Seorang pria terlihat sedang kesal. Ia menegak alkohol dalam gelas dengan sekali tegukan. Dalam benaknya, muncul sosok pria tua paruh baya yang sebelumnya ia temui. Pria itu menagih sejumlah uang padanya dan mengancam akan membunuh, jika hutang tak segera terbayarkan.
"Ah, sial! bagaimana bisa aku dapatkan uang dengan jumlah banyak hanya dalam waktu satu hari? tabunganku saja tak cukup untuk membayar setengahnya," batin pria bernama Alvaro.
Setelah berusaha keras berpikir, ia pun tersenyum tipis dan meletakkan gelas di meja. Ia seperti sudah mendapatkan ide.
"Oh, iya. Aku pinjam saja pada Rere. Tidak mungkin saudari kembarku itu tidak punya uang. Dia adalah wanita baik dan selalu hidup hemat. Aku harus segera menemuinya," batin Alvaro.
Ia pun pergi setelah membayar tagihan minuman. Dengan mengendarai taksi, ia meninggalkan Bar.
Di tengah jalan. Alvaro menghubungi Audrey, Saudari kembarnya. Ia berharap bisa segera bertemu kembaranya itu dan melunasi hutang-hutangnya. Setelah berbincang di telepon, Alvaro dan Audrey pun sepakat bertemu di sebuah kedai kopi. Kebetulan Audrey sedang ada di sana karena baru saja bertemu dengan seorang teman lama.
***
Alvaro sampai di kedai kopi. Ia masuk dan duduk menghadap Audrey. Melihat langkah saudaranya yang terhuyung, Audrey langsung menebak, jika Alvaro baru saja minum alkohol.
"Apa kamu baru minum alkohol?" tanya Audrey.
"Ya, sedikit. Aku sedang stres saat ini. Makadari itu, tolong bantu aku, Re." jawab Alvaro dengan wajah memelas menatap Audrey.
"Bantu apa?" tanya Audrey mengernyitkan dahi.
"Jangan bilang uang. Apa dia lagi-lagi berjudi dan bermain wanita?" batin Audrey curiga.
"Pinjami aku uang. Bulan depan aku akan bayar," jawab Alvaro.
"Sudah aku duga. Apa kamu sedang kesulitan sampai meminjam padaku? kamu bukannya punya tabungan?" jawab Audrey.
"Tidak cukup, Re. Seluruh tabunganku bahkan tidak bisa membayar setengah hutangku." jawab Alvaro sedikit meninggikan suara.
"Apa? Kamu sudah gila, Al. Bisa-bisanya kamu berhutang sebanyak itu. Apa saja yang kamu lalukan dengan uang sebanyak itu? aku tahu kamu memang boros, suka berfoya-foya dan bermain wanita, tapi ... setengah tabunganmu pun bahkan tak mampu menutupi hutangmu? Gila! kamu gila!" kata Audrey menatap tajam ke arah saudara kembarnya.
"Hentikan ocehanmu, Re. Katakan, kamu mau meminjami atau tidak? jangan membuatku semakin stres," kata Alvaro menahan emosi.
"Aku tidak bisa pinjamkan. Mintalah pada Papa dan Mama, beliau berdua pasti memberikan berapapun uang yang kamu minta. Meski kamu harus diomeli, tahanlah. Hanya itu satu-satunya cara." jawab Audrey.
Mendengar jawaban saudarinya, Alvaro emrasa kesal. Biasanya Audrey aka berbaik hati meminjaminya uang, meski mengomel. Kali ini sepertinya permintaannya tak terpenuhi.
"Hah! sepertinya aku hanya buang-buang waktu saja denganmu. Bukannya membantu malah menceramahiku," omel Alvaro. Ia lantas pergi meninggalkam Audrey.
Audrey menatap kepergian Alvaro tanpa rasa bersalah. Ia sejujurnya tidak tega, tetapi kali ini ia tidak akan membantu Alvaro lagi karena dirasa terlalu berat. Jumlah uang yang diminta Alvaro tidaklah sedikit.
"Maaf, Al. Aku tidak bisa membantumu kali ini. Sudah berkali-kali aku membantumu, bahkan aku rela memakai tabunganku untukmu. Kali ini kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu sendiri." batin Audrey.
***
Keesoakan harinya. Alvaro menemui penagih hutang di tempat yang sudah ditentukan. Alvaro datang dengan semua uang tabungannya. Ia bahkan sampai menjual koleksi jam tangan dan beberapa jas kesayangannya.
Alvaro tidak mendengarkan saran saudari kembarnya. Baginya, meminta uang dan berbicara jujur pada Papa juga Mamanya adalah sebuah masalah besar. Tidak hanya dimarahi, ia pasti akan langsung diusir. Ia menyadari, betapa bodohnya dirinya sendiri karena sudah menghabiskan uang dengan jumlah yang sangat besar. Jika digunakan untuk kebutuhan hidup, nominal hutang Alvaro bisa digunakan untuk lima tahun bahkan lebih.
"Apa kamu sudah membawa uangnya?" tanya seseorang yang baru saja datang. Seseorang itu duduk dan menatap tajam ke arah Alvaro.
"Aku hanya bisa membayar setengahnya saja. Bisakah setengahnya aku angsur?" jawab Alvaro menatap ke arah seseorang yang duduk di hadapannya.
"Apa kamu pikir aku ini penjual ikan di pasar? tidak bisa tawar menawar denganku. Aku meminta penuh, tidak mau setengah-setengah. Ah ... begini saja, aku hubungi orangtuamu, bagaimana? bukankah kamu anak dari orang ternama di kota ini?" kata seorang paruh baya itu dengan wajah dinginnya.
"Jangan!" seru Alvaro berteriak.
Alvaro menggelengkan kepalanya cepat, "Tolong jangan lakukan itu. Aku akan bayar hutangku. Orang tuaku tidak boleh tahu soal ini. Aku akan ada dalam masalah besar," lanjutnya bicara.
"Kalau begitu cepat bayar. Aku tidak punya waktu berlama-lama dengan Tuan muda tidak berguna sepertimu," jawab seseorang itu.
Alvaro terdiam. Ia sedang berpikir keras. Entah apa yang merasuki pikirannya, tiba-tiba ia pun berdiri, lalu mendekati pria paruh baya itu. Ia berbisik sesuatu.
"Bagaimana?" tanya Alvaro tersenyum menatap pria paruh baya di sampingnya.
Pria paruh baya itu tersenyum lebar, "Apa kamu sungguh-sungguh? ini bukan tipuan, kan?" tanyanya.
"Mana mungkin. Aku tidak akan berbohong," jawab Alvaro menyakinkan.
"Baiklah. Aku akan mengirimu pesan. Bawalah dia padaku malam ini, sebagai setengah pembayarannya." kata pria itu senang.
"Ya," jawab Alvaro tersenyum.
Pria itupun pergi dengan beberapa orang yang ia bawa. Alvaro tetap tinggal, menatap ke arah pintu. Bibirnya terangkat naik, senyumnya semakin lebar. Entah apa yang ia bisikan pada seseorang tadi. Yang jelas ia bisa terhindar dari ancaman yang mengancam keselamatan nyawanya.
***
Audrey mendapatkan pesan dari Alvaro. Ia meminta Audrey menjemputnya disebuah Hotel. Audrey tahu kebiasaan Alvaro memang sangat buruk, ia pasti minta dijemput pulang kalau sudah mabuk berat.
Meski merasa aneh, Audrey tidak menaruh rasa curiga. Ia berpikir, jika saudara memang dalam kesulitan. Terlebih ia merasa sedikit bersalah karena tadi tidak bisa memenuhi permintaan Alvaro.
Saat ia masuk ke kamar Hotel, ia merasa aneh. Ia tidak menjumpai Alvaro, tetapi pria paruh baya yang hanya mengenakan kimono handuk dengan segelas wine ditangannya.
"Hallo, cantik ... " sapa pria itu tersenyum.
"Si-siapa? di mana Alvaro?" tanya Audrey mengerutkan dahi.
"Oh, dia tidak di sini. Kemarilah, biarkan aku melihatmu lebih dekat lagi." kata pria itu.
"Tidak. Aku akan pergi!" sentak Audrey berbalik. Baru saja ia ingin melangkah pergi, tangannya sudah ditarik pria paruh baya itu dengan kuat. Membuat Audrey terpelanting ke dinding.
"Hei, jangan berulah. Alvaro sudah menjualmu padamu dengan harga yang sangat mahal. Sudah jadi kewajibanmu memuaskanku. Ayo, cepat buka pakaianmu." Kata pria itu kasar. Ia menatap tajam ke arah Audrey.
Audrey kaget. Ia segera menendang sela-sela kaki pria paruh baya itu dan langsung mendorong pria itu sekuat tenaga. Ia berlari cepat keluar kamar.
"Sialan! Alvaro, aku tidak akan memaafkanmu. Beraninya kamu menjualku," batin Audrey.
Audrey berhenti sebentar, ia melihat kiri kanan mencari seseorang, berniat meminta bantuan. Karena tidak ada siapapun, ia lantas memutuskan kembali berlari. Tak jauh darinya ada sebuah lift, ia sudah lega karena terlepas dari pria tua mesum yang hendak melecehkannya.
Tiba-tiba seseorang menarik tangannya. Membuat langkahnya terhenti. Di sampingnya, ada seorang pria tampan yang tidak dikenal. Audrey pun menarik tanganya dan berniat menjauhi pria itu.
"Tolong aku," kata pria itu. Keadaannya setengah sadar dengan wajah memerah penuh keringat.
Melihat aneh pria asing di sisinya, membuat Audrey semakin tak nyaman. Ada rasa takut yang menghampirinya. Pikiran Audrey semakin kacau. Ia tidak tahu lagi harus apa dan bagaimana menghadapi situasi yang menyesakkan itu.
***
Sebelumnya ....
Audrey sedang dalam perjalanan menuju sebuah hotel. Ia membaca ulang pesan yang dikirim saudara kembarnya. Merasa khawatir, ia lantas menghubungi saudaranya itu untuk memastikan.
Panggilannya tersambung, tetapi belum diterima. Audrey lantas mencoba kembali menghubungi Alvaro. Hatinya merasa tak nyaman semenjak menerima pesan dari Alvaro.
"Hallo," jawab pelan dari ujung panggilan.
"Al, kamu di mana? apa keadaanmu tidak baik? Perlu aku panggilkan dokter juga?" tanya Audrey khawatir.
"Tidak perlu, Re. Aku baik-baik saja. Aku hanya perlu kamu cepat datang untuk membawaku pulang ke rumah. Kamu di mana?" tanya balik Alvaro.
"A-aku di jalan. Sebentar lagi sampai. Jangan lakukan hal yang berbahaya sampai aku datang, ok." kata Audrey, meminta Alvaro tak berulah.
"Ya, aku mengerti. Hati-hati di jalan. Aku menunggumu," jawab Alvaro yang langsung mengakhiri sepihak panggilan dari Audrey.
"Hallo ... hallo ... Alvaro ... " panggil Audrey.
Audrey menatap layar ponselnya dengan mengernyitkan dahinya. Ia sedikit kesal karena kata-katanya harus terhenti begitu saja setelah panggilan diakhiri sepihak oleh Alvaro.
"Apa-apaan dia ini. Selalu saja seenak hatinya," gumam Audrey.
Tidak lama kemudian, taksi yang ditumpangi Audrey telah sampai di sebuah hotel mewah. Setelah membayar tagihan taksi, ia bergegas masuk ke dalam gedung Hotel.
***
Audrey keluar dari pintu lift. Ia menyusuri lorong mencari nomor kamar sesuai dengan pesan yang dikirim Alvaro. Melihat pintu yang dicarinya ditemukan, perasaanya cukup lega. Sejenak Audrey menatap dalam-dalam pintu di hadapannya.
"Apa ini kebiasaan barunya, ya? biasanya aku hanya akan menjemputnya di Bar. Kali ini harus menjemput di kamar hotel." batin Audrey.
Audrey menempel kartu dan pintu pun terbuka. Ia segera masuk ke dalam kamar. Mata Audrey terpaku melihat sosok asing yang tidak dikenalnya.
"Apa aku salah masuk kamar? " batin Audrey bingung.
Seorang pria paruh baya memalingkan pandangan dan menatap penuh senyuman pada Audrey.
"Hallo, cantik ... " sapa pria paruh baya itu. Ia menatap tajam ke arah Audrey dengan segelas wine ditangannya.
"Si-siapa? di-di mana Alvaro?" tanya Audrey mengernyitkan dahi.
"Siapa yang kamu cari, hanya ada aku di sini." jawab pria itu tersenyum.
"Aku harus segera pergi dari sini. Ada yang tidak beres dengan orang ini," batin Audrey.
"Maaf, sepertinya aku salah masuk kamar." gumam Audrey. Ia segera berbalik ingin melangkah pergi.
Belum sampai kakinya melangkah, pria itu menarik tangan Audrey dan mendorong Audrey ke dinding. Ditatapnya tajam paras cantik Audrey.
"Wah ... kamu memang sangat cantik, Audrey. Panatas saja bedebah itu berani bicara." kata pria itu.
"Lepaskan!" teriak Audrey meronta.
"Pssst ... diamlah! Aku tak akan menyakiti wanita cantik sepertimu, jika kamu patuh. Jangan biarkan kulit putih ini memerah karena tamparan, sayang." kata pria itu dengan tatapan menjijikan.
"Siapa sebenarnya pria gila ini? sialan!" maki Audrey dalam hati.
"Apa kamu tahu, kamu telah dijual Alvaro padaku untuk melunasi hutangnya. Pemuda tak berguna itu hanya bisa mengembalikan setengah uangku. Melihat Dewi secantik kamu, aku rela hanya dibayar setengah. Ayo, cepat layani aku." kata pria itu tersenyum.
Tangan Audrey semakin erat dipegang. Tak punya pilihan, Audrey pun akhirnya menendang sela-sela kaki pria itu. Didorongnya sekuat tenaga tubuh pria itu dan Audrey pun berhasil keluar dari kamar.
Audrey terus berlari. Di tengah jalan, ia celingukan mencari keberadaan seseorang. Siapa tahu ada seseorang yang bisa ia mintai tolong.
"Ah, bodohnya aku. Bisa-bisanya percaya ucapan si gila Alvaro. Lihat saja, perbuatanmu ini tak akan kumaafkan. Beraninya kau menjualku untuk melunasi hutangmu," batin Audrey kesal.
Karena ia tidak menemukan siapa-siapa, ia pun kembali berjalan menuju lift. Tiba-tiba seseorang meraih tangan Audrey.
Audrey terkejut, dihadapannya ada seorang pria tampan yang terlihat berantakan.
"Si-siapa? apa maumu?" gumam Audrey terus lekat menatap pria dihadapannya.
"Tolong aku," gumam Pria itu.
Audrey mencium aroma alhokol. Dahinya berkerut, kali ini ia harus menghadapi pria gila lagi, itulah yang ia pikirkan.
"Pria ini mabuk. Lagi-lagi aku harus menghadapi pria aneh yang gila, ya." batin Audrey.
"Aku tidak bisa membantumu. Aku sedang terburu-buru saat ini. Jika kamu butuh bantuan, carilah keamanan atau datanglah resepsionis. Permisi," kata Audrey menepis tangannya dan melangkah pergi.
Baru beberapa langkah, Audrey dikejar. Tangannya ditarik dan ia dibawa masuk ke sebuah kamar. Dengan lengan besarnya, pria itu dengan mudah menarik Audrey.
"A-apa yang kamu lakukan. Sialan!" Teriak Audrey pada pria asing dihadapannya.
"Ma-maaf. Aku membawamu secara paksa karena kamu tidak bisa diajak bicara baik-baik. Tolong aku, bisakah ... ahh ... hhh ..." pria itu tiba-tiba merasa pusing. Napasnya juga terenggah-enggah.
"Apa ada yang sakit? perlu aku panggil seseorang? A ... " kata-kata Audrey terhenti saat pria itu tiba-tiba memeluknya.
"Bisakah ... bisakah kau ... " bisik pria itu yang tiba-tiba diam.
"Bisakah apa?" tanya Audrey bingung.
"Apa yang pria ini ingin katakan? kenapa dia tiba-tiba diam begini?" batin Audrey.
Tangan pria itu mengusap lembut pinggang dan naik ke punggung Audrey, membuat Audrey tidak nyaman.
"Apa yang kamu lakukan. Lepaskan," kata Audrey mendorong tubuh pria itu menjauh, tetapi tenaganya tidaklah sebanding dengan tenaga pria itu.
"Boleh aku menciummu?" tanya pria itu.
"Apa kamu gila?" sentak Audrey kesal.
"Kalau begitu, boleh aku menyentuhmu? Di sini, di sini dan di sini?" tanya pria itu, menunjuk beberapa area sensitif Audrey.
Audrey tersenyum masam, "Kamu ternyata memang pasien rumah sakit jiwa, ya. Bisa-bisanya memperlakukan wanita yang baru kamu temui serendah ini. Lepaskan aku, aku mau pulang." kata Audrey.
Pria itu tiba-tiba menggendong Audrey ke tempat tidur dan menidurkan Audrey di sana. Audrey ingin bangun, tetapi tubuhnya sudah lebih dulu ditindih tubuh besar milik pria itu.
"Kamu ... " kata Audrey menatap pria dihadapannya dengan penuh amarah.
"Hansen," kata pria itu menatap Audrey.
Audrey hanya mengernyitkan dahi. Ia tidak senang dengan sikap pria kurang ajar yang sudah semena-mena padanya.
"Siapapun kamu, tolong minggir! jangan sampai membuatku memakimu, Tuan." kata Audrey masih menahan diri.
"Terserah saja. Jika ingin memaki silakan. Aku tidak masalah. Hanya satu yang aku inginkan saat ini. Aku ingin menghabiskan malam ini bersamamu. Kamu tidak bisa dan tidak boleh menolak. Setelah ini, jika ingin menghajarku pun aku tidak akan mempermasalahkannya." kata Hansen.
Audrey diam terpaku. Ini pertama kalinya ia bertemu pria tampan yang gila seperti Hansen.
"Apa kamu minum banyak alkohol?" tanya Audrey.
"Tidak. Hanya segelas wine. Ada wanita licik yang ingin mencuri tubuhku, dia memberiku obat. Aku tidak ingin bersamanya," jelas Hansen.
"Tidak ingin bersamanya, tetapi kau ingin bersamaku? apa bedanya aku dan wanita itu?" tanya Audrey tidak habis pikir.
"Tentu saja berbeda. Kamu terlihat jauh lebih cantik dan seksi dibandingkan dengannya. Aku menyukai wajah pemarah ini," kata Hansen tersenyum.
Audrey semakin tidak memahami jalan pikiran Hansen yang menurutnya aneh. Ia dan Hansen mengenal saja tidak. Bagaimana bisa ia akan terlibat jauh dengan Hansen yang asing?
Melihat Audrey diam melamun, Hansen mengejutkannya dengan mencium kening Audrey.
"Siapa namamu?" tanya Hansen.
"A ... ah, Rere. Namaku Rere," jawab Audrey.
"Hampir saja aku menjawab Audrey," batin Audrey.
"Rere ... " panggil Hansen.
"Ya," jawab Audrey.
"Kenapa kau berlarian tadi?" tanya Hansen sembari mengendus leher Audrey.
"Oh, i-itu ... itu ... hhh ... bisakah kamu tidak mengendusku? rasanya aneh," kata Audrey.
Hansen tersenyum tipis mendengar perkataan Audrey. Ia lantas mengecup leher Audrey dan mengusap paha mulus Audrey.
"Ha-Hansen ... hhh ... " panggil Audrey.
"Ya?" jawab Hansen.
"He-hentikan, aku ... " kata-kata Audrey tidak sampai habis terucap. Hansen dengan berani melahap bibir ranum Audrey.
"Umh ... " lengkuh Audrey memegang erat lengan Hansen.
"Bisa-bisanya pria ini langsung menciumku. Aku tidak bisa bernapas," batin Audrey.
Hansen melepaskan ciumannya, "Bolehkah aku melanjutkannya? aku mohon, Re. Aku sudah tidak bisa menahannya lebih lama lagi." pinta Hansen.
Audrey terdiam sesaat. Ia memikirkan kembali apa yang sebelumnya terjadi. Jika ia tidak berlari, maka ia akan dimakan oleh pria tua mesum yang sudah bau tanah. Jika memang ia harus menghabiskan malam panas dengan seseorang, Hansen bukanlah pria yang bisa disia-siakan. Tampang yang rupawan, tubuh yang kekar dan gagah. Selamam bersama tidaklah rugi.
"Anggap saja ini hanya permainan dua orang dewasa. Pria ini lebih baik daripada pria tua tadi kan. Setidaknya, aku bisa menghabiskan malam panas dengan pria muda tampan. Awas saja kamu Alvaro, setelah ini kamu akan kuhabisi." batin Audrey.
Audrey mengusap wajah tampan Hansen. Mendapatkan jawaban yang diinginkannya, Hansen pun tidak membuang waktu lagi. Ia langsung melancarkan serangannya menerkam Audrey.
Diciumnya lagi bibir Audrey. Kali ini Audrey membalas ciuman Hansen. Keduanya saling berpelukan erat. Tidak lama ciuman terlepas. Tangan Hansen melepas kancing kemeja yang dikenakan Audrey. Satu per satu kancing terlepas, menyisakan pakaian dalam yang masih melekat ditubuh Audrey.
Hansen tersenyum, ia mengusap wajah cantik Audrey dan kembali mencium bibir Audrey. Kali ini tangan Hansen dengan cepat melepas semua yang melekat di tubuh Audrey. Ia pun melepas sendiri pakaiannya dengan susah payah. Ciuman keduanya pun kembali terlepas, Hansen dan Audrey saling memandang dan tersenyum.
***
Keesokan harinya. Mata Audrey terbuka perlahan. Ia mengusap lembut matanya yang terasa berat.
"Umhh ... " lengkuh Audrey.
Ia menatap langit-langit kamar dan tersadar akan sesuatu. Kepalanya langsung memikirkan hal-hal erotis bersama Hansen semalam.
"Hahaha ... aku memang sudah gila! bagaimana ini? kenapa aku terjebak ucapan konyolnya?" gumam Audrey merasa putus asa.
Audrey mengusap kasar wajahnya dan mengacak-acak rambutnya. Saat terbangun, ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Ia mengusap pinggangnya lembut, ia pun menatap sekeliling kamar. Tidak ada lagi sosok Hansen di kamar itu.
"Ke mana dia? apa dia sudah pergi?" batin Audrey.
Audrey memalingkan pandangan ke arah nakas, ia melihat secarik kertas bertuliskan catatan.
"Maafkan aku sudah berbuat tidak sopan padamu. Kamu bisa menuntut ganti rugi padaku. Terima kasih sudah menolongku, Rere. Aku harap kita bisa bertemu lagi. Datanglah ke kantorku atau hubungi aku. H.L"
Audrey tersenyum masam, "Bertemu lagi? apa itu mungkin? aku tidak ingin bertemu lagi denganmu, karena aku tidak bisa terlibat semakin jauh denganmu. Biarlah apa yang terjadi diantara kita semalam menjadi kenangan. Anggaplah kamu sedang beruntung, Hansen. Meski kecewa, tapi aku juga mebikmatinya. Hahh ... " guman Audrey menatap catatan yang ditulis Hansen.
Audrey pun kembali ingat pada Alvaro. Ia meremat catatan yang dipegangnya dan segera bangun untuk pergi ke kamar mandi.
***
Di rumah, di kamar Alvaro. Audrey membangunkan Alvaro yang tertidur pulas menggunakan segelas air yang disiramkan ke wajah Alvaro. Tentu saja seketika Alvaro kaget dan segera bangun dari posisi berbaring. Ia menatap kesal pada Audrey.
"Kamu gila, Re. Apa-apaan ini?" Tanya Alvaro melebarkan mata.
Plakkkk ... sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Alvaro.
"Kamulah yang gila, Al. Bisa-bisanya kamu menjualku. Aku ini saudarimu, kita bahkan berada dalam satu rahim dan tumbuh besar bersama. Di mana hati nuranimu? Dasar sampah!" maki Audrey kesal. Kata-katanya penuh emosi.
Alvaro mengerutkan dahi, "I-itu ... a-aku, aku ... aku tidak bermaksud seperti itu, Re." gumam Alvaro mengalihkan pandangan.
"Hah, yang benar saja. Kamu pasti balas dendam karena aku tidak membantumu, kan? aku tidak akan memaafkanmu. Kali ini perbuatanmu sangat tercela. Gara-gara kamu, aku ... " kata-kata Audrey terhenti. Ia hampir saja kelepasan bicara soal malam panasnya dengan Hansen.
Alvaro kaget, "Kamu tidak benar-benar melakukannya dengan pak tua itu, kan? apa kamu bodoh, Re? Kamu seharusnya melarikan diri." kata Alvaro.
"Tentu saja aku melarikan diri. Aku menendang barang berharga milik si mesum itu. Entah barang itu akan selamat atau tidak. Meski aku lolos darinya, aku tetap tidak akan memaafkanmu. Mulai sekarang, jangan mencariku dan bicara hal yang tidak penting. Kita harus menjaga jarak," jelas Audrey.
Audrey berbalik dan melagkah pergi. Beberapa langkah menuju pintu kamar Alvaro, langkah Audrey terhenti.
"Oh, ya. Aku lupa mengatakan satu hal lagi. Aku sudah bicara pada Papa dan Mama sebelum menemuimu. Jika sesuatu padamu terjadi, jangan salahkan aku. Kamu sendiri yang bertindak bodoh, tanggunglah akibat dari perbuatanmu." kata Audrey.
Alvaro melebarkan mata, "A-apa? apa maksudmu?" tanya Alvaro.
"Maksudku ... kamu pasti akan menerima semua akibat dari perbuatanmu. Aku tak akan pernah memaafkanmu, Al!" kata Audrey.
Ia kembali melangkah keluar dari kamar Alvaro. Masih di tempat tidur, Alvaro hanya bisa diam. Ia tidak menyalahkan Audrey yang mengadu pada Papa dan Mamanya karena ia sadar sikapnya memang keterlaluan. Dipikir sebanyak apapun, ia memang saudara jahat dan seorang pecundang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!