain cintanya yang dipermainkan, ternyata emosinya juga dijadikan opera sabun.

Semesta memang selalu membuatnya berpikir, sebenarnya akan sejauh mana semesta mengujinya dengan kisah cintanya yang selalu tak benar. Jika saat pertama kali berpacaran Leora harus berakhir karena sebuah keposesifan yang Leora benci, maka kali ini dengan begitu sialannya hubungannya berakhir hanya oleh kata selugas 'jarak'.

Leora memang tak salah dari awal dengan memusuhi jarak, tapi ironisnya ia malah dungu menerima permintaan Dimas yang ternyata tak pernah bisa dipegang janji-janjinya.

Lucu sekali saat Leora mengingat bahwa jarak adalah pemisah yang nyata, dan Leora juga tak kalah keras menertawakan betapa ayahnya yang kerap memihak Dimas karena belum tahu apapun tentang putra mayor itu.

"Dimas tidak sebaik itu, yah..." batin Leora berbisik pada dirinya sendiri. Berisik sekali sampai Leora lupa bahwa ia sebelumnya sedang mengantuk.

Ternyata memang seindah itu koyakan sebuah luka, dan Leora harus tetap hidup kala semesta malah menghakiminya hanya karena ia membela diri demi kesehatan hatinya. Juga menyelamatkan kewarasan isi kepalanya dari hubungannya dengan mantan kekasihnya yang sudah mengkhianatinya.

[]

3. You didnt know anything

"Semahal apapun sebuah harapan, tak akan pernah bisa membayar lunas sebuah kekecewaan."

......................

Malam adalah teman yang paling setia. Dia tak akan pernah menghakimimu walaupun dia sudah pengang mendengarkan seluruh ocehan malammu yang kau suarakan dalam hening sunyinya. Nyatanya, Leora hanya ingin dirinya tidur, tetapi jangankan untuk tertidur, memejam pun ia rasa sudah sangat kesusahan.

Leora tak peduli pun jika ada yang menganggapnya berlebihan mendeskripsikan rasa apa yang tengah ia sendiri rasakan sejauh ini, karena nyatanya seperti itulah yang tubuhnya rasakan. Reaksi yang kurang lebih wajar saat pikiran sedang membludak. Dalam konteksnya Leora jelas sedang patah hati, pun sebenarnya Leora juga tidak menyangka efeknya akan seperti ini. Ia pernah putus cinta, tapi tidak separah ini. Leora sampai berpikir ribuan kali tentang ada apa dengan hatinya? Benarkan ia mencintai Dimas sebegitu dalamnya?

Hubungannya dengan Dimas memang sudah lama terjalin. Bersama kisah yang manis untuk sepasang kekasih yang katanya saling mencintai tanpa peduli bagaimana dulu mereka dipertemukan. Pada intinya mereka pernah bahagia karena saling menggenggam satu sama lain. Saling ada dan saling menghargai. Mencoba saling mengerti dan saling memahami. Bukankah sebuah hubungan tak akan pernah bisa berjalan saat pondasi kepercayaan sudah dihancurkan dari satu pihak?

Semahal apapun harapan setelah sebuah kekecewaan tertelan paksa, nyatanya tak akan pernah cukup membayar lunas sebuah luka yang tergoreskan. Setelahnya pernah bahagia, dan pada akhirnya Leora kembali kecewa.

Kelopak indahnya mengedip beberapa kali, menerawang pada pekatnya langit yang berbintang. Menghitung bintang sampai mengantuk adalah hal yang selalu Leora lakukan saat sedang memikirkan hidupnya. Sambil berpikir perihal kenapa semesta selalu mudah sekali membuatnya hancur dan patah berkali-kali.

Menghela napas, merentangkan kedua lengannya, berharap ia akan bisa bernapas lega setelah mencoba berdamai dengan kenyataan. Leora meyakini bahwa hal paling masuk akal agar dirinya tidak melakukan hal konyol setelah patah hati adalah dengan berdamai dengan keadaan dan kenyataan yang ada. Rasanya akan percuma sekali memberontak saat semesta saja tidak mendengarkan rengekannya.

Balkon yang semula selalu sepi, sekarang menjadi tempat paling nyaman bagi Leora mendengarkan musik sambil membaca buku-buku yang berkaitan dengan pekerjaannya. Mendalami kajian-kajian kasus pengadilan yang terjadi akhir-akhir ini.

Entahlah, Leora lebih memilih untuk membaca kertas-kertas itu daripada sebuah novel. Alasan kuatnya adalah karena Leora tidak ingin membuat dirinya mengharap-harapkan hal yang hanya terjadi dalam sebuah fiksi. Kisah cinta romantis dengan romansa indahnya yang selalu berakhir bahagia.

Persetan dengan bahagia, padahal Cinderella saja berakhir bercerai dengan pangeran yang katanya sangat mencintainya.

Kumpulan-kumpulan kenyataan yang mengepal dalam kepala, pada akhirnya membuat Leora rasanya ingin cuti dulu dari peradaban dunia, tapi nyatanya Tuhan tidak memberlakukan fase kehidupan seperti itu.

Hidup itu layaknya mengayuh sebuah sepeda, jika berhenti maka berakhir jatuh. Ayuhlah sebisanya, pelan pun tidak masalah asal jangan berhenti. Leora percaya ini hanyalah masalah waktu, perlu sedikit waktu lagi untuk menyembuhkan hatinya, kendati ia juga meyakini bahwa tak ada luka yang benar-benar sembuh. Mungkin sakitnya sudah berkurang, tapi bisakah menjamin bekasnya akan memudar?

Ditengah hitungan keseratus pada bintang diujung selatan yang sendirian, Leora mendapati ponselnya bergetar dan memunculkan sebuah gelembung pesan yang ternyata dari Aletha, temannya yang tidak ia hubungi selama seharian ini. Sedang malas berurusan dengan siapapun, termasuk orang terdekat sekalipun.

Sudah dikata Leora sebenarnya ingin cuti saja!

...Dari; Aletha...

...Kau sedang ingin cuti hidup? Lagi?...

Menarik oksigen untuk mengisi paru-parunya yang terasa sesak sekali, rasanya seperti kadar oksigen benar-benar menyusut dengan tidak semestinya. Membaca pesan Aletha mengingatkannya pada saat dimana dirinya pertama kali menerima Dimas sebagai kekasihnya, tepatnya 5 tahun yang lalu. Disebuah kafe yang menjadi tempat favoritnya hingga hari ini.

Nyatanya Leora tidak memiliki banyak sahabat. Teman yang hanya sekedar teman dan tahu nama dan hanya membahas perihal pekerjaan, ia punya banyak. Namun, yang benar-benar mengerti dirinya luar dalam hanya satu orang, yaitu Aletha. Aletha adalah teman yang semula adalah saingannya dalam hal prestasi semenjak masih sekolah menengah, dan semuanya berubah saat ternyata mereka mendaftar diperguruan tinggi yang sama dan fakultas yang sama; ilmu hukum.

Meskipun jemarinya gatal sekali ingin membalas, tapi ia berakhir kembali meletakkan ponselnya diatas meja kecil dimana disana laptopnya juga sedang menyala. Banyak sekali pekerjaan yang terbengkalai satu hari tadi, dan ia harus bertanggung jawab untuk diselesaikan malam ini.

Baru saja jemarinya mengapit sebuah ballpen untuk mulai mengerjakan tugasnya yang menggunung minta diselesaikan, satu kali getaran kembali mengusik atensinya. Jika saja itu Aletha, maka sudah dipastikan Leora akan mengabaikannya lagi dan akan berbicara saja esok hari secara tatap hadap. Karena selalu saja Leora merasa tidak puas saat Leora bercerita hanya lewat ponsel, tidak gamblang dan masih mengganjal saja perasaannya. Namun, yang tampil pada jendela pesannya adalah sebuah nama yang sedang menjadi topik hangat beberapa hari terakhir ini.

Tahu? Leora jadi ingin melempar ponselnya, jikasaja ia tidak teringat nomor rekening bosnya ada disana. Urusan uang, dan Leora tidak pernah bermain-main dengan rekeningnya. Biasa, wanita kan realistis.

...Dari; Dimas...

...Sayang, apa tidak ada akhir yang lain selain berpisah? Aku sudah memutus hubungan dengan sekretarisku. Maafkan aku......

......................

Segala harap akan tumbuh merekah pada pagi hari, katanya begitu. Dan harusnya begitu.

Leora bilang ia akan tetap berangkat hari ini, sudah lama sekali ia tidak duduk dikursi rapat dan mendengarkan sambil memahami apa yang seharusnya seorang pengacara lakukan.

Lebai! Padahal baru sehari Leora tidak masuk kerja!

Benar! Tapi memang Leora tidak lebai, itu Leora yang menirukan ayahnya saat mengatakannya sewaktu sedang sarapan. Sungguhan Leora sudah mengira bahwa ayahnya akan membuatnya seperti anak buangan hanya karena tidak mendengarkannya tadi malam, tapi nyatanya ayahnya sangat manis pagi ini. Ayahnya memberinya sebuah bonus karena hari ini Leora ulang tahun yang ke 25, hari bahagia dan harusnya ia merayakannya.

Bersandar pada jendela kaca mobilnya, menerawang pada awan pagi yang berjalan diatas sana. Menaungi keramaian dibawahnya. Kepalsuan dari manusia penghuni bumi yang berlagak selalu senang bekerja, padahal sama sekali mereka membenci jam kerja. Tapi langit siang tetap diam dan menyaksikan mereka yang kerap tersenyum pada siang hari, dan menangis pada kelamnya malam sunyi.

Mengingat momen pagi ini nyatanya membuat Leora kembali mengilas balik memori tahun lalu, tepatnya pada hari dimana ia juga berulang tahun dan disana sebuah pesta kecil diadakan sebagai bentuk rasa syukurnya bersama beberapa teman dan kolega, juga Dimas yang selaku penyelenggara dan pemilik ide manis itu.

Ada sedikit rasa emosional yang menjalar dalam setiap desiran darahnya. Ada kilatan senyum yang berkali-kali mencoba mendobrak kewarasannya. Leora sadar ini bukan waktu yang tepat untuk memutar ingatan indah, tetapi tak ada cara lain selain itu untuk membuatnya bisa berpikir bahwa ia tak pernah salah dengan keputusannya. Keputusan untuk tidak mempertahankan hubungan yang memang sudah tidak Dimas inginkan.

Perkara tadi malam pesan dari Dimas, Leora hanya menduga bahwa sepertinya Dimas sedang mabuk, perkataannya melantur dan gila! Padahal Leora tak pernah membahas perihal sekretaris Dimas, dan pria itu membuka kartu as-nya sendiri. Leora mencurigai hal itu sejak lama, dan malam kemarin Leora mendapatkan jawabannya. Bukan hanya spekulasi tak mendasar, Dimas memang bermain-main dibelakangnya.

Tapi, Leora sudah tidak peduli, sekarang semuanya berakhir dan tugasnya adalah menyembuhkan hatinya. Memulai dari awal, yang entah bagaimana caranya. Ia sudah tak percaya cinta dan romansa, apalagi sebuah hubungan terikat.

Jarak sudah mengenalkannya pada luka paling menyakitkan bagi Leora, dan rasanya bukan lagi sebuah harapan untuknya tetap tersenyum saat rasa kecewanya terlalu dominan dalam dirinya.

"Yah, aku akan bertemu klien hari ini. Tolong katakan pada divisiku untuk tidak perlu menungguku saat rapat," ujar Leora pada ayahnya.

Iya, Leora memang tidak sedang berminat membawa mobil sendiri, ditambah ayahnya yang memang satu kantor dengannya dan satu arah dengan kafe tempatnya akan bertemu.

"Kafetaria," celetuk Leora dan ayahnya langsung mengerti. Lampu sen sudah menyala diikuti mobilnya menepi. Menghela napas sekali lagi, Leora akhirnya meraih gagang pintu dan membukanya. Namun, sesaat sebelum Leora keluar, ia sempat mendengar ayahnya berkata. Kalimat pertama setelah menempuh perjalanan selama lebih dari 10 menit dari rumah.

"Ayah tidak memaksamu, tapi pertimbangkanlah keputusanmu. Ayah hanya tidak ingin kamu menyesal," ujar ayahnya, dalam manik hitam jelaga itu terdapat ribuan harapan, tapi Leora juga tak yakin akan harapan apa yang ayahnya sematkan padanya. Jika itu perihal hubungannya dengan Dimas, maka Leora mungkin akan mengecewakan ayahnya.

Memilih untuk tidak menanggapi dengan kalimat panjang  yang bisa saja membuat Leora menjadi mengatakan hal-hal yang tidak seharusnya dikatakan, akhirnya Leora melanjutkan yang sempat tertunda yaitu keluar dari mobil ayahnya. Leora hanya sempat tersenyum simpul sebagai tanda perpisahan.

Leora bukan muak terhadap ayahnya, hanya saja ia perlu waktu untuk menanggapi setiap kalimat ayahnya yang selalu saja membuat hatinya seperti tersayat belati tajam.

Sesaat kemudian Leora membiarkan kedua netranya menyaksikan mobil ayahnya melesat pelan disela keramaian, dengan dirinya yang masih berdiri disana untuk beberapa saat sampai ponselnya bergetar panjang. Telepon dari seseorang masuk kedalam ponselnya dan Leora langsung bergegas menuju ke sebuah kafe yang dimaksud oleh klien-nya.

Malam tadi Leora ditunjuk oleh kepala divisi untuk menangani seorang klien yang membutuhkan bantuan seorang pengacara, pun Leora mengiyakan tanpa pikir panjang karena memang itulah pekerjaannya.

Leora sudah berjanji dalam sumpah pengacara, bahwa: seorang pengacara tidak boleh menolak jika pun klien-nya adalah seorang penjahat sekalipun. Karena jika bukan latar belakangnya pun kasusnya yang dibela, seseorang penjahat tetap memiliki kredibilitas dan harga dirinya yang mesti dilindungi.

Dan Leora tetap mengiyakannya meskipun ia belum tahu persis dan hanya membaca sekilas saja kasus apa yang akan ia tangani dan siapa klien yang sekiranya menunjuk dirinya sebagai pengacaranya.

Menghela napas sebelum mengangkat telepon yang ternyata dari Aletha, masih sempat-sempatnya Leora berpikir bahwa klien-nya tentunya bukan dari kalangan kelas menengah ke bawah, karena Leora yakin kalangan kelas bawah tak akan bisa memberinya uang jasa. Leora adalah pengacara berintegritas dan namanya sudah lumayan dikenal. Bukan mutlak karena kerja kerasnya tentu saja, tetapi juga firma hukum tempatnya bekerja memiliki pengaruh yang lumayan besar untuk karir pengacaranya.

"Menelponku pagi-pagi? Mau memintaku mentraktirmu sarapan?" tanya Leora bahkan saat Aletha belum sempat berbicara.

Menunggu dengan perasaan yang lumayan asing, langkahnya juga memelan sembari menunggu Aletha yang tak kunjung memberinya jawab atas pertanyaannya yang sebenarnya sama sekali tidak membutuhkan jawaban.

Baru saat gendang telinganya tersentak, saat itulah langkahnya benar-benar berhenti pada pijakan terakhirnya.

"Apa kamu memiliki janji dengan mantan kekasihmu itu? Dimas, di kafetaria, kau sudah melihatnya?"

[]

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!