NovelToon NovelToon

Milik Tuan CEO

1. Kegilaan

Melepaskan kemeja yang membuatnya merasa gerah, Sia menatap keluar jendela dengan mengenakan pakaian tidurnya yang tipis dan di hias renda di tepi dadanya.

Di luar ruangan hotel yang dia sewa terdengar beberapa suara langkah kaki, ribut sekali. Dia sampai tak bisa menikmati waktu istirahatnya dengan baik.

Menghela napas panjang, Sia masih menatap keluar jendela. Kini segelas anggur sudah berpindah ke tangannya, menemani dirinya menenangkan diri dari keributan di luar sana.

Menghirup udara bercampur polusi itu dalam-dalam, berusaha mencari ketenangan dalam dirinya.

Sia memejamkan matanya, dia tak bisa melakukan ini! Dia sudah berusaha menahan amarah yang menyeruak seperti udara, memenuhi otak dan relung hatinya yang mulai lelah mendengar suara langkah kaki di luar sana.

Dengan membuang napas kasar, dia berjalan keluar dengan pakaian ala kadarnya, melangkah mendekati pintu dengan wajah jutek.

Klek!

Baru membuka pintu, hendak menyentakkan suara ultra sonic miliknya, untuk meminta orang-orang diam dan tidak ribut.

Tapi seorang lelaki malah mendorongnya masuk dan menutup pintu kamarnya dengan cepat.

Lelaki itu diam, memeluk Sia dengan memasang pendengarannya tajam. Berusaha mendengarkan suara langkah kaki orang-orang yang mengejarnya telah hilang atau masih ada di sekitar sana.

"Apa yang Anda lakukan?" tanya Sia, pada lelaki yang masih mendekap dirinya dengan erat, tanpa memberikannya ruang untuk bernapas dengan leluasa.

"Maaf, Nona. Tolong tunggu sebentar. Saya akan segera keluar setelah di luar aman. Saya benar-benar minta–"

Suara lelaki itu tercekat, sebuah telunjuk menekan jakunnya dan membuatnya berhenti bicara.

Lelaki itu melirik pada Sia dengan tatapan waspada dan setengah takut.

"A-apa yang akan kamu lakukan? Aku bisa mati kalau kamu menekan itu lebih dalam!" ucap lelaki itu, dengan memperhatikan kedua sorot mata Sia yang tampak mengerikan saat menatapnya.

"Anda tahu itu! Tapi Anda membuat saya menempel pada Anda sampai sedekat ini dan membuat dada saya sakit. Saya juga susah bernapas, Tuan!" protes Sia, membuat lelaki itu melepaskan dirinya dan menatapnya dengan tatapan penuh penyesalan.

Sia pun menjauhkan telunjuknya dari jakun lelaki itu, melangkah mundur dan kembali pada tempatnya. Yaitu jendela di depan sana, dengan memunggungi lelaki itu.

"Maafkan saya, Nona. Saya tidak bermaksud untuk melakukannya." Lelaki itu tampak resah, takut jika dia di usir oleh pemilik kamar ini.

Tapi Sia hanya diam dan tak acuh. Dia kembali menikmati anggurnya dan tak memedulikan keberadaan lelaki itu.

"Boleh saya di sini sebentar lagi? Saya akan membayar hotel Anda sebagai ganti ruginya," ucap lelaki itu, perlahan-lahan berjalan mendekati Sia.

"Terserah. Asal Anda tidak membuat keributan, saya tidak masalah!" celetuk Sia, seakan tidak peduli dengan itu.

Lelaki itu menghela napas lega, menatap ruangan itu dengan tatapan menelisik dan berhenti di titik, tempat sofa panjang berada.

Sia melirik lelaki itu, dan berkata, "Silakan duduk. Anda mau anggur juga?"

Lelaki itu memalingkan wajahnya dengan cepat ke arah Sia, tersenyum simpul dan mengangguk singkat.

Sia diam beberapa saat, sebelum akhirnya berjalan pergi meninggalkan tempatnya. Dia pergi ke arah pantry dan mengambil gelas anggur untuk lelaki itu.

"Silakan. Saya ke kamar mandi dulu," ucap Sia, memberikan gelas itu dan mengambil ponselnya di meja tempat botol anggurnya berada.

Set!

Gelas kaca yang baru Sia berikan pada lelaki itu, kini sudah berubah menjadi senjata untuk lawan bicaranya.

Sia menatap lelaki yang mengacungkan gelas kaca itu ke arah pelipisnya, dengan tatapan dingin.

"Apa yang ingin Anda lakukan?" tanya lelaki itu, penuh waspada.

Kedua matanya yang seperti elang sudah terpampang nyata di sertai raut wajah yang kaku.

"Letakkan ponsel Anda!" ucap lelaki itu, kembali. Kini nadanya penuh intimidasi.

Sia tak melakukan kemauannya, dia malah mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya dan menodongkan moncong benda itu padanya.

Glek!

Lelaki itu menelan ludahnya susah, menatap senapan yang mengarah pada bagian bawah dagunya, dengan tatapan gentar.

Dia mengalihkan pandangannya pada Sia yang tampak serius dengan hal itu. "Jangan macam-macam. Saya bukan tipe wanita yang takut di ancam dengan apa pun!"

Sia menyingkirkan gelas yang mengarah di pelipisnya, lalu menyimpan senapan miliknya, ke tempatnya.

Sia berjalan ke arah kamar mandi, sambil berkata, "Saya juga bisa mengancam seseorang. Saya sangat pandai melakukannya! Jadi jangan berharap banyak dengan kebaikan yang saya tunjukan ini. Tenang dan berlindunglah dengan baik, selama saya membiarkan Anda berada di tempat ini."

Setelah mengatakan itu, Sia masuk ke dalam kamar mandi dan tak terdengar suara lagi. Hanya hening yang merayap di sekitar ruangan itu.

Lelaki itu pun terdiam di tempatnya, menatap ruangan yang di masuki Sia dengan tatapan bengong.

Tak lama dia tersenyum, membuat senyuman culas terpampang di wajahnya yang dingin dan kaku.

"Menarik!"

Keesokan paginya ....

Sia bangun dari tidurnya, menatap dirinya tanpa busana dengan lelaki yang dia biarkan masuk ke dalam kamarnya kemarin, telanjang bulat tanpa di tutupi sehelai kain pun di tubuhnya.

Sia menghela napas berat, dia terbayang kejadian kemarin. Kejadian gila setelah dia mendapatkan pesan teks yang berisikan kalimat perpisahan dari kekasihnya di negeri seberang sana.

Lalu ingatan yang baru dia ingat, benar-benar membuat Sia geleng-geleng kepala dengan kuat.

"Bisa-bisanya aku menyerang orang yang sedang istirahat," gumam Sia, mengusap kasar rambut bagian belakangnya, sambil menatap cap merah di beberapa bagian tubuh lelaki itu.

"Aku benar-benar gila!" pekik Sia, setengah berteriak, sampai-sampai membuat lawan main semalanya terbangun.

Lelaki itu bangun, menatap Sia yang juga menatapnya dengan senyuman cerah. "Selamat pagi, sayang!" ucapnya, penuh keagungan.

Sia langsung merinding dan melemparkan selimut yang menutup tubuhnya pada lelaki itu, membuat tubuh bagian bawahnya tertutup. Sementara dia yang telanjang, mengambil pakaian tidurnya dan mengenakannya tanpa dalaman.

Membuat sebagian tubuhnya terekspos walaupun sudah tertutup kain. Ya, itu semua karena terlalu tipisnya linggerie yang dia kenakan saat itu.

"Kamu berusaha menggodaku?" tanya lelaki itu, bangkit dari tempatnya setelah mengenakan CD-nya.

Dia berjala  mengikuti Sia ke dalam kamar mandi dan memeluk tubuh wanita itu dari belakang, seakan menunjukkan kemesraan yang bisa membuat semua orang iri saat melihatnya.

Namun Sia yang mendapati sikap manja lelaki itu, langsung menyenggol perut lelaki itu dengan sikunya.

Lelaki itu mengaduh sakit sambil tersenyum, menatap wajah jutek Sia dengan tatapan senang. "Aku harap kamu tidak lupa janji kita kemarin, Sia!" ucapnya, penuh kemenangan.

Sia menaikkan sebelah alisnya, menatapnya dengan tatapan tak paham. "Memang apa yang aku katakan?"

Lelaki itu tersenyum lebar dan mendekati Sia, kembali memeluknya dan menatap Sia dari dekat dengan tatapan lekat. Lalu dia berbisik, "Kamu berjanji akan menikah denganku jika kita bermalam bersama!"

Sia tersentak, dia menatap wajah licik lelaki itu dengan tatapan tak percaya. "Sungguh?"

2. Luka

"Kamu berjanji akan menikah denganku jika kita bermalam bersama!"

Sia tersentak, dia menatap wajah licik lelaki itu dengan tatapan tak percaya.

"Sungguh?" tanya Sia, sambil mendorong mundur lelaki itu, agar jarak mereka tetap terjaga walaupun situasinya tak mendukung.

Lelaki itu mengangguk mantap, dia sedikit berjongkok, sekedar menatap wajah Sia yang menunduk penuh keraguan.

"Kamu ingin dengar rekaman suaranya? Aku sudah membuat rekaman soal kemarin malam karena tahu kamu akan seperti ini saat pagi datang," ucap lelaki itu, berjalan keluar untuk mengambil ponselnya.

Namun saat dia hendak kembali ke kamar mandi, Sia sudah tak ada di tempatnya dengan jendela kamar mandi yang terbuka lebar.

Lelaki itu berjalan cepat ke jendela, menundukkan kepalanya ke bawah, menatap sosok Sia yang sudah ada di pelukan seseorang dengan menatapnya dari bawah.

Dia menghantam bingkai jendela kesal. Wajahnya yang marah, membuat dua orang di bawah sana segera pergi meninggalkan tempat itu.

Lelaki itu melakukan panggilan, mendatangkan seorang lelaki muda berusia sepantaran dengannya, di luar pintu kamar hotelnya.

Klek!

Lelaki di depan pintu itu, terkejut melihat Tuannya tak mengenakan busana yang pantas saat membukakan pintu untuknya.

"Tuan Albert, apa yang terjadi dengan pakaian Anda?" tanya Derick, berjalan masuk ke dalam ruangan itu dan menutup pintunya.

Lelaki bernama Albert itu mengucap wajahnya kasar sambil duduk sofa single yang ada di sana.

Derick berdiri di dekat Albert, menyaksikan wajah muram Tuannya yang mudah berubah menjadi pemarah.

"Kau harus mencari tahu tentang gadis itu! Dia pergi terburu-buru. Jadi dia pasti meninggalkan KTP-nya di resepsionis bawah!" ucap Albert, menghela napas gusar berulang kali.

"Saya tahu beliau, Tuan!" ucap Derick, membuat kening Albert bergejolak.

"Kau tahu dia? Wanita yang bermalam denganku?" tanya Albert, tak yakin.

Tapi Derick tampak begitu yakin. Dia bahkan menunjukkan beberapa potret wanita itu padanya. Membuat Albert mau tak mau mempercayainya.

"Benar, kan? Wanita itu yang bersama dengan Anda kemarin malam. Saya sempat melihatnya sekilas saat dia membuka pintu, mangkanya saya langsung mencari siapa dia. Anda juga tahu jika penglihatan saya cukup jeli, kan?" tanya Derick, menaik-turunkan kedua alisnya, menggoda.

Albert hanya memutar bola matanya malas, mengembalikan ponsel Derick dan bangkit dari tempat duduknya.

"Berikan aku pakaian baru, dan carikan alamat wanita untukku. Aku harus bertemu dengannya untuk menagih janji!" ucap Albert, seakan memiliki tekad membara untuk bertemu lagi dengan wanita itu.

Derick pun tak paham dengan apa yang di pikirkan olehnya. Albert yang biasanya tak memedulikan para wanita yang tidur bersama dengannya, kenapa kini malah ingin mencari wanita yang tak di kenal?

Derick masih diam di tempatnya, membuat Albert menatapnya dengan pandangan mengintimidasi.

"Kenapa tidak bergerak? Kamu tidak ingin bekerja hari ini?" tanya Albert, setengah menyindir.

Derick segera menggelengkan kepalanya dan berjalan pergi meninggalkan ruangan itu.

"Saya akan segera kembali."

***

Hahhh ....

Lelaki berusia 24 tahun itu menghela napas kasar, memperhatikan Sia yang duduk di sampingnya dengan tatapan lelah.

"Sebenarnya apa yang terjadi padamu? Penampilan kamu sangat tidak pantas untuk wanita perawan, Sia!" celetuk Gav, seperti menekan. Padahal dia tak memiliki maksud itu dalam menyampaikan pendapatnya.

Sia melirik sejenak, menatap Gav dengan tatapan setengah takut. "Aku sudah tidak perawan, Gav!" ucapnya.

Gav membulat, menghentikan mobilnya secara mendadak di pinggir jalan, membuat beberapa pengemudi di belakang mereka protes dengan membunyikan klakson mereka.

Tinnnn!!!

"Kau gila? Bagaimana kalau terjadi kecelakaan?" pekik Sia, menatap Gav  dengan rasa kesak yang menumpuk.

Sementara Gav hanya bisa diam, menghiraukan omelan itu dan fokus menatap wajah Sia yang memerah karena marah.

"Kau serius? Kamu benar-benar sudah melepaskan segel??" tanya Gav, berhati-hati. Walaupun dia sangat ingin menge-gas saat ini.

Sia menarik mundur punggungnya, menyandarkan diri pada kepala jok mobil. "Memang aku terlihat berbohong?" tanyanya, menatap lawan bicaranya dengan tatapan meyakinkan.

Tak lama setelah itu Gav mengusap wajahnya kasar, membenturkan keningnya pada kemudi mobil dan menatap Sia frustrasi.

"Kau gila? Siapa yang melakukan itu padamu? Lelaki mana yang berani melakukan hal bejat itu padamu? Katakan padaku!" seru Gav, tampak marah, kesal dan geram.

Pokoknya, wajah lelaki itu benar-benar buruk. Bahkan sampai membuat Sia tak berani berkutik untuk menjawab pertanyaan remeh itu.

Gav buang muka, melihat Sia yang bungkam. Dia sudah berpikir jika Sia tidak mengetahui identitas lelaki itu. Dan dia di buat bertambah geram karenanya.

Gav kembali menjalankan mobilnya. Mereka pulang ke rumah dengan selamat.

Gav langsung turun setelah memarkirkan mobilnya di bagasi. Dia tidak menunggu Sia seperti biasanya. Dia langsung pergi dengan wajah muram.

Sia hanya bisa diam, dia segera turun dan menutupi tubuhnya dengan jaket musim dingin Gav, lalu memberanikan diri masuk ke dalam rumah.

Tapi sayang, dia tak akan bisa langsung masuk ke kamar, karena saat ini Gav sudah membawa teman-teman mereka di ruang tengah.

Tatapan lima orang itu jatuh pada penampilan Sia, begitu dia masuk ke dalam rumah dengan wajah kikuk.

Sia gadis yang dingin. Dia bisa saja mengacuhkan mereka dan langsung pergi ke kamar, mengurung diri di sana.

Tapi, kelima orang yang ada di dalam rumah itu adalah keluarganya. Satu-satunya orang yang bisa menerimanya dan memperlakukannya dengan baik sejak kecil sampai sekarang.

Honey, wanita yang sudah berteman dengan Sia sejak dia berusia 10 tahun, berjalan mendekat pada Sia dan berdiri di depannya dengan tatapan sendu.

"Kau baik-baik saja?" tanya Honey, sedikit merentangkan tangannya, membiarkan Sia masuk ke dalam pelukannya.

Sia menangis. Wajahnya yang terurai air mata membuat Gav tersadar tentang satu hal.

Tentang satu langkah yang membuat Sia semakin menyedihkan di depannya.

"Aku salah memperlakukannya!" pikiran itulah yang terlintas di pikiran Gav, saat melihat wajah cantik Sia mulai memerah dan basah karena air mata dan keringat.

Honey memeluknya semakin serat, menyusupkan wajahnya di leher Sia dan berusaha membisikkan semua kata-kata yang bisa membuat Sia menjadi tenang.

Ya, Sia merasa terpukul. Benar-benar terpukul! Ini adalah pengalaman pertamanya, pengalaman yang harusnya dia rasakan dengan suaminya.

Tapi karena tipu daya alkohol, dia melemparkan dirinya yang frustrasi pada lelaki tak di kenal dan membuat harga dirinya serendah ini.

"Maafkan aku, Han. Aku benar-benar merasa malu!" ucap Sia, mendorong tubuh Honey dan berlari masuk ke kamarnya.

Brak!

Sia menutup pintu dengan sedikit keras, membuat lima orang temannya terdiam dengan suasana tak nyaman.

Honey menatap pada Gav yang tampak murung. "Kau harus minta maaf, Gav. Tidak seharusnya kamu memarahi wanita yang sedang terluka."

Honey mendekati teman-temannya, mengeluarkan sebuah undangan dari dalam tas laptop yang ada di atas meja, dan memberikan undangan pernikahan itu di hadapan mereka.

"Rion akan menikah dengan wanita lain. Dan mungkin, alasan Sia kebobolan malam itu karena lelaki ini meninggalkannya!" ucap Honey, membuat keempat temannya termenung.

Dan yang paling terpuruk adalah Gav. Orang yang sempat menyentak Sia dengan amarahnya.

"Hahh ... bodohnya aku!" batin Gav, mengusap wajahnya dengan kasar.

3. Lamaran

Tok ... tok ....

"Masuk," seru Albert, membiarkan Derick masuk dengan adik lelakinya, Lard, yang entah kenapa ada di sini juga.

"Kenapa kau kemari, Lard? Ada sesuatu yang kamu perlukan?" tanya Albert, pada lelaki berusia 23 tahun itu.

Lard hanya menggelengkan kepala dan beranjak duduk di sofa, menatap kedua Majikan dan Sekretaris itu berdiri di satu tempat dengan menatapnya lurus.

"Kenapa, Lard? Jika ada yang ingin di sampaikan, cepat katakan dan keluar dari ruanganku. Ada yang harus aku bahas bersama Derick!" ucap Albert, mengusir.

Lard menarik garis tegas di wajahnya, membuat wajah kalem itu terlihat dingin. "Aku ingin dengar sesuatu, mangkanya duduk di sini."

Albert menarik alisnya melengkung, menatap adiknya penuh tanya. "Apa yang ingin kamu tahu? Kamu saja tidak mengajukan pertanyaan. Lalu apa yang harus aku jawab?"

Lard menunjuk ke arah Derick dengan gerakan dagu. "Yang akan kalian bahas, itu pertanyaanku!" Lard menatap kedua lelaki itu dengan tatapan dingin.

"Aku dengar gosip miring tentang calon Iparku. Jadi aku menunggu kalian membahasnya. Kalian akan membahasnya, kan?" Lard memberi jeda, dan berkata, "Aku ingin dengar juga!"

Lard kembali diam, sorot matanya yang mengintimidasi membuat Derick dan Albert saling memandang dengan curiga.

"Dari mana kamu tahu hal ini? Tidak ada berita yang terkuak–"

Derick spontan membuka breaking news dan melihat banyak berita tentang Albert di sana.

Melihat kedua mata Derick yang melotot, Albert merebut tablet lelaki itu dan melihat isinya.

Albert menepuk keningnya ampun, wajahnya terpampang jelas, dan untungnya wajah Sia tak tertangkap kamera karena dia memunggungi kameramen ini.

"Jika di lihat dari sudut fotonya, sepertinya di ambil dari kafe yang ada di seberang jalan. Gambarnya terlihat di zoom," jelas Derick, jeli.

Albert menyetujui itu. Dia mengangguk dan mengembalikan tablet itu pada pemiliknya. "Alamatnya?"

"Ya, saya sudah menemukannya, Tuan. Apa Anda mau pergi sekarang? Sebentar lagi Anda ada agenda penting. Anda tidak bisa meninggalkannya," jelas Derick, membatasi pergerakan Albert sebelum lelaki bertindak semaunya.

Albert mendengus kasar, menatap adik lelakinya dengan tatapan lurus.

Lard yang paham dengan pandangan itu, malah beralih menatap hal lain, sebelum memutuskan pergi dari tempat itu.

Albert meletakkan yang hannya di kening, memijit kedua pelipisnya dengan ibu jari dan jari tengahnya, bersamaan. Lalu dia berkata, "Dasar anak tak bisa di andalkan, pekiknya, menghela napas lelah.

***

Sia bangun pukul 10.00 pagi, dia membuka mata dan menatap ke arah luar jendela yang sudah terang-benderang.

Tak ada yang bisa Sia lihat dari balik tirai putih yang menghalangi jendela kamarnya itu. Dia hanya melihat bayangan gedung di depan sana dengan sorot sedih.

Namun rasa sedih itu sirna beberapa saat setelah Sia menerima telepon dari atasannya, Pak Farel.

Sia meraih ponsel yang selalu terletak di atas nakas, tiap kali dia bangun tidur itu. Bangun dari posisi tidurnya dan duduk di atas ranjang dengan menempelkan layar ponselnya ke telinga.

"Halo," ucap Sia, mengawali panggilan itu dengan suara muram.

Lelaki yang hendak marah di seberang sana, kembali menelan semua amarahnya saat mendengar suara lemah anak emasnya itu.

"Kau sakit? Tidak pergi ke kantor?" tanya Farel, menunggu jawaban dari seberang sana dengan sabar.

"Saya akan sampai 30 menit lagi, Pak. Bisakah Anda tidak memarahi saya saat saya datang? Saya benar-benar minta maaf karena datang sangat terlambat," ucap Sia, masih dengan nada lemahnya.

Farel menundukkan kepala, menatap ujung jari telunjuknya yang mengeruk permukaan meja, seraya otaknya sedang traveling ke mana-mana.

"Kalau sakit, jangan datang. Istirahat saja di rumah. Aku sudah lihat artikelnya, malang sekali nasib kamu," celetuk Farel, dengan mengembuskan napas gusar.

Sia mengerutkan kening, menatap ponselnya dengan tatapan terkejut. "Saya sungguh boleh cuti?" tanyanya, melewatkan topik terpenting dari pembicaraan mereka.

"Ya, liburlah selama 3 hari. Lalu masuk setelah para wartawan tenang dan tidak datang ke sini. Aku memberimu cuti dengan cuma-cuma. Kamu harus bersyukur karena–"

Tut!

Belum selesai Farel berbicara, Sia sudah memutuskan sambungan telepon mereka dan kembali tidur dengan senyuman mengembang sempurna.

Sementara Farel yang ada di seberang sana, hanya menggelengkan kepalanya ampun dan melanjutkan pekerjaannya.

Baru 5 menit Sia memejamkan matanya, tiba-tiba suara gemuruh dari dalam perutnya terdengar nyaring, sampai-sampai membuatnya bangun dari tempat tidurnya, dengan wajah kaget.

Klek ....

Honey masuk ke dalam kamar Sia dan memandang Sia yang duduk di atas ranjang dengan tatapan kaget, dengan pandangan aneh.

"Kenapa kamu?" tanya Honey, berjalan mendekat padanya dengan membawa sebungkus roti.

Sia menoleh padanya dan menggelengkan kepalanya cepat. Dia menatap Honey yang mengenakan pakaian casul, dengan tatapan heran.

"Kamu tidak keluar? Bisanya jam segini kamu sudah tidak ada di rumah," celetuk Sia, sambil membuka bungkus roti pemberian Honey dan melahapnya.

"Enggak, hari ini aku kerja di rumah saja. Di luar sangat panas! Turunlah, nanti makan siang denganku. Aku kira kamu masih sedih, ternyata sudah baikkan. Syukurlah," ucap Honey, berjalan keluar dari kamar itu tanpa menutup pintunya.

Sia bangkit dari tempat tidurnya, berjalan keluar dan mengekori langkah Honey yang pergi menuju dapur.

"Ah, sampai lupa. Ada tamu yang sudah menunggu kamu. Aku lupa menyampaikannya," celetuk Honey, langsung ingat saat melihat sosok lelaki yang duduk di sofa ruang tamu dengan posisi memunggungi mereka.

Sia menaikkan sebelah alisnya, menoleh ke arah ruang tamu dan mendapati Albert tengah duduk di sana sambil menatapnya.

Sia terlonjak kaget, menatap wajah Albert yang sudah menunjukkan tampang liciknya dengan tatapan kesal.

"Kenapa kamu membiarkannya masuk!" seru Sia, setengah menjerit sambil memukul pundak Honey berulang kali.

Melihat wajah sahabatnya yang begitu, Honey pun menatap dua lelaki yang duduk di ruang tamu dengan tatapan bingung.

"Memang kenapa? Dua lelaki tampan mencarimu. Kenapa aku tidak membiarkan mereka bertamu? Aku kan tidak gila," pekik Honey, di sertai senyuman tengilnya.

Sia yang mendengar jawaban membagongkan itu, langsung memukul pelan bahu Honey untuk ke sekian kalinya, sambil loncat-loncat tak senang dan meminta Honey mengeluarkan keduanya.

"Usir mereka. Aku tidak mau melihatnya!" omel Sia, tampak benar-benar enggan.

Tapi Honey tidak menggubris dan kembali duduk di meja makan, melanjutkan acara mengetiknya

Sia menatap Albert yang melambaikan tangan, memintanya pergi ke arah mereka.

Sia mendengus kasar, berjalan dengan langkah malas mendekati kedua orang itu.

Sia memalingkan wajahnya, tak ingin menatap wajah Albert yang masih belum dia tahu namanya, tapi ujung-ujungnya malah tahu alamat rumahnya.

"Tatap aku, kalau tidak! Aku akan menyerukan maksud kedatanganku dengan lantang." Albert mulai mengancam. Bahkan sebelah tangannya sudah menarik turun salah satu tangan Sia yang bersedekap dada, dan menggenggamnya. "Jika itu terjadi, aku pastikan kamu malu!" lanjutnya, masih mengintimidasi.

Sia menatapnya dengan tatapan kesal. Menatap wajah tampan yang setia mengurai senyuman licik padanya. "Apa maumu datang ke sini, sialan?!" desisnya, penuh amarah.

"Melamarmu, Sia!" jawab lelaki rupawan itu, enteng.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!