NovelToon NovelToon

Guruku Berubah Jadi ... Bocah

1

Derap langkah di tengah hujan yang deras, seorang anak kecil terus berlari tanpa melihat ke belakang. Napasnya tersengal, terlihat beberapa orang dewasa mengejar anak itu dengan wajah marah.

"Tangkap dia!!!" teriak salah satu dari mereka.

"Bunuh baji*gan kecil itu!" seru yang lain.

"Benar-benar bunuh dia sebelum dia terus mencuri di sini!" timpal yang lain dengan wajah kasar. di tangannya sudah memegang pemukul dari tongkat.

Anak yang dikejar terus berlari, tanpa menengok ke belakang. Dia memeluk sesuatu di balik bajunya yang compang-camping. "Aku harus mencari tempat bersembunyi," gumam bocah itu mempercepat langkahnya. Hingga dia melihat lubang yang cukup dia lewati di pagar yang berdiri sangat tinggi. "Dapat!" katanya tersenyum kecil.

"Berhenti! Jangan berani-berani kabur kamu?!" teriak salah satu di antara mereka saat melihat apa yang akan dilakukan bocah itu.

Si bocah masuk ke lubang yang tadi dia lihat, sebelum benar-benar pergi, bocah itu berhenti merangkak san menengok ke belakang. "Kalian pikir aku bodoh? Tentu saja aku memilih kabur dari pada kalian pukuli, idiot?!" ejek bocah itu bermulut pedas. Dia tertawa mendengar para pengejarnya itu berteriak marah karena dirinya berhasil kabur.

"Awas kalau tertangkap, akan ku bunuh kamu bocah?!" geram salah satu di antara mereka menendang udara kosong.

"Apa tak bisa kita mengejar dia?" tanya salah seorang di antara mereka terlihat sangat geram karena bocah menjengkelkan itu selalu berhasil lolos.

"Kejar saja kalau mau sana!" balas yang lain.

"Mana mungkin dia menunggu di sisi lain, di balik tembok itu!" lanjut yang lainnya mendengus kesal.

"Ayo, pulang. Ayo, pulang. Mari buta jebakan yang lebih banyak lagi, agar baji*gan kecil itu bisa tertangkap dengan mudah lain kali!" seru salah satu dari mereka berbalik pergi.

Bocah yang dikira sudah melarikan diri lebih jauh, rupanya bersandar diam di balik tembok. Dia mendengarkan semua percakapan orang-orang yang tadi mengejar dirinya. "Dasar si*lan! Padahal yang kuambil hanya sisa-sisa makanan yang nantinya pasti dibuang juga?!" gumam bocah itu, mengeluarkan sesuatu yang sejak tadi dia sembunyikan di balik bajunya. Dia tersenyum kecil, bangga karena berhasil menyembunyikan dengan baik makanan yang ambil dari mereka.

"Mari cari tempat berteduh dulu," bocah itu pun berdiri dari duduknya, dia berjalan pelan, mungkin karena terlalu lelah berlari dalam waktu yang lama. Hujan sudah sedikit reda, hanya menyisakan gerimis kecil yang sesekali jatuh mengenai kulit bocah itu.

"Ah, lelahnya ...," gumam bocah kecil itu bersandar di bawah pohon yang sangat rimbun. Dia tak memiliki rumah, hanya alam yang menjadi tempat tinggalnya selama ini. Kadang dia tidur di tumpukan jerami, di gudang para warga yang sudah tak digunakan. Kadang juga dia tertidur di atas pohon, atau di dalam gua yang tak sengaja dia temukan. Di mana pun, asal dia bisa menutup matanya sejenak, dia tak peduli itu.

"Meong ...," baru saja anak itu akan menyuapkan makanan ke mulutnya, dia mendengar suara kucing yang mengeong.

"Oh, kamu juga lapar?" ucap bocah itu berbicara pada si kucing yang tak jauh dari tempatnya duduk. "Kamu mau?" tanyanya lagi, padahal dia tahu kalau tak mungkin kucing itu paham apa yang dia katakan. Namun, entah kenapa dia masih saja berbicara dan bertanya. "Ini, makanlah. Tapi hanya ada roti yang aku dapatkan hari ini," kata bocah itu memberikan sepotong kecil roti ke arah kucing itu.

Si kucing mengeong sekali lagi, sebelum mengendus-endus roti yang bocah itu berikan. "Pintar," gumam bocah itu mengelus singkat kucing kecil itu. "Di mana keluarga mu?" tanya bocah itu menekuk lututnya. "Apa kamu sama sepertiku?" lanjut bocah itu lagi. Hanya suara kucing yang membalas semua ucapan bocah itu. "He-he, aku tak bisa bahasa kucing, dan kamu juga tak paham apa yang aku katakan. Tapi tak masalah, aku bisa berbagi makanan dengan mu, itu sudah cukup!" ucap bocah itu terkekeh pelan.

Bocah yang tadinya dikejar-kejar oleh banyak warga, kini sedang menikmati dan berbagi makanan dengan seekor kucing yang entah datang dari mana.

"Ha-ah, semoga besok aku bisa mendapatkan makanan lagi," kata bocah itu sebelum dia jatuh tertidur. Sepertinya dia terlalu lelah hingga langsung tertidur begitu selesai makan sepotong roti. Kucing tadi pun mendekat, dan ikut melingkar di dekat anak itu, kucing kecil itu pun ikut memejamkan mata setelah mengeong sekali. Kedua makhluk yang berbeda ras tersebut, sama-sama tertidur.

...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...

Di tempat lain, di waktu yang sama. Seorang pria berjubah berjalan melewati hujan. Wajah dingin yang dihiasi permata merah, menambah kesan jahat pada pria tersebut.

"Ada keperluan apa anda melintasi desa kami!" ucap dia warga yang berjaga di depan gerbang desa menghentikan langkah pria berjubah tersebut.

"Tentu saja untuk masuk ke dalam dan beristirahat," katanya membalas.

"Maaf, desa kami sedang dalam masalah. Ada pencuri yang sangat sulit ditangkap, sehingga kami tak bisa mengizinkan orang luar untuk berkunjung kalau keperluannya tak jelas!" ucap salah satu di antara mereka sopan.

"Pencuri?" mata pria itu memicing tajam. "Ah, apa saya akan diizinkan masuk kalau membantu menangkap pencuri yang kalian sebutkan?" lanjut pria tadi seraya membuka tudungnya, dia tersenyum teramat tipis kemudian. "Saya bukan orang jahat dan hanya ingin beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan saya kembali," tambahnya meyakinkan.

Kedua penjaga gerbang saling memandang, tak lama kemudian mereka berdua mengangguk bersamaan. "Kalau anda tak keberatan, saya akan melapor dulu pada tetua desa," kata salah satu di antara mereka.

"Tentu saja tak masalah, saya akan menunggu di sini," kata pria itu tersenyum kecil.

Salah satu dari dua orang penjaga gerbang itu pun berlari kecil, dia pergi dengan cepat untuk mengabari tetua desa mereka kalau ada orang luar yang ingin ikut membantu menangkap bocah si*lan yang sangat mengganggu desa itu.

Hanya butuh beberapa menit, penjaga tadi kembali bersama beberapa orang. "Ini orang yang tadi saya ceritakan, tetua!" katanya menunjuk pemuda berambut perak di depannya.

"Kamu yakin bisa menangkap pencuri licik ini?" tanya si tetua desa ragu. Tangan itu terlalu kecil dan terlihat rapih, bahkan sangat mustahil bisa digunakan untuk berkelahi.

"Tentu, saya sudah sering menangkap bandit di gunung," kata si pria dengan penuh percaya diri.

Si tetua mengangguk singkat. "Baiklah, kalau kamu berkata seperti itu. Namun, harus aku ingatkan. Jika kamu berbohong, kamu akan diusir dari desa kami!" ucap si tetua sedikit menggunakan ancaman.

"Saya akan membantu, saya juga tak akan tinggal dengan percuma. Semua akan saya bayar sesuai dengan yang seharusnya!" kata pria tersebut.

"Kalau begitu, selamat datang di desa kami yang sederhana ini, tuan!" kata si tetua desa.

2

Matahari sore yang hangat menyapa, setelah hujan benar-benar reda. Bocah pencuri yang menjadi faktor satu-satunya keresahan warga menggeliat dalam tidurnya. Dia menguap lebar, lalu meregangkan tubuhnya. "Ugh, tidur yang nyenyak," kata anak itu. "Ho, lihat ini. Kawan kecilku rupanya ikut tertidur bersamaku!" katanya lagi sambil mengusak bulu-bulu halus makhluk kecil yang tertidur di pangkuannya.

"Ya, bangunlah!" kata bocah itu menghentikan pergerakan tangannya yang mengelus bulu-bulu kucing tadi. "Aku harus ke sungai untuk mencuci muka," lanjut bocah itu. Dia melangkah menuju anak sungai, kucing kecil tadi terus mengikuti langkah kaki bocah tersebut.

"Kamu ingin terus bersamaku, ya?" tanya anak itu seraya tersenyum senang. Meski hanya binatang yang ikut dengannya, tapi dia sudah cukup bersyukur, setidaknya ada yang bisa dia ajak bicara. Yah, walau pun tak ada satu jawaban yang bisa dia dapatkan sama sekali dari lawan bicaranya itu.

...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...

Di tempat lain, di dalam sebuah penginapan yang ada di desa. Pria berambut perak yang menjadi tamu dadakan itu baru saja selesai mandi dan berpakaian. Dia pun keluar kamar dan menuruni anak tangga dengan santai. "Bisa berikan aku makanan, tolong?" katanya memesan.

"Apa ini waktunya makan?" dengus orang yang disuruh mengawasi pria berambut perak itu.

"Tolong maklumi, aku sangat lapar saat ini," katanya membalas. Dia mengucapkan terima kasih saat makanan yang dia minta diantarkan.

"Cepatlah sedikit!" desak orang yang mengawasi si perak. "Kamu harus menangkap iblis kecil yang selalu mencuri tersebut!" lanjut pria itu dengan tampang super kesal.

"Ya, baiklah. Kamu pasti akan bertemu kalau memang dia selalu mencuri," balas si pria perak dengan datar. Dia makan dengan lahap, menghabiskan hingga butiran terakhir nasi yang ada di mangkuknya. "Sangat lezat, terima kasih!" ucapnya seraya membayar makanan yang baru saja dia makan.

"Mau ke mana?" tanya si pengawas mulai jengah dengan tamu yang dibiarkan masuk oleh tetua desa mereka.

"Kembali ke kamar ku?" kata pria itu membalas.

"Kapan kamu akan menangkap pencuri licik itu?" geramnya. "Jangan bertingkah dan tangkap dia sekarang juga?!" lanjutnya kesal.

Si pria perak menatap tajam. "Ya, kapan dia paling sering mencuri? Apa aku harus menunggu pencuri itu beraksi tanpa makan dan tidur? Kalau begitu bagaimana bisa aku menangkapnya? Tolong pikirkan kondisiku juga?!"

"Dia benar juga, kita tak boleh terlalu memaksa seperti ini," kata warga lain angkat bicara.

"Kami tahu kalau kamu sangat kesal dan menjadi terburu-buru, tapi orang itu juga butuh istirahat sebelum membantu kita," kata yang lainnya.

"Ahh, baiklah, baiklah. Aku akan mengalah kali ini!" ucap pria yang ditugaskan mengawasi tadi. "Tapi ingat, aku akan tetap berada di sisi anda dan mengawasi anda dengan benar!" lanjutnya memicingkan mata.

"Lakukan saja, aku hanya ingi. tidur sebentar," ucap si pria acuh. "Ah, dan bisakah kalian memanggil namaku saja? Aku Jim!" ucap pria itu sebelum benar-benar pergi.

"Baiklah, Jim. Selamat beristirahat!" kata si pemilik penginapan terlihat lebih bersahabat.

"Anda juga, terima kasih sekali lagi untuk makanan yang anda hidangkan," kata Jim kemudian kembali ke kamarnya.

Jim merebahkan tubuhnya ke tempat tidur, dia memejamkan mata tanpa peduli dengan sepasang mata yang terus mengawasi dirinya sedari tadi.

Waktu berlalu, sinar matahari mulai menyapa. Jin sudah berpakaian rapi dan siap turun untuk sarapan. "Ayo, buat rencana!" desak pria bertubuh besar yang mengikuti Jim sejak semalam.

"Biarkan aku makan sebentar," ucap Jim mengulur waktu.

"Cepat atau aku laporkan pada tetua tingkah kamu sejak kemarin?!" ancaman yang sama sekali tak dipedulikan oleh Jim sebenarnya.

"Boleh aku bertanya, apa saja yang dicari oleh pencuri licik yang kalian kejar-kejar itu?" tanya Jim sembari sarapan.

"Banyak, semua hal yang bisa dijadikan uang. Pencuri sia*an itu juga mencuri makanan kami!" jawabnya geram.

"Sebenarnya kalau diperhatikan, hanya makanan yang sering hilang, kok," sahut salah satu di antara mereka.

"Omong kosong!" seru pria bertubuh besar itu. "Lalu kenapa cincin Sarah hilang? Uang Ricy juga raib entah kemana!" lanjutnya seolah yakin kalau pencurinya adalah orang yang sama.

"Bisa saja ada pencuri lain, kan?" sela Jim dengan nada datar. "Ada pencuri lain yang memanfaatkan keadaan dan melimpahkan semua kesalahan pada pencuri yang kalian kejar saja!" lanjutnya terdengar masuk akal.

"Kita sama sekali tak pernah berpikir sampai ke sana," gumam salah satu warga desa sedikit terpengaruh.

"Omong kosong, pasti pencuri itu yang mengambil semuanya. Siapa lagi kalau bukan dia?!" ucap salah satu di antara mereka bersikeras tak ada pencuri lain di desa mereka.

"Mari kita datangi pencuri yang kalian ingin tangkap ini!" ucap Jim bangkit dari duduknya. "Bisa berikan aku beberapa potong roti yang baru dipanggang, nyonya?" tanya pria itu pada pemilik penginapan.

"Tentu, sebanyak yang anda mau, tuan!" katanya membalas.

Jim dan beberapa warga pun menyusuri tepi hutan. Jim diberi tahu kalau pencuri itu sering terlihat di dekat sana. Jim meletakkan roti-roti yang tadi dia pesan di sembarang tempat yang mudah terlihat, lalu dia mengajak warga yang mengikuti dirinya bersembunyi.

Tak berapa lama, seorang bocah berbadan teramat kurus serta berpakaian lusuh pun datang sambil melihat ke kiri dan kanan. Jim mengernyitkan keningnya, apa pencurinya seorang pria yang tak bisa tumbuh tinggi. Mengapa terlihat sangat kerdil dari jarak sejauh ini, jangan bilang kalau pencurinya adalah anak kecil.

"Itu dia, itu dia! Cepat tangkap bocah pencuri itu?!" ucap si pengawas dengan mata berbinar. Baru kali ini mereka bisa dengan mudah melihat si bocah bang*at yang selalu mencuri di desa mereka itu.

"Apa? Bocah?" pekik Jim berdiri dari tempatnya bersembunyi tadi.

"Hei, hei, kamu tak seharusnya memperlihatkan diri seperti itu! Bagaimana kalau bocah pencuri itu melarikan diri karena melihat kamu?" ucapnya kesal.

"Kenapa tak ada yang memberi tahu kalau pencuri yang kalian maksud hanya seorang anak kecil?" tanya Jim terlihat tak senang.

"Memangnya apa masalahnya dengan itu? Kamu hanya perlu menangkap pencuri yang membuat kami resah sesuai dengan janji yang kamu katakan sebagai bayaran diperbolehkan masuk ke desa kami!" balasnya tak peduli.

Jim mengepalkan tangannya erat, dia paham apa yang melatarbelakangi bocah itu menjadi pencuri. Pasti keadaan dan tak adanya orang dewasa yang melindungi dirinya, makanya dia nekat mencuri untuk mendapatkan makanan guna bertahan hidup.

"Jangan ganggu dia, aku yang akan menangani ini," kata Jim memejamkan mata.

"Kalau kamu tak mau menangkapnya sekarang, biar saya yang maju!" ucap salah satu di antara mereka membawa tongkat panjang.

Jim menatap tak percaya, apa bocah itu sering dianiaya seperti sekarang. Padahal hanya beberapa potong roti, tapi itu menjadi masalah. Memang perbuatanya tak bisa dibenarkan, tapi itu semua tak lepas dari sikap apatis warga yang ada di sini.

3

Saat sedang memancing pencuri yang sedang mereka kejar dengan roti yang dibawa Jim, pria itu baru tahu kalau pencuri tersebut hanyalah seorang anak kecil yang terlihat sangat kurus dan rapuh. Jim pun tak jadi menangkap bocah pencuri itu, dia mengatakan kalau dia yang akan mengurusnya nanti.

Salah satu warga tak setuju, dia lalu bergerak maju dengan sebuah tongkat di tangannya. Wajahnya terlihat sangat sadis, seolah bisa memukul hancur bocah kecil itu tanpa rasa kasihan sama sekali.

"Biar saya yang mengurusnya sesuai janji saya pada anda!" ucap Jim menghentikan pria bertampang kasar itu.

"Tidak, kalau anda tak bisa. Saya akan menanganinya saat ini!" ucapnya keras kepala.

"Benar-benar, sangat jarang kita bisa melihat bocah itu seperti ini. Biasanya kami hanya sempat mengejar saat dia sudah jauh. Tapi dengan jarak seperti ini, pasti dia tertangkap dengan lebih mudah!" timpal warga lain setuju untuk melanjutkan aksi pengejaran mereka.

Jim menggertakkan giginya kesal, matanya menatap khawatir bocah yang tak tahu apa-apa di sana. Bocah itu tak tahu kalau dirinya sedang diintai saat dia tersenyum mendapatkan makanan dengan mudahnya hari ini. Beberapa saat kemudian, Jim menyeringai kecil. Sepertinya dia mendapatkan ide yang bagus, semoga ide yang dia dapatkan bisa menyelamatkan anak kecil itu.

"Aku ikut dengan kalian!" katanya tanpa menghilangkan seringai yang menghiasi sudut bibirnya.

"Ayo, kita tangkap bocah itu!" bisik para warga menjadi sedikit lebih bersemangat.

Saat sampai di dekat batu besar, Jim berpura-pura jatuh dan sengaja berteriak sedikit lebih keras agar anak itu menyadari kehadiran mereka semua. "Akh, kakiku! Kakiku sakit sekali?!" erang pria itu memegangi kakinya.

Si bocah pencuri menoleh dengan cepat, tangannya menyambar keranjang berisi roti dan langsung berlari secepat yang dia bisa. Dia semakin merangsak masuk ke dalam hutan yang lebat, kakinya terus berlari maju ke depan. Bocah itu sama sekali tak menoleh satu kali pun.

"Kamu sengaja, kan?" pria berbadan besar itu tak bisa membendung emosinya, dia mencengkeram kerah baju Jim.

"Aku tak sengaja, sungguh!" kata Jim terus memegang kakinya.

"Jangan ribut di sini!" kata warga lain mengingatkan. "Bocah pencuri itu semakin jauh, lihat?!" lanjutnya lagi.

"Sial!" maki pria berbadan besar tadi. "Kalau sampai pencuri itu tak tertangkap hari ini, semua salah kamu?!" lanjutnya sebelum kembali mengejar si pencuri kecil tadi.

Jim membenarkan kerah bajunya. "Memangnya salahku kalau tersandung?" gumam pria itu tersenyum remeh. Dia berhasil membuat anak kecil tadi mengetahui kalau mereka sedang mengintai, jadi bocah itu memiliki waktu untuk kabur dari sana.

"Tolong maklumi, Roy. Roti di tokonya yang paling sering dicuri oleh anak tadi," ucap salah seorang di antara mereka menjelaskan alasan pria berbadan besar tadi marah.

"Tak apa, aku paham," kata Jim sembari tersenyum tipis.

Mereka pun kembali mengejar pencuri kecil itu, sayangnya tak ada di antara mereka melihat ke mana bocah licik itu bersembunyi. Semuanya kembali dengan tangan kosong dan perasaan yang lebih kesal lagi.

"Kamu mau ke mana?" tanya Roy melihat Jim tak berniat ikut mereka kembali.

Jim menggaruk pipinya canggung. "Panggilan alam," gumamnya lirih.

"Sial, sudah tak bisa menangkap pencuri kecil itu, kini aku malah harus mendengarkan hal menjengkelkan seperti ini?" keluh Roy meninju pohon yang ada di dekatnya. "Pergi saja sendiri! Tak ada yang mau menemani orang yang hendak buang air seperti kamu!" lanjut pria itu menggerutu.

"Bawa ini, semakin masuk ke dalam, akan semakin gelap seolah hari sudah malam," ucap seorang warga memberikan senter yang dia bawa kepada Jim.

"Terima kasih, nanti aku kembalikan," kata pria itu.

Mereka berpisah, Jim tetap tinggal di tengah hutan sendirian. Dia hanya sembarang mencari alasan agar bisa tetap di tempat itu. Saat yakin tak ada seorang pun warga yang ada di sekitarnya, Jim pun berteriak cukup lantang. "Hoi, bocah yang katanya pencuri! Mari kita bicara sebagai sesama pria?!" katanya memberikan undangan terbuka.

Hening, tak ada jawaban sama sekali. Hanya desau angin yang bisa di dengar oleh Jim. "Ayolah, aku tahu kalau kamu mendengarkan ku!" kata Jim lagi. "Tenang saja, aku janji tak akan menangkap kamu!" lanjut pria itu lagi.

"Aku tak pernah melihat kamu sebelumnya?!" ah, rupanya bocah itu masih mau menanggapinya. Mereka akhirnya bisa berbicara meski dia belum melihat dari mana bocah itu menjawab.

"Aku hanya pengembara," balas Jim santai. "Kamu tahu pengembara, bukan?" lanjut pria itu dengan nada lebih bersahabat.

"Tentu saja, aku tak sebodoh warga desa!" balas si bocah sekaligus mengumpat.

"Ha-ha-ha, benar! Mereka sangat-sangat bodoh?!" kekeh Jim setuju kalau warga desa sangat bodoh.

"Kamu bukannya di pihak mereka?" tanya si bocah dengan nada tak percaya.

"Mana mungkin!" seru Jim tak terima. "Aku menyetujui untuk menangkap pencuri tanpa tahu kalau pencuri yang dimaksud hanya seorang bocah kecil," jelas Jim.

Hening sesaat, Jim pun membiarkan keheningan menggantung. Pria itu tak ingin mengganggu bocah kecil yang sepertinya sedang berpikir cukup keras itu.

"Apa itu membawa perbedaan?" tanya si bocah. Jim mendengar langkah kaki yang semakin mendekat ke arahnya. "Maksudku umur!" lanjut bocah itu kembali bertanya.

"Tentu saja, setidaknya itu yang aku yakini!" balas Jim cepat.

"Apa bedanya?" suara itu terdengar penasaran.

"Beri tahu dulu namamu sebagai bayaran!" pancing Jim bersikap usil.

Lagi dan lagi, bocah itu memilih diam. Kali ini Jim tak membiarkan keheningan mengikat mereka terlalu lama. "Kamu tak mau memberi tahu ku?" tanya pria itu.

"Bukan, bukan begitu!" sela si bocah cepat. "Aku hanya ... tak tahu siapa namaku," tukasnya jujur. "Mereka biasa memanggilku, baji*gan, bocah sia*an, pencuri licik, kepa*at, dan sejenisnya," tambah bocah itu dengan nada tak peduli.

"Hmm, dari suaramu sepertinya kamu bocah laki-laki," ucap Jim sambil berpikir. "Bagaimana kalau aku yang memberi kamu nama?" kata pria itu tersenyum cerah. "Begini-begini aku cukup pintar memberi nama, tahu?!" tambahnya dengan nada bangga.

"Terserah, tapi jawab dulu pertanyaanku!" kata si bocah terdengar acuh.

"Kalau sudah besar.dan menjadi pencuri, itu artinya dia malas. Kalau masih kecil, kemungkinan terbesar karena keadaan dan tak memiliki satu orang pun yang mengurusnya dari dekat," jelas Jim. "Baiklah, sekarang aku akan memikirkan nama buat kamu!" lanjut pria itu.

"Hmm, nama pertama Bori, alias bocah pencuri? Cukup bagus, kan?" kata Jim tanpa dosa.

"Ya, nama apa itu?!" protes si bocah itu dengan suara yang terdengar kesal.

"Kenapa? Menurutku bagus, kok," ucap Jim santai.

"Mana ada nama seperti itu?!" si bocah tak sadar langsung protes di depan Jim.

Jim menyeringai kecil. "Tertangkap?!" ucap Jim menatap langsung ke wajah bocah yang saat ini sedang sangat terkejut.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!