NovelToon NovelToon

Cinta Salah Sasaran

1. Sang penguntit

Panas demikian terik di ibukota, ketika seorang gadis muda berseragam putih abu-abu, mengayuh sepedanya menyusuri jalanan ibukota yang sangat padat. Tak pernah takut panas, dan juga tak pernah suka mengeluh layaknya tuan putri manja, gadis itu tetap bersemangat dan menaklukkan panas terik suasana di ibukota.

Dia adalah Elvionika Sinatra, gadis cantik dengan kulit putih bersih dan bertubuh mungil layaknya sang Mama, Anika Putri Mahardhika. Hidungnya tinggi menjulang, bibir padat berisi dengan gesture sensual, mata yang bening penuh pesona, serta alisnya yang nyaris menyerupai bulan sabit, seperti sang Papa, Dewa Sinatra yang membuatnya begitu terkenal di sekolah.

Sayang, Vio begitu sulit takluk pada siapapun di sekolah, termasuk guru-gurunya.

Gadis itu begitu riang bersenandung, diantara padatnya lalu lalang di siang hari ini. Kulit lengannya hanya tertutup jaket tipis, dengan rambut yang dikuncir lebih dulu, lantas dikepang dengan pita merah pada ujungnya.

Berada di ibukota bersama Mama dan Papa sambungnya, membuat Vio begitu kebanjiran kasih sayang. Tak hanya itu, sesekali Ayah kandungnya datang mengunjungi Vio, beberapa bulan sekali jika sudah sibuk, dan sebulan sekali jika waktunya senggang.

Dan sepeda kayuh yang dipakainya, tiba-tiba berhenti begitu saja, ketika ia melewati sebuah gedung yang menjulang tinggi. Tatapan mata gadis itu terkunci pada sosok pria yang belakangan menjadi pusat perhatiannya.

Berdasarkan info yang Vio terima, lelaki itu adalah Felix Harraz Rahardja, putra sulung Tirta Rahardja dan Gihana Atmadja Rahardja. Memiliki perusahaan yang berkembang begitu pesat yang akan diwariskan oleh keluarganya, kepada Felix.

Perawakan Felix begitu tinggi tegap, dengan tatapan tajam yang siap membunuh mati nyali lawan jika sudah marah. Beberapa kali pertemuan tak sengaja dengan pria bermata tajam dengan rambut hitam legam itu, membuat Vio penasaran, seperti apa kiranya rasa bibirnya.

Ah, membayangkan dirinya akan memberikan ciuman pertama pada pelria matang berkulit bersih itu, membuat Vio merasa tenang melayang.

Seolah seperti gen yang di turunkan, Vio tak jauh berbeda dengan sang Nenek, Kania. Gadis itu menjunjung tinggi harga dirinya, namun memiliki ego yang rendah dan murah hati. Ia bahkan tak segan-segan berniat mengungkapkan perasaannya terhadap lelaki yang ia ketahui bernama Felix itu, jika ia memiliki suatu kesempatan yang membuatnya dekat dengan Felix.

Sebuah rencana yang terbilang gila, dan membuatnya dipandang sebagai wanita tergolong rendah dan murahan. Sayangnya, Vio tak peduli sama sekali dengan apa yang orang lain sematkan untuknya.

"Om ganteng .... " sapa Vio seraya melambaikan tangan.

Sontak saja gadis itu menjadi pusat perhatian seluruh bawahan Felix. Lelaki dengan rahang tegas serta hidung yang tinggi itu mengernyitkan kening, saat melihat ada gadis yang melambai ke arahnya, terlihat tidak asing.

Seperti pernah melihatnya, tapi dimana?

Batin Felix.

Tak ingin membuang waktu, lelaki matang dengan kesibukan yang lebih padat daripada Presiden sebuah negara itu, mengabaikan Vio, membuat si gadis berseragam putih abu-abu itu merasa tertantang.

"Awas saja nanti, aku akan ikuti," ujar Vio dengan percaya diri.

Si gadis yang tak pernah mengenal kata menyerah itu, lantas mengayuh sepedanya kembali mengikuti mobil yang membawa pria berkulit putih itu. Beruntung ibukota siang ini agak padat, membuat mobil yang di kendarai Felix melaju pelan, dan Vio menggunakan kesempatan itu, untuk mengejar.

Sebuah bangunan megah dengan nuansa klasik, membuat siapapun betah berada disana, termasuk para pengusaha yang ingin melakukan pertemuan bisnis.

Vio nekat masuk, dengan hanya memesan segelas minuman dingin untuk memanjakan tenggorokannya yang terasa kering. Tak lupa, gadis itu juga mengeluarkan ponselnya dari tas untuk menghubungi satu-satunya sahabat yang ia percaya.

Nisa, gadis dengan perawakan padat berisi, membuat Vio merasa lebih percaya diri. Pikir Vio, ia tak mungkin akan bersaing dengan sahabatnya sendiri, sebab dirinya jauh lebih indah dalam segi fisik dan penampilan.

Terkadang sejahat itu pikiran Vio.

Tak jauh dari meja tempat Vio menguntit, Felix tengah berkonsentrasi bicara dengan relasi bisnisnya. Sebuah kesepakatan tercapai dengan sempurna sesuai dengan yang ia harapkan, membuat Felix tersenyum puas. Pencapaian serta prestasi yang di capai Felix, membuatnya dipercaya oleh sang Papa, untuk mengelola sebuah perusahaan anak cabang yang paling dibanggakan oleh ayahnya, Tirta Rahardja.

Jangan tanya bagaimana reputasi Felix BB dalam dunia bisnis, bahkan banyak pengusaha senior yang mengincar Felix, untuk dijadikan menantu kebanggaan.

"Terima kasih, Tuan muda Felix, saya harap kita bisa melakukan makan malam sesekali untuk membahas tentang bisnis yang akan kita jalankan," ujar seorang lelaki yang berusia sekitar awal empat puluhan.

Lelaki itu sedikit gendut, dengan perawakan yang terbilang tambun. Bahkan perawakannya terlihat lebih tua bila dibandingkan dengan Tirta, padahal usianya lebih muda dari Tirta. Tubuh yang sehat terawat, tentunya akan tampak lebih muda, bukan?

"Tentu, Tuan Maran. Saya akan meminta asisten pribadi saya untuk mengatur jadwalnya. Hanya saja jika boleh berpesan, Sabtu malam Minggu saya tidak akan menerima undangan apapun, karena itu adalah waktu untuk kekasih saya," jawab Tirta seraya tersenyum simpul.

"Wow, tentu gadis yang sangat beruntung untuk siapapun yang menjadi kekasih anda. Sudah tampan, anda juga pria yang cerdas dan cekatan dalam bidang pekerjaan. Andai anak gadis saya sudah dewasa, saya ingin menjodohkannya dengan anda," lelaki yang dipanggil Tuan Maran itu terkekeh ringan.

Apa? Di jodohkan dengan anak lelaki yang tampangnya sudah seperti bom atom asal Hiroshima? Oh tidak! Pasti anaknya jauh lebih jelek dari aku.

Batin Vio dengan percaya diri, yang duduk tak jauh dari meja Felix.

"Terima kasih, anda terlalu berlebihan dalam menilai saya," seperti biasa, Felix selalu merendah dan senantiasa memposisikan dirinya sama dengan orang lain. Lelaki itu memiliki hati yang baik, juga bukan lelaki yang suka menjunjung tinggi dirinya sendiri.

Baik Tirta dan Hana selaku orang tua, tak pernah menanamkan sifat sombong pada putranya. Keduanya memang selalu kompak memberikan banyak masukan membimbing Felix untuk menjadi pribadi yang bermoral.

"Baiklah jika begitu, saya pamit dulu, Sampai jumpa di pertemuan berikutnya," Tuan Maran pamit dan berlalu pergi, meninggalkan Felix yang memejamkan mata sebab letih.

Baru saja Felix hendak meminta asisten pribadinya untuk mengosongkan jadwal hingga sore nanti, sebuah suara berhasil membuat Felix membuka mata dan urung untuk bicara.

"Hai, Om," sapa Vio yang tiba-tiba datang tanpa diundang, dan duduk tepat di kursi sebelah Felix.

Felix mengerutkan keningnya, bertanya-tanya darimana asal datangnya gadis itu, gadis berseragam putih abu-abu.

"Siapa kamu?" tanya Felix dengan suara dingin dan angkuh. Tak pernah sebelumnya, ada gadis remaja asing yang mendatanginya. Felix khawatir, dirinya menjadi korban penipuan seperti yang lagi marak terjadi di ibukota.

"Om belum mengenal aku? Kenalin, Om, aku Elvionika Sinatra, panggil saja aku Vio," jawab Vio dengan ceria, dan mengulurkan tangannya.

Gadis itu benar-benar semakin penasaran dengan sosok lelaki di sebelahnya ini, sebab Felix berkata dengan nada dingin. hal itu tentunya mendatangkan sebuah tantangan tersendiri.

"Apa keperluanmu mendatangiku? Jangan harap aku akan menyambut uluran tanganmu yang penuh dengan kuman itu," ungkap Felix tanpa perasaan.

"Kuman? Mana ada?" tanya Vio dengan konyolnya, seraya melihat telapak tangannya secara detail.

Felix jadi risih sendiri dengan tingkah absurd gadis di sebelahnya ini.

"Denny, ayo kita kembali ke kantor sekarang!" seru Felix pada asistennya, meninggalkan Vio yang tercengang di kursinya.

Dalam hati Vio, ia semakin bertanya-tanya, bagaimana sih rasanya jadi kekasih Om-om dingin seperti Felix Harraz Rahardja itu?

Sifat dan karakter Vio yang paling kuat adalah, ia tak akan mudah menyerah sebelum ia mendapatkan apa yang ia inginkan, meski ia harus menjadi penguntit setiap pulang dari sekolah.

**

2. Kunjungan.

Sebuah pelukan hangat di dapat oleh Vio, saat dirinya pulang dari sekolah. Oh bukan, bukan pulang sekolah tepatnya, melainkan pulang dari kafe dimana ia pertama kali menemui Felix, si pengusaha muda yang di gandrungi banyak wanita.

Tanpa ia duga, Papa kandungnya datang dari Jawa timur, beserta dengan istrinya yang juga sepupu dari sang Mama. Sebuah hubungan kekeluargaan yang rumit, sebab itu membuat Vio seringkali bingung.

Tak ingin memikirkan masalah terlalu lama, Vio membuang semu pikiran yang sekiranya bisa membuatnya tertekan. Satu-satunya hal indah adalah, ia bisa melepas rindu pada Papanya, Dewa Sinatra.

Pertemuan yang jarang di lakukan, yang kerap kali membuat Vio rindu Papa jika Mama sudah mengomel. Beruntung Papa sambung Vio adalah orang yang baik dan penyabar, tak pernah memiliki keinginan untuk memarahi Vio sekalipun Vio membuat ulah. Paling hanya teguran dan nasihat yang Vio terima.

Banjir kasih sayang, membuat Vio kerap kali membuat ulah untuk memancing masalah. Lain dengan anak-anak lain pada umumnya yang suka anteng dan menghindari masalah, Vio justru suka sekali berulah, dengan membuat keributan yang tak penting. Acap kali sang Ibu, Anika mengeluh karenanya.

"Papa, Vio kangen Papa. Maaf Vio tepat pulang, Vio bawa sepeda tadi, dan mampir beli es di jalan," ucapnya sembari memeluk erat Papanya.

Vio tak salah, kan? Ia memang mampir di sebuah kafe untuk memanjakan tenggorokannya yang terasa kering, dengan membeli minuman dingin. Ya, meskipun dengan embel-embel, ia nekat menemui Om-om yang berusia tiga puluh satu tahun.

"Nggak apa-apa. Kamu ini kenapa sih sebenernya, kok ya nggak mau diantar jemput pakai mobil saja? Atau bawa motor sendiri kalau memang benci kemacetan. Itu bisa mengirit banyak waktu sebenarnya," ujar Dewa kemudian.

"Vio nggak mau, nanti dikira anak orang kaya. Yang ada, nanti beasiswa yang Vio dapat malah di cabut lagi," jawab Vio sambil terkekeh dan melepas pelukan dari Papanya.

Anika dan Vanya, Sang Mama dan istri Papanya yang ia panggil Tante, menggelengkan kepala tak berdaya.

"Beasiswa itu ada kan karena kamu berprestasi, sayang. Jadi kalau kamu memang terlihat kaya, itu tak masalah sebenarnya. Mau bawa mobil ataupun sepeda kayuh, kamu akan tetap dapat dapat beasiswa. Ya kali, kalau prestasimu menurun, barulah beasiswa untuk kamu, dicabut," Vanya menimpali.

"Enggak deh, Tan, Vio lebih suka bawa sepeda kayuh," kekeh anak sulung Dewa dan Anika itu.

"Kamu kalau di bilangin suka bandel dan ngeyel ya, Vio. Aih, terserah kamu lah," Anika menggeleng tak berdaya.

Vio tak ambil pusing dengan kalimat sang Mama. Gadis itu cuek saja sebab Omelan mama setiap hari, baginya adalah sesuatu yang membuatnya kenyang.

"Ma, besok aku pulang telat lagi. Ada acara di luar sekolah, Vio mau ke rumah Nisa buat belajar kelompok. Biasalah, ada tugas keterampilan yang harus Vio kerjakan sama Nisa," ungkap vio kemudian.

"Tugas apa? Kenapa sih, nggak Nisa aja yang sekali-kali datang kesini? Kenapa mesti kamu yang mengunjunginya?" tanya Anika heran.

"Anika itu gendut, Ma. Selesai kerja kelompok, anak itu pasti ngantuk. Kalau Vio kan tahan meski capek. Dahlah, lagian juga kasian si Nisa," ungkap vio kemudian.

"Ya ya ya, suka-suka kamu," sahut Anika dengan pasrah.

**

Sore merambah menuju malam, ketika Felix Harraz Raharja pulang dari kantor. Lelaki itu memasuki rumahnya, dengan gurat lelah yang begitu terlihat. Denny menurunkan dirinya di area garasi, dan segera saja lelaki yang sudah matang secara usia itu, masuk melalui ruang tamu.

Betapa lelah itu hilang seketika, saat ia melihat sang kekasih, Diana datang dan menunggunya di ruang tamu. Perbincangan Diana dan Mama Felix, Hana, berputar pada topik mengenai apa yang disukai dan tak disukai Felix.

Seorang wanita muda dengan gaya anggun dan penampilan khas wanita sosialita, menyambut Felix dengan senyum manis. Dress biru langit yang melekat pada tubuhnya, sempurna membalut tubuh sintal dan menggoda itu. Wajahnya cantik mempesona, dengan rambut lurus yang di urai.

"Diana," sapa Felix dengan semangat. Senyum lelaki itu lembut, seolah tak ada orang lain di dalam ruang tamu.

"Hai, Felix," sapa Diana balik, seraya menyambut pelukan Felix. Keduanya bahkan tak segan-segan saling berpelukan, meski ada Hana yang merasa risih sendiri.

Dasar bocah, sudah dewasa namun sikapnya tak jauh berbeda dengan anak-anak.

Ujar Hana dalam hati.

"Kurasa kau sangat cantik sekali malam ini. Apa kau datang sudah sejak tadi?" tanya Felix kemudian.

"Tidak juga. Aku hanya datang mampir sebentar, lihat, aku membawakan buah kesukaanmu," ujar Diana seraya menunjuk sebuah bingkisan berisi jeruk. Diana hapal betul, Felix begitu menyukai buah jeruk, apalagi yang rasanya ada asamnya.

"Oh, terima kasih, sayang. Aku aka. memakannya nanti. Kau dari mana ini?" tanya Felix, seraya mengisyaratkan pada Diana, untuk segera duduk kembali ke sofa. Ekor mata pria itu mengikuti siluet sang Mama yang berlalu menuju ke belakang.

"Aku pulang dari pemotretan sore tadi. Kebetulan memang aku berniat mampir dan ya, aku merindukanmu," jawab Diana kemudian.

Senyum Felix terukir, "Sama, aku pun merindukanmu."

Dian tersenyum malu-malu, menatap Felix dengan penuh cinta. Wanita yang berkarir di dalam dunia permodelan itu, tak sabar untuk meresmikan pernikahan bersama sang kekasih.

Bukan karena Diana ingin hidup kaya dan banyak uang, melainkan sebab Diana sudah telanjur melabuhkan hatinya hanya pada Felix, begitupula dengan Felix yang merasakan hal serupa.

"Akhir pekan depan, aku ingin kencan denganmu, kau mau? Malamnya, ada acara peresmian hotel baru milik Oma Dita, kita akan menghadiri acar itu bersama. Kau bersedia?" tanya Felix kemudian.

Suara Felix begitu halus pada Diana, seolah Diana adalah porselen mahal yang patut dijaga.

"Tentu saja aku mau. Nanti, kita mengenakan pakaian dengan warna senada, ya?" tanya Diana dengan manja.

"Tentu. Besok pagi biar Denny yang mengaturnya, kau tinggal bicara dengan orang butik," ujar Felix kemudian.

Perlahan, Felix berniat untuk mengenalkan kekasihnya di depan publik termasuk dalam kalangan bisnis. Sebuah rancangan masa depan mulai tersusun apik dalam kepalanya, yakni meminang Diana secepat mungkin.

Cinta yang Felix miliki, rasanya sulit untuk dienyahkan. Inginnya Felix mampu memiliki Diana secepat mungkin, namun ada sesuatu yang hingga kini membuat Felix belum mantap untuk bertunangan dengan Diana.

Restu dari sang Papa, yang tak bisa Felix kantongi semudah yang ia pikir. Padahal jika boleh Felix katakan, Diana adalah wanita baik dari keluarga terhormat. Wanita Felix itu juga dikenal sebagai wanita yang bersih.

Entahlah, mengapa sesulit ini mengantongi restu dari Papa.

**

3. Sebuah hadiah.

Sore merambah menuju malam. Sinar rembulan begitu indah hadir memberikan cahayanya. Diantara banyak bintang yang bertaburan, ada satu bintang yang begitu berkilau, paling besar dan unjuk keindahan diantara para bintang lainnya. Fokus seorang gadis tertuju pada satu bintang, membayangkan dirinya yang menjadi bintang paling bersinar itu.

"Vio," panggil seorang pria dengan suara yang khas dan dalam. Lelaki itu memandang Vio yang asik melihat langit seraya tersenyum-senyum sendiri.

"Papa," jawab Vio, "papa kesini sama Tante Vanya?"

"Ya. Kamu ditunggu sama Tante Vanya di depan. Ada hadiah buat kamu," jawab Dewa kemudian.

"Hadiah apa? Serius?" tanya Vio antusias, "tapi Vio nggak mau hadiah, Pa. Vio maunya di sayang aja," jawab Vio pelan, membuat Dewa merasa tak nyaman.

Dewa sadar, dirinya selama ini memang jarang sekali datang untuk sekadar menengok putrinya. Padahal, Vio adalah satu-satunya garis keturunan Dewa yang tersisa, lainnya dari Vanya, tidak bersedia bertahan menghadapi kerasnya kehidupan.

"Maaf, papa janji akan lebih intens datang. Ayo ke depan. Kita ngobrol bareng. Ayah Rama juga menunggu kamu," ajak Dewa kemudian.

"Sebentar deh, Pa. Vio pengen cerita ke Papa. Tapi jangan bilang sama Mama, ya? Papa harus janji, ini rahasia kita. Bahkan sama Tante Vanya pun, Papa nggak boleh cerita," ujar Vio seraya memegangi lengan sang Papa yang kokoh.

"Janji. Mau cerita apa, sih?" tanya Dewa yang lantas duduk di bangku di depan Vio. Lelaki itu lantas menatap Vio penuh tanya.

"Pa, gimana sih rasanya orang jatuh cinta itu?" tanya Vio lirih, dengan suara bisikan.

"Ya, namanya orang jatuh cinta itu, ya hatinya berbunga-bunga terus. Sering rindu, kemudian ya ... ingin berkencan sesekali, atau tak ingin jauh dari orang yang menjadi sasaran jatuh cintanya. Memangnya kenapa? Vio pasti jatuh cinta," tanya Dewa yang sengaja memojokkan sang putri.

Vio tersenyum malu-malu, membuat Sang Papa tersenyum gemas pada putrinya yang masih berusia delapan belas tahun itu. Ingin jujur, namun vio seperti malu untuk mengakuinya.

"Tapi Papa jangan bilang-bilang ya, Pa. Vio memang lagi suka sama seseorang. Cuman, dia itu pria dewasa yang keren, macho dan maskulin sekali. Dia tampan, lebih tampan jauh daripada Papa," ungkap Vio, membuat Dewa mengerutkan kening tak nyaman.

Sejak kapan putrinya ini mengerti definisi lelaki tampan? Dewa menyadari satu hal, Elvionika berubah jadi dewasa secepat ini. Tak menyangka, Dewa merasa sebentar lagi mungkin Vio akan menikah beberapa tahun lagi.

"Masa sih?" tanya Dewa lagi, "Memangnya siapa sih, lelaki yang bisa menyaingi ketampanan Papa?" bisiknya lirih.

"Papa mau tau banget, apa mau tau aja?" tanya Vio kemudian meledek Papa.

"Ya mau tau banget, dong. Sini, bagi tahu Papa. Papa janji Papa nggak bakalan ember dan bilang sama Mama dan Ayah," ujar Dewa, membuat Vio tertawa renyah.

"Felix Harraz Rahardja, putra sulung itu loh, Pa, pengusaha senior yang namanya Tirta Rahardja itu. Papa tahu dong pasti, sama profil keluarga mereka? Mereka keluarga yang terkenal," jawab Vio kemudian.

Dewa tercengang. Lelaki itu juga syok ketika mulut mungil putrinya, menyebut nama Rahardja.

"Kamu jangan terlalu aneh-aneh, Vio," ucap Dewa, seraya menatap tajam sang putri, "sekolah yang bener, jangan pacaran melulu. Kamu jangan mengecewakan Mama, Ayah, Papa dan Tante Vanya. Bangun dulu karier kamu, gapai cita-cita, kamu jadi cucu kebanggaan Oma Kania."

"Memangnya kenapa, Pa. Papa nggak merestui? Kan Felix itu cakep, juga ya, dia bawaannya tuh cool banget. Sudah gitu, kedua orang tuanya juga memiliki nama dan reputasi yang baik di kalangan bisnis. Aku udah baca artikel yang menerangkan, bahwa mereka adalah keluarga yang nyaris sempurna," jelas Vio dengan semangat menggebu.

Semua tentang Felix, apa sih, yang tidak diketahui oleh Vio? Gadis itu bahkan kerapkali nekat, dan mencari seribu satu cara, untuk mencari tahu apapun tentang Felix, termasuk kesibukan Felix ketika akhir pekan.

Vio bermimpi, ada saat dirinya ingin sekali menghabiskan waktu dengan berkencan seharian bersama Felix.

Siapapun tolong, benturkan kepala Elvionika Sinatra pada tembok. Mungkin, hal itu akan memberikan efek baik bagi otak Vio yang konslet.

"Kamu nggak salah jatuh cinta, itu wajar. Tapi jangan sama golongan orang begitu, deh. Mereka itu ya, terlalu tinggi bagi orang biasa kayak kita," sahut Dewa.

"Ayo cepat ke depan dulu. Kamu bisa lihat gaun buatan Tante Vanya yang dibuat khusus dengan penuh kasih sayang, hanya untuk kamu," ungkap Dewa lagi, demi bisa mengalihkan pembicaraan agar Vio tak semakin ngaco lagi.

"Yes, baiklah. Siapa tahu nanti gaunnya bisa aku pakai untuk kencan sama Felix," timpal Vio dengan percaya diri, membuat Dewa mengerucutkan bibir tak berdaya.

"Dasar tukang halu," ledek Dewa, membuat Vio hanya terkekeh di buatnya.

Papa dan anak itu lantas bangkit, menuju ke ruang tengah di mana ada Vanya, Anika dan juga Rama disana.

Vio muncul, memperhatikan gaun merah yang indah berada dalam genggaman Vanya. Senyum lebar terbit di bibir gadis itu.

"Vio, sini cepat. Tante Vanya sengaja datang, membawa ini untuk kamu. Cobain dulu. Semoga kamu suka karena ini desain tangan Tante sendiri," ujar Vanya berdiri, menuntun Vio agar mendekat.

Sebuah gaun merah dengan hiasan Payet mahal, dengan bahan kain import yang terkenal bagus, begitu memanjakan Mata. Tak hanya itu, warna merah darah pada gaun itu, menambah kesan dewasa pada Vio, jika Vio mengenakannya nanti.

"Ini khusus Tante buatkan untuk kamu, biar kamu terlihat lebih dewasa. Sengaja Tante pilih warna merah, karena Tante pikir, gaun warna soft punya kamu yang Tante kasih, udah terlalu banyak. Tante pikir, semua gaun kamu yang warna kalem, udah banyak," tambah Vanya.

"Wah, makasih banyak, Tante," sahut Vio seraya memeluk Vanya dengan tulus.

"Sama-sama," jawab Vanya membalas pelukan Vio. Ada rasa hangat, ketika Vio memeluknya erat begini. Hanya dengan cara beginilah, Vanya seolah memiliki seorang anak. Selama menikah dengan Dewa, Tuhan mungkin hanya tidak mempercayai Vanya dan Dewa untuk memiliki anak.

"Malam akhir pekan nanti, pakai itu saja, Vio. Mama ingin kamu ikut serta hadir di acara peresmian hotel milik teman Mama. Nanti, kamu pasti cantik pakai gaun itu. Gaunnya kayaknya pas di badan kamu," ungkap Anika kemudian.

Mata Vio berbinar terang, "Serius, Ma? Aku mau," jawabnya dengan antusias.

"Baiklah. Coba dulu gaunnya dan jangan lupa untuk tetap terima kasih sama Tante Vanya," perintah Nika.

"Makasih banyak ya, Tante," ujar Vio pada Vanya.

"Sama-sama, sayang," jawab Vanya.

Begitulah kehangatan dalam keluarga Anika dan Vanya. Mereka sudah saling rukun, meski masa lalu mereka, terbilang sangat rumit. Kebahagiaan akhirnya datang menghampiri mereka, setelah kehancuran di masa kecil Vio, melanda keluarga besar mereka.

**

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!