...Biarkan aku menceritakan pada kalian tentang sosok dibalik Cherry blossoms ini Aku tidak pernah menyangka bahwa Aku akan bisa mengenal dia yang menjadi titik awal kisah cintaku...
2011/2012 adalah awal baru untuk setiap murid di tahun pertama sekolah. Namaku adalah Rafaella, salah satu dari sekian banyaknya murid tahun pertama, tahun ini aku akan menjadi murid sekolah menengah pertama yang ada di kotaku. Selama liburan panjang setelah ujian nasional untuk jenjang Sekolah Dasar, aku akan memulai kehidupan remaja awal ku.
Aku berharap bisa menemukan banyak teman baru di sekolah baruku. Pada saat aku sekolah dasar, aku adalah siswa pindahan. Aku berasal dari desa kecil, dan pada saat itu aku bergabung di kelas 4 sekolah dasar pada awal semester tahun keempat.
Aku meninggalkan teman-teman yang sudah bersamaku sejak empat tahun awal masa sekolahku, tentu aku menghitung tahun awal ku di taman kanak-kanak. Aku masuk sekolah terlalu cepat enam bulan, sebelum usiaku genap 5 tahun.
Pada saat kenaikan kelas aku tidak memikirkan bahwa banyanganku sangat jauh dari ekspektasinya, lingkungan sekolah yang baru terlalu asing dan hal ini membuatnya menjadi anak yang pendiam, sangat berkebalikan dengan diriku yang biasanya sangat aktif.
Itu juga menurutku karena letak penempatan dudukku yang salah. Penempatan kelasku pada saat itu adalah kelas IV.b Aku langsung duduk di samping seorang anak laki-laki, tempat yang tidak pernah aku pikirkan, pada awal sekolah ku yang mana aku selalu duduk dengan anak perempuan.
Duduk dengan anak laki-laki begitu baru untukku. Dan entah bagaimana ini terjadi selama tiga tahun sampai aku lulus sekolah dasar dengan orang yang sama pula. Formasi dudukku selalu sama, aku duduk dengan anak laki-laki yang sama di meja paling depan. Alasan lain aku menjadi anak pendiam mungkin karena wajah menyeramkan teman sekelas ku yang selalu berada tepat di belakang kursi ku.
Wajahnya datar, matanya menyeramkan karena sorotan yang tajam dan aku rasa dia sangat membenciku entah karena apa, padahal aku sendiri tidak pernah mencari masalah dengannya.
Teman sebangkuku sendiri adalah anak laki-laki dengan kulit putih dan rambut lurus, selama tiga tahun hingga kami lulus sekolah dasar aku tidak pernah bicara banyak dengannya selain beberapa hal penting.
Namun dari pada masalah dengan teman kelasku aku paling tidak suka dengan anak kelas sebelah. Pada tahun terakhir sekolah dasar aku berada di kelas VI.b, Ibuku mendaftarkan aku di kursus sempoa.
Hal sial yang pernah aku alami, aku satu kelas dengan anak laki-laki kelas sebelah. Karena kejadian yang pernah menimpah aku di tempat kursus, aku menjadi bahan perbincangan keesokan harinya di sekolah.
“Dia berkata bahwa kau terjebak di kamar mandi dan menangis setelah tutor berhasil merusak pintunya.”
Sialan memang, pada saat kejadian itu aku benar-benar ketakutan, setelah berhasil keluar dari masalah aku mendapati anak laki-laki itu tertawa dan mengejekku, aku mengejarnya di dalam ruangan tempat kami belajar, sampai tutor saat itu kembali dan menghentikan kami.
“...”
Untung saja aku tidak bertemu lagi dengan orang itu. Pada awal semester pertama di sekolah menengah pertama, itu cukup bagus. Aku memiliki beberapa teman baru, setidaknya kami bertahan hingga satu tahun.
Aprilia salah satu temanku mendapatkan peringkat pertama, sehingga dia akan di pindahkan ke kelas unggulan VII.1, Sebelum hari libur tiba, guru bahasa Inggris mengajak kami untuk melakukan perjalanan wisata, sebagai hadiah untuk keseriusan kami dalam belajar selama satu semester.
Berbicara tentang perjalanan wisata, aku tinggal dan besar di Toraja Utara. Kota kelahiran ku adalah Makassar, Ibu berkata bahwa pada saat diriku berusia enam bulan mereka pindah ke Toraja dan tinggal bersama dengan nenekku.
Nenek terutama kakek sangat senang saat diriku lahir, mungkin itu karena faktor dari keluarga, Ibuku adalah anak pertama dan aku sendiri adalah cucu pertama dalam keluarga ibu, dan cicit pertama dari keluarga Ibuku.
Aku tumbuh bersama dengan anak tetangga, dua orang teman masa kecilnya adalah anak laki-laki, mereka sebelum masuk sekolah adalah teman dekat. Sering bermain-main tentang pernikahan, tentu aku sebagai satu-satunya anak perempuan dalam kelompok akan selalu menjadi ratu dan mempelai wanita.
Hal ini selalu membuat sahabat Ibuku yang sekaligus adalah ibu dari teman kecilku selalu berkata; “Ah, Ella adalah pacar Mikael.”
Atau mengatakan seperti ini; “Putra dan putri kita sangat cocok, bagaimana jika kita jodohkan saja mereka? Bagaimana menurutmu?”
Ibu hanya tertawa kecil untuk menanggapi hal ini, dan kami berdua? Hei ayolah, kami masih sangat muda dan tidak mengerti arah pembicaraan orang dewasa, Ibu Mikael menganggap kami sebagai anaknya sendiri. Kami yang aku maksud disini adalah aku dan adik perempuanku.
Ibu dan Ayah Mikael menginginkan anak perempuan, namun setelah mencoba sebanyak tiga kali, mereka hanya menghasilkan jagoan. Sehingga Mikael memiliki dua adik laki-laki. Setelah tidak mendapatkan hasil, keduanya akhirnya berhenti.
Aku menduga hal ini disebabkan karena Mikael selalu berkata; “Aku akan mendapatkan adik perempuan.” setiap kali Ibunya akan melahirkan adiknya. Orang dulu selalu berkata bahwa omongan adalah doa, biasanya hal ini akan terjadi namun tidak kurang juga akan menjadi kebalikannya.
Aku berhenti membicarakan topik tentang teman masa kecilku.
Teman lain ku adalah Indira, gadis berambut panjang hitam dengan pipi yang berisi. aku, Indira dan Aprilia menjadi teman yang dekat, Sesuai dengan perkataan guru bahasa Inggris, kelas kami berkumpul keesokan harinya.
Sebenarnya sebagai keturunan pertama di generasi ini, aku memiliki batasan keluar, pada saat aku masih sekolah dasar orang tua ku tidak membiarkan aku pergi untuk mengerjakan tugas kelompok, pulang sekolahpun aku masih harus dijemput.
Di jenjang menengah pertama aturannya masih sama, setelah sekolah selesai usahakan langsung pulang. Karena ini adalah kegiatan sekolah, keluarga aku memberikan Izin. Mereka kumpul di sekolah, dan guru bahasa Inggris memanggilkan tiga angkutan umum untuk mereka gunakan.
Awal-awal guru mengumpulkan kami dan mengabsen, lalu selanjutnya dia berkata; “Masuk ke mobil sesuai dengan urutan nama yang aku sebutkan tadi.”
Untung saja aku berada di mobil yang sama dengan temanku. Sepanjang perjalanan kami berdua banyak berbicara, dan mengaitkan suara cempreng anak laki-laki yang bernyanyi sepanjang perjalanan.
Tahun pertama sekolah menengah pertamaku tidak terlalu berkesan, aku hanya ingat tentang letak ruang kelas kami VII.3 yang ada di lantai pertama, bersampingan dengan toilet dan anak tangga ke lantai dua, di depan ruang kelas kami ada pohon kecil dan bunga hias yang akan selalu kami urus setiap hari Jumat bersih tiba.
Dengan gedung yang putih, dan ruang kelas yang agak luas dan papan yang sudah menggunakan spidol papan tulis putih. Selain itu tidak ada hal yang berkesan lagi untukku ingat.
2012/2013 adalah awal tahun keduaku di sekolah, dimana merupakan awal cinta anak anjing, kisah cinta monyet ku bermula disini. Setiap orang berkata bahwa cinta monyet akan tumbuh paling cepat di jenjang sekolah dasar, tapi aku merasa ini berbeda dengan apa yang aku alami sendiri.
Usiaku baru akan mencapai 13 tahun saat itu, Semuanya dimulai dari hari pertama masuk sekolah di tahun keduaku, aku bangun pagi-pagi sekali untuk bersiap karena aku tahu perebutan lokasi tempat duduk sangat penting di hari pertama. Murid-murid akan berebutan tempat strategis yang jauh dari pandangan guru.
Aku tiba tiga puluh menit sebelum bel berbunyi, di gerbang sekolah aku bertemu dengan Indira, pertemuan pertama setelah libur panjang kemarin adalah tertawa ketika kami saling memandangi wajah masing-masing.
Aku tahu memang tidak ada yang lucu.
“Ayo, cepat kita akan terlambat dan tidak akan kebagian meja yang bagus!” Indira berbicara dengan heboh, memegang tali ranselku dan menarik aku untuk berlari bersamanya.
“Pelan-pelan saja, kita.pasti akan mendapatkan tempat,” ucapku dan melepaskan tangannya dari tali ranselku.
Aku melihat gerbang kedua sekolah, dan berkata; “Bagaimana kita masuk? Ini sangat ramai.”
“Ayo, kita terobos. aku akan mulai lebih dulu, dan kau ikuti kau.”
Aku rasa ini bukan ide yang baik, tapi aku tidak tahu bagaimana aku bisa mengikutinya untuk menerobos gerombolan para siswa dan siswi di gerbang yang sempit itu.
rasanya sangat sakit ketika orang-orang saling mendorong satu dengan yang lainnya.
Kami mengecek ruangan di area kelas dua, hei ayolah kenapa kami mendapatkan ketidakadilan? Kelas unggulan satu dan dua berada di ruang kelas yang baik, di lantai atas tepat di gedung kelas kami dulu, sementara kami VIII.3 berada di bangunan lama yang sudah bertahun-tahun.
Bangunan tua zaman belanda.
Aku menatap pintu kelas yang masih tertutup dengan ragu, “Ayo cepat buka, tunggu apa lagi?” Indira menatap aku dan meminta aku untuk membuka ruang kelas kami.
Gluk!
Angin kecil menghempas wajahku ketika aku membuka pintu tersebut, penghuni kelas yang sudah ramai langsung diam dan menatap kami sebentar lalu kembali melakukan aktivitas mereka.
“Lihat kan, ini semua karena sekumpulan semut-semut tadi. Kita sudah tidak mendapatkan tempat duduk,” Aku mendengar Indira berbicara lalu menggeleng.
“Ayolah, ini hanya tempat duduk. Berada tepat di depan meja guru aku rasa tidak buruk juga tahu.”
“Uh, tapi ini terlalu di depan.”
”Hanya tempat ini yang kosong, mau bagaimana lagi?” Aku bertanya lalu meletakkan ranselku di atas menjadi dan duduk dengan manis.
Aku tahu Indira sedang menghela napas dengan berat, sebelum ikut duduk denganku. Ini membuat aku terkekeh karena melihat wajahnya yang lucu. Hei, ayolah bahkan aku rasa pipinya bertambah gemuk dari pada sebulan yang lalu.
“Aku berharap guru akan mengatur tempat duduk kita,” Dia berbicara dengan kesal, aku menggelengkan kepala melihatnya bertingkah seperti itu.
Aku dan Indira saling bertukar cerita tentang liburan kemarin, tidak ada yang istimewa. Pada saat yang sama, seorang anak laki-laki menghampiri meja kami. Anak laki-laki tersebut memiliki tubuh yang besar dan badan yang agak berisi.
Aku mendengar dia berkata; “Bisa kami duduk didepan kalian?”
“Apa kau tidak lihat, disini sudah penuh?” Indira bertahta balik dan membuat anak laki-laki tersebut berpikir sebentar.
“Tidak masalah, kalian bisa memindahkan meja kalian ke belakang. Kami akan membawa meja kami ke depan.”
Huh? Anak laki-laki ini ingin duduk di meja depan bertepatan dengan meja guru? Aku berpikir sebentar, biasanya anak laki-laki akan mengincar lokasi paling belakang untuk menjadi markas mereka.
“Apa kau yakin?” Aku bertanya dengan Ragu, ini tidak biasa. Cukup aneh, kami jelas tidak dekat meskipun aku familiar dengan wajahnya karena kami selalu berada di kelas yang sama saat pelajaran agama.
Sekolah menengah pertama tempat aku sekolah adalah sekolah negeri, dan mayoritas beragama Kristen Protestan, jadi kami yang memiliki keyakinan lain seperti Kristen Katolik itu akan belajar dengan guru agama kami sendiri. Pada tahun pertama, ruangan kami berada di taman baca, yang terletak di perpustakaan, duduk secara melingkar di meja bundar yang beratap seng dengan tanaman pohon bunga kertas di sekitarnya.
Aku memandang Kris, dia adalah anak laki-laki dengan badan besar yang tadi berbicara pada kami. Kemudian aku melirik Indira dan meminta pendapatnya, namun gadis berpipi gemuk ini hanya membalas aku dengan mengernyit.
Aku anggap dia setuju, jadi aku berkata; “Kalau begitu baiklah, lakukan apa yang kalian inginkan.”
Kris tersenyum senang lalu segera kembali ke meja belakang, Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan namun setelah pembicaraan mereka selesai, kelas kembali ribut dengan suara gesekan meja dan kursi.
Mereka berdua benar-benar pindah duduk didepan kami!
Kris dan temannya membantu kami untuk memindahkan kuris dan meja lebih ke belakang. Setelah itu kami tidak berbicara lagi, aku sibuk berbicara dengan Indira, bercerita tentang hal apa saja yang kami lakukan saat libur semester kemarin.
Suara kursi yang tergesek di depan membuat kami menoleh, Anak laki-laki yang duduk di depanku ternyata berbalik dan menatap aku, ada senyum kecil diwajahnya,
“Hei, boleh aku tahu namamu?” dia bertanya sambil menyodorkan tangannya, membuat aku mengernyit seketika.
"Kau sudah menghabiskan waktu satu tahun bersamanya di perpustakaan dan kau tidak tahu namanya?” Kris berkata setelah meninju tangan temannya.
Ya! ya! Itu benar. Kita sudah menghabiskan waktu satu tahun selama pelajaran agama. Sebenarnya aku juga tidak peduli karena aku juga tidak mengenalnya, kami sama sekali tidak pernah saling bicara.
“Hei, kau tahu aku tidak pernah memperhatikan teman kelasku kan? Jadi siapa namamu?” dia balik bertanya padaku dan mengabaikan Kris.
“Aku Rafaella, dan kau?” Dia berbalik mengernyit dan melihat ku di wajahnya seperti tertulis kau juga tidak kenal aku?
“Astaga, ada apa dengan kalian? Kita sudah masuk tahun kedua dan kalian bahkan tidak saling mengenal?” Kris memukul wajahnya tidak percaya.
“Aku Daren,” Setelah dia mengatakan namanya, aku hanya mengangguk mengerti.
Setelah perkenalan tersebut, kami kembali menjadi hening. Guru yang memungkinkan akan menjadi guru wali kami memasuki ruang kelas, anak-anak yang tadinya masih ribut sekarang menjadi hening, semuanya memperhatikan guru di depan kelas.
“Baiklah, jumlah total untuk ruang kelas VIII.3 adalah 32 siswa, berikut yang namanya disebutkan harap berkumpul di lapangan untuk pengarahan pemindahan kelas, karena jumlah skor total tidak mencukupi...”
“...Antonius, Ello dan Ferdi. Ketiganya akan pindah ke kelas bawah, dan akan ada tiga teman tambahan dari kelas lain yang akan bergabung di kelas ini.”
Setelah mengatakan hal ini, guru pamit keluar. Hari pertama hingga satu Minggu kedepan, sekolah masih belum memulai proses belajar, guru-guru akan mengadakan rapat untuk menentukan jadwal belajar para pelajar.
Ruang kelas kembali ramai setelah guru meninggalkan ruangan kelas mereka. Aku dan Indira bersama dengan dua anak laki-laki di depan meja mereka saling bertukar cerita, sebenarnya aku merasa seperti sedang di interogasi.
Daren terus memberikan pertanyaan padaku dan aku hanya menjawab seadanya karena jujur aku tidak mengerti arah pembicaraan ini, dia bertanya padaku tentang apa hobi ku, makan atau minuman seperti apa yang aku sukai, musik apa yang aku sukai, lalu tentang impian masa depanku.
Cukup aneh untuk seseorang yang baru saja mengobrol beberapa jam yang lalu. Dia bertanya: “Apa yang kau sukai, Anjing atau kucing?”
“Anjing kucing tidak ada bedanya, tapi jika harus memilih aku pilih Anjing,” ucapku.
“Aku kucing, aku memiliki banyak kucing di rumah.”
Beginilah situasinya, Daren bertanya banyak hal padaku dan aku menjawab semuanya dengan baik, lalu setelah mendapatkan jawabanku dia akan memberitahukan tentang dirinya yang suka dengar lagu dari band yang vokalisnya bernama Ariel, dia juga berkata padaku bahwa di masa depan dia ingin menjadi tentara agar bisa membelah negara.
Aku cukup kagum mendengarnya pada hari pertama sekolah, dia banyak bicara padaku dan setiap kali kami di kelas, dia akan selalu berbalik menghadap ke belakang dan bertanya apa saja padaku. Alis miliknya agak tebal tapi tidak tipis juga, hidungnya juga agak sedikit mancung.
Dia orang yang baik, ada banyak waktu yang kami habiskan bersama setelah menjadi teman. Maksudku, setelah kami banyak mengobrol, tidak akan muat jika aku harus menceritakan secara rinci. Aku hanya akan menceritakan berdasarkan ingatan kecilku.
Sudah satu Minggu sejak sekolah masuk, dan kami akan mulai belajar. Jadwal kelas sudah diberikan, dan tentu saja secara keseluruhan aku selalu sekelas dengannya. Di sekolahku pelajaran agama di bagi menjadi tiga guru, karena jumlah yang Protestan lebih unggul, kami yang katolik sebanyak 12 orang akan selalu memilih taman baca sekolah sebagai ruang belajar kami..
Taman baca berada tepat di area perpustakaan, tempat biasa kami beribadah pagi. Pada tahun itu, perpustakaan masih terlihat sempit,isi perpustakaan hanya ada satu meja panjang yang saling berhadapan, dan lokasinya juga dekat dengan kantin sekolah dan lab laboratorium.
Kami duduk di meja bundaran kecil di taman baca, udara yang segar membuat kami tidak merasakan kantuk. Oh, aku lupa mengatakan bahwa diantara Aku, Indira, Daren dan Kris, setiap pelajaran agama Indira akan tetap di kelas, sementara aku akan pergi bersama kedua teman perempuanku yang lain.
Dari dua belas murid, tiga di antara kami adalah perempuan dan sisanya adalah anak laki-laki. Setelah keluar dari kelas, kami semua berpisah. Anak laki-laki biasa akan menuju kantin sementara kami akan menetap di dalam perpustakaan sampai guru agama datang.
Penjelasan dari guru berlangsung selama satu jam dan sisa satu jamnya lagi untuk kami pergunakan mengerjakan soal cerita yang ada di dalam buku, lalu mengumpulkannya di selembar kertas dan menyerahkannya pada guru yang mengajar.
“Hei, mengapa kalian tidak memanggil kami, saat guru sudah datang?”
Alena, salah satu perempuan dari kami bertiga berbicara; “Guru berkata untuk tidak mencari kalian.”
“Hei, bukankah kita sudah melakukan kesepakatan?”
“Kapan? Sejak kapan itu terjadi? Satu tahun kemarin kita saja tidak saling bicara.”
“Kau!”
“Hentikan! Lebih baik cepat kalian selesaikan, guru berkata bahwa masih bisa mengumpulkan meskipun ada pengurangan nilai.” Aku angkat bicara, bagaimana pun juga perpustakaan adalah ruangan yang hening, tidak baik jika membuat keributan.
Mereka diam, dan aku melanjutkan pekerjaanku. Daren datang mendekat padaku sambil membawa selembar kertas dan pena, aku mendengar dia berkata: “Boleh aku menyalin pekerjaanmu?”
Uh, aku menatapnya sebentar lalu berkata; “Sebentar aku sudah hampir selesai.”
“Tidak masalah, aku bisa duduk di sampingmu dan mulai menyalin,” Daren benar-benar duduk di sampingku, dan sesekali menoleh untuk melihat hasil pekerjaanku.
Aku diam-diam meliriknya dan menemukan wajah seriusnya. Ketika aku sudah selesai menulis, Daren masih berada di soal nomor dua, teman perempuanku yang lain sudah selesai dan datang menghampiriku.
“Rafaella, ayo kita harus segera mengepulkan tugas kita,” Kata Alena, disampingnya ada Andini dengan tampilan agak tomboi tapi memiliki senyum yang manis.
“Hei, tidakkah kau berlebihan? Tunggulah hingga kami selesai juga,” cowok dengan kulit Tan dan senyum khasnya bernama Julio angkat suara.
“Kenapa kami harus menunggu kalian? Salah siapa yang menghabiskan uang terlalu lama di kantin,” Andini ikut bicara.
“Setidaknya tunggulah agar kita bisa kumpul bersamaan.”
“Itu benar, lagi pula aku yakin mereka juga belum selesai belajar. Kau mau seperti pengemis di depan kelas?”
“...”
Pertikaian mereka masih terus berlanjut, Aku hanya diam bukannya tidak ingin menghentikan mereka, tapi aku tidak mendapatkan kesempatan untuk berbicara. Untung saja posisi kami tidak di dalam ruangan perpustakaan, sehingga pengawas tidak akan datang dan memarahi kami.
Aku melihat ke sebelah kiri ku, tempat Daren duduk. Tulisannya mirip seperti cakar ayam, mungkin karena dia pribadi merasa bahwa jam sudah semakin mepet saja.
“Tidak perlu buru-buru, aku akan menunggu sampai kau selesai. Kita bisa pergi bersama nanti.”
“Hm, ya. Aku akan segera menyelesaikannya.”
Aku melihat dia menghentikan pekerjaannya sejenak lalu melanjutkannya lagi. Tidak tahu apa yang lucu tapi aku benar-benar ingin tertawa namun tetap aku tahan.
Setelah beberapa menit kemudian, Daren dan yang lainnya selesai mengerjakan tugas. Sebagian dari mereka mengumpulkannya menjadi satu, dan memberikannya padaku.
”Rafael, Bawa pekerjaan kami sekalian yah. ”
“Uh?!”
“Guru mungkin tidak nyaman jika kita berbondong-bondong.”
Aku mengangguk, lalu melirik Daren dan bertanya; “Apakah tidak sekalian dengan tugasmu?”
“Tidak usah, aku akan membawanya sendiri. Ayo cepat, jam istirahat akan segera mulai.”
“Eh, tunggu aku.”
Pada akhirnya aku benar-benar pergi bersamanya. Setelah dari ruang guru kami kembali ke kelas, ruang kelas masih tertutup dan teman-teman lain masih duduk di teras.
Daren pergi berkumpul dengan anak laki-laki lain, sementara aku duduk diam bersama dengan dua anak perempuan lainnya. Setelah pintu terbuka, kelas menjadi ramai karena murid lain kembali ke kursi mereka.
Aku dan Indira memilih untuk pergi menuju kantin dan membeli makanan, setelah bel kembali berbunyi kami kembali ke ruang kelas dan menghabiskan pelajaran terakhir pada hari ini.
Setelah bel pulang berbunyi penghuni kelas tampak senang dan tenaga mereka kembali. Guru meninggalkan kelas, dan para pelajar mulai mengemasi isi tas mereka dan pulang.
Aku juga sama, setelah selesai berkemas aku dan Indira ingin segera pulang namun gerakan ku terhenti ketika Daren tiba-tiba menyodorkan secarik kertas dan pena padaku.
Aku mendengar dia berkata: “Ella, tolong Beri aku nomor ponselmu,” Aku pun mengambil kertas dan pena miliknya lalu menuliskan beberapa digit angka disana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!