NovelToon NovelToon

HIM

Ryan

Hai perkenalkan namaku, Fiona Natalia Christy, biasa dipanggil Fiona atau bisa juga Fi. Aku adalah siswi kelas 10 IPA 3 di SMAN 2. Cukup ku akuijika kehidupan SMA ku biasa-biasa saja seperti kebanyakan siswa lainnya yang sekolah untuk menuntut ilmu, bersosialisasi dengan manusia lainnya, lalu kembali pulang ke rumah untuk beristirahat.

Namun itu ternyata tak berlangsung lama, baru saja tiga bulan aku bersekolah, masalah datang. Aku beradu mulut dengan lelaki yang narsisnya minta ampun. Bahkan aku sampai beradu mulut dengan lelaki itu.

Tentu adalah biasa jika kita mengalami percekcokan dengan orang lain. Tapi masalahnya lelaki ini sungguh berbeda. Oh ya,dia adalah most wanted di sekolahku. Yang dimana hal ini menambah beban problema di hidupku.

. . .

Cuaca saat itu sedang panas-panasnya, aku baru kembali dari yang namanya kantin. Saat ini yang paling nikmatnya mengonsumsi sesuatu yang dingin dan menyegarkan. Di tangan kananku sudah ada sebotol minuman penambah ion, aku belum sempat meminumnya karena harus mengambil buku catatan biologi di kantor.

Saat berjalan di lorong, seorang laki-laki dengan tubuh atletis, kulit putih, rambut hitam lebat. Cukup keren.

Wajahnya tampan, apalagi dengan tatapan matanya yang tajam. Tapi karena aku tak mengenalnya, wajahnya cukup asing. Dan aku adalah tipe yang tak terlalu mempedulikan  dengan orang asing. Jadi aku hanya mengacuhkannya.

Ketika jarak kami semakin dekat, tampak lelaki itu tersenyum manis padaku. Aku hanya menatapnya datar dan tak berniat membalas senyuman itu. Tiba-tiba saja tanganku dicekal oleh seseorang, aku tersentak kaget dan menoleh ke belakang. Laki-laki itu tadi tampak memasang wajah kesal kepadaku.

"Kenapa?" Tanyaku bingung dengan lelaki yang tingginya sudah seperti tiang listrik itu.

"Kenapa lo nyuekin gue?"

Bagus, pertanyaanku dibalas juga dengan pertanyaan.

"Gue gak kenala lo jadi memangnya wajib banget ya gue..."

"Ahaha lo lucu deh, di sekolah ini siapa sih yang gak kenal sama Ryan Michael? Bahkan satpam sekolah aja tahu nama gue"

"Ya mungkin aja kan dia kenal lo gara-gara lo sering terlambat" Aku menyahutinya, tak tahu takut memang diriku bahkan saat melihat logo kelasnya yang ternyata dia adalah kakak kelasku.

"Berani banget ya lo nyahut" Ya sepertinya memang salahku karena asal sahut perkataan seseorang yang lebih tua.

Aku diam saat ia melepas cekalan tangannya daripadaku, ia menatapku datar. "Kelas sepuluh ternyata" Ucapnya sembari tersenyum kecil lalu menggelengkan kepalanya.

Aku reftek menutup logo kelasku, "K-kenapa memangnya?" 

"Gak apa-apa" Ia menatapku, membuatku cukup merasa terpojokkan, "...cuma jaga aja sopan santun lo, gue masih bodo amatan ya tapi gak sama yang lain.

"Gue sopan kok"

"Ya kalau lo sopan seharusnya lo gak asal sahut" Tuturnya mengucapkan hal yang tak ia sukai dariku.

Aku memalingkan wajahku, menghindari tatapannya yang begitu tajam. Sialnya anak-anak sudah mulai memenuhi koridor sebab jam istirahat sudah hendak berakhir.

"Siapa nama lo?" Tanyanya padaku dengan suaranya yang maskulin itu.

Aku hanya diam saja tak berniat menyahut.

"Kalau ditanya itu jawab"

"Fiona"

"Oh oke" Ucapnya singkat lalu pergi. Aku menghela nafas lega sebab terbebas dari situasi tersebut. Namun sepertinya ada masalah lain tak jauh dari tempatku berdiri terdapat beberapa kakak kelas perempuan yang menatapku dengan penuh kebencian. Aku punya firasat buruk tentang hal itu.

. . .

"Argh, kayaknya hidup gue penuh tikungan tajam" Ucapku frustasi setelah mengingat rangkaian kejadian tersebut.

"Makanya update dong tentang orang-orang yang ada di sekolah" Ucap Niki, teman akrabku. Sepertinya dia tahu apa yang tengah aku pikirkan.

"Tahu ah, gue mau ke perpustakaan dulu" Aku memilih pergi dan menuju tempat yang cukup rutin ku kunjungi, perpustakaan.

Setelah masuk ke perpustakaan, aku langsung menuju ke rak novel dan mengambil satu diantaranya dan membawanya ke tempat aku biasanya membaca.

"Lo sering ke sini?" Suara itu membuatku menoleh, ke arah orang yang entah sejak kapan berapa di belakang tubuhku.

"Pantesan aja lo nggak kenal sama orang-orang yang namanya cukup familiar di kalangan anak-anak SMAN 2, orang tempat kesukaan lo begini"

"Apa sih?" Aku ngedumel dan memilih untuk mengacuhkan lelaki itu.

Ryan tampak menarik kursi di sampingku membaca ia menatap ke arahku. "Lo kelihatannya kutu buku, tapi kok gak pake kacamata sih?" Tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya daripadaku.

"Berisik ah" Ucapku menunjukkan kerisihanku kepadanya.

"Kayaknya cuma lo deh yang berani banget nyahutin gue seenak jidatnya sesudah mama gue pastinya" Ryan menatapku dengan serius, wajahnya datar tak berekspresi apapun.

Aku hanya berdehem mendengar hal itu, sepertinya personality ku terlalu buruk di mata Ryan. Padahal aku memang seperti ini, aku bukan tipe perempuan yang cepat akrab dengan orang yang baru ku temui. Aku juga cepat sensitif pada yang lain.

Aku memfokuskan diri pada buku yang ku baca. Mencoba mengabaikan Ryan. Tiba-tiba pipiku dipegang oleh tangannya yang hangat, tangan itu membuat kepalaku menatap pada Ryan yang memang ada di sampingku.

"Jujur gue penasaran sama lo yang bahkan gak pernah muji gue kayak cewek lain" Ucapnya.

Aku hanya diam saja, tak tahu hendak menyahut bagaimana dengan pernyataan tersebut.

"Kalau gue jadiin lo cewek gue, gimana ya"

Mendengar hal itu aku lantas menepiskan tangannya yang memegang pipiku. "Apaan sih?" Aku tahu betul lelaki itu pasti sedang ngawur, mudah sekali mengatakan hal yang mungkin saja hanya keisengannya semata. Dan aku paling membenci keisengan itu.

Ryan hanya tertawa kecil. "Muka lo gak pernah di make up-in ya?" Tanya lagi dengan nada santainya.

Aku menatapnya datar, "Pernah"

"Masa?"

"Banyak tanya lo" Sungguh rasanya sia-sia semata aku datang ke tempat ini jika pada ujungnya harus mengobrol dengan orang lain dan tak menghabiskan waktuku untuk membaca barang dua halaman buku di sini.

Ryan tampak melirik arlojinya. Lalu bangkit berdiri.

"Gue duluan ya cantik" Mengacak-acak rambutku lalu pergi meninggalkan diriku.

Ryan ternyata sama saja dengan lelaki lainnya

Skenario Roof top

Pelajaran kimia sangat membosankan untuk saat kakak ini biasanya aku fokus dan semangat dalam waktu kelas pembelajaran. Namun beda untuk kali ini,aku sangat merasa bosan mendengar penjelasan ibu Stefy guru kimia.

"Bu, saya permisi ke toilet" Aku berkata sambil bangkit dari tempat dudukku.

"Silahkan" ucap ibu Stefy setelah menatap ku sekilas.

Aku keluar kelas dan menuju toilet untuk sekedar mencuci tangan. Ya itu hanyalah alasan yang tak masuk akal karena aku hanya duduk dan mendengar, tak ada urusan dengan hal kotor yang membuatku harus cuci tangan. Aku hanya ingin menghela nafas lega. Tanpa harus mendengar ocehan membosankan.

"Kebetulan nih" Baru saja aku masuk, suara perempuan yang tentu ku kenal menyambutku.

Aku mengangkat kepalaku menatap orang itu tentu saja itu suara Lyla seorang fans fanatik Ryan perempuan yang benar-benar mengganggu kehidupanku.

Ketika aku hendak meninggalkan tempat itu, sebuah tangan menahanku tangan Lyla tentunya "Kenapa sih lo selalu dekat-dekat sama Ryan?" Ia bertanya dengan nada sengit.

"Siapa yang dekat sama Ryan? Gue? Heh ingat ya gue nggak pernah dekat sama yang namanya Ryan" Ucapku tak kalah sengit.

"Nyolot banget sih jadi adik kelas" Ucapnya kesal.

Lyla memang kakak kelasku tapi aku tak pernah memanggilnya dengan sebutan Kak saat awal ia menggangguku. "Makanya jangan debat sama gue" Aku mau lepas tangannya dari lenganku lalu pergi meninggalkannya.

"Astaga Tuhan" Aku terkejut akan dengan Ryan yang tiba-tiba muncul di depan pintu toilet perempuan.

Aku tertegun melihatnya yang menatapku tajam "Berani banget lo ngelawan kakak kelas" Tuturnya tanpa melepas tatapan tajamnya.

"G-gue"

"Ternyata lo berani juga ya? Bukan cuma gue yang berani lo bentak ternyata yang lain juga" Ryan mengingatkanku akan perkataannya di perpustakaan yang berkata jika hanya aku perempuan yang berani membentaknya sesudah ibunya.

"Permisi gue mau ke kelas" Aku berusaha mengabaikannya dan hendak berlalu pergi.

"Ikut gue" Ia menahanku dengan memegang telapak tanganku keras lalu menarikku entah ke mana.

"Ryan, lepas Ryan" Aku berusaha memberontak namun genggaman tangannya begitu erat hingga tak bisa dilepas dengan mudah.

Ia membawaku ke belakang kelas. Lalu memojokkanku di dinding kokoh "Gue heran banget sama lo sebenarnya apa sih lo sampai bisanya ngelawan kakak kelas" Ia berkata ketus padaku.

"Loh kok jadi masalah itu sih? Gue nggak bakal ngelawan kalian kalau bersikap baik sama gue" Aku berkata dengan kesal dan dengar ucapan Ryan padaku.

"Lo kaget dari gue bisa ngelawan kakak kelas ?Kaget gue nggak pernah muja lo kayak yang lain?" Kataku tak kalah sengit.

"Dengar ya hari ini juga gue pastiin lo bakal suka sama gue" Ryan berkata tegas padaku dia menunjuk-nunjuk wajahku dengan telunjuknya.

"Gue suka sama lo? mimpi" Aku berkata dengan penuh penekanan kataku menatap bola matanya yang coklat. Entah kenapa aku merasa ada pancaran aneh dari mata Rian.

"Jangan sampai lo kemakan omongan" Ucapnya sebelum pergi meninggalkanku.

Di kelas...

"Fiona! Kemana saja kamu? Kenapa baru balik sekarang?" Tanya ibu Stefy padaku yang baru masuk kelas.

Yaelah nih guru gaj busa liat murid telat, batinku.

"Dari toilet bu" Ucapku singkat lalu kembali ke bangku.

"Kenapa lama sekali?"

"Ada sedikit masalah sama kakak jelas Ibu" Aku menjawab dengan santai sembari membuka lembaran buku.

Nampak Ibu Stefy hanya geleng-geleng kepala mendengar jawaban dariku. Lalu ia kembali menerangkan pelajaran di depan papan tulis putih. Aku menopang daguku dengan tangan, mataku menatap papan tulis yang berisi penjelasan dari Ibu Stefy, namun pikiranku melayang kian kemari.

Aku memikirkan mengenai perkataan Ryan terhadapku, apa yang ia lihat dariku sampai-sampai ua bertekad untuk membuatku menyukainya? Apa karena aku berbeda dengan perempuan-perempuan yang mengidolakannya? Atau karena aku berani melawannya dan kakak kelas lain? Aku tak tahu alasan Ryan yang pasti.

"Fiona, coba kamu jawab soal ini" Lamunanku terbuyarkan karena suara ibu Stefy. Akuu menatap soal di papan tulis.

Syukurnya ini adalah soal yang pernah aku kerjakan dulu di les, aku maju ke depan kelas mengambil spidol hitam dan mulai mengerjakan soal tersebut di papan tulis sesuai dengan yang pernah diterangkan guru les ku.

Saat aku berbalik badan setelah menjawab, sepasang mata mendapat ku dari luar kelas, Ryan. Senyum meremehkannya terukir untukku, aku menatapnya bingung.

Gila tuh anak kok nggak masuk kelas? Batinku dalam hati.

Aku berjalan menuju bangku dengan perasaan bingung. Apa yang dia lakukan disini?

"Bagus Fiona kamu bisa menjawab soal dengan mudah sama seperti biasa" pujian dari Ibu Stefy memaksa aku untuk tersenyum.

Aku menatap ke arah pintu kelas, punggung Ryan mulai menjauh dari kelas 10 ipa 3. Aku memutar bola mataku malas, heran akan sikap yang ditunjukkan kakak kelas itu.

Istirahat, Kantin...

Aku bersama Niki dan Anisa di kantin kami menunggu pesanan sambil bercandaria kami menantinya Tak lama kemudian 3 mangkuk bakso dan 3 teh es sudah diantar pada kami aku langsung menambahkan saus tomat dan juga kecap ke dalam mangkokku, "Lo mau sambal Fi?" Niki menawarkan padaku. Ia menyodorkan semangkuk kecil yang berisi sambal penuh.

"Nggak makasih gue nggak suka pedas" Tolakku halus. Aku memang orang yang tak suka makan pedas. Yang jika dimakan akan membuat perut menjadi sakit.

Aku menyendok baksoku dan memakannya, tiba-tiba...

Sialan lo aku menyingkirkan sebuah tangan yang memasukkan 4 sendok teh sambal pedas ke dalam baksoku aku menatap makanan yang baru sesuai ku santap sudah menjadi merah menyala. Aku mengalihkan pandanganku pada seseorang yang berdiri tepat di sampingku, dengan tubuh atletis berkulit putih cerah bibir merah mata tajam dan rambut yang lebat. Wajahnya sangat ku kenali, laki-laki yang benar-benar menggangguku. Ryan.

"Rasain lo" Ucapnya dengan senyum meremehkan.

Emosiku sudah sampai di puncaknya dan siap meledak seperti gunung meletus. Aku bangkit dari bangkuku dan mengeluarkan semua emosiku pada orang yang katanya Most Wanted itu.

"Hobi banget ya lo gangguin gue? Dari awal lo selalu aja cari gara-gara sama gue, mau lo apa sih?"

"Gue mau lo..." Ryan menggantungkan perkataannya.

"Lo mau gue apa?" Tanyaku dengan nada sedikit dinaikkan, ada terbersih terasa penasaran akan perkataan yang digantungkan oleh Ryan.

Tanganku dicekal oleh tangan kokoh Ryan, ia menarikku untuk meninggalkan kantin.

Sial buang-buang uang aja, batinku kesal bakso yang sudah aku bayar malah tak jadi dimakan karena 4 sendok sambal yang Ryan tambahkan di kuah baksoku dan juga Ryan menarikku untuk meninggalkan kantin.

"Lo nggak bisa lembut dikit apa sama cewek?" Ucapku kesal karena Ryan menarikku dengan langkah cepat dan tanganku menjadi sakit karena cekalannya.

Kami menuju gedung sekolah lalu menaiki tangga yang begitu banyak.

Nafasku terengah-engah, "Udah Ry gue capek kalo lo mau ngomong di sini aja gue nggak kuat lagi" Aku mengatur nafasku, lelah itulah yang kurasakan.

Ini sudah lantai kedua dan Ryan sepertinya belum lelah juga setelah menaiki ratusan anak tangga tadi. Aku berjongkok, dapat kurasakan rambutku mulai acak-acakan.

Aku menatap Ryan yang pandangannya lurus ke depan ia tak sedikitpun melirik ke arahku.

Tiba-tiba tubuhku terangkat udara, aku terkejut aku tatap Ryan yang tanpa senyum menatapku. "Turunin nggak?"

"Nggak, tadi lo bilang gue harus ngomong di sini tapi gue nggak mau ngomong di sini, kita ke atap" Ucapnya penuh tekanan.

"Lo gila ya? Kenapa sih harus ribet? Tinggal ngomong aja susah banget" Aku memukul dada bidangnya. "Mana harus ke atas lagi itu tangga banyak tahu emang lu kuat apa?"

"Bisa diam nggak sih? Lo berat tahu" Ryan meninggikan suaranya padaku. Ditambah dengan tatapan tajamnya, aku menatap matanya yang memang memancarkan suatu hal aneh.

Hingga kami sampai di atap sekolah aku masih menatap mata coklatnya.

"Iya gue tahu kalau gue ganteng gak usah dilihatin mulu napa sih" Ryan menyadarkanku.

Aku mengalihkan pandanganku sebentar lalu kembali menatapnya, "Kenapa lo bawa gue ke sini?" Tanyaku saat Ryan tela menurunkanku.

Bukannya menjawab Ryan malah maju dan mulai mendekatiku. Aku mundur selangkah demi selangkah namun sebuah pagar dengan tinggi semeter membuatku tak bisa apa-apa lagi. Ryan semakin mendekat dan mendekati ke jarak kami hanya berkisar 15 cm.

Pacaran??

Ryan mendekatkan wajahnya padaku, "Kita pacaran" Tiba-tiba saja kalimat itu keluar dari mulutnya. Aku tertegun ditengah syoknya mendengar hal itu.

"Apa?" Masih tak percaya dengan apa yang ku dengar.

"Budek lo?"

Aku diam sebentar, mencoba mencerna tentang semua yang baru saja terjadi. "Gue gak mau" Tolakku kemudian. Ini bukanlah hal yang benar menurutku.

"Gue gak terima penolakan" Tuturnya kemudian.

"Tapi gue gak mau sama lo" Aku mendorong dada bidangnya hingga jarak terbentuk. Perempuan macam apa diriku hingga seenak jidat Ryan mengatakan hal tersebut?

"Tapi lo sudah jadi pacar gue" Jawabnya enteng.

"Apa? Sejak kapan?"

"Sejak beberapa detik yang lalu" Ryan menyahuti sembari menyilangkan tangannya di depan dadanya. Wajahnya terlihat begitu sombong.

"Tapi gue--"

Belum sempat ku selesaikan ucapanku, Ryan sudah membekap mulut ku dengan tangannya yang kekar. "Hsssh, diem. Sekarang jangan banyak omong, lo udah jadi pacar gue, so..."

Aku mendorong dada sekali lagi, tak habis pikir dengan semua tingkah laku lelaki itu. "Heh, sampai segitunya ya lo jahatin gua"

"Maksud lo?" Ryan mengernyitkan keningnya seakan tak mengerti maksudku.

"Pertama, lo bikin gue kenal sama yang namanya Ryan Michael, kedua tiap hari lo selalu gangguin gue dan fans fanatik lo ketika lo tiba-tiba aja muncul. Terus bilang kalau gua harus jadian sama lo dan lo nggak ngasih kesempatan gua untuk mikir lagi atau nolak lo" Aku merasakan panas di wajahku.

Ryan terdiam namun tatapan matanya yang setajam mata elang terus menatapku.

"Sebenarnya mau lo apa sih?" Aku tak kuat menahan air mataku lagi, tetes demi tetes terasa mengalir di pipiku.

"Gue buat lo takut ya?"

Perlu lo nanya itu sekarang? Batinku meronta-ronta dengan apa yang dipertanyakan oleh Ryan.

Kepalaku di sentuh oleh Ryan, ia membungkukkan tubuhnya mensejajarkan pandangan kami. "Lo bakal gue perlakuin baik kok Fi, tenang aja"

"Persetan!"

Ryan terus menatapku, membuatku sontak tak berani untuk membalasnya lebih lanjut. Seakan hanyut dengan tatapannya yang tajam namun menyejukkan itu.

Senyumnya terbit, manis memang, "Besok pagi berangkat bareng gue ya" Tuturnya lalu pergi dari hadapanku.

Apa-apaan modusnya itu? Dan apa yang telah terjadi barusan? Diriku benar-benar dibuat pusing oleh semua yang dilakukan oleh kakak kelas itu.

Keesokan harinya...

"Nih helm buat lo" Ryan menyadarkan sebuah helm biru hari ini aku harus pergi dengannya ke sekolahan. Jadi aku dalam saat ini dipaksa dan terpaksa untuk menurutinya.

"Gue nggak mau, rambut gue udah bagus bagus dikepang lo suruh pakai helm ancur dong kepangan gue" Omelku, hari ini aku menata rambutku menjadi kepang satu.

"Banyak omong Lo" Ryan memasukkan kepalaku ke dalam helm yang kutolak mentah-mentah.

"Aduh, bisa lembut nggak sih lo" Ucapku, sakit sangat terasa di kepalaku. Rasanya beban sedang ada di atas kepalaku.

"Ayo naik" ucapnya sehabis menaiki motor sportnya dan menyalakan mesin.

Aku menurutinya duduk di bagian belakang, "Pegangan" Motor tersebut mulai menyusuri Jalan Raya.

Aku diam tak mau menurutinya sejak kejadian di atas sepeda motor kemarin "Woi Lo dengar nggak gue bilang pegangan" teriak Ryan padaku.

"Enggak gue enggak dengar!" seru ku tak kalah keras. Lalu angin mulai menghembus kencang. Sepertinya Ryan menancap gas dengan cepatnya, mau tidak mau aku melingkari tanganku di pinggang Ryan karena aku takut kalau kalau aku jatuh dari atas kendaraan tersebut.

Setelah sampai di parkiran sekolah aku segera menuruni motornya dan melepaskan helm dari kepalaku. "Tuh kan rambut gue berantakan" ucapku kesal melihat pantulan dari kaca spion motor lain.

"Nih helm lo loh Ryan?!" Aku menyadari jika Ryan sudah tak ada lagi di dekatku.

"Bawa ke kelas lo. Jangan sampai hilang" ucapnya sambil terus melangkah meninggalkanku.

"Ih gue nggak mau Ryan" Aku mencak-mencek di parkiran itu namun tak ada respon dari laki-laki itu. Aku mengela nafas pasrah dengan berat hati aku menjinjing helm biru itu ke kelas dan melewati belasan kakak kelas yang menatapku tajam.

"Fi, lo pakai motor? Tumben amat" Pertanyaan Niki langsung menyambutku saat diriku mendudukkan diri di bangku.

"Enggak gua ik--" aku tak jadi melanjutkan perkataanku. Aku tak mau membocorkan pada dua sahabatku yang super duper bawel kalau dengar kalau aku pacaran dengan Ryan.

"Lo ikut Kak Ryan?" Tanya Anisa langsung.

Tepat sasaran Anisa memang berbakat menjadi seorang dukun.

"Benaran gak sih? Lo beneran ikut sih the Most Wanted?!" Timpal Niki antusias menimpali ucapan Anisa.

"Gila gila dia nih. Fiona beneran ikut Ryan. Buktinya dia nggak bisa jawab" ucap Anisa sambil tersenyum jahil padaku.

"Nisa kok lo gitu sih sama gua?" Ucapku cemberut.

"Lo ngaku aja susah banget" ucapnya enteng.

"Emang ya benci bisa jadi cinta" timpal Niki.

"Siapa yang jatuh cinta?" Tanya aku sambil melotot tajam.

"Terrus sama kak Ryan?" ucap mereka serentak.

"Ih ogah gua" Diriku jijik. Tak lama kemudian bel masuk berbunyi aku menyudahi obrolan sengklekku dengan dua sahabatku kemudian guru masuk untuk mengajar.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!